39. Baked Potato Cakes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Trapping Mr. Mahmoud versi premium part 67-68 sudah bisa dibaca di karyakarsa, ya...

Jangan sampai ketinggalan.

Buat yang masih nanya, EBOOK versi premium Trapping Mr. Mahmoud nggak akan dijual di manapun, hanya akan diberikan pada pendukung all part atau paket premium di Karyakarsa.

Kalau aku memutuskan untuk mencetak bukunya, akan dicetak terbatas dan versinya tetap nggak akan selengkap versi Karyakarsa. 

All pendukung premium part yang mendapat ebook, jika berminat pada versi buku akan diberi diskon khusus sampai 50%

Part 39 ini juga tersedia versi premiumnya di Karyakarsa.

PART 40 VERSI WATTPAD AKAN AKU UPDATE DI GRUP RAHASIAKU DI FACEBOOK. CARA JOINNYA:

1. Follow instagram-ku dan tanyakan link serta kunci jawaban.

Yang merasa direpotkan, nggak usah follow IG dan masuk grup juga nggak apa-apa. Part selanjutnya akan tetap dipost di Wattpad, kecuali aku berubah pikiran ^^


"Jangan lupa, ya, teman-teman? Pesan segera bento sehat HBM ini, sekalian saja buat seminggu ke depan supaya lebih hemat. Oh iya, share keseruan kamu menikmatinya dan tag saya. Pakai hastag Keracunan Mr. Mahmoud, biar bisa saya share dan dilihat teman-teman lain. Sebarkan virus sehat, stay fit, and stay healthy. Bye bye!"

"Nice!" Mbak Tamara bertepuk tangan sambil melompat-lompat senang. Mas Albert juga tersenyum puas memandangi monitor kecil pada kameranya. "Keren banget, ih, Mahmoud! Sekarang nggak perlu take berulang-ulang. Sekali langsung beres, udah kayak selebgram profesional aja. Siap, nih, jadi model iklan sungguhan!"

Mas Albert menaikkan bola mata ke arah Mbak Tamara yang seketika membuat perempuan itu menggigit bibir resah. Ekspresi Mas Albert membuatku semakin yakin, selama ini mereka memang mengaturnya sedemikian rupa supaya aku lama-lama terbiasa. Awal-awal dulu, semua orang ikut-ikutan di-video, meski aku selalu curiga karena hanya videoku yang diambil dengan sungguh-sungguh. Kadang malah suka ada naskah pendeknya segala.

Mbak Riana muncul di halaman belakang, melompat-lompat seperti kelinci menghindari tanah berumput yang agak becek. Dia melongok ke salah satu bentoku, menjumput sebutir perkedel panggang dan meleletkan lidahnya. Aku tertawa. Meski kurang sehat, makanan apapun memang paling enak digoreng. "Mas Albert, Mbak Mina udah datang, tuh. Dia minta aku manggil Mas Albert, kayaknya biar sengaja gangguin dia buat cepet-cepet ambil gambar buat trial susu kedelai. Anak sebelah udah ngirim tiga botol, katanya udah dibenerin rasanya."

Bu Mina baru datang? Paling enggak, ini udah pukul setengah sebelas. Ngapain aja dia di apartemen? Kayaknya pas aku jalan dia udah siap. Sejak pukul setengah sembilan setelah kerjaan pagiku beres, aku berkutat di dapur membantu Bu Stef dan siap-siap buat diambil videonya. Kupikir dia sudah datang, pantas nggak nengok-nengok ke sini sama sekali.

"Sama Adrian datangnya," imbuh Mbak Riana yang seketika bikin telingaku tegak siap menguping.

Dengan Adrian? Ngapain dia ke sini? Aku masih agak jengkel karena dia pergi tanpa pamit. Pulang kerja, tahu-tahu apartemen sudah kosong. Tega banget dia nelantarin aku begitu saja.

"Ngapain dia minta digangguin kalau lagi sama Adri?" tanggap Mas Albert cuek. "Bukannya biasanya girang banget? Dia maunya kan sama Adri, sama cowok lain nggak mau. Ntar ah, malah aku dicuekin nanti."

"Nggak tahu, aku ngerasa aja gitu," gumam Mbak Riana yang akhirnya menelan perkedelnya meski terpaksa.

"Bahasa tubuhnya gimana?" sahut Mbak Tamara, meringankan bebanku mencari tahu.

"Kayak enggan, gitu. Mungkin Mbak Mina udah punya pacar kali, ya? Aku jarang banget akhir-akhir ini dengar dia uring-uringan soal Adrian. Mungkin karena kita udah punya Mahmoud," jelasnya enteng. Akunya yang tercengang, tapi sepertinya salah mengartikan maksud ucapan Mbak Riana. "Biasanya kan kita minta bantuan Adrian buat promosi ini itu, Moud... kalau lagi nggak ada duit buat endorse selebgram."

Oooh....

"Biar mampus nggak ada job," kata Mas Albert pelan.

"Bukannya dia udah dapat kerjaan sama merk fashion internasional itu? Dia bakal jadi face produknya, lho," sambar Mbak Tamara.

"Mana sekarang? Nggak ada kabarnya, kan? Kamu pikir hanya karena udah lolos audisi, lalu itu harga mutlak? Bahkan kalau udah ada kontraknya pun, meski dia udah dibayar pun, perusahaan segede itu bisa aja berubah pikiran. Duit segitu nggak masalah buat mereka, asal mereka menemukan face lain yang lebih menjual. Dianggap duit ilang aja, gitu. Ya udah, deh. Aku ke sana. Daripada buang waktu juga. Habis makan siang aku mau ke konveksi, ngecek jahitan buat pilot run."

Sebelum Mas Albert beranjak, Bu Mina sudah muncul di ambang pintu belakang. Jantungku berhenti berdetak sedetik, kenapa dia bertukar pakaian? Tadi pagi dia mengenakan kemeja putih dan celana abu-abu semata kaki. Kali ini dia memakai rok selutut berwana putih dan tanktop berenda kecil yang biasanya dipakai di balik blazer. Blazernya mungkin sudah ditanggalkan dan disampirkan di sandaran kursinya. Penampilannya jauh lebih seksi dari sebelumnya.

Datang bersama Adrian.

Bertukar pakaian...?

Kenapa dia bertukar pakaian?

"Moud... Adrian nungguin kamu, tuh di pantry. Dia mau nanya di mana kamu tidur di kantor," katanya santai. Aku berpikir sejenak. Itu kalimat bermakna ganda. Tidur di kantor di telinga yang lain bisa berarti di mana aku istirahat di sela pekerjaanku, tapi di telingaku artinya Bu Mina sedang memberitahuku untuk menyamakan jawaban jika Adrian bertanya di mana aku tinggal setelah keluar dari apartemennya. Aku harus menjawab bahwa aku tidur di kantor, bukan tinggal bersamanya. Setelah itu dia kembali ke dalam, dan Mas Albert mengekorinya.

"Kayak Mahmoud punya waktu aja tidur di kantor," kata Mbak Riana setelah kami ditinggalkan bertiga. "Sibuk banget, ya, Mas Mahmoud... kasihan.... Makanya jadi model sekalian aja, daripada diambil gambar capek-capek tiap hari, cuman dikasih lemburan!"

"Iya, Moud! Kamu udah bisa, kok, jadi model!"

Rupanya... mereka sudah main terang-terangan sekarang. Kudengar tracksuit sudah mulai produksi, paket lebaran sudah disusun. Tensi briefing tiap hari juga makin mendesak. Aku bisa merasakannya kalau diajak meeting sekali-sekali. Tentu saja, followers instagramku sudah seratus lima puluh ribu lebih. Ibu-ibu kantin sudah mengikutiku di semua media sosial dan suka ribut menyuruhku mengikuti mereka juga. Mereka nggak tahu aku bahkan nggak instal aplikasi aneh-aneh di ponselku. Saat aku berhenti di traffic light kemarin, dua orang mahasiswi di atas Scoopy mengejarku dan bertanya, apa benar aku Mr. Mahmoud? Habis itu setelah mereka melihat Astrea Prima nyaris seumuranku yang kukendarai, mereka bilang, ya ampun, office boy beneran, shay, bukan model lagi gimmick. Besoknya aku muncul di Lambe Curah lagi, kata Mas Gio sambil bersorak sorai gembira. Aku menarik perhatian lebih banyak orang. Aku sudah dianggap siap dijadikan model betulan.

Adrian sedang duduk-duduk di pantry waktu aku masuk. Bibirnya langsung senyum, agak canggung. Aku membalas 'hey'-nya, lalu menawarinya kopi.

"Tadi aku ke apartemen, Mu, barangmu udah nggak ada. Kuncinya udah kamu serahin ke satpam?"

"Sudah."

"Maaf ya, Mu—"

"Nggak apa-apa."

Meski aku nggak melihat, aku tahu Adrian menarik-embuskan napas berat dari suaranya. "So... kamu tinggal di mana sekarang? Kalau kamu mau, aku bantu cari kos yang dekat sini, gimana? Aku nggak enak kalau Mamaku nanya."

"Memangnya kamu nggak ke mana-mana?"

"Enggak. Mau ke agensi juga malas. Percuma punya agensi nggak berbuat apa-apa, mereka yang penting udah motong dari nilai kontrakku. Aku kerja apa enggak, mereka nggak peduli. Kalau sampai benar mereka nggak jadi pakai aku, bakal kuobrak-abrik si Stevan. Ini bukan soal uangnya, ini soal eksistensiku. Bayangin dong, karena aku udah nerima uang, aku terikat sama mereka setahun. Kalau aku nggak jadi dipakai, perusahaan lain nggak bisa hire aku, eksistensiku bakal makin pudar."

"Oh," aku mengangguk-angguk kurang paham, bukannya enak, sudah dapat uang, tapi nggak perlu kerja apa-apa? Kuletakkan secangkir kopi instan di depannya. "Cuma ada ini," kataku. "Nggak usah dibantu nyari kos dulu, takut uangku belum cukup."

"Tapi tadi Mina bilang, kamu tidur di kantor ini, kan? Bukannya nggak boleh? Kalau pemilik ruko tahu, bisa dipermasalahkan nantinya."

Tapi tadi Mina bilang. Tapi tadi Mina bilang. Tadi. Mina. Apa yang kamu lakukan dengannya dari pukul setengah delapan pagi sampai sesiang ini bersamanya? Kenapa dia bertukar pakaian? Adrian memanggil namaku, rupanya aku terlalu lama melamun.

"Aku nggak tidur di sini, kok," kataku sekonyong-konyong.

Adrian mengerutkan alis.

"Aku tinggal sama Bu Mina."

Aku nggak menyangka, Adrian akan seterkejut itu mendengarnya. Cangkir yang dipegangnya meleset dan terjatuh menghantam permukaan meja. Telinga cangkirnya lepas, air kopi melimpah ke mana-mana. Aku tergeragap panik, celingukan mencari di mana terakhir kali aku meletakkan lap dan menyambarnya begitu kutemukan. Selama aku membersihkan air cokelat keruh yang panas itu dengan lap di tanganku, Adrian bergeming di kursinya. Sial. Apa yang barusan kukatakan? Kenapa aku ngomong begitu? Ini kedua kalinya aku sengaja mengacau karena cemburu.

Dia sudah mengacaukan otakku.

"Kamu—kamu tinggal sama Mina? But—how?"

"Jangan keras-keras," kataku, teringat betapa ngawurnya keputusanku barusan. "Nggak boleh ada yang tahu soal ini. Aku nggak ada apa-apa sama Bu Mina, tenang aja—"

"Nggak ada apa-apa?" Adrian menahan volume suaranya, dia masih mendengarkan peringatanku meski ia sangat kecewa. "Nggak ada apa-apa bagaimana? Kalian... kalian berhubungan seks?"

"Enggak!" jawabku tegas, penuh kemunafikan. "Aku—aku cuman dibantu karena Bu Mina butuh bantuanku."

"Bantuan apa? Bikinin dia kopi? Bukannya kamu dibayar?"

Aku menatap Adrian bingung. Aku nggak tersinggung dengan pertanyaannya barusan. Aku hanya bingung karena dia nggak tahu apa-apa. Memangnya dia nggak ngikutin akun gosip mana pun seperti jutaan insan di dunia ini, kecuali aku? Apa dia nggak tahu akun instagramku sudah punya pengikut lebih banyak daripada akun instagramnya?

"Aku... dijadikan pengganti Dian Rai...," terangku.

"Maksudmu?"

"Entah apa namanya," aku sendiri nggak tahu.

"Brand ambassador?"

Aku baru akan menjawab mungkin begitu mereka menyebutnya, tapi Adrian keburu berseru kencang, "Kamu mau dijasiin brand ambassador HBM?!"

"Wait... Mu...." tahannya lagi, padahal aku nggak berniat ngomong apapun gara-gara masih terperanjat. Adrian lantas terhuyung. Matanya mencelang, bola matanya bergerak-gerak kasar menuduhku. "Jangan-jangan... jangan-jangan...," ucapnya terbata. "Mu.... apa Stevan pernah ngajak kamu bergabung sama agensinya? Jangan-jangan... kamu pendatang baru yang katanya sedang viral itu? Kamu... jangan-jangan kamu yang selama ini mengancam karirku?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro