50. Waffle Maple

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai...

Malam ini karena ada yang ujug-ujug mampir cuma buat ngatain cerita ini cerita mesum, aku dobel update, ya!

Hahaha

Go thanks to her.

Anyway, pembaca mesumku, Extra Part Trapping Mr. Mahmoud sudah terbit di Karyakarsa, ya.

Extra Part ini hanya akan di-post di karyakarsa, lho. Buat kamu-kamu yang mesum dan pendukung semua part lengkap, beberapa extra part akan dibagikan gratis. Untuk bukan pendukung lengkap, jika kamu mendukung semua extra part (sepuluh part) akan dapat PDF TMM khusus extra part.

Makasih ya dukungannya pembaca mesumku baik yang baca di wattpad, karyakarsa, atau KBM.
Di KBM udah sampai part 65 juga ya.

Love,

Kin

Dapur pagi tadi terasa dingin. It's definitely lack of something, dan aku langsung tahu apa yang kurang. Mahmoud. Kegantengannya sudah menyatu dengan dapurku setiap pagi, penyegar buat mataku yang masih mengantuk, jadi ketika aku menyongsongnya dari depan kamarku dan aksesoris itu tak tampak sibuk di sana sebagaimana biasa, pagiku terasa ganjil. Aku memaksakan diri menikmati kopi yang ditinggalkannya sambil terbengong, pagi sekali dia berangkatnya? Pasti karena kejadian semalam.

Siapa sangka dia juga tak ada di kantor?

Ponselku masih ada di tangan Tamara yang dengan lancang mengetik pesan untuk Mahmoud. Aku mengerang saat berhasil merebut dan membaca apa yang ia kirimkan. Mana mungkin aku ngomong dengan nada begitu ke Mahmoud? Itu sih bahasa chat-nya Riana kalau pacarnya telat datang menjemput. Aku yakin Mahmoud akan makin menjauh kalau membaca pesan begituan.

Masalahnya aku nggak bisa berbuat apa-apa. Mahmoud tidak membalas pesan atau menjawab panggilan siapapun sejak dia nggak muncul di kantor pagi ini. Setumpuk track suit yang hari ini harus dicobanya teronggok di meja kerjaku, kami terancam rugi ratusan juta rupiah. Kalau Mahmoud menghilang, perusahaan akan bangkrut, dan aku terpaksa memecat semua orang untuk menutup biaya produksi. Okay, aku bisa saja meminjam uang Papi, tapi itu berari utangku akan semakin menumpuk, dan kredibilitasku dipertaruhkan.

Albert menggaruk pelipisnya di seberangku. Satu-satunya orang yang masih tetap bisa menjaga wibawanya dalam kondisi genting. Dia juga yang berhasil membuatku menguak segala misteri yang ternyata bercokol di kepala mereka selama ini. Kenapa orang seganteng Mahmoud, pernah mengenyam sekolah tinggi meski nggak lulus, dan ternyata sangat cepat belajar diajari macam-macam mau jadi pesuruh. Itu bahkan belum terlalu aneh buat mereka. Yang lebih aneh justru mengapa orang berpendirian sekuat Mahmoud akhirnya rela disuruh macam-macam dan nggak protes dibikinin akun pribadi yang nggak pernah boleh disentuhnya kecuali untuk melihat-lihat saja.

Untuk menyingkat cerita, mereka berhasil menginterogasiku, aku tak berkutik dan terpojok gara-gara syok mendapati kemungkinan Mahmoud melarikan diri setelah mengungkapkan perasaannya kepadaku semalam. Aku sudah menghubungi Adrian untuk menanyakan apa saja yang dikatakannya ke Mahmoud tanpa sepengetahuanku, tapi sama saja, telepon dan pesanku tak direspons. Kemungkinan, Mahmoud sangat kecewa padaku dan pulang kampung. Apa lagi kalau bukan karena Adrian mengadu? Aku sangat panik, hari ini jadwal pemotretan pertamanya. Sewaktu mereka mendesakku, aku mulai meracau dan membocorkan semuanya.

"Jadi karena itu Mahmoud nurut banget selama ini? Karena Mbak Mina diam-diam macarin dia?" Gio bertanya setelah membersihkan kedua sudut matanya dengan jari dan memakai kacamata berbingkai hitamnya kembali. Sejak tadi, seperti biasa, dia yang paling tajam menuduhku dengan dugaan-dugaan yang sangat tepat sehingga aku makin nggak bisa mengelak. Kali ini pun, meski nggak sepenuhnya benar, aku hanya bisa mengerutkan alis menyesali perbuatanku.

Yang bekecamuk di dadaku sekarang ini bukan hanya setumpuk tracksuit dan ancaman gagal produksi, kerugian di depan mata, atau rasa malu yang akan kuderita jika lagi-lagi aku harus memohon bantuan papi. Dalam keadaan marah tadi, aku menyebut-nyebut usahaku mendekatinya, dan apa saja yang sudah kuberikan pada Mahmoud supaya ia mau melakukan apa saja yang kami mau. Seolah dia pergi tiba-tiba itu adalah sebuah kecurangan, padahal semua itu nggak benar. Mahmoud nggak pernah kubuat berjanji untuk tinggal jika dia mau meniduriku, kami melakukannya suka sama suka. Meskipun dia sepertinya tahu arah dan tujuanku karena dia bukan lelaki bodoh meskipun agak lugu, tapi sebenarnya aku akan tetap tidur bersamanya kalaupun dia bersikeras mau kerja di kantor ini hanya sebagai pesuruh. Aku tidur dengannya karena dia memang bisa memuaskanku, dia ganteng, dia seksi, dan menyenangkan. Dia boyfriend material kalau saja aku nggak terlalu angkuh dan tak ingin direpotkan oleh urusan asmara yang kutakutkan akan melukaiku lagi tak ubahnya beberapa tahun lalu. Kalau sekarang ini dia pergi... itu salahku, bukan salahnya.

"Mbak...," Tamara mengusikku.

"Aku nggak macarin dia," kataku lemah.

"Mbak bobok bareng tapi, iya?" tanyanya, yang disambut helaan napas tertahan oleh dua orang atasannya. Buat para pria, mereka nggak perlu menanyakannya lagi. Itu sudah pasti, tapi buat Tamara lain. Dia ingin tahu sedetail-detailnya.

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Kutatapi bergantian tiga orang staf yang saat ini mengelilingiku dengan gesture seragam, melipat tangan di depan dada, menantiku mengakui kesalahan dan bersiap menghakimiku. Leherku seakan patah ketika aku mengangguk pasrah, dan meskipun aku yang jelas-jelas habis menarik napas panjang, merekalah yang mengembuskannya kuat-kuat secara bersamaan.

"Aku udah curiga beberapa hari belakangan ini. Mahmoud berkelit terus setiap kutanya di mana sekarang dia tinggal," ungkap Gio dengan suara parau. "Sekarang, apa alasan Mahmoud menghilang? Mbak sudah periksa kamarnya tadi pagi?"

"Mahmoud tinggal di apartemen Mbak Mina?" Tamara memekik. "Padahal dulu aku mau kos di sana sebulan aja nggak dikasih."

Nggak ada yang peduli.

"Aku nggak meriksa. Kupikir ya dia udah berangkat duluan karena malam sebelumnya kami agak berselisih paham."

"Berselisih paham karena apa?" Ternyata Albert tertarik juga.

"Yang penting sekarang bukan itu," aku mencoba berkelit saking malunya. "Gimana caranya kita tahu dia ada di mana dan menyeretnya kembali ke sini—"

"Justru itu kita perlu tahu ada apa dengan Mahmoud, apa motifnya pergi secara tiba-tiba, tanpa pamit, tepat di hari di mana dia harus rehearsal untuk pemotretan. Mbak Mina sudah bikin perkara profesional ini jadi urusan personal, setelah sekarang kita semua tahu motif Mahmoud melakukan semua ini... kita nggak bisa mengabaikan alasannya tiba-tiba menghilang. Kita harus cari tahu dulu akar permasalahannya, nggak bisa langsung tarik kesimpulan. Di mana Mahmoud sekarang mungkin bisa kita ketahui dari sumber masalahnya," tutur Albert panjang lebar, runtut, dingin, tajam, dan menghakimi.

Aku sebagai tersangka cuma bisa menelan ludah. "Adrian," ucapku akhirnya.

"Jealousy," gumam Gio. "Artinya cuman Mbak Mina yang bisa mengembalikan Mahmoud ke sini, kami nggak bisa bantu. Ini memang urusan personal—"

"Sejak awal juga memang nggak profesional," balasku. "Dari awal aku pengin kita mengontraknya sebagai model secara profes—"

"Jangan memutarbalikkan fakta gitu, dong, Mbak," sergah Tamara berani. Ini nih yang aku sebal dari memimpin perusahaan kecil—lagi-lagi—batasannya suka nggak jelas antara bos sama bawahan. Mana ada sih bos dibeginiin anak buah? Aku cemberut, tapi Tamara nggak menggubrisnya. "Awalnya kan Mas Mahmoud emang nggak mau jadi model, tiap kita bujuk terang-terangan... dia makin mundur. Lalu kita pakai cara lain, cara manipulatif, memanfaatkan kebaikan hati dan keluguannya, tapi nggak pernah tuh kita pakai cara-cara yang personal... kayak yang Mbak Mina lakukan."

"Mbak Mina tuh suka sama Mahmoud atau memang bener-bener ngelakuin itu supaya Mahmoud mau ngerjain semua yang kita suruh?" Gio menambahi sementara aku belum sembuh dari sesak napas setelah Tamara memberondongku dengan segenap fakta yang mencoreng mukaku pakai lipstik merah menyala.

Aku menunggu serangan selanjutnya karena itu tergolong pertanyaan yang sangat sulit mengingat aku sendiri nggak tahu jawabannya, tapi ketiganya malah terdiam dan menunggu. "Can we focus on the real problem now?" tanyaku, mengubah nada suaraku menjadi serius dan berwibawa. Aku juga meniru gesture andalan Papi kalau beliau mulai terdesak, menyandarkan punggung di sandaran singasana sambil mengaitkan jari jemari di depan dada. "Aku salah, aku tahu, sekarang apa solusinya? Kalian cuma mau menghakimi aku aja? Nggak ada yang lebih minat mikirin sebanyak apa kerugian yang akan kita derita kalau Mahmoud nggak segera dibawa kembali dan menyelesaikan kewajibannya?"

"Dengar... kalau aku... aku nggak punya masalah dengan cara Mbak Mina membujuk Mahmoud," Gio angkat bicara. "Menurutku... itu tetap suatu hal yang profesional, dilihat dari kepentingan kita yang mendesak. Segala cara memang layak diupayakan kalau kita menengok kembali apa saja yang kita dapat sejak Mahmoud bergabung. Aku nggak akan menghakimi itu, masalahnya sekarang... Mbak Mina harus tahu... Mahmoid itu sudah jadi incaran di mana-mana. Mbak tahu apa yang menyekat mereka dari Mahmoud? Karena kita memegang semua akun media sosialnya, tapi sekali mereka bisa mencapai Mahmoud tidak melalui itu... aku khawatir kita nggak akan bisa mendapatkan Mahmoud kembali kecuali dengan cara ini."

"Cara apa?"

"Ya itu tadi... cara yang udah Mbak Mina lakukan selama ini."

"Menurutku juga begitu," Albert menimpali, dia tampak berpikir keras dengan alis mengerut dan jemari yang memijat bibir bawahnya. "Ini bukan masalah personal, ini sangat profesional. Mbak Mina harus tegas memilih Mahmoud dibanding Adrian, kalau memang itu yang Mahmoud inginkan. Mbak... nasib kita semua... ada di tangan Mbak Mina!"

"Tapi Adrian sahabatku."

"Saat ini... Adrian cuman sepupu yang cemburu karena 'sahabat'nya direbut," kata Gio, padahal aku nyaris nggak menjelaskan apapun perihal perselisihan semalam. Aku hanya mengernyit melihatnya membuat tanda kutip saat menyebut kata sahabat. Habis ini mereka bakal menganggap semua pria yang bersahabat denganku otomatis sudah tidur denganku. Untungnya, aku nggak punya sahabat lain selain Adri untuk dianggap demikian.

"Ke mana Mahmoud kira-kira?" Albert melanjutkan berpikir keras.

Tamara menggigit bibirnya. "Pulang kampung?" terkanya nggak yakin. "Mas Mahmoud pernah mau pulang kampung waktu itu, kan?"

"Cuma supaya aku melakukan sesuatu untuk mencegahnya," sahutku percaya diri, habis... cepatnya Mahmoud mengiakan tawaranku waktu itu membuatku berpikir demikian. "Menurutku nggak pulang kampung... mungkin ke tempat Adrian...?" aku bermonolog sendiri. Aku nggak bisa memikirkan kemungkinan apapun selain itu, Adrian membocorkan apa yang kami lakukan semalam, Mahmoud marah, kemudian mereka malah bersekongkol melawanku.

Tepat saat kami bertiga sibuk-sibuknya memikirkan ke mana Mahmoud pergi, pintu kantorku diketuk. Riana muncul di depan pintu sambil menunjukkan layar ponselnya, "Mbak... aku tahu Mahmoud ada di mana! Dia di agensi-nya Mas Adrian!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro