40. Pistachio

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part Premium 69-70 sudah ada di Karyakarsa, ya...

Buat yang dukung part 67-68, part 69-70 bisa didapat gratis dengan kirim bukti dukungan ke emailku. File akan dikirim via email sesuai urutan pengiriman bukti dukungan.

Part ini versi lebih lengkap juga ada di karyakarsa.

 Aku nggak tahu apa yang terjadi di dapur antara Mahmpud dan Adrian waktu itu. Mahmoud tidak ingin menceritakannya kepadaku. Yang kutahu, Riana bilang Adrian membuka pintu geser pantry sangat kencang sampai meleset dari engselnya dan Mahmoud harus memperbaikinya dengan bantuan Gio dan Albert. Aku mencoba mengorek keterangan dari Adrian, tapi dia bahkan menolak menjawab panggilanku. Yup. Setelah apa yang dilakukannya kepadaku pagi itu.

Kalau mengingat peristiwa pagi itu, aku masih agak bergidik.

"Ayo, dong, Min! Kamu kan selalu mendesakku dan beberapa kali aku mau melayanimu. Masa sekarang kamu nolak mentah-mentah saat aku butuh?"

Tenggorokanku tercekat.

Untuk catatan saja, aku nggak pernah memaksanya. Aku merayu dan dia termakan rayuanku, bukan terpaksa melakukannya. Dia bisa saja merayuku pagi itu, tapi ucapannya sama sekali bukan rayuan. Itu lebih terdengar seperti pemaksaan. Nggak pernah ada perjanjian di antara kami bahwa aku atau dia harus membalas budi untuk kesediaan kami berhubungan seksual. Itu murni mau sama mau.

Kalau dia boleh menolak ajakanku, kenapa aku tak boleh? Apa hanya karena aku tak membuat peraturan jelas seperti yang kulakukan dengan Mahmoud, Adri merasa boleh melakukannya? Hanya karena aku pernah tidur dengannya, bukan berarti setiap saat aku harus mau melakukannya lagi. Karena itu jika aku menginginkan Adrian berhubungan seks denganku, aku merayu sampai dapat, bukan memaksa.

"Tapi aku sedang nggak ingin, Adrian, aku harus segera ke kantor, Say!" aku tetap berusaha menjelaskan baik-baik meski tanganku yang mendorong tubuhnya cukup tegas mengatakan tidak. Dia tak peduli dan mulai mencengkeram pergelangan tanganku, menciumi rahang dan leherku. Entah sejak kapan bercinta dengan Adrian menjadi kurang masuk akal bagiku.

Satu-satunya hal yang menyelamatkanku pagi itu hanyalah kelaki-lakian Adrian yang ternyata tak se-excited dirinya sendiri. Sepertinya dia benar-benar sedang stres. Aku sudah berantakan sekali dan hampir menangis karena tak ingin, lalu tahu-tahu dia mengumpat sambil menghempaskan tubuhnya di sofa. Aku harus merelakan beberapa jam mendengarnya menangis seperti anak kecil, membujuknya agar mau bangkit kembali. Aku memahami ketakutan-ketakutannya. Dia merasa sudah bekerja sangat keras sejak memutuskan menjadi model, tapi setelah pekerjaan impiannya ada di tangan, segalanya masih saja belum berujung pada keberhasilan. Setelah beberapa waktu berselang, akhirnya tantrumnya mereda. Yang kemudian membuatku semakin khawatir justru semua keterangan Adrian mengenai pekerjaannya yang mengarah ke Mahmoud.

Aku nggak tahu mengapa Adrian nggak mencoba mencari tahu siapa model kedua incaran perusahaan yang mempekerjakannya. Mungkin dia terlalu takut untuk mencari tahu. Takut merasa kalah, merasa tak cukup baik, dan sebagainya. Menurut Adri, Stevan hanya mengatakan dia seorang pendatang baru yang tiba-tiba muncul dan menarik perhatian banyak orang. Berbakat alami, berpenampilan sederhana, memesona tanpa harus banyak berusaha. Sangat cocok dengan image yang sedang dibangun brand fashion pria ternama itu. Mereka memang mencari wajah-wajah baru. Adrian termasuk wajah baru karena selama ini dirinya kurang diperhitungkan meski sudah malang melintang di dunia yang sama. Namun—masih kata Adri—dia belum cukup mewakili. Orang misterius ini bahkan mampu membuat perusahaan sebesar itu meninjau ulang pilihan yang sudah mereka putuskan.

Aku curiga orang yang dimaksud Stevan itu Mahmoud. Dia bisa saja sudah bertemu dengan Mahmoud mengingat dia dan modelnya tinggal bersama. Jahat sekali kalau dia sengaja nggak bilang-bilang ke Adri. Dia manajernya, dia pasti tahu kondisi emosional Adrian yang terpukul karena pekerjaan besar pertamanya tahu-tahu meragukannya.

Sore ini, aku memacu mobilku dari vendor menuju apartemen tanpa terlebih dulu kembali ke kantor. Riana bilang, Mahmoud tiba-tiba nggak mood di-test make up dan dipertemukan dengan seorang penata gaya yang akan secara intens mendidiknya sebelum hari pemotretan untuk mengiklankan tracksuit tiba. Dia bilang kepalanya tiba-tiba pusing. Seharian Mahmoud murung, kata Tam. Kupikir aku harus segera mengeceknya. Hal ini terlalu aneh kalau dibilang kebetulan. Apa yang mereka bicarakan di pantry?

"Moud...," aku mengetuk pintu kamarnya yang tertutup. Hari sudah petang ketika aku berhasil mencapai tempat tinggalku. Di tanganku, sudah kubungkus dua porsi nasi goreng supaya kami bisa makan malam bersama. Mahmoud menyahut, kemudian wajahnya yang kusut masai muncul dari balik pintu. "Hai..., kamu udah makan malam?" tanyaku dengan senyum lebar penuh agenda. Mahmoud memaksakan diri membalas senyumanku lalu menggeleng. "Aku boleh masuk?" tanyaku.

Mahmoud mengangkat bahunya yang terpapar, seolah bilang 'ini kan rumahmu.'

Anyway, dia begitu senang berkeliaran tanpa menutupi bagian atas tubuhnya. Apa dia nggak tahu seseksi apa otot-otot dada dan lengannya itu? Bukan hanya perempuan yang bisa bikin hati berdesir kalau telanjang dada, pria seksi sepertinya juga bisa. Saat melewati tubuhnya yang sengaja hanya dimiringkan di ambang pintu, kami berhadapan begitu lekat sampai-sampai aku berpikir untuk mengecup bibirnya.

"Riana bilang—"

Mahmoud memotong ucapanku, "Saya hanya sedang nggak ingin dipegang-pegang," katanya jujur.

Tak ayal aku tertawa kecil sebelum menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Tawa kecil itu segera lenyap saat dengan perasaan khawatir yang nggak kubuat-buat, aku memandangi wajahnya. Kasihan, Mahmoud. Pastinya melelahkan mengerjakan sesuatu yang nggak diinginkannya hanya untuk terus bisa berdekatan dengan perempuan yang disukainya. Aku menghampiri dan menyebelahi duduknya di tepi tempat tidur. Mahmoud berjengit ketika aku meletakkan punggung tanganku di keningnya dengan lembut. "Nggak sakit, kan?"

Dia menggeleng.

"Mau ngasih tahu aku kenapa kamu berpikir kamu sedang akan dipegang-pegang?" tanyaku dengan nada jenaka. Mahmoud menarik sudut bibr kanannya, lalu menunduk memainkan jari-jari di pangkuannya. Dia sedang merajuk. "Apa benar itu yang bikin kamu malas?"

Bibir bawah Mahmoud tergigit saat kepalanya menoleh pelan kepadaku, seperti ada yang ingin ditanyakannya, tapi tak sampai hati.

Jujur saja, jantungku berdebar lebih cepat melihatnya bersikap begitu. Apa yang ingin dikatakannya? Semakin hari, aku semakin khawatir Mahmoud tak bisa menahan diri mengungkapkannya perasaannya. Itu akan sangat merepotkanku mengingat saat ini aku sedang benar-benar butuh bantuannya. Apa bijaksana menipu perasaannya supaya aku bisa terus memanfaatkannya?

"Apa, Moud?" tanyaku sambil meraih dan menggenggam tangannya. Seperti biasa, Mahmoud langsung menyambutnya tanpa ragu seolah dia memang sudah menunggu-nunggu sentuhanku. "Bilang, dong. Albert dan Gio sudah memberitahumu mengenai proses-proses yang harus kamu jalani sampai saatnya kita harus meluncurkan prod—"

Lagi-lagi dia memotongku, "Sudah."

"Lalu? Kamu berubah pikiran?"

"Tidak," jawabnya cukup tegas, tapi tetap meragukan. Cukup lama sampai kemudian aku meyakinkannya bahwa dia boleh terang-terangan mengatakan kepadaku apa yang menjadi keberatan-keberatannya. Aku menduga itu ada hubungannya dengan bagaimana Adrian membuka pintu geser pantry, tapi ternyata dugaanku meleset. Setelah meneguk ludah, dia bertanya, "Apa yang boleh membuat peraturan dalam hubungan kita hanya Bu Mina saja?"

Aku hanya bisa terperangah.

Mahmoud menjatuhkan bahunya, mengira diamku sebagai jawaban.

Tanganku lantas mempererat genggaman tangan kami, "Enggak, dong," jawabku tenang, padahal dadaku bertalu kencang. Kalau dia tiba-tiba keberatan dengan peraturan 'rahasia'-ku gara-gara cemburu sama Adrian, aku bisa mati berdiri. Tapi, aku juga sadar sepenuhnya, ini harus kuhadapi. "Kenapa memangnya? Ada yang mau kamu tanyakan? Atau... kamu mau mengajukan peraturan lain?"

Mahmoud menggosok punggung tanganku yang digenggamnya dengan gusar. "Sebelumnya, saya mau bertanya dulu, tapi... saya bahkan nggak tahu, saya boleh menanyakan hal ini atau tidak."

Gantian aku yang sekarang menelan ludah tepat saat Mahmoud kembali khidmat dalam tunduknya. Buru-buru aku menguasai diri. Ini permainanku, aku harus memenangkannya. "Please, katakan saja. Nanti kita putuskan hal-hal seperti itu boleh ditanyakan, atau enggak."

Mahmoud tak membuang waktu lagi, "Kenapa Bu Mina tadi pagi bertukar pakaian?"

Tubuhku rasanya meleleh bagai mentega. Jadi memang karena cemburu rupanya.

"Saya tahu pertanyaan ini berkaitan erat dengan peraturan ketiga," sambungnya putus asa. "Tidak ada ikatan berarti saya tidak berhak menanyakan hubungan ibu dengan siapapun, termasuk... Adrian."

"It's okay," ucapku yakin. "Adrian membuat pakaianku kusut," tuturku jujur. Mahmoud meremas tanganku, membuatku meringis. Lalu dia melonggarkannya lagi tanpa meminta maaf. Aku berkata, "Tapi tidak terjadi apa-apa."

Ekspresi lega tak bisa disembunyikannya.

"Peraturan apa yang mau kamu ajukan?" tanyaku tanpa banyak basa-basi.

Mahmoud ragu. Rahangnya bergerak. Setelah kudesak, akhirnya dia bilang sambil memandangiku malu-malu, "Tidak boleh ada orang lain selama saya dan ibu menjalani hubungan dengan tiga peraturan sebelumnya."

Aku terdiam. Sebenarnya, peraturan yang diajukan Mahmoud jelas sudah kontradiktif dengan peraturan ketiga. Akan tetapi, sekaligus masuk akal. Bisa saja hubungan lainku selain dengannya adalah hubungan resmi, dan itu menjadikan hubungan kami melenceng menjadi hubungan perselingkukan. Di sisi lain, aku juga tahu bukan itu maksud Mahmoud. Dia hanya nggak mau aku tidur dengan sepupunya.

"Deal," ucapku.

Wajah Mahmoud seketika berseri-seri.

Malam itu, kami makan malam bersama di ruang tengah sambil menonton televisi. Aku mencegah Mahmoud mencuci piring karena nggak ingin dia merasa harus melakukanya. Sebagai gantinya, dia membuat pop corn di atas kompor, bukan dengan microwave. Dia bilang pop corn adalah salah satu camilan sehat yang nggak bikin gemuk. Kami kembali duduk berdekatan di sofa, entah sejak kapan kemudian bersentuhan dan dia memelukku erat. Sewaktu adegan film yang kami tonton semakin panas, kurasakan sentuhan Mahmoud menjadi lebih intens dan sensual.

Kami bercinta di sofa itu.

Dua kali.

Di versi Wattpad, part 41 nanti sama sekali nggak ada adegan mature, ya. 

Kalau mau baca Rate mature part 41 dengan adegan yang sama sekali nggak ada di wattpad, bisa dukung di karyakarsa. Usia kamu paling enggak harus udah 18 tahun untuk baca part 41 special ini, ya.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro