61. Jeruk Kunci

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tadinya mau update part 62. Ternyata dari 300an votes nggak bisa 100 komen juga. Hihi
Ya udah part 62-nya ditunda sampai 100 komennya kecapai. Jadi drepost aja.
Kasih tau aku kalau emang udah nggak mau baca versi wattpad, yah... jadi yang mau baca sampai tamat bisa kuumumin buat dukung di KK. Di sana juga ada paket lanjutan versi wattpad sampai tamat.

Covernya kayak gini. Cari di kategori karya Trapping Mr. Mahmoud.
Biar hemat, kamu bisa baca ini, sama baca part2 spesial aja.

Komennya bisa kali 100, biar aku mau update lagi.
Siapa tau sampe tamat 😆 kalau beneran sepi aku nggak lanjut, ya.

Vote kan bisa alasan satu orang cuman bisa satu, kalau komen kan enggak.
Jangan spam2 banget, ya, jangan mau ngerjain bagian orang lain. Yang baca cerita ini nggak hanya kamu, biar orang lain juga usaha. Hahaha

"Ibu jangan salah paham. Lastri ini adik sahabat saya. Saya nggak tahu apa yang dibicarakannya."

"Aku nggak mau ngomongin ini lewat teks. Percuma. Kamu selesaikan saja dulu urusanmu sama Lastri, baru kita tentukan yang mana yang harus kamu sudahi, hubungan kita, atau hubungan kamu sama dia."

Aku meneguk ludah di mulutku yang gersang dan tandus.

Melihatnya muncul di kantin saja sudah bikin aku panas dingin, apalagi mendapati balasan pesan yang lebih mirip pesan dari atasan ke bawahan—tegas dan tanpa perasaan—daripada ke pacarnya yang tahu-tahu didatangi tunangan dari desa.

Begitu Bu Mina, Mas Gio dan Mas Albert selesai makan, aku ditinggalkan berdua tanpa pesan supaya segera kembali ke kantor, atau apa. Maksudku, kalau mereka bilang begitu, aku jadi punya alasan untuk mengusir gadis manis yang siang ini muncul tiba-tiba seperti hantu. Penampilannya bikin kami jadi tontonan. Bukan karena dia seperti hantu, tapi karena dia kelihatan sangat berbeda di antara pegawai kantoran di sekitar sini, atau Mbak-Mbak karyawan toko yang sebagian besar berseragam.

Lastri mengenakan rok terusan selutut bermotif bunga-bunya kecil, bagian pinggangnya tertarik ke belakang oleh seutas tali yang diikat seperti pita. Tubuhnya ramping dan mungil, wajahnya bersih merona tanpa make up, matanya berbinar khas gadis desa yang lugu, rambutnya dijalin dua dan ditaruh di bahu. Sebuah tas tenteng berukuran sedang dari bahan rajut tercangklong di pundaknya, kaki-kaki kecilnya dibalut sepatu sandal. Bibirnya menyenyumi semua mata yang berlabuh padanya, tangannya menjalin erat lenganku, tapi aku merasa dia tidak melakukannya seperti seorang kekasih, atau tunangan yang dijodohkan dengannya, melainkan seperti seorang adik yang bersembunyi di balik punggung kakaknya.

Jujur saja, menurutku kami lebih cocok jadi kakak dan adik. Walaupun waktu kecil dia suka menempel padaku, aku nggak pernah menganggapnya punya perasaan lebih terhadapku selain sebagai kakak. Dia juga menggandeng Sabat dengan cara seperti ini waktu aku menghadiri acara wisuda Sabat di Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata tiga tahun lalu. Saat itu Lastri kira-kira baru lulus SMP.

Di desa, aku nyaris nggak pernah ngobrol sama Lastri, apalagi setelah Sabath nggak pernah pulang merantau. Kabar-kabar tentang Lastri hanya kudengar dari bapaknya yang bersahabat dengan Abhi. Aku sudah lama mendengar mereka membicarakan kemungkinan akan menikahkan kami berdua, tapi nggak pernah mengira anaknya sendiri bakal seberani ini.

Dia memang nggak secara resmi datang ke Jakarta hanya untuk menemuiku. Persis seperti kata Ummi, dia mau menjemput kawannya yang baru pulang dari Tanah Suci jadi TKW. Tapi yang jadi beban moral buatku adalah ucapannya pada Bu Mina tadi, bahwa dia mau jadi TKW aja kalau nggak jadi nikah sama aku. Bukannya apa-apa, semua orang tahu mengirim anak gadis jadi TKW itu mimpi buruk buat para orang tua. Terlebih, anaknya semanis dan semuda Lastri. Memikirkannya saja aku bergidik.

"Lastri boleh nggak istirahat dulu di rumah kos Mas Mahmoud?" tanyanya setelah menyeruput es teh keduanya siang ini. Lagi-lagi membuatku tercengang dengan keberaniannya. "Lastri pegal, nih. Teman Lastri baru bisa nemuin habis Maghrib nanti."

"Kos-ku khusus anak laki-laki," dustaku. "Lagi pula, apa nanti kata Abhi-mu kalau dia tahu kamu di sini istirahat di rumah kos-ku?"

"Bapak tahu, kok, Lastri sekalian mau mampir menemui Mas Mahmoud. Maaf ya, Mas... Lastri nggak bilang-bilang mau mampir," ucapnya sambil mengulas senyum manis. Dia bicara seolah kami ini memang sudah lama memadu kasih sebelumnya, padahal demi Tuhan, bicara berduaan aja seingatku nggak pernah! "Boleh, ya, Mas? Kita kan sudah lama nggak ketemu."

"Aku harus bekerja," kelitku nggak nyaman. Ingin rasanya aku menggetok kepalanya supaya dia sadar bahwa dia nggak seharusnya bicara padaku dengan nada seperti itu, dan bikin aku merasa kayak pacar yang mengelabuhinya setelah keenakan tinggal di kota dan dapat pacar cewek kaya. "Kamu mau nunggu di mana selama aku kerja?"

"Di sini juga enggak apa-apa," katanya enteng. "Jakarta panas banget, ya, Mas? Kalau Lastri pesan satu gelas es teh lagi, malu-maluin enggak? Tapi Mas Mahmoud yang pesan, ya? Kalau ditanya, Mas yang haus. Lastri malu udah pesan dua gelas."

Aku mendengkus sambil melambaikan tangan ke Mbok Ijah, meminta segelas es teh baru. Ingin sekali kubilang, nggak akan ada juga orang yang peduli siapa yang tenggorokannya dalam kayak sumur, yang penting es teh-nya nanti dibayar, tapi aku nggak tega. Aku ingin mengusirnya dari sini, tapi kalau bisa tanpa menyakiti hatinya.

"Mbak yang tadi itu cantik sekali ya, Mas?" tanyanya, merujuk pada Bu Mina, tentu saja. Cuma dia yang kelewat cantik di sekitar sini. Ibu-ibu bos sekelasnya nggak ada yang jajan ngiras di kantin belakang begini. Kalau bukan gara-gara dia, mana mungkin Bu Mina tahu gimana bentuknya kantin belakang. Kalau dia tahu di sini kotor dan bau, dia nggak akan mau lagi dibeliin gado-gado atau pecel tiap kehabisan ide mau makan apa.

Aku nggak berani menjawab apa-apa, kebetulan es teh Lastri terhidang kilat, dan dia langsung menyedotnya sampai habis setengah gelas. Dengan polosnya dia bersendawa, lalu mengekeh kecil sambil menutup mulutnya. Aku ikut-ikutan tertawa melihat kelakuannya, Lastri ya seperti ini dalam bayanganku. Seorang adik kecil yang lugu, mana mungkin aku menikahinya? Menidurinya, apalagi. Aku nggak sanggup memikirkan melakukan hal-hal nakal dan kotor seperti yang kulakukan bersama Bu Mina dengannya.

"Mas Mahmoud... suka ya, sama Mbak-Mbak yang cantik tadi?" tembaknya, entah apa alasannya.

"Kenapa kamu mikir begitu?" tanyaku, menyembunyikan ketercenganganku dengan meminum es tehku sendiri.

Lastri menggerakkan bahunya, dia lantas menoleh dan bertopang dagu ke arah pintu keluar masuk kantin seolah Bu Mina masih terlihat di sana, "Nggak tahu, feeling aja kali," gumamnya. "Lastri sudah sering nonton film kayak gini. Pacar di desa nyusul calon suaminya ke kota, calon suaminya sudah punya pacar gadis kaya. Mbak CEO itu... pasti sebelumnya nggak pernah makan di sini, kan? Dia ke sini buat nengokin Mas Mahmoud sama Lastri."

Aku makin bengong dibuatnya. Apa perempuan selalu setajam ini dalam menggunakan firasat dan insting mereka?

Melihatku menjatuhkan rahang, Lastri menyengir lebar menyadari dirinya sudah jauh melantur, "Maaf, Mas... Lastri kebanyakan ngelamun, kebanyakan nonton film, soalnya sekarang meski di desa nggak kunjung ada bioskop, bisa download film bajakan."

"Jangan dibiasain, itu ilegal. Kata orang kota, itu termasuk pencurian."

"Lastri juga tahu, kok, tapi kalau mau nonton bioskop mesti ke luar kota, jadi ya terpaksa...."

Lalu kami sama-sama diam menekuri permukaan teh yang es-es batunya mulai mengecil. Sebelum aku melakukannya, Lastri sudah mengembuskan napas berat duluan, baru aku menyusul. Dia pun menatapku, dan karena sejak dulu aku tahu dia gadis yang pintar, kurasa dia paham kenapa aku segan menyambut kehadirannya.

"Bapak sama Abhi-nya Mas Mahmoud harusnya mempertemukan kita dulu sebelum menentukan kita berdua harus menikah," katanya, terus terang. "Lastri sih senang-senang saja... Mas Mahmoud ganteng dan baik, keturunan orang baik-baik, apalagi sekarang sudah bekerja, Mas Sabat juga bilang... kalau sama Mas Mahmoud... dia pasti ngasih restu. Tapi kayaknya Mas Mahmoud sendiri belum setuju, ya?"

Aku memijat pelipisku, kepalaku mendadak pening. Ini terlalu menyakitkan buat didengar, tapi kalau disangkal, justru akan makin runyam. Saat aku akhirnya berani mencuri pandang kepada Lastri lagi, gadis itu baru saja menarik napas panjang, melipat bibir dan menahan butir-butir air mata agar tetap menggenang dengan sedikit mendongakkan kepalanya. Dengan lembut, aku menggamit dan menggenggam jemarinya. Lastri buru-buru menghapus bulir air mata pertama yang membasahi pipinya, lalu bertanya, "Mbak yang tadi itu pacar Mas Mahmoud, kan?"

"Bukan itu masalahnya...," kataku lemah.

"Terus... masalahnya apa?" tanya Lastri agak mendesak.

"Aku nggak mau menikah tanpa cinta."

"Tapi Lastri sih cinta...."

Bahuku luruh, sungguh aku nggak tega. Namun, aku berkata jujur. Ini bukan hanya karena aku sudah bersama Bu Mina. Aku memang nggak pernah menginginkan pernikahan dengannya. Kalau dulu alasanku adalah kondisiku yang nggak memungkinkan untuk menikahi seseorang, siapapun, sekarang alasanku lebih sederhana lagi, aku nggak menginginkan sebuah keluarga dengannya, atau siapapun, kecuali dengan Wilhelmina Santoso. Dan meski itu terdengar seperti mimpi si bongkok, alias tidak akan terjadi, aku tetap nggak ingin menikahi Lastri.

Suara Lastri bergetar dan nyaris terisak. Muka dan matanya memerah.

"Ya sudah kalau begitu... Mas Mahmoud balik aja ke kantor, biar Lastri di sini. Nanti kalau Mas Mahmoud pulang, tolong tengokin Lastri, ya? Kalau Lastri belum dijemput, Mas Mahmoud temani Lastri sebentar mau, nggak?"

Aku berpikir sejenak. "Jangan nunggu di sini lah, nunggu di pantri kantorku saja."

"Nggak apa-apa? Pacar Mas Mahmoud nggak akan marah?"

Dengan berat hati, aku menggeleng. Aku nggak tahu Bu Mina akan keberatan, atau enggak, tapi kurasa Lastri butuh alasan yang lebih nyata untuk dibawanya pulang selain sekadar kata tak ada cinta. Sesudah menunggu Lastri mengemasi barang-barang, kubilang, "Tolong jangan bilang Ummi-ku soal ini, ya?"

"Kenapa?"

"Yah... pacaran sama orang kota, belum tentu serius. Kalau Ummi dengar aku sudah menolakmu karena punya pacar di kota, dia pasti berpikir aku sudah berhubungan serius dengan seseorang."

Lastri mengangguk-angguk, tersenyum kecut. Mungkin dia kesal karena aku lebih memilih hubungan tak jelas daripada menikahinya. Kami lantas beranjak dari sana dan berjalan pelan-pelan kembali ke kantor. Sepanjang perjalanan Lastri menunduk dan diam, dia tidak lagi berpegangan pada lenganku. Dia jadi kelihatan seperti anak hilang. Aku kasihan padanya. Terlebih, aku ingin tahu, apa dia serius mau pergi ke Arab kalau aku nggak jadi menikahinya?

Aku meminta izin ke Mas Gio supaya Lastri dibiarkan menunggu di pantri. Permohonanku dikabulkannya dengan senang hati. Malah, sepanjang sore dia berkunjung beberapa kali untuk menyeduh kopi. Biasanya kalau aku nggak sedang difoto, mana mau dia menyeduh minuman sendiri? Aku sampai harus mengingatkannya tentang asam lambung mengingat betapa banyak dia bolak-balik ke pantri saat Lastri menunggui di sana.

Siang itu sampai menjelang jam tutup kantor, Bu Mina tak ada di ruangannya. Mbak Riana bilang, Bu Mina nggak enak badan dan sedang memeriksakan diri ke klinik. Aku mencoba mengontak, tapi tidak ada jawaban.

Sakit apa dia?


Baca Trapping Mr. Mahmoud di Karyakarsa lebih lengkap, sampai tamat, ples extra part dan klaim pdf ke aku, ya.
Pdf nggak akan dijual bebas.
Kalau mau lebih hemat dan nggak dukung bolak-balik, udah ada paket juga, lho.

Baca juga ceritaku, Swing
Di wattpad dan karyakarsa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro