53. Mixed Veggies in a Coconut Milk Stew

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai pembaca mesumkuuu,

🤣🤣🤣
Apa kabaaar?

Ada special extra part baru di karyakarsa, ya....
Buat yang belum tahu, kalau kamu baca semua part di KK kamu bisa save pdf premium versi KK yg nggak akan kujual di manapun.

Anyway dont let other people shame you for what you read or write. People will always have something to say. Bahkan kadang yang ngatain pembaca lain mesum pun siapa tau diam-diam masih ikutan baca.
Be proud of doing what you love as long as you are not hurting anyone.

Indahnya dunia kala seorang perempuan yang kita sayangi duduk diboncengan motor dan memeluk pinggang seerat ini. Kalau habis ini aku mati, aku pasti mati bahagia. Nggak apa-apalah sedikit penasaran karena belum tahu isi hatinya. Yang penting punggungku hangat didesak dadanya yang sintal, bahuku harum terpapar aroma tubuhnya yang wangi. Sewaktu aku memarkir motor di basement apartemennya, dia menggigit pundakku manja. Nggak sakit, aku justru ingin dia melakukannya lagi.

"Apaan, sih, bikin orang berharap terlalu tinggi, tahu-tahu cuman diantar pulang!" sungutnya sebal, tapi tidak berhenti memeluk lenganku dan mendekapnya di lekuk buah dada yang belahannya mengintip setiap kali aku menoleh menatap wajahnya. "Nggak jadi kencannya, Moud?"

"Jadi," jawabku, lalu kami melangkah masuk ke lift yang membawa kami ke lantai unit apartemen Bu Mina.

Di dalam, Bu Mina melepaskan gandengan tanganku dan berdiri menempel di dinding lift. Aku berdiri di seberangnya, mengagumi kaus rajut hitam dengan belahan dada rendah yang membalut lekat tubuh rampingnya. Celana jeans biru semata kaki dan sepatu berhak tinggi membuat penampilannya berkesan santai, tapi tetap seksi. Dia ganti baju di kantor. Ke mana dia pikir aku akan membawanya? Makan malam di restoran, lalu menonton bioskop?

"Kencannya di rumah aja?" tanyanya dengan bibir manyun lima senti.

Aku mengangguk, "Iya."

Alis simetrisnya mengerut di tengah. "Hemat banget, kurang ya duit gaji kamu buat nraktir aku?"

Senyumku terkulum. Kalau aku membawanya jalan-jalan di mal, nonton bioskop, menemaninya melihat-lihat perhiasan atau aksesoris yang disukainya (tanpa bisa membelikannya sesuatu), apa bedanya aku sama cowok-cowok lain? Aku ingin memberinya sesuatu yang personal. Kuharap dia lebih menghargai sesuatu yang kurancang sendiri dengan susah payah empat jam terakhir ini.

Kening Bu Mina masih mengernyit. Langkah kakinya terayun anggun mendekatiku, mendebarkan jantungku. Kalau ini terjadi sebelum aku sok-sokan bilang tidak akan menyentuhnya lagi hanya untuk memuaskan hasrat, sudah sejak tadi aku mencium bibir merahnya yang ranum itu. Mungkin dia sudah lupa akan ikrarku, atau dia pikir aku berubah pikiran, dengan gerakan sensual perempuan itu mengalungkan lengannya di leherku. Dadanya mendesakku ke dinding, aku menunduk menatap bola mata indahnya yang menyorot tajam kepadaku.

"Apa yang kamu rencanakan di apartemenku?" tanyanya. Kelopak matanya mengedip lambat, menggodaku.

Aku bahkan berdandan untuk Bu Mina malam ini. Semua hal yang dikatakan Mas Jamie supaya kulakukan rutin setiap hari, kulakukan. Aku mencukur bersih rahangku meski tadi pagi sudah kulakukan, semata-mata karena aku ingin dia mencium aroma segar after shave-ku. Rambutku kucuci dan kukeringkan dengan blower-nya, lalu kububuhi sedikit gel dan kutata persis seperti bagaimana staf Mas Jamie menatanya tadi pagi. Aku memoles mukaku dengan moisturizer dan menepuknya sehingga kulitku terlihat lebih sehat dan bagian-bagian keringnya melembut. Aku juga mengenakan kemeja terbaikku.

"You dress up. Kamu menata sendiri meja makan malam buat kita berdua?"

Bahuku menggedik sementara lenganku mendekap erat pinggangnya. Bu Mina menjengit mengira aku tak akan melakukannya. Bibirku melengkung ke bawah seakan bilang, dia akan melihat sendiri apa yang ditanyakannya.

"Jangan-jangan kamu masak buat aku?" terkanya. "Romantis banget? Memangnya kamu masak apa? Hm? Memangnya kamu bisa masak? Yah... aku tahu kamu cekatan dalam segala hal, tapi aku nggak tahu kamu benar-benar memasak a proper meal. Kamu pesan Go Food, yaaa?"

Mulutku tetap bungkam.

Pintu lift membuka dengan cepatnya, padahal aku masih ingin digelayuti manja. Tapi baguslah, aku suka nggak kuat sama perempuan yang penasaran. Meski hanya tinggal beberapa langkah lagi, bisa saja aku membocorkan semuanya kalau ditanyai dalam posisi seperti ini. Lagi pula, kenapa perempuan nggak bisa menunggu barang sebentar? Apa mereka tak suka diberi kejutan?

Kupindahkan lenganku ke bahunya dan kubimbing dia keluar bersamaku.

"Albert bilang, kerjamu bagus sekali. Dia sampai kesulitan memilih foto mana yang kira-kira bagus buat banner official nanti. Aku bangga banget sama kamu, Moud," pujinya, mengusap dadaku lembut saat kami tiba di depan pintu dan aku sedang sibuk mencari card lock di sakuku.

"Saya senang kalau ibu senang," kataku pendek, pintu di tanganku terayun membuka. Bu Mina melangkah masuk lebih dulu, menungguku menyimpan card lock di dinding yang akan menyalakan sebagian lampu. Dia menatapku heran dalam kegelapan sewaktu pintu kututup dan card lock kumasukkan ke saku.

"Ayo." Aku membalik tubuhnya dan memegangi pundaknya, mendorongnya melangkah ke dalam.

"Ta—tapi, Moud...."

"Ke ruang makan," aku memberinya petunjuk, memotong kebingungannya. Bu Mina berjalan pelan, kedua tangannya menyentuh tanganku di pundaknya. Sewaktu kami tiba di dekat meja makan, aku meninggalkannya sebentar untuk mendekat ke saklar lampu. Alih-alih ruangan bersinar terang benderang, kabel yang kujalarkan di dinding memijarkan lampu-lampu kecil keemasan. Aku membelinya dalam perjalanan pulang, itu lampu yang biasa dipasang untuk dekorasi taman. Dengan gugup aku menanti reaksinya.

Bu Mina mengelilingi ruangan itu dengan pindaian matanya. Aku melangkah ke sisinya, menyaksikan bibirnya merekah perlahan sebelum dia melayangkan tatapan terkesan kepadaku. Bahunya merendah, bibirnya yang semula tersenyum menyebut namaku merdu. Dia lantas mendekap kedua lengannya dan merapat ke tubuhku.

"Tunggu sebentar," kataku sebelum dia benar-benar bersandar di lenganku. Kunyalakan dua lilin panjang yang kupasang di tengah meja. Dia tertawa. Aku memandangnya bingung. Bukankah ini seharusnya romantis?

"It's so cheesy," katanya geli.

"Apa cheesy itu bisa dikatakan romantis?" tanyaku, ingin tahu betulan.

"Sangat romantis," jawabnya sambil meletakkan tas tangannya di atas meja dan berjalan mengitarinya, mendekatiku. Lagi-lagi, dia mengalungkan lengannya ke bahuku. Hak sepatunya yang tinggi membuatnya tak perlu banyak berjinjit untuk menyentuh bibirku dengan bibirnya. Ini seharusnya tidak kulakukan sedini ini, tapi persetan.

Siapa yang bisa menolak bibir manisnya saat disodorkan penuh keikhlasan seperti ini? Aku memandangi wajah cantik dengan mata terpejam itu sekilas sebelum ikut-ikutan memejamkan mata dan menyelimuti bibirnya dengan bibirku. Bibir kami berpagut lembut. Saling mengulum manis. Lidahnya dan lidahku tetap berada di tempatnya masing-masing. Keromantisan yang menerbitkan gairahku itu untungnya terjadi hanya sesaat.

Aku menarik sebuah kursi dan mengajaknya duduk di sana. Bu Mina mengangguk, tawa manisnya terdengar riang saat ia duduk di sana. Aku membungkuk untuk mengatakan sesuatu saat dia menoleh dan bibirku tak sengaja menyentuh pipinya. Kami mengikik canggung. "Saya pikir... kalau hanya membawa ibu ke restoran, restoran mana yang akan mengesankan ibu."

"Kenapa kamu berambisi mengesankanku?"

Aku menarik daguku. Bu Mina mendongak, tatapan kami saling songsong.

"Kamu pikir aku nggak tahu?" tanyanya.

"Bukan begitu. Saya pikir ibu tidak perlu lagi menanyakannya. Kenapa saya selalu berusaha mengesankan ibu? Semalam saya sudah mengakui dengan jujur kenapa semua ini saya lakukan. Saya bukan pemuda yang senang tidur-tidur sama perempuan, apalagi melakukan hal-hal yang tidak saya sukai hanya karena saya tahu itu akan menyenangkan hatinya, atau memajukan perusahaannya."

Ucapanku dihadiahi cubitan manja dan aku sangat menyukainya.

"Apa saja agenda malam ini?" tanyanya antusias sambil melongokkan kepala. Aku meninggalkannya ke dapur yang bisa terlihat dari meja makan.

"Makan malam, nonton, mungkin berdansa?"

"Berdansa?"

"Mungkin tidak berdansa."

Bu Mina tertawa. "Aku nggak keberatan berdansa. Kalau cahayanya temaram begini, paling bagus kita berdansa yang romantis—kamu masak apa, sih, Mahmoud?"

Aku menyengir sambil mengangkat panci yang baru selesai kupanaskan. Melihat penampilanku dalam celemek dan cempal, Bu Mina tertawa lebih nyaring. Aroma santan menguar di udara. "Sebenarnya saya mau masak steak, tapi gosong. Saya mengikuti video pembuatannya di Youtube, saya sudah memasak sesuai waktu yang ditentukan, tapi saya pikir... dagingnya belum cukup matang. Lalu saya memasaknya lagi, ternyata terlalu matang."

"Terus? Kenapa jadinya sekarang ada sayur santan di sini?" tanyanya sambil membuka tutup panci yang kuletakkan di depannya. Uap panas merebak, Bu Mina tertawa makin kencang.

"Itu sayur lodeh," kataku. "Masakan andalan ibu saya di kampung. Saya pikir, daging steak gagal itu lebih baik saya bikin empal. Cocoknya pakai sayur lodeh."

"Jadi kamu dari awal memang mau masak steak sama sayur lodeh?"

"Ya enggak lah, saya nggak sekampungan itu," sungutku. "Karena steaknya gagal, saya ke supermarket di depan, belanja lagi sekalian mengubah menu yang mau saya hidangkan. Saya pikir-pikir... ibu jarang sekali makan nasi. Sekali-sekali nggak apa-apa, kan?"

"Nasi merah?"

"Nasi putih."

Dia meringis ketakutan, tapi aku tahu itu hanya bercanda. Kadang-kadang sekali Bu Mina makan nasi, meski sangat sedikit dan jarang. Biasanya kalau dia bekerja terlalu serius, lupa berpesan mau makan apa padaku meski sudah ditanya, dan terpaksa makan apa yang ada di kantin ruko. Cuma supaya perutnya nggak kosong.

"Kelihatannya enak, Moud...," ucapnya sungguh-sungguh.

"Saya tahu," kataku bangga. "Sudah dibilang ini resep andalan ibu saya. Tentu saja... ibu saya bikinnya sepuluh kali lipat lebih enak dari ini."

"Sepuluh aja?" celetuknya jahil.

"Lima belas lah," balasku sambil melepaskan celemek usai mengambilkannya secentong nasi yang kira-kira beratnya 100 gram. Bu Mina nggak akan mau makan lebih dari itu. Aku duduk di sisinya, menyendok sesuap nasi dan kucelupkan ke dalam kuah sayur yang kuwadahi dalam mangkuk. Bu Mina memandangku ragu, kuduga dia hanya bercanda dengan ekspresinya itu. Meski demikian, aku tetap mengangguk meyakinkannya.

Mulutnya membuka kecil. Tanganku yang satunya mencubit dagu runcingnya supaya terbuka lebih lebar, lalu menyuapinya dengan hati-hati.

Bu Mina mengunyah lambat sambil menungguku merobek selembar daging dan menyusulkannya masuk ke mulutnya.

"Bagaimana?" tanyaku begitu dia menelan.

Tak kunyana, Bu Mina menyentuh pipiku dan mengusap sudut bibirku dengan ibu jarinya, "Mahmoud... bisa nggak kamu bilang sekali lagi? Aku ingin mendengarnya."

Aku tak mengerti.

"Perasaanmu. Aku ingin menjawabnya."

Baca Special part 53 yang merupakan versi lebih lengkap dari bab ini dan mengandung adegan dewasa.
Anak-anak dibawah 18 tahun, nggak usah baca, ya. Baca versi ini aja.
Biar kakak2 dan tante2 aja yang mesum wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro