42. Fresh Oyster

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wattpad mau diupdate lagi? Kutunggu 500 votes aja.

***
Part 73-75 dan 76- 77 sudah ada di karyakarsa
Buat kamu yang dukung part 76-80 nanti, kamu bisa jadi first reader untuk bab-bab awal dua cerita baruku yang judulnya Swing dan Factory Romance.

Udah baca special part 41?

Seru? Hahaha

Part 42 ini nggak special, sih, tapi adegan hot di mobilnya jelas jauh lebih lengkap di Karyakarsa daripada di sini. Di sini cuman 1200an kata, di sana 3000an kata lebih. Siap-siap kepanasan di karyakarsa, ya?

***

Seperti memperlakukan karyawan pada umumnya, tak ada yang bisa membuat mereka setia kecuali reward yang pantas. Mahmoud juga sama. Bedanya, aku tahu benar, uang saja tidak cukup. Dia melakukannya untukku. Reward terbaik untuknya tentu saja diriku sendiri. Sejak malam sebelumnya, saat Gio cemas Mahmoud bakal tantrum lagi dan menolak di-test make up padahal Jamie sudah mewanti-wanti nggak akan sudi datang ketiga kalinya kalau Mahmoud membatalkan janji kedua, aku sudah merencanakan sesuatu. Aku akan menyenangkan hatinya. Aku tahu aku sudah cukup membuatnya tenang dengan menyanggupi persyaratan baru dalam hubungan rahasia kami, tapi kupikir itu saja belum cukup. Aku ingin membuatnya melupakan sejenak tekanan pekerjaan yang membebaninya seharian sebab itu belum apa-apa dibanding jika masa-masa promosi sudah tiba. Kami akan membutuhkan kesediaan Mahmpud untuk dedikasi yang lebih besar, lebih serius, dan berpotensi membuatnya lebih kesal karena harus mengerjakan hal yang tak disukainya. Berfoto dengan Albert yang paling sebentar-sebentar saja, aku harus terus berada di dekatnya. Dia memang tak pernah meminta, tapi pekerjaannya selalu lebih cepat selesai kalau dia tahu aku ada di sana.

Masalahnya, malam ini aku justru sedikit kelewat batas.

Ini bukan sake-nya, kok, aku minum sedikit sekali. Ini murni karena Mahmoud. Aku selalu menyukai keluguannya yang dulu kuanggap agak norak. Bagaimana dia membuka mulutnya saat aku menyuapinya sebutir demi sebutir sushi dan mengangguk-angguk mendengar penjelasanku, tapi tetap nggak bisa membedakan apa saja yang sudah masuk ke mulutnya membuatku gemas dan... yah... horny. Lalu sewaktu aku ingat dia masih harus memindahkan mobil, tiba-tiba saja aku sudah duduk di kursi penumpang, padahal aku hanya perlu menunggu sebentar saja di luar. Kupikir aku akan membuat Mahmoud gugup, tapi dia menanyaiku dengan tenang apa aku yakin ingin melakukannya di sini?

Yang jelas, kecuali pada saat-saat pertama kali, aku hampir tak pernah mendapati Mahmoud ragu-ragu. Sentuhannya tak pernah menyendat, apalagi terhenti. Ia terus maju, seakan tak kenal kata mundur. Oleh karenanya, ketika tekanan tangannya di pinggulku yang menggesekkan kedua alat vital kami tiba-tiba terhenti, aku refleks menarik wajahku dari lekuk lehernya dan mengecek ekspresi wajahnya.

Mahmoud mematung.

"What is it, Moud?" tanyaku.

Aku menengok ke balik bahuku, tapi dia menahannya. Suaranya bergetar saat dia menyebut nama Adrian. "Mau apa dia tengah malam begini ke tempat ibu?"

Ibu. Itu artinya Mahmoud sudah memutuskan, permainan berakhir sampai di sini. Aku segera melompat dari pangkuannya dan membenahi kancing-kancing blusku. Tatapan Mahmoud masih saja terpancang lurus ke depan, ke arah pintu lift yang tertutup rapat. Aku meneguk ludah, dia pasti udah mikir yang bukan-bukan. Ini bisa bahaya. Lagian ngapain, sih, Adrian malam-malam pakai ke sini segala?

"Kamu di sini dulu, ya, Moud?" ucapku hati-hati, sentuhanku di bahunya baru membuat Mahmoud terhenyak dan menoleh. Alisnya menukik. "Aku akan mengurus Adrian, kalau dia udah pulang, aku hubungin kamu, Ok—"

"Malam-malam begini?" serobotnya. "Saya nggak yakin dia akan pulang selarut ini, dia pasti bersikeras menginap. Dia menginginkan sesuatu. Peraturan saya waktu itu—"

Aku gantian menyerobot dengan agak frustrasi, "Aku paham peraturan waktu itu, aku bisa mengatasi Adrian sendiri."

"Ibu yakin?"

Pertanyaan Mahmoud justru membuatku menjegil dan menyadari betapa mustahilnya keyakinanku barusan. Apa yang dilakukan Adrian pagi itu, saat aku punya alasan untuk segera meloloskan diri saja begitu sulit kutepis, apalagi sekarang? Aku nggak mungkin mau pura-pura ke mana setelah baru kembali, dia juga pasti dengan mudah akan menolak kalau kusuruh pergi. Dia biasa bermalam, entah kami bercinta, atau tidak. Dia sahabatku sekian tahun lamanya—lalu aku terdiam di sana—dia sahabatku sekian tahun lamanya, kataku dalam hati dengan cara ucap yang berbeda. Bisa saja Adrian tidak datang untuk itu. Lebih sering, dia tidak datang untuk itu. Aku juga teringat kembali betapa putus asanya Adrian, mungkin dia hanya membutuhkan teman bicara.

"Aku yakin," kataku akhirnya. "Adrian sedang terpuruk, dia butuh teman bicara."

"Bagaimana kalau dia menginap? Lalu saya?"

Oh iya... aduh, kenapa nggak terpikirkan olehku? Kalau Adri menginap, masalah nggak selesai sampai di situ. Mahmoud mau kutaruh di mana?

"Saya juga akan masuk," tekadnya sekonyong-konyong.

"A—apa?" aku gelagapan mendengarnya. Kok... dia bersikap kayak punya hak untuk melakukan itu, sih? "Moud... ingat, ya...."

"Saya ingat. Peraturan kedua, kan? Oleh karenanya... mungkin seharusnya saya ikut supaya bisa menjelaskan pada Adrian."

"Menjelaskan soal apa?"

"Kemarin saya memberitahunya, bahwa saya tinggal di apartemen Bu Mina. Maaf," katanya. Mahmoud mengambil jeda sejenak melihatku menjatuhkan rahang kehilangan kata-kata. "Saya punya pertimbangan sendiri. Kalau Adrian tahu saya tidur di kantor, atau tak jelas di mana, saya pasti dikejar-kejar orang rumah untuk pulang kampung."

Pulang kampung. Rahangku perlahan mengatup.

"Ibu... tidak bisa membiarkan saya pulang kampung, bukan?" tanya Mahmoud dengan nada rendah, retoris. "Kalau saya pulang kampung, saya nggak mungkin kembali ke Jakarta dalam waktu dekat. Ibu saya bilang, rumah kakek saya nyaris terjual. Itu berarti saya mungkin akan dapat cukup banyak uang untuk membangun bengkel yang saya mau, atau melanjutkan kuliah yang sedikit lagi selesai.... Saya mungkin tidak akan pernah kembali untuk membantu Bu Mina lagi...."

Aku hanya bisa mengedip-ngedipkan mataku seperti boneka tolol. Otakku kayak ke-brain freezed, nggak bisa diajak mikir cepat. Semuanya jadi makin kacau saja sahut menyahut di benakku. Adrian datang. Dini hari buta. Tentu ada kemungkinan akan merayuku, sementara Mahmoud membelitku dengan peraturan yang isinya aku tidak boleh meniduri siapapun selama kami tidur bersama.

"Kamu hanya akan bergabung kalau kekacauan tak bisa kuhindari," putusku setelah mempertimbangkannya baik-baik.

"Kalau kekacaun tak bisa dihindari mungkin sudah terlambat!" bantah Mahmoud sambil berani-beraninya menahan lenganku.

Aku mengibasnya cepat, "Apa sih yang kamu pikirkan?!" bentakku kesal. "Kamu pikir aku sama Adrian cuma gituan? Ingat, ya, Mahmoud... peraturan nomor tiga nggak ke mana-mana, kita nggak punya ikatan apa-apa—"

"Tapi—"

"Aku tahu! Sudah kubilang aku tahu!" sambarku sambil mengepalkan kedua tangan di dekat pipi, geregetan. Mahmoud seketika kembali duduk tegap menghadap ke depan. Kutarik napas dalam-dalam, kuembuskan. "Kamu nggak boleh ya, Mahmoud... ngambil keputusan sepihak kayak gitu. Kamu harusnya nanya-nanya ke aku dulu. Itu berarti kamu melanggar peraturan kita, terus sekarang kamu bolak-balik ngingetin aku soal peraturan yang kamu bikin untuk menyamankan posisimu sendiri. Nggak usah kamu ingetin berkali-kali, aku paham aku punya komitmen!"

Saat mendengar kata 'komitmen', Mahmoud tergemap dan menoleh lambat kepadaku. Aku sendiri ikut-ikutan kaget. Komitmen punya makna yang sangat kuat, aku meneguk ludah gugup saat menyadari aku benar-benang menggunakan kata itu.

"It's a commitment," aku berdeham. "Perjanjian itu komitmen, kan?"

Mahmoud mengangguk, melipat bibirnya yang kuyakin untuk menyembunyikan senyum kemenangan gara-gara aku sendiri yang mengucapkan kata itu. Sial. Dia manis banget lagi ekspresinya. Aku menggelengkan kepala untuk mengusir niat kotorku saat melihat kelucuan Mahmoud. Dia masih bisa kunikmati lagi kapan-kapan, urusan Adrian lebih penting.

"Okay... kamu di sini dulu, ya, Mahmoud," bujukku lembut.

"Nggak, Saya ikut!"

"Mahmoud!"

"Jangan Mahmoud-Mahmoud saya sekarang!" bentaknya meradang.

"Kamu dengar nggak sih aku ngomong apa dari tadi?"

"Saya nggak peduli!" tandasnya lebih tegas dariku. Mukanya merah. Mataku membola menatapnya. Cemburu sudah menguasainya. Dia merangsek maju dan merampas tanganku yang baru saja menyentuh handle pintu untuk membukanya. "Saya nggak ingin Adrian nyentuh ibu lagi!"

Aku meringis, pergelangan tanganku agak dipelintir.

"Pagi itu dia berusaha melakukannya, kan?" tanya Mahmoud seraya mengguncang tanganku. "Meski kata ibu nggak terjadi apa-apa, dia mencoba melakukannya, kan? Makanya ibu ganti baju, iya, kan?! saya nggak mau itu terjadi malam ini! Saya nggak rela. Nggak ikhlas. Biar saja dia tahu kita tinggal bersama, ibu pilih dia, atau saya!"

Pilih dia atau saya....

Astaga!

Aku nggak tahan lagi. Kutarik kerah kemeja Mahmoud dan membungkam mulutnya dengan bibirku.

Adrian harus menunggu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro