51. Diet Coffee Trick

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Please kindly follow me in social media 😘

Bu Cynthia tengah mengaduk kopinya sendiri, kacamata bacanya melorot ke batang hidung, di lengannya terdapat setumpuk lembaran kertas terjilid yang entah apa isinya. Di antara semua karyawan HBM, Bu Cynthia yang sudah nyaris 40 tahun dan tidak menikah itu memang yang paling kelihatan sangat rajin bekerja. Pagi, siang, sore, bahkan kadang kalau lembur suka diusir-usir, beliau bekerja tanpa lelah di depan layar komputer. Alisnya selalu mengerut, matanya memincing serius. Setiap kali aku dipanggil ke mejanya, yang padahal biasanya buat ngasih slip gaji, rasanya kayak dipanggil mau dipecat. Dia nggak pernah membuat sendiri kopinya karena selalu terlalu sibuk. Bahkan, aku lebih tahu ramuan kopi yang pas di lidahnya dibanding dirinya sendiri. Bagaimana aku tahu? Aku mengingat-ingat racikan setiap kali dia menghabiskan kopinya. Dia nggak mengeluh, dia hanya menyisakannya kalau rasanya nggak sesuai.

Sambil membuka helm-ku di pantri, aku bertanya, "Dua kopi, satu gula, dua krimer? Airnya dari teko, bukan dari dispenser."

"Astaghfirullah, Mahmoud!" Bu Cynthia melonjak kaget, membuatku tak bisa menahan geli sembari mengambil sendok baru dan mencicipi kopi buatannya. Lidahku melelet. Kubuang secangkir kopi buatannya itu ke wastafel. "Kalau bukan kamu yang buang-buang secangkir kopi, aku bakal potong gajinya, Moud!"

"Ke mana semua orang, Bu?" tanyaku saat mengisi sedikit air ke dalam ketel dan meletakkannya di atas kompor.

"Sebagian pada di lapangan, di toko, yang lain... di kantor Mina. Ke mana aja kamu kok baru datang? Semua orang kebingungan."

"Ada urusan sedikit," kataku pendek. Apa Bu Mina tidak membaca post-it-ku? Jam di dinding menunjukkan beberapa menit lagi pukul sepuluh. Jadwal fitting dan rehearsal pemotretanku setengah jam-an lagi.

"Sabar, ya, Moud... draft kontrak kamu sedang di-godog, jangan keburu kesal." Bu Cynthia menepuk bahuku dua kali sebelum mengangkat cangkir berisi kopi buatanku dan pergi meninggalkan pantri.

Sesudah mengganti pakaianku dengan polo shirt hitam beraksen garis hijau dengan logo HBM, aku naik ke lantai dua membawa cangkir kopi krim diet untuk Bu Mina. Sebenarnya, kopi krim diet beginian hanya kubuat by request, atau kadang ya buat begini... kamuflase supaya aku bisa mengetuk pintu kantornya tanpa ada satu orang pun yang curiga.

Mbak Riana nggak ada di mejanya. Aku mengetuk pintu kaca, dari atas bagian pintu yang diburamkan dan dipasangi logo HBM besar, kulihat perbincangan serius di dalam terhenti sebelum Bu Mina memberiku izin masuk. Aku menyengir dengan baki tertenteng di tanganku, kenapa raut semua orang kelihatan sangat tegang?

"Telat banget, Moud, datangnya? Motor mogok lagi?" tanya Mas Albert saat aku baru membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. "Ya sudah... kita lanjutin obrolannya nanti lagi. Langsung ke studio habis ini, ya, Moud. Nggak usah siapin kopi."

"oh—e... iya, Mas," anggukku gugup. "Maaf, Mas... saya telat—"

"Lain kali kalau telat, kamu bisa, lho, Moud... kasih tahu lewat WA atau apa," tukas Mbak Tamara agak ketus seraya mengemasi barang-barangnya di atas meja, termasuk setumpuk tracksuit yang kayaknya harus kupakai untuk pemotretan nanti. Kritikannya membuatku sontak menatap Bu Mina, tapi aku nggak bisa bilang apa-apa. Kalau aku ngomong aku sudah nempelin pesan di post-it, bisa ketahuan kami tinggal bersama. Aku juga nggak kepikiran menggandakan izinku lewat WA, kupikir ya sekali ngasih tahu saja sudah cukup.

Yang lebih aneh lagi, sebelum meninggalkan ruangan, Mas Gio malah menutup roller blind jendela ruangan Bu Mina. Aku diam saja. Mungkin dia nggak tahu Bu Mina secara spesifik memerintahkanku untuk membuka tirai setiap pagi. Dia biasa berdiri di dekat jendela itu sambil mengawasi para karyawan yang letaknya di lantai bawah sambil menggaruk daun telinganya. Biarin saja lah... nanti kubuka lagi.

"Ke mana aja, sih, kamu?!"

Tak urung, aku mengernyit dengan dagu yang secara refleks kutarik ke belakang. Suara Bu Mina terdengar parau dan manja. Sebaris pesan yang menurutku sama sekali bukan gayanya tadi mendadak sinkron dengan sikapnya kali ini. Aku meletakkan bakiku dengan hati-hati, langsung kusimpulkan dia nggak membaca pesan yang kutempelkan di pintu kulkas.

Namun, aku nggak menyangka dia sampai mengitari mejanya, lalu menghampiri dan memelukku. Aku terhenyak sedetik dengan kedua lengan terkulai sementara perempuan seksi yang pagi ini begitu menarik dengan busana kantorannya bergelayut rapat di dadaku. Payudaranya yang terbungkus penutup dada berangka namun empuk sangat tegas menekan tubuhku. Tanpa berpikir dua kali, aku tersenyum nyaman, lenganku mendekap tubuhnya. Enak sekali dipeluk setelah secara tegas kubilang aku menyukainya, rasanya seperti diberi sejuta harapan yang sangat pasti bahwa dia juga ada rasa padaku.

Saat Bu Mina mengendurkan rengkuhannya di leherku, aku tetap mendekap pinggangnya. Dengan satu tangannya dia memukul dadaku, "Sopan kayak gitu?" sungutnya. "Kupikir aku kena ghosting, habis ditembak, lalu ditinggal lari."

Apaan itu ya ghosting? Nggak paham, tapi secara keseluruhan kalimatnya, sih, aku mengerti. "Saya ninggalin pesan di pintu kulkas."

"Aku nggak lihat, Mahmoud!" dia menggeram, memukul sekali lagi, tapi kali ini sambil menubruk dadaku dengan keningnya. Saat wajah ayu itu mendongak lagi, matanya sedikit dilapisi kaca, bibirnya yang basah membuat celah gelap yang tak mempertontonkan rongga mulutnya, begitu menggoda untuk dikuak.

Jantungku, rahangku, otot-otot di sekujur tubuhku secara serempak mengencang, aliran darahku menderu deras. Inginnnya aku mengecup bibir indah yang merengut manja nggak seberapa jauh dariku ini, tapi ya Tuhan... aku ingin menciumnya saat ia sepenuhnya sudah jadi milikku. Persetan aku mau dibilang pungguk merindukan bulan. Kalau aku harus jadi model seperti Adrian untuk setara dengannya dan pantas mendambakannya, akan kulakukan.

"Memangnya saya mau ke mana setelah saya ngomong seperti semalam? Saya sudah bilang... saya nggak akan berhenti membantu Bu Mina... karena itu satu-satunya jalan supaya saya bisa berdekatan dengan perempuan yang saya sayangi setelah saya memutuskan tak ingin lagi hanya jadi pelampiasan hasratnya saja—aduh," Bu Mina mencubit perutku yang relaks sehingga dia bisa menjapit kulitku. "Bu Mina setakut itu saya nggak datang ke kantor tepat waktu?"

Aku nggak mendengar kata atau melihat anggukan kepala. Aku hanya melihatnya memalingkan wajah dengan pipi bersemu dan itu sudah afirmasi positif untuk segala keingintahuanku.

"Ibu nggak ada kepikiran saya cuman telat datang karena saya pakai motor butut?" aku menggodanya lagi, sekarang aku sempat mengencangkan abs sewaktu dia mau mencubit lagi. Tapi lalu aku ditinju. Nggak sakit, enak malah, tapi aku pura-pura meringis. "Ibu takut karena ini hari pemotretan tracksuit?"

"Kalau kubilang nggak hanya karena itu aku takutnya, kamu akan langsung percaya, atau menganggapku hanya mau memanfaatkan kamu aja?" sahutnya, jauh lebih cepat dari dugaanku. Mau tak mau, harapanku meroket sampai harapan itu bisa melihat galaksi bima sakti di luar angkasa. "Aku nggak tahu aku takut kenapa," tuturnya dengan kepala menunduk. Jari jemari lentik yang kukunya digunting rapi dan dilapisi pewarna bening mengilat memainkan kancing-kancing Polo shirt-ku. Aku mencermati gerakan kikuk itu dengan perasaan berbunga-bunga, seperti remaja yang sedang kasmaran. "Aku... boleh jujur?"

"Silakan."

"Jujur... aku memang takut kamu pergi dan menggagalkan semua rencana kami. Kamu memang harapan kami sejauh ini, Mahmoud... tapi... kalau kubilang hanya itu yang kukhawatirkan... aku bohong. Aku... nggak siap kalau kamu pergi sekarang. Aku nggak tahu... apa aku akan siap kapanpun kamu memutuskan pergi."

Sebut saja aku sudah dimabuk asmara, aku buta, nggak pakai akal sehat, aku lelaki lemah yang mudah termakan rayuan, tapi sekarang ini kalau dia menyuruhku mencium kakinya... akan kulakukan. Aku akan melakukan apa saja. Aku menyukainya, menyayanginya, mungkin lebih dari itu dan aku merasa sangat lega karena aku memutuskan mengungkapkannya semalam. Aku rela tidak lagi bisa menidurinya dengan segenggam hasrat yang membuncah tapi menghilang dalam hitungan menit dengannya tanpa perasaan untuk saat-saat bersentuhan seperti ini dengan segenap perasaan. Anganku melayang, serentetan gambaran indah tentang masa depan bersamanya terpampang di benakku seperti gadis belasan yang pesannya dibalas oleh gebetan, tahu-tahu ujung jariku sudah mengangkat dagunya.

Seribu persen aku yakin bibir lembab itu nggak akan berkelit kalau aku mengecupnya. Entah apa yang mencegahku. Berulang kali wajahku maju berpikir untuk melekatkan bibirku di sana, tapi kemudian kutarik, lalu kumajukan lagi sebelum benar-benar kujauhi. Kilat kecewa jelas terbersit di raut Bu Mina, sayangnya aku tak bisa memastikan itu hanya nafsunya yang bicara, atau memang dia menginginkanku dalam bentuk lain, kekasih misalnya. Ketakutannya akan kehilanganku saat ini belum bisa kusimpulkan apa-apa sebab masih ada sejuta motif di balik kedekatan kami saat ini. Akhirnya, aku hanya mengecup keningnya dalam, berharap saat pelukan kami terurai, sesuatu yang mengeras di bawah pinggangku sedikit melunak.

"Dari mana sih kamu sebenarnya, Moud?" tanyanya.

"Eng... motor saya... harus dibawa ke bengkel," jawabku, aku mengerling pada roller blind. Sewaktu aku membukanya, bayangan wajah Bu Mina yang mengernyit di pantulan kaca jendela bikin aku menyadari posisiku cukup rumit. Belum lagi, di bawah, Mas Gio dan Mas Albert kupergoki sedang berkasak-kusuk dan buru-buru melihat ke arah lain begitu jendela Bu Mina terbuka olehku. Aku berbalik lambat, Bu Mina mengerjap dari tatapannya yang menyorot padaku penuh selidik.

"Foto kamu tersebar di media sosial," katanya.

Astaga, secepat itu?

"Ya, tadi saya mengembalikan draft kontrak yang pernah diberikan Stevan pada saya setelah ngurus motor," aku berbohong lebih cepat dari kecepatan cahaya. "Di sana ada ibu-ibu yang mengajak saya ber-swa-foto. Katanya mereka pengikut saya di instagram. Apa fotonya akan merusak citra HBM?"

"Oh... of course not," ujar Bu Mina sambil menggeleng dan tersenyum dengan ekspresi agak berlebihan. Dia lantas menyadari sudah berlebihan, berdeham, dan dengan salah tingkah mengetuk-ngetuk meja, kemudian berjalan mengitarinya. Duduk di atas singasananya. "Gimana kalau kamu siap-siap untuk berfoto—"

Pada saat bersamaan, aku sedang mencoba memuaskan rasa penasaranku, "Kenapa ya tadi Mas Gio menutup jendelanya?"

"Ehm... mungkin dia pikir lebih baik nggak ada orang yang lihat kalau aku sedang memarahimu."

"Oh...," aku mengangguk-angguk sambil menggaruk bagian belakang kepalaku. Masuk akal juga. Tentunya tadi dia sudah sangat marah. "Kalau begitu... saya keluar dulu. Em... kalau hari ini saya menjalankan tugas dengan baik... apa saya boleh minta sesuatu?"

"Apa itu?"

"Malam ini... saya ingin mengajak Bu Mina berkencan...."

"Berkencan?" Bu Mina menarik sudut bibir kanannya. "Hmmm... bukannya kamu bilang... kamu nggak akan menyentuhku lagi, dan berniat mendekatiku dengan cara yang lurus?"

"Justru itu. Saya mengajak ibu berkencan lurus. Tidak ada seks, hanya kencan pendekatan biasa."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro