49. Extra Spicy Ramen Noodles

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Trapping Mr. Mahmoud versi Premium sudah terbit part ending-nya. Part 100. Di karyakarsa.

Next, aku akan posting 10 extra parts yang nggak akan kuposting di manapun selain Karyakarsa.

Versi Wattpad akan kupost per part paling cepat seminggu sekali sambil aku posting cerita lain. Which means, sampai part 100 kemungkinan paling cepat selesai tahun depan.
Setelah itu, part 51-100 akan kuhapus.

Selain di Wattpad, aku juga update lebih cepat di KBM.

Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, aku akan kasih versi wattpad langsung tamat di karyakarsa kalau part premium udah selesai supaya kita bisa sama-sama baca extra parts TMM.
Kalau kamu mau membaca lebih cepat, part lanjutan dari part 50 sampai dengan part 100 sudah kupost di Karyakarsa dan kamu bisa unduh sekaligus hanya dengan 85K

Part 47 yang kupost di KBM dan grup FB juga ada di sana. 

Kalau kamu dukung part lanjutan ini di Karyakarsa, lalu dukung semua extra parts di Karyakarsa, kamu akan dapat PDF Kumpulan Extra Parts Trapping Mr. Mahmoud.

Ps. Aku nggak cetak TMM dalam bentuk novel.

Terima kasih

Kin

Aku meninggalkan apartemen sebelum Bu Mina bangun.

Setelah apa yang kukatakan semalam, aku nggak tahu harus menghadapinya seperti apa pagi berikutnya. Bagaimana kalau tidak tahan ingin mencium bibirnya, atau memeluk tubuh seksi yang biasanya hanya mengenakan selembar kaus dan celana dalam keluar kamar menjemput secangkir kopi buatanku? Sebagai lelaki, aku harus memegang teguh kata-kataku, tapi yang namanya gairah kadang lebih kuat berbicara, kan?

Mungkin ini cara terbaik yang bisa kulakukan untuk menjaga jarak dengannya. Berharap dia membalas perasaanku jelas tak mungkin, selama ini dia hanya menggunakanku untuk melampiaskan hasrat saja. Satu-satunya hal yang membuatku yakin tidak terjadi apa-apa antara dirnya dan Adrian semalam mungkin adalah peraturan yang kubuat untuk diriku sendiri. Namun, aku sendiri nggak yakin, benarkah tak terjadi apa-apa di antara mereka semalam?

Bagaimana kalau terjadi apa-apa?

Bagaimana kalau memang Bu Mina lebih memilih Adrian setelah aku bersikap sentimentil seperti semalam? Aku akan kehilangannya, tentu saja. Aku tak akan bisa punya harapan untuk berdekatan, atau menyentuhnya lagi. Satu-satunya ikatan kami selanjutnya hanya hubungan profesional. Dia masih membutuhkanku untuk mempromosikan produk-produknya, tak lebih dari itu. Memangnya apa lagi motifku berjanji padanya untuk terus membantu kecuali supaya aku tetap merasa dibutuhkan olehnya? Tak ada. Aku masih tak menyukai pekerjaan sebagai model, meskipun aku tak membencinya seperti dulu.

"Mas Sigit Handam Almahmoudi?"

Suara seorang perempuan yang muncul dari balik pintu mendongakkan kepalaku yang sejak tadi menunduk. Aku mengangguk membenarkan bahwa itu namaku. Dengan senyum manisnya, dia memintaku mengikutinya masuk. Kami berjalan beriringan menyusuri lorong yang membawaku ke sebuah ruangan lain. Di dalamnya terdapat setting fotografi yang sepertinya habis dipakai belum lama ini. Aku menelan ludah pahit saat mataku berkeliling memindai peralatan-peralatan profesional di dalamnya. Beberapa kamera besar dan tampak sangat mahal masih terpasang di tripod-tripod yang menyorot ke satu titik di tengah background pengambilan gambar. Umbrella reflector, lampu softbox, lampu studio yang berdiri dan menggantung di langit-langit tertata sedemikian rupa dan membuatku merasa terlalu percaya diri berada di sana.

Memangnya aku sanggup berdiri di tengah sana, tersorot lampu yang sangat terang dan panas tanpa Bu Mina berdiri mengawasi di samping Mas Gio atau Mas Albert? Ya, Tuhan... apa yang kulakukan di sini? Sebutir keringat dingin meluncur mulus di keningku. Sok jagoan banget kamu, Mahmoud! Hanya karena kamu sudah terbiasa difoto di studio kecil dan berbicara di depan kamera (kadang malah cuma di depan kamera iPhone) bersama orang-orang yang terus mendukungmu demi kepentingan mereka, kamu pikir semudah itu mengambil tempat Adrian yang sudah menekuni profesi ini selama bertahun-tahun?

"Mas Mahmoud," perempuan yang tadi menyentuh bahuku.

Aku menoleh gugup sambil meringis, "Mbak... ini kalau orang-orangnya belum datang, saya pulang saja, ya? Kayaknya saya nggak sanggup... tolong bilang ke Mas Stevan... saya mengundurkan diri gitu. Saya panas dingin ini, Mbak... lihat tuh, tangan saya... basah!"

Perempuan itu melongo menyaksikanku gemetaran sambil menunjukkan telapak tanganku yang basah. Detik berikutnya, baru dia tertawa sambil menutup mulutnya dengan map yang sejak tadi ditentengnya. Kegugupanku perlahan menyisih, aku jadi agak tersinggung diketawain begitu. "Kenapa, ya? Mbak udah sering lihat calon model mengundurkan diri karena gugup?"

Dia masih ketawa, tapi kali ini sambil mengangguk. "Saya cuma nggak nyangka aja, Mas Mahmoud segitu gugupnya," katanya genis sambil menowel lenganku. Aku menarik lengan yang dicoleknya sambil memelotot. Berani sekali baru kenal sudah colak-colek. "Biasanya sih kalau model-model itu gugup, ya sudah... paling nanti terbiasa sendiri. Nggak ada yang gugup sampai batalin kerjaan, bisa ribet nanti urusannya, Mas. Lagi pula... kenapa Mas Mahmoud gugup? Bukannya Mas Mahmoud udah sering foto-foto buat akun instagram? Mungkin secara profesionalitas sangat berbeda, Mas... tapi soal model... cuman tinggal penyesuaiin diri sedikit, kok."

"Saya belum dapat pekerjaan apa-apa, kok, Mbak. Baru mau diambil fotonya buat ditunjukkan kepada klien saja."

"Ya... semua yang ikut agensi ini juga mengalami proses yang sama, Mas Mahmoud. Relaks saja. Nanti kalau sudah... saya boleh ya foto bareng, sekalian minta tanda tangan?"

Aku mengernyit. "Mbak ngeledek saya?"

"Saya sudah lumayan lama follow instagram Mas Mahmoud, lho.... Semalam saya sudah pamer di WA grup teman-teman saya bahwa hari ini ada jadwal pemotretan dengan Mr. Mahmoud. Kalau saya nggak dapat foto bareng dan tanda tangan, saya bisa sedih banget. Yah? Sekali jepret aja, selfie. Atau sekarang saja, Maaas?"

"Lydia...!"

Hufff... syukurlah. Stevan muncul dari pintu di belakang kami dan menghentikan aksi pemaksaan oleh Mbak-Mbak yang ternyata bernama Lydia itu. Sehabis dihardik, bibirnya yang dipoles gincu berwarna pink lembut mengerucut sebal. Sewaktu Stevan menyuruhnya pergi dengan isyarat tangan, dia masih berusaha mengontak mataku sambil menunjukkan ponselnya. Maksudnya, mau minta selfie itu tadi barang kali.

"Bentar, Bos, bentar! Mas Mahmoud... nanya, dong... emang Mas Mahmoud beneran office boy?" tanyanya sambil menangkis tangan Steven yang terus mencoba mendorongnya keluar dari ruangan.

Aku hanya melempar senyum kecut melihat mereka berdua adu mulut sebelum Stevan berhasil mengusirnya dari studio, lalu mengunci pintu sambil tertawa malu padaku. Aku menyengir lega. Aku tuh dari dulu paling nggak bisa menghadapi wanita yang pemaksa. Sebenarnya... segala jenis wanita membuatku mendadak jadi penggugup. Setiap kali ada perempuan agresif mendatangiku, tubuhku pasti langsung lemas. Waktu aku masih duduk di sekolah dasar, aku menolak masuk sekolah selama seminggu gara-gara kakak kelas perempuanku menungguku di depan gerbang setiap hari dan memaksaku mengantarnya pulang karena dia naksir padaku. Makanya, aku nggak banyak punya hubungan kekasih. Aku butuh didekati, tapi kalau terlalu agresif aku jadi geli. Beda dengan cara Bu Mina mendekatiku. Dia melakukannya dengan cara yang elegan, lagi pula dia sangat cantik, seksi, menggairahkan—

Hentikan, Mahmoud! Kamu sudah tidak boleh memikirkannya dengan cara seperti itu.

"Gimana Mas Mahmoud...?"

"Eh... oh, iya, gimana, Mas?" Nah kan... aku jadi kayak orang bego, apa aja yang dia omongin tadi? Aku nggak dengar. Yang jelas, pagi ini aku menyanggupi ajakan Stevan—manajer Adrian—untuk mencoba dulu audisi dengan klien yang juga sudah mengikat Adrian dengan kontrak kerja. Ini bukan berarti aku menyanggupi perjanjian kerja sama dengan mereka. Aku hanya ingin melihat-lihat dulu saja. Kalau ini caranya supaya Adrian kembali mendapatkan pekerjaan itu, aku akan melakukannya. Mungkin dia akan marah dan kesal, tapi semoga dia memahami maksud baikku. Stevan sudah berjanji akan menjelaskannya juga pada Adri.

"Saya bilang... karena Mas Mahmoud khawatir akan sangat gugup, bagaimana kalau kita ambil gambar berdua saja? Sebenarnya, kami ada fotografer profesional yang sudah siap, tapi kalau Mas Mahmoud nggak berkenan... sama saya saja juga bisa. Beberapa foto saja, lalu selesai."

"Oh... kalau bisa begitu, ya begitu saja, Mas," kataku langsung setuju. "Oh iya... Mas sudah menghubungi Adrian? Saya nggak ingin terjadi kesalahpahaman."

"Saya sudah mencoba menghubungi, Mas... tapi Adriannya belum menjawab panggilan saya. Mungkin dia masih tidur. Atau... Mas Mahmoud mau menunggu sampai Adrian bangun? Bisa sampai siang sih, Mas. Semalam saja... saya kurang tahu jam berapa Adrian pulang. Tapi... bukannya Mas Mahmoud harus cepat-cepat berangkat ke kantor?"

Oh iya... aku menilik arlojiku. Sudah hampir pukul delapan. Aku sudah menaruh pesan di selembar post-it yang kutempelkan di pintu kulkas, tapi tetap saja... aku tidak boleh berlama-lama. Aku hanya bilang, ada sesuatu yang harus kukerjakan di luar. Mungkin nanti aku akan menjelaskannya kalau Bu Mina bertanya. Aku masih belum terlalu yakin akan tanggapannya mengenai keputusanku ini. Apakah ini akan mengganggu urusanku dengan perusahaannya? Seharusnya tidak, kan? Aku toh tidak terikat kontrak apapun. Aku juga sudah mengatakan pada Stevan bahwa syarat utamaku adalah diperbolehkan tetap bekerja di kantor Bu Mina, yang berarti aku harus tetap diizinkan memosting foto-foto produk HBM di akun instagram pribadiku. Dia bilang dia akan membicarakannya dengan klien besar itu.

Aku diminta berganti pakaian sesuai yang disiapkannya. Seorang perempuan yang bukan Lydia, tapi juga sama saja, mencuri fotoku diam-diam saat aku sedang telanjang dada (aku sudah memohon supaya dia menghapusnya, sebagai gantinya aku mau berpose selfie bersamanya), membantuku memilih kostum dan menata rambutku. Baru kali ini aku dibeginikan sama penggemar, kalau aku boleh menyebut mereka begitu. Biasanya paling-paling yang menggodaku bibi-bibi kantin karena aku memang nggak pernah ke mana-mana selain apartemen dan HBM. Karena penasaran, aku mengintip akun instagramku dan tercengang. Pengikutku sudah mencapai 250ribu, padahal minggu lalu belum mencapai angka 200k. Jumlah pesan yang menawariku kerja sama dan tidak pernah direspons oleh Mas Gio atau Mas Albert juga mencapai ratusan. Mereka hanya menjawab beberapa pesan dari pengikut yang menyatakan dukungan saja dan sesekali mengunggah ulang apa yang mereka bagikan di sana dengan menyebut-nyebut nama akunku. Biasanya kalau mereka membeli produk HBM gara-gara melihatku mempromosikannya.

"Luar biasa, nih, Mas Mahmoud... begini katanya kurang percaya diri di depan kamera. Bagaimana kalau percaya diri?" puji Stevan sembari meneliti monitor kamera yang digunakan membidikku selama nyaris satu jam belakangan. Dia memintaku berganti pakaian sebanyak tiga kali dan nyaris mau melanjutkannya kalau aku tidak mengingatkan bahwa aku harus segera pergi. "Ini benar-benar cocok sekali dengan kriteria yang dicari klien saya. Kalau Mas Mahmoud bersedia mengambil tawarannya, saya yakin nama Mas Mahmoud di dunia male model akan melejit. Banyak sekali pendatang baru yang mengincar pekerjaan ini, lho, Mas. Mas Mahmoud sudah membaca draft kontrak yang saya kirimkan? Nominal yang ditawarkan oleh mereka bisa dua kali lipat lebih besar dari yang diberikan pada Adrian—"

"Saya harus segera pergi, nih, Mas," kataku sambil mengaitkan butir kancing terakhir kemeja yang kukenakan. "Mas tahu bukan uang yang menjadi pertimbangan saya. Saya hanya ingin Adrian mendapatkan pekerjaannya. Bagaimanapun... dia sepupu saya, Mas. Saya tidak tega melihatnya tertekan kalau pekerjaan ini nggak kunjung jelas gara-gara saya. Saya juga belum mengambil keputusan apa-apa. Saya harus membicarakannya dengan Bu Mina."

"Oh... ya... tentu, tentu saja, Mas Mahmoud. Saya yakin Wilhelmina nggak keberatan, kecuali... mereka bisa membayar lebih tinggi dari klien saya," katanya sambil tertawa dan menyisihkan kameranya.

Aku meninggalkan kantor Stevan tepat pukul sepuluh pagi. Ponselku sudah ramai dengan panggilan tak terjawab dari orang kantor yang kebingungan mencariku. Aku baru menjawab salah satu pesan setelah duduk di motor butut dan mengenakan helm ketika pesan terbaru dari Bu Mina muncul di layar ponselku.

Kamu ke mana aja sih, Moud??? Pergi nggak bilang-bilang, di kantor nggak ada. Jahat banget kamu bikin aku kayak gini?! Aku benci kamu, Mahmoud!

Hah?

Aku mengecek pengirim pesan itu sekali lagi dan keningku makin mengernyit. Bu Mina ngomong gini? Kakiku menendang starter motor karatan yang lantas menggerungkan mesin bututku yang bunyinya seperti kentut. Kutarik gas di tanganku dalam-dalam, tapi dasarnya motor tua... aku merasa rodanya berputar lebih lambat daripada jika aku berlari dengan dua kakiku ke kantor. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro