60. Pain Killers

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Vote dan komen, ya...
Udah part 60 aja, nih. 😌

"Tensi gimana tensi?" Bang Naswar berkomentar, kebetulan aku meneleponnya untuk konten terjadwal yang belum dia kirimkan buat sebulan ke depan. Aku mau nyuruh Riana, tapi semua orang sedang disibukkan dengan urusan packing. Vendor nggak bisa ngikutin cepatnya laju orderan, jadi Albert menyewa truck kecil untuk bolak-balik bawa barang demi meringankan beban produski. Barang dibawa ke ruko, sebagian anak toko, semua staf, Mahmoud bahkan minta bantuan tukang parkir dan tukang tambal ban buat bantuin pengemasan. Begitu dua ribu stok kedua dibuka, barang dengan cepat habis terjual meski nggak segila yang pertama. Para fitness influencer yang sudah menerima bulk sample mulai membanjiri feeds dengan review-review positif, orang-orang menggila. Belum habis stok saja, sudah ada demand dari reseller. Empat ribu sisa bahan sudah dituang ke lantai produksi. Di lain sisi, aku merasa kami belum cukup siap menghadapi semua ini, buktinya dari kemarin aku pusing-pusing.

"Bagus, kok, kayak biasanya," jawabku sambil terus memijat pelipis.

"Dietmu?'

"Aku malah nggak terlalu diet sekarang, Bang, nggak merhatiin suplai kalori. Semua kumakan, paling kuperhatiin pengolahannya aja, sama sayur tetap kubanyakin. Jadi ini pusingnya pasti bukan karena defisit kalori berlebih. Apa karena load kerjaan, ya?"

"Bisa jadi. Jaga asupan makanan dan air, tetap olah raga ringan karena biasanya pusing-pusing gitu disebabkan karena suplai oksigen dalam aliran darahmu kurang lancar. Jangan begadaaang! Begadang, kan, kamu?"

"Iya, sih.... Sedikit."

"Punya pacar enggak?"

"Kenapa memangnya?"

"Banyakin hubungan seks, meredakan stres."

Aku nggak mau banyak komentar soal yang satu itu, kuingatkan Bang Naswar sekali lagi mengenai kewajibannya, lalu kututup telepon dan mulai memijat lagi dengan kedua tangan. Kalau pusing ini akibat stres kurang bercinta, harusnya aku nggak pusing-pusing sampai tahun depan. Aku dan Mahmoud udah kayak pengantin baru aja, yang bedain cuma nggak ada surat nikahnya. Dia memujaku dan aku harus menahan diri untuk tidak berlebihan dalam memuji performanya yang makin prima setiap hari. Bukan hanya itu, dia romantis, manis, bersahaja... ada aja hal lucu yang membuatku tersenyum setiap hari.

Dari hal-hal kecil saja kayak manik matanya yang terus tertaut padaku setiap kali aku panjang lebar menceritakan sesuatu, atau bagaimana dia tiba-tiba memupus jarak dengan wajahku saat aku sedang mengoceh, menyumpal bibirku dengan ciuman manis, lalu memintaku melanjutkan lagi sambil menggosok daguku dan mengintip di celah gelap di antara bibirku hanya karena dia nggak tahan berlama-lama berjauhan denganku. Setiap pagi jika malamnya kami memutuskan tidur bersama, dia pasti sudah bangun duluan dan menghabiskan waktunya memperhatikan wajahku yang masih terlelap. Entah berapa ratus kali hal pertama yang kulihat tiap bangun pagi adalah bola mata indahnya yang berkilat penuh cinta. Mahmoud tidak memberiku celah untuk meragukannya, tapi kadang aku merasa cintanya yang begitu besar mengisi terlalu banyak ruang dalam hubunganku dengannya, membuatku lupa bahwa aku juga butuh mengetahui sejauh mana aku mencintai dan menyayanginya.

Riana mengetuk pintuku dan masuk membawa baki berisi air putih dan aspirin.

"Lho... mana Mahmoud?" tanyaku.

"Lagi ada tamu," jawab Riana. Setelah menaruh bakinya di depanku, cewek itu menunduk, menyodorkan wajahnya ke arahku. Spontan, aku justru menarik mukaku menjauh, Riana memberiku isyarat dia mau berbisik. Aku nggak tahu juga kenapa aku nurut, toh kami cuma berdua di ruangan besar ini. "Cewek. Masih muda. Dari kampung."

"Adiknya?" tanyaku, kurang penasaran.

Riana menukikkan alis tipisnya yang digambar dan dirapikan dengan concealer, "Kok saya nggak kepikiran itu adiknya, ya?" gumamnya bego. "Bisa jadi, sih, habis kayaknya masih kecil banget. Kirain saya tadi calon pesuruh yang baru, emangnya Bu Cynthia nyari yang perempuan? Enggak, kan? Tahunya nyari Mas Sigit Handam Almahmoudi."

Aku mengangguk-angguk paham, "Ada lagi?"

"Nggak ada."

"Terus kenapa kamu masih bisik-bisik?"

"Oh iya," katanya sambil memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang rapi tanpa cela. "Saya mau ngintip lagi, ah... Mbak Mina nggak ikut? Seru, lho... habis Mas Mahmoud kayaknya kaget banget waktu cewek itu datang. Sepertinya datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan. Cantik, lho, Mbak anaknya. Lihat, yuk, siapa tahu bisa kita jadiin model perempuan buat HBM."

Sembarangan, terus aku dikemanain?

"Entar, ah... mau minum obat dulu."

"Mbak pusing banget apa?"

"Iya, kenapa?"

"Nggak, sih... kalau misalnya cuma pusing-pusing dikit kata Bang Naswar jangan buru-buru dikasih obat-obat penghilang rasa sakit sembarangan. Nanti ketagihan. Sakit dikit minum obat, sakit dikit minum obat, nanti nggak tahunya ada penyakit lain yang butuh penanganan serius kita nggak ngerasain karena terlalu sering konsumsi pain killer... tahu-tahu penyakitnya udah parah, susah disembuhin. Periksain aja, takutnya ada tumornya."

"Hah?"

"He he... bercanda."

Astaga... tapi benar juga. Aku jadi urung memasukkan obat pusing itu di lidahku dan meletakkannya kembali ke baki. Akhirnya, aku cuman minum air putih banyak-banyak, lalu mencoba kembali bekerja, tapi sayangnya nggak bisa. Selain pusingnya masih ada, sekarang aku penasaran setengah hidup... siapa sih cewek yang nyariin Mahmoud?

Dari jendelaku nggak kelihatan, malah aku tertangkap basah lagi celingukan sama Gio dan Albert. Beberapa saat kemudian kulihat Albert mengambil gagang telepon di mejanya dan telepon di mejaku berdering.

"Mbak tahu siapa cewek yang datengin Mahmoud?" tembaknya.

"Enggak. Dia nggak bilang apa-apa."

"Kadang aku heran, apa gunanya sih Mbak tinggal sama dia kalau apa-apa Mbak nggak tahu. Kemarin soal kontrak sama Stevan nggak tahu, sekarang ada cewek misterius ke sini, Mbak nggak tahu juga," cemoohnya tanpa memedulikan perasaanku sebagai pacarnya Mahmoud. Aku jadi kecil hati. Mahmoud memang nggak banyak membagi tahu tentang dirinya, yang dia lakukan setiap hari hanya mencurahkan kasih sayang dan hasratnya padaku. Kadang aku merasa nggak ada bedanya kami sekarang dan yang dulu, hanya frekuensi bemesraannya aja yang lebih sering. Albert nambahin lagi, "Jangan-jangan fans nyasar, ya?"

"Masa senekat itu?" tanyaku ragu.

"Iya, ya? Selama ini belum ada sih yang begini, paling-paling neror DM doang, sama mondar-mandir di depan ruko mau mastiin Mahmoud beneran pesuruh atau gimick doang. Ini sampai masuk segala, udah ditahan sama satpam tetap ngotot katanya teman Mahmoud dari kampung."

Oh... teman... jadi bukan adiknya? Mahmoud memang nggak pernah nyebut-nyebut dia punya adik, sih, tapi bisa aja dia lupa. Baru kemarin dia bilang dia punya kakak laki-laki yang sudah menikah waktu kami iseng-iseng ngomongin hubungan, kalau punya adik... harusnya dia cerita juga, kan? Bukan adiknya, kemungkinan juga bukan fans... lalu siapa?

"Irfan bilang dia malah langsung meluk waktu Mahmoud kebetulan keluar mau buang sampah."

"Mahmoud-nya kenal?"

"Nggak tahu, sih, aku... habis itu mereka keluar ke teras. Ngobrol di kantin belakang. Mbak udah makan siang?"

"Belum."

"Yuk... makan siang di kantin belakang?"

Seumur hidup, aku nggak pernah makan siang di kantin belakang. Kalau terpaksa, paling nyuruh orang. Albert juga tahu itu. Aku nggak bisa makan gado-gado, siomay, apalagi gorengan yang renyahnya waktu digigit mencurigakan. Mengajakku ke kantin belakang berarti kami akan memata-matai Mahmoud.

"Apa nggak sebaiknya aku nanya langsung aja sama Mahmoud entar?"

"Ya udah... aku sama Gio udah penasaran. Kami mau jalan sekarang."

"E—eh... tunggu... iya, aku ikut!"

Nama anak perempuan itu Lastri. Bukan Sulastri, awalnya juga kupikir begitu, ternyata Nicky Lastria. Dia dan Mahmoud sedang duduk di pojokan kantin waktu kami bertiga mencarinya. Tanpa nanya-nanya dulu gimana enaknya, Gio langsung manggil Mahmoud dengan suara lantang. Waktu melihatku ada di baris terakhir orang yang mendatangi mejanya, raut muka Mahmoud seketika berubah sepucat kertas.

"Lastri. Lastri. Lastri," Lastri menyebut namanya setiap menjabat tangan kami. Mahmoud mengenalkan kami padanya satu-satu. Khusus di belakang namaku, dia menyebutku CEO, lalu menjelaskan dengan satu kata 'direktur' waktu Lastri nanya apa itu CEO. Dia nggak nyebut-nyebut soal hubunganku dengannya di depan Nicky Lastria yang manis dan kira-kira baru lulus SMA. "Ohh... kirain CEO harus laki-laki," katanya. "Hebat... saya kayak pernah lihat, lho, muka Mbak ini di mana, ya? Apa artis, ya? Eh bukan, ya... kan CEO, ya?" kekehnya polos.

"Lastri ke Jakarta sama siapa?" Albert bertanya setelah selesai memesankan kami makanan. Nggak tahu dia mesenin aku apa, daritadi aku sibuk mengalihkan tatapan setiap kali Mahmoud mencoba mengontaknya.

"Ada perlu apa ke Jakarta?" aku mengimbuhi dengan suara ramah.

"Ke Jakarta sendirian," jawab gadis itu sambil gantian melempar senyum padaku dan Albert. "Naik kereta dari Solo tinggal duduk, kok. Tahu-tahu ditinggal tidur udah sampai. Di sini tadi pesan Grab. Soalnya Mas Mahmoud dihubungi nggak bisa. Lastri mau ketemu temen yang baru pulang mudik dari Arab."

"Ohhh...," Gio sengaja membuat-buat huruf O dengan mulutnya secara berlebihan dan menyuarakannya sepanjang gerakan kepalanya menoleh dari depan, lalu terhenti kepadaku. Melihatku memelototinya, dia buru-buru menutup mulutnya rapat-rapat dengan ekspresi yang jelas-jelas menggodaku. "Mas Mahmoud keterlaluan, ya?"

Lastri mengulum senyum dan terus melirik padaku. Aku agak canggung juga, kenapa tatapannya kepadaku nggak seperti ke Gio dan Albert. Nggak biasa aja, seperti ada maknanya. Seolah dia tahu ada sesuatu yang terselubung mengenai kehadiranku di kantin siang ini. "Nggak apa-apa. Ummi-nya Mas Mahmoud udah bilang, kok, mungkin Mas Mahmoud nggak bisa nemuin. Ini Lastri untung-untungan saja kemari, soalnya nanti mau dijemput teman nggak jauh dari sini."

"Dijemput teman? Lastri mau kerja di Arab juga?"

Lastri tersenyum simpul, dia tidak menjawab dan malah menunduk memutar sedotan di dalam gelas es tehnya, "Yah... kalau terpaksa...," katanya.

"Terpaksa kenapa?" Gio terus memancing.

"Kalau Lastri nggak jadi nikah sama Mas Mahmoud... ya Lastri pergi ke Arab, atau Hongkong jadi TKW saja."

Rasanya perutku bergolak, aku mual dan ingin muntah.

Baca part ini jauh lebih panjang dan lucu di karyakarsa.

Aku masih terus nunggu kalau mau ada yang klaim PDF Premium. Nggak ada batas waktu sampai kamu menuhin semua dukungan di chapter2 karyakarsa.

Aku nggak akan jual bebas ebook premium TMM, hanya kukasih ke pembaca yang memenuhi syarat, dan sampai sekarang belum punya rencana buat cetak bukunya.

Enjoy this story exclusive aja, ya. Satu-satunya cara buat kamu baca cerita ini lengkap, memuaskan lahir batin hanya dengan dukung di Karyakarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro