52. Steamed Prawn

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini sampai 3 Juni, bukuku Max and Anna lagi diskon sampai 55% dalam rangka ultah penerbit.
Belinya bisa di beberapa olshop. Aku ada share di story instagram, atau kamu juga bisa cek di instagram penerbit naratama.

Anyway, extra part TMM sudah sampai bagian 4 ya.

Aku nggak tahu Mahmoud berkata jujur atau bohong. Dia nggak pernah menyebut-nyebut tentang draft kontrak apapun dari Stevan. Apakah hal seperti itu seharusnya dia beritahukan kepadaku? Tapi untuk apa? Bukankah Mahmoud selalu bilang dia nggak tertarik dengan pekerjaan sebagai model? Apa mungkin karena itu dia menganggapnya nggak penting dan tidak pernah menyebutnya? Aku nggak ingin mengorek terlalu dalam sebelum membaca post-it yang ditinggalkannya. Kalau di sana dia secara jelas menyebutkan tentang urusan itu, berarti dia tidak bermaksud menyembunyikan apapun dan hanya menganggapnya tidak penting.

Terlambatnya Mahmoud datang ke kantor segera terlupakan sama sekali oleh semua orang, termasuk olehku, gara-gara dia bekerja dengan sangat profesional di depan kamera. Aku dan Gio termangu takjub menyaksikan perubahan Mahmoud dalam bekerja siang itu, Albert bahkan tidak perlu bolak-balik mengarahkan seperti biasa. Secara natural dia sudah sangat bisa menguasai diri, dia tidak banyak mengeluh, apalagi terlihat bosan. Senyumnya merekah indah setiap kali diperlukan, tak tampak adanya paksaan seperti momen-momen pemotretan sebelumnya. Berkali-kali Gio mengerling padaku seakan memberikan pujian. Benarkah dia tampil seprima itu untukku?

Diam-diam, perutku terasa aneh dalam artian yang menyenangkan. Rasanya susah sekali menahan senyum bangga siang itu mengetahui seseorang melakukan sesuatu yang sangat besar artinya untuk kita, demi kita. Sewaktu tiba giliranku berpose dengan Mahmoud, aku justru membuat sesi prmotretan itu agak tersendat gara-gara kegugupanku yang konyol. Setiap kali aku harus bersentuhan dengannya, tubuhku mendeteksi adanya getaran-getaran asing yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Mendadak, sulaman nama kami yang disandingkan di dada kiri tracksuit-ku membuat jantungku berdebar.

Jamie bahkan memberinya standing applause begitu Albert menyatakan pekerjaan kami selesai siang itu. Gio dan Albert akan mengevaluasi hasil pengambilan gambar dan melihat adakah yang harus ditambahkan atau diubah untuk kepentingan promosi nanti.

"Luar biasa, lho Mahmoud!" seru Jamie genit sementara staf-nya membantu Mahmoud melucuti jaket. Dengan air liur yang nyaris menetes, staf cowok yang kemayu itu mendapat tamparan ringan di tangan oleh bosnya gara-gara nekat mau memelorotkan training pants Mahmoud sekalian. Semua orang ketawa, aku berpaling. Mahmoud memang tampak menggiurkan, sih, terutama saat dia berdiri setengah telanjang hanya mengenakan boxer setiap kali tracksuit-nya diganti ke warna lain di sela-sela pemotretan. "Kamu keren banget siang ini! Udah kayak model profesional, lho, kamu! Jangan lupa minta Bos-mu bikin kontrak yang bagus, ya, Moud! Kalau enggak... kamu ikut aku aja. Aku ajarin jalan di cat walk, jadi model utamaku, mau, ya?"

Albert dan Gio melirikku tajam secara serempak mendengar sindiran itu. Tanpa diberitahu, melihat Mahmoud masih saja bekerja pada kami sebagai pesuruh, dia pasti sudah curiga tentang adanya praktik licik di balik semua ini. Kami memutuskan membiarkan mulut licinnya terus mengoceh sembari menggerayangi Mahmoud sampai cowok itu risih sendiri dan melipir ke arahku. Aku sedang mengurai rambutku yang tadi diekor kuda kencang dan mengikatnya lagi dengan lebih nyaman.

"Apa saya bekerja dengan baik?" bisiknya, pura-pura merapikan gulungan kabel di dekat kakiku. Aku belum memikirkan apa yang akan kulakukan dengan urusan yang satu ini. Perlukah aku memberitahu Mahmoud bahwa Gio, Albert, dan Tamara sudah tahu rahasia kecil kami? Aku takut dia nggak suka, atau malah dia akan suka? Bukankah dia menyukaiku? Tentunya dia ingin semua orang tahu, kan, kalau memang terjadi sesuatu di antara kami?

"Sangat baik," jawabku. Aaah... dadaku berdentum lagi karena aku tahu ke mana arah pembicaraan Mahmoud sekarang.

"Kalau begitu... apa saya boleh pulang duluan, kira-kira pukul tiga, atau empat sore?" tanyanya, lalu setelah dia menoleh ke sana kemari memastikan tak ada yang memperhatikan kami, Mahmoud memandangku yang otomatis mengernyit curiga pada pertanyaannya. "Saya harus menyiapkan kencan kita nanti malam," katanya mengingatkan, rahangnya mengatup sehingga suaranya terdengar tertekan. "Ibu sudah janji, lho."

"Oh iya," celetukku pura-pura lupa. "Memangnya mau nyiapin apaan, sih, pakai pulang cepat segala?"

"Ibu kan nanti yang saya ajak kencan, jadi ibu akan tahu sendiri."

Aku menyilangkan pahaku di depannya. Tangan kananku terlipat di bawah dada, menahan tangan kiriku yang menggaruk daun telinga supaya saat bibirku bicara, kepalaku menunduk dengan wajar seolah kami tidak sedang berbincang-bincang, "Terus... aku kudu bilang apa ke temen-temen, udah tadi kamu datang terlambat, sekarang malah pulang cepat?"

Alis indah Mahmoud yang tebal rapi menukik. Dia nggak berani protes, malah menyibukkan diri menarik-narik kabel yang bukannya makin rapi, malah jadi semrawut membelit kaki kursi. Somehow aku bisa membaca dengan jelas apa yang dikatakan ekspresi kecewanya itu, kamu berutang budi kepadaku. Aku melipat bibirku sebelum membasahinya, kuperhatikan Gio, Albert, dan Tam memberesi studio. Mereka nggak akan keberatan Mahmoud mau ngapain aja asal penjualan kami surplus.

"Aku bercanda, Moud," bisikku sambil mencondongkan tubuhku ke depan. "Kamu boleh duluan pukul empat sore."

Mata Mahmoud berbinar. "Betul?"

"Iya, pokoknya... apa aja deh buat Mr. Mahmoud," kataku, mengekeh. "Terus aku nanti gimana? Dijemput di apartemen, atau dijemput di sini? Aku harus pakai pakaian apa, nih? Kencannya bakal formal, apa non formal? Aku nggak akan diajak ketemu sama orang tuamu, kan?"

Mahmoud membuang ekspresi tersipunya ke arah lain denger aku nyebut-nyebut soal orang tua. Bisa banget lho omong kosong kayak gitu bikin cowok seganteng dia mengelak malu-malu. Masa iya ada sih makhluk beginian di dunia ini? Cowok ganteng yang selama ini kutahu mana ada yang tersipu-sipu. Kalau udah sadar ganteng, gayanya pasti selangit. Kita nggak akan dikasih kesempatan merayu. Dilihat dari atas gini, dia makin mempesona. Hidung mancungnya benar-benar tertatah sempurna, kening mulusnya dan alis tebalnya, tulang pipinya... bahkan ketebalan rambutnya... cuma orang gila yang menolak cintanya.

Orang gila itu aku.

"Nanti saya jemput," katanya, lalu berdiri menjulang di depanku. Aku membelalakkan mata secara refleks saat tatapanku tertambat pada perut kencangnya yang berpola di balik kaus tipis yang melapisi tubuhnya. Mahmoud menarik kausnya yang sedikit tersingkap, menutup karet celana training-nya. Gairahku diam-diam menggeliat, bibirku tergigit sewaktu kepalaku mendongak menatapnya. Fuck, he's so hot. Aku menginginkannya. "Pukul delapan."

Setelah itu, Mahmoud berlari kecil menghampiri yang lain untuk membantu meringkas barang-barang ke tepi sebelum studio ditutup kembali. Aku meninggalkan ruangan sebelum yang lain menuju kantorku, berganti pakaian, dan melanjutkan pekerjaan. Tapi, pikiranku nggak bisa kualihkan dari sosok Mahmoud yang sepanjang sisa hari itu sampai pukul empat sore bekerja dengan penuh semangat seperti remaja yang sudah menanti-nanti akhir pekan, padahal ini masih tengah minggu. Kencan seperti apa yang direncanakannya?

"Mahmoud duluan? Katanya udah dapat izin dari Mbak Mina? Mau ke mana dia?" Gio memberondongku dengan pertanyaan begitu aku muncul di tengah kubikel karyawan untuk menghampiri Cynthia. Albert dan Tamara mengangkat kepalanya secara serempak dari balik kubikel, yang lain nggak ada yang merasa aneh.

"Nggak tahu," jawabku, pura-pura tenang seraya meletakkan setumpuk laporan yang kukembalikan ke meja Cynthia. Mereka ini udah tahu ada apa antara aku dan Mahmoud, tapi nanya begituan kenceng-kenceng, mana aku bisa jawab dengan leluasa? Kalau kujawab dia mau nyiapin kencan, apa nggak sekalian aja aku pengumuman pake toa?

Akhirnya, mereka bertiga mengekoriku ke kantor.

"Mahmoud mau ngajak aku kencan," kataku setelah mereka bertiga berdiri berjejer di hadapanku. "Sebagai imbalan kalau barusan dia bekerja dengan sangat baik."

"Okay, it worth it," gumam Albert. Aku menatapnya tajam seolah hatiku nggak senang aja disuruh ngasih imbalan kencan ke cowok yang biasa kutidurin. "Yah... dia memang cakep banget hari ini, aku sama Tam sampai kesulitan milih pose mana yang cocok buat gambar utama saking bagusnya. Padahal ini sifatnya masih latihan."

"Ngapain kencan segala, kan Mbak Mina sama Mahmoud tinggal bareng?" tanya Tamara.

Masa aku harus cerita detail sih bahwa sekarang Mahmoud memutuskan nggak mau bobo sama aku kecuali aku jadi pacarnya?

Untung buat cowok-cowok kayak Gio dan Albert, urusan begituan nggak terlalu penting. "Mbak nanya soal selfie dia sama karyawan agensinya Adrian?"

"Nanya. Dia bilang dia ngembaliin draft kontrak yang pernah dikasih Stevan ke dia—"

"Dia dikasih draft kontrak sama Stevan?!" Gio dan Albert kompak menjerit. Albert yang dengan cepat melanjutkan manuver, "Kok Mbak nggak bilang-bilang sama kita? Gawat ini, Mbak, kalau Mahmoud mau. Mereka kan kliennya profesional semua, salah-salah dikontrak eksklusif, kita nggak bisa seenaknya pakai Mahmoud lagi."

"Kita memang nggak akan seenaknya sama Mahmoud lagi," kataku.

"Ya, memang, tapi ini krusial banget. Bahaya. Mereka jelas bisa bayar Mahmoud jauh lebih tinggi. Mbak Mina harus melakukan sesuatu, Mbak. Kasih aja semua yang dia mau, udah terbukti Mahmoud bahkan bisa bekerja sebagus itu hanya dengan imbalan kencan. Bayangin apa yang akan dia lakuin untuk kita kalau sampai Mbak Mina mau jadi pacarnya!"

"Kok aku ngerasa itu nggak bener, ya?" Tamara manyun.

"Sejak awal juga udah nggak bener," sambar Gio yang langsung disusul ringisan bibirnya. "Sorry, Mbak... tapi aku nggak menghakimi Mbak Mina, kok. Aku malah salut karena ternyata Mbak Mina mikirin kebutuhan kita akan Mahmoud sampai sejauh ini. Soal yang lain-lain... kalian kan udah sama-sama dewasa, anggap saja... kalian memang saling membutuhkan dan ini benefit yang bisa kita dapat dari hubungan itu. Ngomong-ngomong... Mbak Mina tahu nggak Mahmoud kira-kira diincar buat klien apaan?"

Aku menggosok bagian bawah hidungku, menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat dan letih, "Klien yang sama yang telanjur ngontrak Adrian. Klien ini kabarnya nggak mau jalan kalau model lainnya nggak dapet. Adrian curiga... model yang mereka incar itu Mahmoud. Bahkan... Adrian menduga, posisinya juga bakal digantiin sama model baru ini."

"Oh... pantesan Mas Mahmoud ngembaliin draft kontraknya, ya? Dia nggak mau bersinggungan dengan Adrian, kan?" terka Tamara penuh harap.

Aku hanya bisa diam, nggak bisa memutuskan sekarang apakah Mahmoud jujur, atau enggak. Bisa jadi... justru karena klien itu nggak mau jalan kalau nggak ada Mahmoud... Mahmoud malah mau. Bagaimanapun, Adrian sepupunya. Bahkan setelah dia begitu cemburu, dia memutuskan untuk berhenti melakukan apa yang biasa kami lakukan, bukan sebaliknya. 

Part 53 ada part special mature content-nya di karyakarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro