43. Wild Salmon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Trapping Mr. Mahmoud versi premium sudah sampai part 80 ya di Karyakarsa.
Versi premium part ini juga ada di sana.

Buat kamu yang ikutin dari part 17 di KK, jangan lupa selalu kumpulin bukti dukungan karena EBOOK versi premium nggak akan kujual bebas. Hanya buat pendukung semua part satuan atau paket di KK. Di sana udah dikit lagi tamat.

Untuk pendukung part 76-80 di karyakarsa, jangan lupa klaim bukti dukungan kalian ke emailku supaya kamu bisa baca teaser cerita baruku yang belum pernah dipost di manapun: Swing.

500 votes ya kalau mau lanjut di wattpad


Adrian menunggu terlalu lama.

Sewaktu akhirnya aku berhasil menyudahi adegan panas berisiko tinggi dengan Mahmoud di dalam mobil dan membujuknya supaya mau memberiku waktu bicara sebentar dengan sepupunya, Adrian sudah hampir... bukan hampir, sudah ketiduran. Aku meniupkan napas pelan, merelakskan bahuku yang agak tegang setelah terburu-buru meninggalkan Mahmoud sebelum ia berubah pikiran. Aku menilik kembali penampilanku, berharap Adrian tidak mencium aroma Mahmoud di bajuku, atau malah langsung curiga aku habis ngapain gara-gara pakaianku berantakan. Pakaianku nggak berantakan, aku sudah merapikannya baik-baik, tapi tetap saja aku gusar.

Kadang karena kami berteman cukup lama, Adrian bisa tahu-tahu saja menyeletukkan kata-kata nakal kalau melihat bajuku agak berantakan. Karena kondisiku MEMANG baru saja berbuat nakal, aku khawatir reaksiku nggak bisa sesantai biasanya. Aku mulai melangkah pelan, meredam ketuk-ketuk stileto-ku yang sempat sepenuhnya terhenti beberapa meter darinya. Adrian terusik, dia memandangiku menghampirinya dengan mata menggelayut ngantuk. Ekspresinya kesal karena kelamaan nunggu.

Aku berjongkok di depannya, meletakkan tas tanganku di lantai, dan mengelus kepalanya seperti mengelus seekor kucing. Adrian masih cemberut. "Ngapain kamu malam-malam ke sini nggak bilang-bilang dulu, hm?"

Adrian mencekal pergelangan tanganku, "Did you, or did you not have sex with my cousin?" tembaknya langsung.

Untung sekali, ini termasuk sudah kuprediksi. Bukannya menjawab, atau geragapan, aku lebih memilih menatap mata Adrian seolah itu hal paling goblok yang kudengar darinya. Aku menutup mataku rapat, membuang napas lelah, dan memelintir pergelangan tanganku agar terlepas darinya. Kemudian aku berdiri dan meninggalkannya untuk membuka pintu.

"Aku serius, Minuuul!" erang Adrian sambil tahu-tahu melompat ke arahku tepat saat pintu apartemenku terbuka. Aku menyingkir, Adrian yang sepertinya agak teler terhuyung masuk dan nyaris terjerembab di lantai. Dia berbalik cukup cepat dan mengembalikan keseimbangan tubuhnya sementara aku ikutan masuk menutup pintu di balik punggungku. Beberapa lampu apartemen yang terhubung dengan cardlock menyala.

"Jangan mulai!" ancamku sebelum Adrian mulai bicara lagi. Aku berjalan cepat melewatinya, agak ngeri kalau dia menubruk lagi. Tapi, dia hanya mengekoriku ke dapur dan melipat tangannya selama aku mengambil sebotol air dan meminumnya langsung. Mahmoud akan memarahiku kalau dia melihat ini. Dia selalu mengambilkanku gelas setiap kali aku melakukan kebiasaan yang menurutnya buruk.

"Mahmoud bilang dia tinggal di sini sekarang. Mana dia? Apa dia cuma membual?" tanya Adrian tanpa basa-basi. "Dari mana aja kamu sampai larut begini baru pulang?"

Aku pura-pura sangat kaget dengan pertanyaan Adrian, kusentuh dadaku dan kubuka mulutku lebar-lebar, "Waaah... sejak kapan, ya, kamu peduli jam berapa aku pulang? Beberapa hari ini aja kita jarang ngobrol karena kamu sibuk sama kerjaan barumu. Sudah berapa kali aku ngajak kamu nemenin aku ke pertemuan ini, itu, tapi kamu bilang harus jaga image karena sebentar lagi bakal jadi model brand terkenal? Apa aku pernah mempersoalkannya?"

"Apa karena itu juga kamu bawa Mahmoud pulang? Karena aku nggak bisa ngasih apa yang kamu butuh dariku?"

"Adri!" bentakku, tersinggung beneran. "Kamu ngomong apa, sih? What we have is nothing special. You said that all the time. Kita hanya teman, seks itu hanya sebuah bentuk pertolongan satu sama lain, pelipur lara jiwa-jiwa gelisah yang nggak mau repot-repot memupuk tanaman asmara. Bla. Bla. Bla. Lagian... nggak sesering itu, ah, kita saling bantu. Kamu lebih sering menolakku, sementara di antara sangat sedikit kali kamu membutuhkannya, aku selalu menyanggupi. Nggak usah bicara seolah aku butuh kamu, ah. Aku nggak pernah butuh siapapun, apa lagi cuman soal begituan. Nggak ada hubungannya juga sama Mahmoud!"

"Jadi benar dia menginap di sini?"

"Hanya sementara," kataku akhirnya. Percuma juga kututup-tutupi. Kalau Adrian mau tantrum di sini, dia nggak akan pulang dalam waktu cepat, dan Mahmud-cepat atau lambat-akan nggak sabar dan ke sini juga. "Salah siapa, ya, anak nggak ngerti apa-apa di Jakarta kamu lepas sendiri, pake pergi nggak bilang-bilang!"

"Aku bilang, kok!"

"Iya, tapi kamu pergi lebih awal dari omonganmu sebelumnya. Di mana dia mau dapat tempat tinggal baru secepat itu?"

"Terus?"

Aku mengerutkan alis, terus apa? Kupikir penjelasanku tadi sudah cukup meyakinkan.

"Terus kenapa solusinya mesti tinggal di sini? Kamu nggak bisa minjemin dia duit buat nyari kosan di Jakarta, yang cepat, dan dekat? Pasti banyak, kok. Atau... membiarkannya pulang membangun desa, misalnya? Ngapain dia di sini? Toh, cuman jadi pesuruh, menuh-menuhin ibu kota. Kayak kamu nggak bisa nyari pesuruh lain secepatnya aja. Ini kita ngomongin pesuruh, bukan staf ahli, atau apa yang sampai harus dipertahankan sebegitunya. Kenapa kesannya sepintas itu jalannya, ngajak tinggal pesuruh di apartemen mewah CEO? Makanya aku nanya, did you... or did you not... sleep with Mahmoud?"

"Aku cuman mandang kamu, Adrian," bualku. "Dia sepupumu. Dia-"

"Kalau kamu mandang aku, mestinya kamu nanya dulu ke aku. Pantas enggak kamu ngajak sepupuku tinggal di apartemenmu," katanya sambil melompat duduk ke island table-ku. "Atau... kamu punya alasan lain yang bikin kamu nggak punya pilihan selain ngajak Mahmoud tinggal bareng? Sesuatu yang... lagi-lagi nggak kamu diskusiin ke aku?"

"Aku nggak harus diskusiin semua hal ke kamu," kataku cepat sambil menyimpan botol ke dalam kulkas, padahal sedetik sebelumnya aku masih sangat kaget dengan ketajaman Adrian. Entah itu tajam, atau ada hal lain yang sudah dibagi Mahmoud padanya tanpa kutahu. "Aku capek, kamu mau pulang enggak?"

"Enggak," tegasnya. "Mana Mahmoud?"

"Masih di luar, mindahin mobilku."

"Kalian tidur bersama?"

"Enggak."

"Kalau gitu, aku bisa tidur sama kamu, kan?"

"Aku lagi nggak kepingin."

"Kapan kamu pernah nggak kepingin?"

Aku menarik napas dalam-dalam mendengarnya, tapi alih-alih marah seperti yang seharusnya kulakukan, aku hanya menarik tas tanganku sambil mengadu tatapan dengannya. Adrian langsung tahu sudah salah ucap, dia melompat turun dari meja, meraih lenganku dan mengentaknya sehingga langkahku tertunda, "Aku nggak bermaksud ngomong gitu," katanya. "Aku juga mau minta maaf soal pagi lalu."

"Okay, permintaan maaf diterima. Silakan pulang, nggak ada kamar buatmu di sini. Aku juga lagi nggak kepingin tidur dengan siapapun."

Soalnya aku barusan melakukannya dan aku capek setengah mati ingin segera mandi dan tidur.

"Miiin," Adrian masih berusaha mencegahku, lenganku tak dilepaskannya.

"Gini, ya, Adrian... kamu tahu aku, aku nggak punya banyak teman karena masa laluku. Aku nggak percaya sama orang, kamu hanya sedikit dari orang yang bisa kupercaya. Aku mencurahkan isi hatiku, hasratku... ke kamu, bukan berarti isi kepalaku hanya itu-itu saja. Okay? Maaf, aku nggak bilang apa-apa soal Mahmoud. Harusnya dia diam dan setelah dia dapat tempat tinggal, nggak ada yang perlu tahu soal ini-"

"Kenapa?" dia masih nanya.

"Kenapa apanya?!"

"Kenapa Mahmoud mesti tinggal di sini?" ia menjelaskan maksudnya yang sebenarnya sudah kupahami. Aku hanya nggak paham kenapa hal itu begitu mengganggu Adrian. Apa dugaanku mengenai Stevan benar? Aku belum sempat mengorek keterangan dari Mahmoud karena aku nggak boleh memecah konsentrasinya dari pekerjaan. "Kenapa kamu jadiin dia brand ambassador perusahaanmu?" Adrian akhirnya menembak tepat ke sasaran. "Kenapa bukan aku?"

"Oh... kamu?!" suaraku melengking, tombol emosiku barusan kayak habis ditekan gitu aja. Aku siap meledak. "Kamu yang selalu menganggap membantuku di HBM sebagai kerjaan main-main, nggak serius, nggak bisa naikin pamormu itu?"

"Ya, tapi kenapa Mahmoud?!" serobotnya tanpa kelihatan tertarik menyerap betapa menyakitkannya kata-kata itu buatku sendiri. Aku jatuh bangun merintis pekerjaan ini, Adrian selalu menganggapnya sebagai salah satu mainanku hanya karena papiku kapan saja bisa memberiku perusahaan baru kalau yang ini runtuh. Dia selalu menganggap pekerjaan apapun yang ditawarkan padanya lebih menarik dari tawaranku, sesekali membantu pun, dia menganggapnya urusan pertemanan, bukan hal profesional.

"Kenapa memangnya sama Mahmoud?" tantangku. "Mahmoud sangat pas buat image perusahaanku-"

"Mahmoud sangat pas?" serunya memotong. "Setahuku selama ini kamu selalu ingin perusahaanmu kelihatan mentereng, elegan... Healthy Life by Mina, you always know... kesehatan cuma privilige orang-orang menengah ke atas. Kamu hire Mahmoud jadi pesuruh, Mina! Kamu sendiri juga tahu dia nggak cocok sama image perusahaanmu! Apa yang bikin tiba-tiba Mahmoud pantas untuk semua ini?"

"Because it doesn't work, okay? Lepasin tanganku!" seruku jengkel sambil mengibas tangan Adrian dari lenganku dengan kasar. "Image yang kupertahankan bertahun-tahun sejak perusahaan itu kurintis nggak berhasil, okay, Adrian? Are you happy now? Lalu tiba-tiba Mahmoud datang ke kantorku sebagai pesuruh..., kamu pikir aku senganya? Enggak. Mahmoud dengan kesederhanaannya tanpa dia sendiri sadari memberi tim marketingku ide baru yang brilian. Kalau kamu nanya, kenapa bukan kamu? Ya memang nggak bisa kalau bukan Mahmoud. Harus Mahmoud, it's nothing personal! Gara-gara dia, semula lapisan masyarakat mulai melirik perusahaanku. Kami membuatkan Mahmoud cerita-"

"Cerita apa? Cerita pesuruh yang naik pangkat jadi brand ambassador, lalu apa lagi?"

"Apa ada yang salah dengan itu?"

"Mr. Mahmoud," Adrian mulai mencemooh. "Norak."

Aku tergemap, tapi reaksiku kemudian hanya tertawa kering. "Exactly, itu juga yang kupikirkan, tapi aku ternyata salah, tuh. Semua orang ternyata menyukai Mr. Mahmoud. Mereka bisa channeling sama Mahmoud yang kerja sebagai pesuruh, yang dari kampung, yang bicaranya kaku... Mahmoud ngasih mereka inspirasi bahwa menjadi sehat bukan privilige orang-orang berduit aja. Mahmoud ngasih kami pasar baru, Adrian."

"Ya... Mahmoud sepertinya nggak hanya ngasih ide buat perusahaanmu saja."

"Maksudmu?"

"It's nothing personal my ass," cibir Adrian makin nggak masuk akal. Dia berjalan mondar-mandir mengelilingi dapurku, bahunya tegang, rahangnya mengetat, napasnya memburu. Aku nggak ngerti apa sih maksudnya dengan menuduh keputusanku memilih Mahmoud jadi brand ambassador sebagai sesuatu yang personal. "Kalau Mahmpud bukan sepupuku, kamu nggak akan milih dia, kan?"

"Kalau dia bukan sepupumu yang lagi butuh kerjaan apa saja, aku nggak akan jadiin dia pesuruh. Iya. Tapi soal jadiin dia ikon baru kami, itu nggak ada hubungannya sama sekali. Kamu menganggap keputusanku ini ada kaitannya sama kamu?"

"Kalau nggak ada, kenapa kamu nggak bilang apa-apa sama aku?"

"Kenapa aku harus bilang sama kamu?"

"Aku-"

"Mahmoud sudah gede, dia sudah bisa mikir sendiri, kamu bukan orang tuanya, walinya, kamu bahkan nyuruh dia pergi gitu aja dari apartemen kamu. Aku nggak melihat korelasi dari semua ini, di mana signifikansinya aku mesti ngomong sama kamu dulu kalau aku mau Mahmoud kerja sama aku!"

Aku hanya nggak bilang ke Adrian karena menurut Gio dan Tam, kalau Adri tahu, dia bisa aja ngasih ide Mahmoud untuk nge-charge banyak uang ke kami. Namun jelas, yang dimaksud Adrian di sini bukan itu. Ini lebih pribadi, lebih sentimentil, dan aku nggak mau menerka karena dugaanku bisa saja meleset terlalu jauh.

"Kupikir bukan itu, bukan, bukan itu," racaunya.

Aku diam menanti.

"Mahmoud bikin pekerjaanku terancam musnah, Mina! Kamu sengaja melakukan ini supaya aku hancur dan terpuruk karena kamu kesal aku selalu menolak permintaanmu!!! Dan Mahmoud... dia melakukannya karena dia ingin tidur sama kamu!!! Dia mau merebut apa yang jadi milikku!!!"

Hah?

Apa?

Barusan aku nggak salah dengar?

Terima kasih buat yang mau dukung, ya...

Buat yang ngintip doang sejauh ini, nggak mau dukung atau sekadar vote di wattpad, apalagi komen, semoga motor atau mobil yang kamu pakai jalan selalu kena lampu merah 😆🤪😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro