59. Dates

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan lupa, kamu kalau baca di wattpad bisa ngasih dukungan juga berupa vote dan komen. Kayaknya orang ngira kalau suatu karya udah dimonetize sama penulis di platform lain, terus di wattpad nggak perlu didukung lagi. Padahal ya ikut baca dan nikmatin, kan? Ayok dong ramein.
Sebelum baca, mari kita berdoa, semoga yang baca doang, nikmatin diem-diem nggak mau vote atau komen suatu hari ngerasain kerja kerasnya nggak dihargain dan pesenan makanannya salah terus.
Aamiin.

Aku bangun duluan pada Sabtu pagi berikutnya setelah launching produk Mina X Mahmoud sukses terjual dalam kurang dari sepuluh menit untuk menelepon Ummi. Mau mengingatkan beliau untuk mengecek info transfer-ku semalam.

Sore sih sebenarnya. Begitu Bu Cynthia bilang uang muka kontrakku sudah bisa dicek di rekening, aku mengirim sebagian ke Ummi tanpa pikir panjang. Setelah itu, kami sekantor berpesta di pub. Minum-minum. Aku bahkan dipaksa minum segelas bir oleh Mas Gio dan Mas Albert, tapi nggak kuhabiskan. Bu Mina melarang keras semua orang mempengaruhiku. Konyolnya, Mas Irfan tahu-tahu mencengkeram alat kelaminku sambil nanya dalam kondisi setengah mabuk, inimu dipake pipis doang, apa udah pernah dipake buat yang semestinya, Moud? Semua orang tergelak, aku cuma meringis dan menerima saja dianggap sok suci. Dalam remang cahaya lampu pub aku yakin melihat Mas Albert dan Mas Gio saling melempar senyum tahu sama tahu secara sembunyi-sembunyi.

Aku tahu maksud Mas Irfan. Aku nggak mau makan babi dan minum alkohol, memangnya aku nggak pakai penisku buat berzina? Kan sama-sama dosa. Yah, kalau aku sih sebagai manusia yang nggak suci dan penuh dosa tetep aja penginnya misal disiksa di neraka ya nggak kelamaan. Kalau memang aku belum bisa menghindari dosa zina, apa aku nggak boleh menolak dosa-dosa lain yang bisa kuhindari?

"Banyak banget yang kamu kirimin ke Ummi, Moud? Nanti uang kamu habis, lho!" Ummi menyapa setelah menjawab salamku. Senyumku terkulum mendengar nada tak rela tapi sebenarnya senang itu. Ibu mana yang nggak bahagia dikirimin banyak uang sama putranya? Walaupun kadang dia nggak membutuhkannya, tapi paling enggak dia tahu kira-kira sebanyak apa rejeki kita kalau yang dibagi ke beliau saja sebanyak itu. Sepuluh juta. Abhi juga nggak berusaha mengembalikan uangku seperti beberapa bulan lalu waktu aku ngiriminnya cuma sejuta. Beliau paham, aku dapat uang lebih banyak lagi. Nah, masalah selanjutnya kalau uang kita udah banyak padahal kita nggak punya pekerjaan jelas kayak jadi dokter, polisi, pegawai bank, atau saudagar kurma adalah pertanyaan seperti ini, "Memangnya sebenarnya kerja apa kamu di sana, hm? Tinggal di mana kamu? Ummi nanya sama Bibi kamu, mamanya Adri, dia juga nggak pernah bener-bener paham si Adrian ngerjain apa di Jakarta. Katanya jadi model, tapi kok nggak pernah main sinetron. Di koran juga nggak ada. Zaman dulu kan ada majalah, tapi sekarang kan nggak ada. Jangan jualan narkoba, ya, Moud... uang banyak nggak ada artinya kalau ngerusak generasi bangsa, haram, ingat Ummi sama Bapak udah tua. Malu-maluin keluarga, Moud..."

"Iya, Ummi...," jawabku, malas juga ngejelasin panjang lebar. "Mahmoud kerja di bagian pemasaran. Kebetulan saja kemarin Mahmoud jualin banyak barang, bonusnya lumayan. Belum tentu setiap bulan Mahmoud bisa kirim segitu. Ummi jangan boros-boros, yah?"

Ummi terdengar tertawa malu, "Wah... kirain bisa sebulan sekali begini," candanya, yang kuyakin nggak sepenuhnya bercanda. "Kalau begitu alhamdulillah ya, Moud. Rejeki berapa aja disyukuri, yah? Sambil nunggu rumahmu di sini laku. Nanti kalau rumahmu di sini laku... kamu bisa bikin bengkel aja di sini, terus kawin sama orang sini. Kalau nggak mau sama Lastri, nanti Ummi cariin yang lain, ya? Jangan sama orang kota, susah diatur. Ya, Moud... dengerin Ummi, ya? Lastri juga sekarang cantik, lho, Moud... sekarang dia lagi main ke Jakarta katanya, jemput Jamilah, sepupunya yang jadi TKW di Arab."

"Mahmoud belum mau mikirin itu, Ummi—"

"Belum mau mikirin apa? Nikah? Astaghfirullah, Moud! Kamu udah perjaka tua, lho! Jangan ikut-ikutan gaya hidup Adrian! Dia kan udah lama tinggal di kotanya, kamu masih baru. Kamu tuh masih orang desa, Mahmoud!"

"Bukan begitu, Ummi... Mahmoud pokoknya nggak mau diatur-atur harus nikah sama siapa. Ummi bilang ke Abhi untuk tegas ke Bapaknya Lastri, kasihan anak perawan orang nungguin tanpa kejelasan. Yah... nanti Mahmoud kirimin lagi uang yang banyak ke Ummi, ya? Nggak lewat rekening Abhi—"

"Memangnya kenapa kalau lewat rekening Abhi?" sahut sebuah geraman nggak jauh dari speaker ponsel Ummi. Aku melonjak kaget dibikinnya. Kirain Ummi sendirian. "Kalau kamu nggak mau kawin sama Lastri, alasannya apa? Abhi juga mesti ngasih penolakan yang jelas, kenapa kamu tiba-tiba berubah?"

Keningku sontak mengernyit, dorongan mendebat Abhi karena nggak terima dibilang tiba-tiba berubah meluap, "Kayaknya saya nggak pernah bilang mau, Abhi. Pembicaraan serius tentang itu saja nggak ada, cuma selentingan-selentingan saja, makanya Mahmoud nggak bisa nolak secara tegas."

"Ya kamu bicara sama anaknya saja nggak mau!"

"Ya gimana mau bicara orang nggak kenal!"

"Lho... dia itu adiknya kawan masa kecilmu, Si Sabat, yang sekarang merantau ke Korea apa Jepang itu. Kalian sering main bareng waktu kecil, dia yang bilang. Katanya dulu kamu nggak mau main kalau nggak jadi suaminya!"

"Hah?" Bukannya kebalik??? Dia yang maksa aku jadi suaminya. Di dalam setting rumah-rumahannya itu, jadi suami emang paling enak karena nggak harus ngapa-ngapain. Aku ke sana buat main Sega sama Sabat, jadi dipaksa sama adiknya ya aku mau-mau saja. Kalau aku ambil peran jadi bayi atau tukang sayur, aku nggak bisa sambil main Sega.

Aku baru akan menyangkal tuduhan Abhi dengan berapi-api ketika terdengar suara pintu kamar Bu Mina dibuka dan dia keluar dari sana tampak cantik dengan riasan tipis. "Saya telpon lagi nanti sore, harus berangkat kerja. Assalamualaikum." Tanpa menunggu jawaban, aku memutuskan sambungan.

"Siapa?" tanyanya sambil mendekap tubuh rampingnya yang terbalut bathrobe. Nah ini yang bikin aku heran. Bu Mina nggak pernah bangun tidur, keluar kamar untuk kopinya mengenakan bathrobe. Dia selalu hanya mengenakan kaus sepaha dan celana dalam, kostum tidurnya. Terlebih setelah kami jadi pasangan, kadang dia malah memakai kaus yang nggak cukup besar untuk menutup pusarnya, jadi aku nyaris bisa melihat semuanya.

"Rumah," jawabku. "Ibu sudah mandi?"

"Sudah. Kenapa?"

"Mau ke mana?"

"Nggak ke mana-mana."

Riasan wajah dan nggak ke mana-mana? Makin membingungkan. Tapi biarlah, memangnya keahlian wanita apa yang paling hebat selain membuat kita bingung? Aku menyeduh secangkir kopi hitam tanpa gula, lalu berbalik untuk membuka kulkas dan mengambil krim diet pencampur kopinya. Sewaktu aku menutup pintu dengan botol susu di tanganku, tiba-tiba pandanganku menggelap. Aku tahu Bu Mina mengerjaiku, tapi baru detik berikutnya aku sadar yang dilemparkannya ke kepalaku dan menghalangi penglihatanku ini adalah bathrobe-nya. Aku bisa mencium wangi tubuhnya yang masih menempel di sana.

Jantungku berdebar membayangkan apa yang akan kusaksikan jika mataku bisa melihat lagi. Sebaiknya lain kali aku tidak meremehkan instingku dan langsung menerjang kalau dia kelihatan cantik. Kutarik bathrobe itu dengan cepat dari kepalaku dan berputar mencarinya. Sesuai dugaanku, pemandangan di depanku membuat lidahku berdecak kagum. Kecantikan dan kemolekannya memang tidak mengejutkan lagi, tapi spontanitasnya membuat napasku tercekat. Hampir saja aku menjatuhkan botol krim di tanganku gara-gara meletakkannya terlalu ke pinggir tanpa melihat. Aku tak ingin mengedip sekalipun. Aku sudah melihatnya dalam berbagai situasi dan kondisi, dalam pakaian dalam, tanpa pakaian dalam, bahkan tanpa pakaian apa-apa... tapi ini adalah sosok yang memenuhi ruang fantasiku.

Wilhelmina Santoso mengenakan bikini yang... emhhh... aku sendiri tak kuasa menjabarkannya dengan eksplisit. Dia tidak pernah mau memberitahu bagaimana bikini itu bisa sampai di sana. Saat aku menemukannya, aku bisa memastikan itu bikini baru. Aku bisa mencium aroma toko samar-samar saat kulekatkan di hidungku sambil memikirkan bagaimana rasanya jika aku menghidu aromanya setelah benda itu ia kenakan. Dia bilang itu hadiah. Aku tak pernah mengatakannya, tapi hatiku agak panas mendengarnya. Semoga dia mendapatkan hadiah itu dari kawan wanitanya.

Aliran darahku menderas ke satu titik, ludahku terkumpul di dalam mulut dan siap menetes karena begitu sulit kutelan kembali. Aku bisa merasakan degup jantungku berdetak lebih cepat, bertalu kencang. Bu Mina berdiri sejajar denganku. Mataku dan manik matanya bertemu. Saat itu aku menyadari, dari ujung rambut hingga kaki, matanya lah yang paling indah karena aku tak sanggup mengalihkan tatapan darinya. Padahal tubuhnya begitu menggoda. Bikini itu membuatnya jauh lebih menggoda daripada jika dia mengenakannya sama sekali (bukan berarti aku tidak ingin cepat-cepat melucutinya). Bibirku terasa kering dan tandus, sekujur tubuhku tersihir kaku. Aku ingin sekali memperhatikan detail-detail yang hanya terlapisi kain-kain kecil itu dengan lebih saksama, tapi bola mata cantiknya seakan membiusku.

"So?' tanyanya, suaranya bergetar gugup. Kelihatan sekali dia juga bersusah payah menampakkan kesan santai pada tubuhnya yang nyaris bugil, tapi dia berhasil menaruh kedua tangannya di sisi pinggul, jelas lebih baik dariku yang hampir tak bisa menggerakkan jari-jari tangan dan kakiku. Melihatku hanya terbengong, Bu Mina cemberut malu. "Ngapain sih kamu diem aja? Gimana? Katanya mau lihat aku pakai bikini ini?"

Akhirnya aku bisa berdeham dan mengembuskan napasku yang sejak tadi ternyata tertahan. Berenang di kali membuatku bisa menahan napas selama itu tanpa kusadari. "Wow...," hanya itu yang bisa keluar dari mulutku sampai beberapa detik kemudian. "Itu... memang kecil sekali, ya?" tanyaku bodoh. Maksudku bagian segitiga yang menutup ketiga titik rawan di tubuhnya itu, benar-benar kecil. Apa itu akan terus bisa menutupinya kalau dia bergerak sedikit saja.

Bu Mina semakin cemberut, pipinya merona semakin merah sebelum dia menggeser dirinya ke samping dan membuatku kehilangan akses pada bagian pinggangnya ke bawah karena tertutup island table. Aku memberanikan diri mendekat sementara dia menghindar semakin jauh. Suhu tubuhku perlahan meningkat, aku bisa merasakan bulu kudukku meremang. Aku tidak ingin membicarakan tentang reaksi bagian tubuhku yang lain.

Aku mencoba meraihnya, tapi dia terus menghindar. Kemudian aku berhenti dan gantian cemberut, "Saya baru saja membuat perusahaan ibu untung ratusan juta rupiah dalam sepuluh menit," kataku mengingatkannya. "Ini imbalan saya, dan saya nggak mau main kejar-kejaran."

"Kan kamu bilang cuma mau lihat aku pakai bikini," dia mencoba bernegosiasi yang aku yakin sebenarnya hanya ia lakukan karena malu melihat kondisinya. Dia tentu tahu apa yang ingin kulakukan setelah melihatnya dalam keadaan seperti itu, kan?

"Itu benar," kataku. "Sekarang saya sudah melihatnya."

"Nah... iya... sekarang sudah, kan?"

"Kalau begitu lepaskan."

"Maksudnya?"

"Saya sudah melihat ibu dalam bikininya, sekarang lepaskan."

"Mahmoud!"

"Kalau tidak ingin lepaskan, saya akan mendekat, dan ibu nggak boleh lari."

Bu Mina mencoba menutupi bagian-bagian tubuh dengan lengan dan tangan, serta merapatkan kakinya. Aku ingin bilang itu nggak berarti banyak, malah membuatnya kelihatan makin tak berdaya dan manis, tapi aku membiarkannya. Pembuluh darahku melebar sewaktu telingaku mendengarnya mencicit, "Aku malu, Moud...!"

"Saya sudah melihat yang seharusnya jauh lebih bikin ibu malu dari ini," bujukku dengan suara setenang air danau seakan melihatnya memeluk tubuhnya sendiri tidak mempengaruhi psikisku.

"Tapi biasanya kondisinya lain dari sekarang—Oh! Ah! Mahmoud!!!" Bu Mina menjerit dan berkelit, tapi kali ini aku lebih cepat melompat ke arahnya dan mendekap tubuhnya dengan tak sabar. Sudah cukup main-mainnya. Perempuan itu terus meronta manja dalam pelukanku.

"Hssst, tenang, Wilhelmina, hssst....," bisikku nakal di telinganya. "Ibu nggak mau kain yang kecil ini justru terlepas kalau ibu banyak bergerak, kan?"

Bu Mina menggeram, menyerah dan memasrahkan bibirnya untukku. Dia sempat mengeluh tak nyaman dan mengajakku kembali ke kamar dengan alasan tak mau melakukannya tanpa pengaman. Dia tak tahu aku diam-diam menyimpan beberapa di setiap sudut ruangan karena aku berharap kami bisa mencobanya di setiap tempat.

Baca part 59 juga di karyakarsa buat lanjutan bikini dan sepatu hak tinggi MinaXMahmoud. Pas adegan mahmoud bangun pagi itu, nah sebelumnya ada yang kepotong, tuh. Part 59 ini special part juga, cuma harganya reguler gitu.

Tapi ya indehoinya mahmoud tuh ada gemes2nya 😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro