41. Morning Feast (Special Part)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cerita ini versi premiumnya udah update sampai part 72, ya, di Karyakarsa.
Part 71-72 ini part special sekaligus extended part. Tau kan artinya special part apa? 🤭
Yang baca Karyakarsa-nya nungguin special part, cuz meluncur.

Yang di Wattpad, views-nya masih lumayan, tapi vote-nya makin males. Aku ntar update kalau vote-nya minimal udah 500 aja, ya? 

"Bu Mina...."

"Yaaa...?"

Ya-nya selalu terdengar panjang dan manja, seolah menyilakanku membuka pintunya. Tapi sebagai pria terhormat yang menyepakati perjanjian, aku tak pernah melakukannya. Aku selalu menunggu sampai dia sendiri yang membukakan pintu, atau harus menelan kecewa jika ia memutuskan memperdengarkan suara serak basahnya saja dari dalam. Pagi ini aku beruntung, dia membuka pintunya.

Dan aku tahu sekali, kenapa pagi ini aku mendapat keberuntungan ini.

"Udah mau berangkat?" tanyanya dengan senyum segar sehabis mandi, rambutnya masih basah, wajahnya berkilau sehat. Selembar handuk membelit sebatas dada hingga entah sampai bagian mana karena tertutup daun pintu yang ditahannya. Aku mengangguk sambil menjaga pandanganku tetap sejajar dengan matanya. "Jangan lupa, yah? Nanti Jamie datang lagi, mau test make-up. Jangan nggak mood lagi, ya, Moud? Nanti aku temani. Okay?"

Kepalaku mengangguk lagi, kali ini sedikit menunggu adanya tambahan keberuntungan, tapi Bu Mina cuma mengangkat bahu telanjangnya. Dia membuka kelopak matanya lebih lebar, lalu menggerakkan kepalanya seolah bilang 'tunggu apa lagi?'

Akupun mundur, memutar langkahku ke kiri dengan gerakan kaku seperti robot yang membuat tawanya pecah renyah dan menggelitik. Sebelum mencapai pintu, dia memanggil namaku lagi, "Nanti kalau kamu bisa selesai lebih awal, langsung pulang duluan, yah? Jemput aku jam delapan. Aku jalan naik taksol aja."

Senyumku mengembang lebar sekali. Sewaktu aku berbalik, senyum itu sudah pudar. "Mau kemana?" tanyaku tenang.

"Kencan," jawabnya pendek. "Mau, kan?"

Kali ini mustahil menahannya. Bibirku sudah tak dikendalikan oleh otakku, dia bergerak sendiri, terkulum. Malu-malu. Pipi Bu Mina merona melihatku bersikap seperti bocah culun yang ditembak bintang kelas di sekolahnya. Lompatan gembiraku untungnya masih bisa kutahan sampai pintu di balik punggungku kututup.

Waktu kupercepat sampai pukul delapan malam. Seharian rasanya nggak penting untuk diceritakan. Intinya, alisku tercukur rapi oleh asisten Mas Jamie. Wajahku terlihat jauh lebih bersih dan terawat hanya dengan sentuhan kecil itu. Rambutku digunting-gunting sedikit, diratakan panjang pendeknya. Ada beberapa jenis krim yang harus rutin kupakai setiap pagi dan malam hari sebelum tidur. Aku juga diminta rutin mencukur rahang dan kumisku setiap hari dengan shaving kit darinya, meski rambut wajahku tumbuh sangat lambat dan biasanya baru kurapikan seminggu sekali. Aku hanya mandi dan mengganti bajuku sebentar di apartemen, lalu kembali ke kantor lagi. Aku menunggu di sebuah kedai kopi tak jauh dari sana sambil menunggu komando Bu Mina kuterima di telegram rahasiaku.

"Kok nggak nunggu saya nutupnya?" tanyaku sambil tergopoh menghampirinya yang baru saja selesai berjongkok untuk memutar kunci gembok.

"Nggak apa-apa, sekarang udah biasa," katanya, sambil mengedipkan sebelah mata indah yang dipulas perona dan penegas garis tepi mata. Sudah biasa karena terlalu sering menyuruhku pulang duluan lalu kembali untuk menjemputnya setelah semua orang meninggalkan kantor. Mas Gio dan Mas Albert yang dulu selalu protes kalau aku dikasih pulang awal sekarang bahkan sudah nggak pernah menyoalnya lagi.

Bu Mina menerima uluran helm dari tanganku dan memakainya. Dia lalu menyodorkan kepala supaya aku bisa membantunya mengaitkan strapping di dagunya seperti biasa. Inginnya aku mencolek dagu panjang itu seolah dia pacarku, tapi kurasa Bu Mina nggak akan menyukainya. Rautnya selalu pias setiap kali aku bersikap seperti seorang kekasih, misalnya mengecup keningnya setelah kami sama-sama orgasme.

Kami hanya saling melempar senyum.

Hari ini, dia pakai celana panjang. Kalau malamnya nyuruh aku pulang duluan, dia selalu siap dari pagi mengenakan celana dan blazer sebagai pengganti jaket berkendara. Di lain hari, dia lebih sering memakai rok mini yang bikin dadaku berdebar, atau rok ketat selutut yang meski tak memperlihatkan bentuk paha kencangnya, tetap saja memberikan efek yang sama di dadaku. Dan walaupun sudah tak terhitung lagi seberapa sering ia melingkari pinggangku dengan erat di atas motor, aku masih melayang seperti kali pertama.

"Petugas keamanan gedung tadi ngirim pesan ke WA-ku, Moud," katanya di atas motor waktu kami berhenti di depan lampu merah. Punggungku mundur sedikit, dada Bu Mina melawannya. Darahku berdesir. Tubuh kami menempel lekat, seakan aku bisa menggambarkan corak penutup dadanya hanya dengan perasaanku saja. "Mobilku katanya parkirnya kurang lurus, bikin lahan di sebelahnya nggak bisa dipakai orang."

"Kenapa tadi nggak ngasih tahu saya?" tanyaku, mempertemukan tatap di spion kiri.

"Kuncinya kebawa sama aku, Moud. Nanti saja lah, dipindah berdua," jawabnya. "Kamu mau makan apa, Moud? Kamu boleh milih mau ke mana malam ini, aku yang traktir."

"Kenapa saya ditraktir?" tanyaku basa-basi, seolah aku pernah gantian nraktir kecuali waktu kami makan di warung nasi goreng tengah malam kala itu.

"Karena kamu udah mau bantu aku terus, tadi juga test make up sama trial fotonya sukses. I am so proud of you, Mahmoud. Jamie bilang... kamu berbakat dan natural. Awalnya memang kaku, tapi gampang diarahkan."

Bu Mina membawaku ke restoran masakan Jepang. Dia memesankan semuanya untukku karena aku nyaris nggak tahu apa-apa selain bahwa sushi itu terbuat dari nasi dan ikan. Setiap kali makanan itu datang, dia akan menjelaskan ulang apa-apa saja kandungan menu yang akan kami santap. Tentu saja, nggak satupun kupedulikan. Rasanya enak atau aneh juga aku nggak terlalu bisa menilai dengan objektif. Apa saja yang kusantap bersamanya selalu enak. Aku hanya peduli pada wajah ayunya yang berseri-seri jika berada di dekatku, atau caranya membasahi bibir setiap selesai menghirup teh hijau tawarnya.

"Minggu depan, track suit kita udah jadi, lho, Moud," katanya senang, pipinya menggembung terjejal salmon segar. "Aku nggak sabar nunggu sesi pemotretan sama kamu."

"Ibu nggak sabar, saya grogi setengah mati," kataku bergidik, urung menyuap ramen. "Apalagi nanti yang motret bukan lagi Mas Gio, atau Mas Albert. Kata Pak Jamie bakal didatangkan fotografer profesional. Kalau saya nggak bisa ngimbangin Bu Mina, apa jadinya?"

Aku bisa menduga, keluhan seperti ini akan selalu membuat tanganku hangat karena digenggam penuh kelembutan.

"Kamu pasti bisa. Kalau nanti butuh penyesuaian-penyesuaian dulu, itu wajar. Aku sampai sekarang juga masih suka gitu. Bayangkan saja betapa besar kontribusi bantuanmu buatku, yah? Pasti kamu semangat. Nanti kalau perusahaan kita makin besar, kita udah nggak perlu lagi... (ini, itu, ini)... kamu juga bisa (itu, ini, itu)...."

Pengulangan-pengulangan yang sama sampai aku hafal di luar kepala. Kalau saja dia tahu, yang membuatku bersemangat hanya perasaan dibutuhkan olehnya, selain reward-reward lain yang layak dinantikan. Di luar itu, aku merasa hidup dalam kotak jebakan. Kalau aku mau keluar, aku nggak akan bisa lagi makan keju yang disediakan di dalam sangkar. Jika perusahaannya lebih sukses, itu artinya kotak itu akan dibuka dan aku nggak punya pilihan selain keluar. Jadi jelas, tujuanku bukan kemajuan perusahaannya, tapi tanpa kemajuan perusahaannya, tujuanku tak akan bisa tercapai.

Lima menit sebelum restoran tutup, Bu Mina membayar tagihan dengan kartu kreditnya, lalu kami berkendara pelan-pelan menyusuri jalanan kota yang mulai lengang. Sesekali, aku mencuri pegang tangannya, pura-pura mengecek dia ketiduran, atau enggak. Bu Mina akan mencubit perutku untuk memberitahu dia masih terjaga. Aku berjalan bersisian dengannya menuju parkiran mobil setelah menyimpan motorku.

"Ibu nunggu di luar saja, paling sebentar," kataku, tanpa memahami maksud tersirat yang diberikannya jika ia ingin bercinta. Dia minum sake tadi. Sedikit, tapi minum. Aku enggak. Aku lebih takut menyentuh alkohol dan babi karena lebih mudah kuhindari, dan lebih memilih dosa bercinta karena sulit sekali kutolak. Sewaktu mobil selesai kupindah hanya dengan sedikit memaju-mundurkan ban, mesin kumatikan. Aku bergeming penuh harap karena Bu Mina bergeming. Pada hitungan yang sama kami saling melirik, memandang, lalu maju dan berciuman. Ketika cumbuannya memanas, aku mengungkit mundur kursiku, dan Bu Mina melompat duduk di pangkuanku.

Blazer itu sudah ditanggalkannya sejak dia turun dari motorku, tinggal sehelai blus tipis yang menghalangiku dari kulitnya. Aku meraba payudaranya dengan berani, menemukan tepi penutup dada di balik blusnya yang masih rapi dan menariknya turun. Bibirnya memagut bibirku lebih kuat saat puncak dadanya yang sudah sekeras batu terdesak mundur oleh tekanan ibu jariku. Aku membalas lembut cumbuannya yang penuh gairah, berusaha mengambil alih pucuk kepemimpinan yang biasanya dia pegang. Bibirku terus bersikeras memijat lembut bibirnya, menggulung santai lidahnya yang mengajakku menari lebih cepat, sampai akhirnya ia paham dan mengurangi tempo permainannya. Aku ingin bercinta dengan lembut malam ini, meskipun kami melakukannya di tempat yang berbahaya.

"Ibu yakin mau beginian di sini?" tanyaku terus terang.

"Kecuali kamu nggak mau," jawabnya dengan wajah penuh harap.

Aku nggak mau? Yang benar saja? Apalagi kalau dia bertanya dengan pipi merona malu seolah aku pernah berkata tidak pada kemauannya saja, aku malah jadi semakin ingin. "Saya cuma mengingatkan, kita sudah di sini, sedikit lagi sampai rumah. Kalau ibu nggak kuat jalan, saya bisa... umph!"

Dia merengkuh tengkukku, membungkam mulutku dengan ciuman yang terburu-buru. Sayangnya, karena entakan tangannya terlalu kuat dan aku sedang dalam posisi kurang siaga, gigi depanku terantuk bibirnya dan membuatnya menarik mundur kepalanya sambil menutup bibirnya. Kami tertawa.

"Luka?" tanyaku. "Biar saya lihat...."

Bu Mina membiarkanku menyingkirkan tangannya dan menarik bibir bawahnya dengan ibu jari dan telunjukku. Matanya yang bisa kurasakan terus mengawasi gerak-gerikku saat memeriksa bibirnya membuat jantungku seperti berdisko. Biasanya, aku yang selalu diam-diam memandanginya begini. Dari jauh.

Setelah kupastikan tak ada luka dan manik mataku kembali bertemu inti matanya, perempuan itu memejam, merapatkan wajahnya pada wajahku dan menggesek rahangnya di pipiku. Aku mengecupi tepi daun telinganya, menyusuri leher jenjangnya dengan menggeser bibirku ke bawah. Kancing blus terakhirnya tanggal olehku, tercabut dari tepi pinggang celananya tanpa terburu-buru. Kuraba lembut punggungnya sambil menggigit pelan dagunya yang runcing. Dia menyumpal paksa bibirku dengan ciuman begitu kait penutup dadanya terlepas. Jari-jarinya mencengkeram bahuku, napasnya pendek-pendek. Dia menyebut nama kecilku dalam rintihan, meresponse sentuhanku yang merayap lambat dari balik punggung ke depan, memijat lembut kedua belah payudaranya yang padat. Bu Mina mendesah, merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku memeluknya, menghidu aroma wangi tubuhnya. Pinggulnya bergoyang, aku mengerang. Sewaktu otakku sibuk memikirkan bagaimana caranya melepaskan celana panjang itu dari kakinya dalam ruang sesempit ini, tiba-tiba tenggorokanku tercekat.

Part 41 ini juga special part, lho.

Isinya lebih mendebarkan di Karyakarsa. Tapi kamu harus udah 18 tahun ya buat baca. Soalnya Rate-nya Mature. 

TAMBAHAN INFO PER AGUSTUS 2022 TENTANG DUKUNGAN DI KARYAKARSA

Buat kamu yang belum tahu, sekarang dukung karya di karyakarsa kalau lewat aplikasi, harus top up saldo koin dulu. Koinnya juga cukup mahal.

SOLUSINYA:

1. Buka akun karyakarsaku lewat web (Browser, kayak google chrome, atau browser yang ada di Hp atau laptopmu.) Link Karyakarsaku ada bio wattpad/ instagram.

2. Lakukan dukungan via web saja. Setelah dukungan kamu lakukan, baru baca di aplikasi (atau langsung di web juga nggak apa-apa)

3. KENAPA?

Sebab, di web kamu masih bisa mendukung per part dengan Rupiah menggunakan e-wallet (Shopeepay, DANA, OVO, transfer bank, dsb) seperti biasa.

Di WEB kamu juga bisa TOP UP saldo koin dengan harga jauh lebih murah dan sesuai konversi 1 koin=100 rupiah

Jadi di aplikasi, kamu kalau beli 200 koin (Senilai 20ribu rupiah) itu seharga 29ribu rupiah. Di web, harganya tetap 20ribu rupiah.

Jadi saranku, supaya kamu tetap bisa akses karyaku dengan mendukung sesuai harga yang kuberikan, dukunglah via web saja. Atau kamu bisa beli koin di web, lalu koin itu bisa dipake beli via aplikasi, dan kamu bisa baca di aplikasi.

Terima kasih,

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro