63. Putus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai...

Buat kamu yang pengin baca cerita ini sampai tamat, silakan baca di Karyakarsa, ya. Wattpad nggak usah ditungguin lagi.

Kamu bisa dukung lanjutan versi Wattpad sampai tamat, lalu dukung paket all extra parts, atau dukung semua part premium di Karyakarsa, kirim semua bukti dukungan ke emailku, dan kamu bisa simpan pdf yang nggak kujual di manapun. 

Di part lalu, aku udah bilang kalau nggak 100 komen nggak kulanjut, tapi udah berminggu-minggu nggak nyampe juga. It means, memang nggak mau dilanjut, ya.

Jadi part ini kupost sebagai part perpisahan Trapping Mr. Mahmoud.

Aku hanya akan update lagi kalau komennya bisa 100 tanpa spam. Kalau enggak, silakan lanjut di Karyakarsa. Buat yang memang nungguin, nggak usah ditungguin, langsung dukung aja.

I promise it worth it. Versi premium jauh banget bedanya sama Wattpad. 

Targetku nggak vote, kok, soalnya aku tahu udah pada lanjut di KK. Targetku komen yang relatif lebih mudah, kalau dari 400 voters komen sekali aja, harusnya 100 komen mah gampang.

Okay... bye-bye 😘

Aku pengin banget lanjut versi wattpad cerita ini seperti komitmenku di awal dan baru kuhapus sebagian setelah tamat, but it's all up to you, Sayang.

Muach!

"Jangan kelamaan di Jakarta, langsung pulang. Kalau temanmu nggak bisa mengantar ke stasiun, telepon aku. Nanti aku yang antar. Pokoknya kamu tetap tanggung jawabku selama di Jakarta, jangan sembarangan di kota besar seperti ini, Lastri. Jaga diri kamu baik-baik. Ya? Kamu nggak serius soal pergi ke Arab itu, kan?"

"Siapa bilang?" Lastri cemberut sambil berpaling dariku. "Mas kok mau ngantar-ngantar Lastri? Jangan kasih harapan ke seorang gadis dengan kebaikan hati Mas! Lastri udah kena PHP dari Lastri masih SD. Mas udah jadi model terkenal aja... lupa sama Lastri."

"Apa?"

"Mas pikir Lastri nggak tahu? Itu kan cewek yang suka foto-foto sama Mas Mahmoud di Instagram. Makanya Lastri nekat ke sini, ternyata benar. Laki-laki kalau udah ke kota, lihat perempuan yang lebih bening, pasti yang di desa dilupain."

"Kamu kok jadi sembarangan gitu ngomongnya?" tanyaku sambil menggaruk rahang yang tahu-tahu gatal. Tadinya aku cuman mau basa-basi aja, Bu Mina masih menunggu di mobil. Harusnya aku nggak ngomong apa-apa tadi. "Jangan bilang Ummi-ku di sini aku jadi model."

"Kenapa?"

"Karena dia pasti akan berpikir sama denganmu."

"Tapi kan memang betul, Mas terpikat sama perempuan kota!"

"Tapi aku nggak pernah ya Lastri... menjanjikan apa-apa ke kamu. Aku datang ke kota sebagai pria lajang, bukan pria yang lantas melupakan tunangannya demi gadis lain. Aku memang mengecewakanmu, aku bahkan nggak tahu gimana harus menjelaskan semua ini ke Sabat, tapi tolong... kamu jangan punya pikiran kayak gitu, dan malah bertindak gegabah. Kerja di Arab nggak semudah yang kamu pikirkan, lanjutkan saja kuliahmu, cari pacar yang seumuran sama kamu, lalu menikah. Mengerti?"

"Mas Mahmoud nggak akan berhasil sama Mbak itu. Ummi nggak akan suka sama dia. Dia nggak pakai jilbab!"

"Kamu juga nggak pakai."

"Tapi Lastri mau kapan aja pakai jilbab kalau memang diperlukan, coba saja Mas suruh Mbak itu pakai, pasti dia mutusin Mas Mahmoud. Gadis kota nggak sama kayak gadis desa, Mas. Jangan sampai ya Mas Mahmoud ngemis-ngemis ke Lastri kalau cewek itu mutusin Mas gara-gara dia nggak tahan punya mertua bawel kayak Ummi!"

"Hey—"

Arrrgh! Aku menggeram dan menahan diriku dari mencegah Lastri melenggang menghampiri kawannya. Kalau kuladenin, nanti malah makin panjang. Enak saja. Ummi-ku nggak bawel. Ya semua ibu memang bawel, tapi Ummi bukan perempuan jahat yang akan memusuhi menantunya seperti caranya menuduh tadi. Beliau sangat akrab dengan istri Mas Ahmad. Justru, aku lebih khawatir kalau Abhi yang nggak setuju. Aku berjalan ke arah mobil. Mana mau Bu Mina pakai jilbab seperti harapan kedua orang tuaku. Apalagi kalau mereka tahu gaya berpacaranku seperti ini.

"Kamu yang nyetir," kata Bu Mina, bokongku yang belum sempat menyentuh jok mobil kuangkat kembali. Kami bertukar tempat duduk.

Sambil menjalankan mobil, aku melirik padanya dan sontak menjulurkan tangan untuk menggamit jemarinya. Bu Mina habis menangis. Dia menyentak tanganku dan melipat tangannya di depan dada, berpaling ke luar jendela. Hari mulai gelap, jalanan sedang padat-padatnya. Kami saling membisu, berkali-kali Bu Mina menepuk sekitar matanya dengan tisu.

"Di desa, orang-orang tua memang suka menentukan garis nasib keturunannya," aku membuka suara. Lampu lalu lintas menyala merah jauh di depanku, berderet-deret mobil menunggu giliran melewati lampu hijau. Kami bisa membicarakan 1001 macam hal dengan kondisi jalan sepadat ini, tapi aku nggak mau membahas air matanya. Kupikir aku bisa menyicil penjelasan, "Salah satunya dengan mencoba menikahkan anak-anak mereka. Bukan berarti saya setuju dengan rencana orang tua saya. Mereka hanya sering membicarakan Lastri di depan saya dan jujur... saya tahu maksudnya, tapi saya tidak pernah serius menanggapi karena saya sama sekali tidak tertarik."

Bu Mina membunyikan tarikan dan embusan napasnya. "Tolong tutup saja mulutmu sekarang, Mahmoud," tandasnya keji.

"Ibu mau mampir beli makanan dulu?" tanyaku.

Dia menggeleng.

"Mau saya masakin sesuatu di rumah?"

Dia diam.

"Aku mau ke rumah Adrian."

"Untuk apa?"

"Kamu juga akan tahu nanti. Belok kiri di depan, aku tunjukin jalannya."

Aku menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Dalam kondisi seperti ini, aku nggak bisa bersikap lebih tegas seperti kalau aku memintanya menanggalkan pakaian di atas tempat tidur sebagai kekasihnya. Dalam kondisi begini, aku kembali menjadi bawahannya.

Untuk apa kami ke apartemen Adrian? Meski dadaku panas terbakar api cemburu, aku tidak membantah. Sejak aku tahu dia juga tidur dengan Adri di malam yang sama kami bercinta tanpa pengaman, hal terakhir yang ingin kulakukan adalah menjalin komunikasi dengan sepupuku. Kupikir Bu Mina juga sama.

Tiba-tiba, saat mobil kami terhimpit kendaraan lain dari berbagai penjuru, Bu Mina yang mungkin mulai bosan akhirnya bertanya, "Kalau orang tuamu tahu kamu sudah menolak Lastri, apa yang akan mereka katakan?"

Aku menarik wajahku ke belakang secara spontan. Heran, sekaligus lega. Itu berarti dia sudah tidak mempersoalkan perjodohanku dengan Lastri dan menganggap masalah yang barusan sudah selesai. Pikiran praktis perempuan kota memang begini, atau ini hanya karena dia seorang Wilhelmina Santoso yang bisa mengajak seorang pria tidur dengannya hampir setiap hari tanpa cinta? Terus... untuk apa air matanya menetes? Betapa malunya aku. Kupikir dia sakit hati dan cemburu sampai-sampai keangkuhannya runtuh dan meleleh menjadi air mata. Lalu, kalau bukan gara-gara Lastri, apa alasannya menangis?

"Mahmoud!" bentaknya gara-gara aku nggak kunjung menjawab.

"Mungkin kecewa," jawabku cepat. "Dulu kakak laki-laki saya juga dijodohkan dengan perempuan sedesa, tapi toh sekarang dia menikahi kawan wanitanya saat kuliah dari desa sebelah. Bukan masalah besar saya kira, asal saya bisa mempertanggungjawabkan pilihan. Pertanyaan ibu sudah saya jawab. Sekarang, boleh saya gantian nanya?"

"Nggak boleh," katanya egois.

"Kenapa kita mau ke tempat Adrian?" tanyaku nekat.

"Kubilang kamu nggak boleh nanya," gumamnya sambil kembali berpaling dan melamun menatap ke luar jendela yang pemandangannya adalah jendela mobil lain.

"Apa soal pekerjaan?"

Menggeleng.

"Lalu soal apa? Saya ingin tahu. Bu Mina!" desakku tak sabar. Aku juga tak tahan untuk tidak mencekal lengan dan membalik badannya supaya kami bisa bersitatap.

Bu Mina memutar lengannya untuk melepaskan diri dari cengkeramanku, "Akhir-akhir ini kamu terus membantah kata-kataku, Moud," kesahnya, buang muka lagi seolah dia tak sudi berlama-lama memandang wajahku. "Kamu bahkan mengancam nggak mau nyentuh aku lagi buat memaksakan perasaanmu. Kalau kita nggak pacaran, hatiku nggak akan terasa seberat ini melihatmu bersama pacar kecilmu itu. Akan lebih baik kalau aku menghadapi semua ini sendirian."

"Dia bukan pacar saya."

"Ya apapun lah itu."

"Menghadapi semua ini sendirian apa maksud ibu?"

Tak ada jawaban. Aku menatap kembali ke depan sambil menginjak pedal gas perlahan. Kami hanya maju tak sampai satu meter. Sewaktu aku kembali memeriksanya, dia sudah menopang dagu dengan siku tersangga tepian jendela. Kaca di sisinya memperlihatkan pantulan sepasang bola mata yang berlapis kabut tipis.

"Jadi Bu Mina menyambut perasaan saya karena terancam?" gumamku dengan suara teredam. Dadaku seperti terkoyak, sakit sekali mendengarnya. "Tolong hargai perasaan saya dan jawab. Terancam kenapa? Apa yang membuat ibu takut dan merasa terancam saat saya memutuskan berhenti melanjutkan permainan kita? Takut saya meninggalkan HBM? Saya sudah bilang saya akan terus membantu perusahaan, atau ibu takut nggak ada lagi orang yang mau diajak melampiaskan hasrat tanpa menuntut macam-macam?"

Aku menunggu, tapi tetap tak ada reaksi darinya. Kata-kataku sudah cukup tajam, kalau dia punya perasaan, seharusnya dia terusik. Tanganku memukul kemudi untuk melampiaskan geram. Kuacak rambutku dengan satu tangan. "Kalau ibu mengatakan itu hanya karena kesal oleh kehadiran Lastri, saya terima. Tapi kalau memang itu yang ibu rasakan, hanya merasa terancam entah apa alasannya, saya siap menerima keputusan ibu malam ini."

Hening.

"Saya punya perasaan," aku mengingatkannya. "Saya sangat menyayangi Bu Mina, saya sudah pernah bilang... apapun akan saya lakukan supaya ibu senang. Tapi ini terlalu menyakitkan. Saya tahu waktu itu ibu hanya bilang ingin mencoba, saya tahu ibu tidak mencintai saya, tapi menganggap saya mengancam supaya ibu menerima perasaan saya... itu terlalu kejam. Mungkin saya memang melakukannya supaya ibu merasa kehilangan, tapi saya pikir alasan dari respons yang ibu berikan adalah kesadaran ibu akan kehadiran saya, bukan lantaran merasa terancam."

"Kamu bisa nggak sih berhenti manggil aku ibu-ibu-ibu saat kita membicarakan hal seperti ini?"

"Itu hanya panggilan, masalah kebiasaan. Nggak terlalu penting. Kalau saya mau panggil sayang, memangnya akan ibu izinkan?"

"Ya paling enggak... saat kita berduaan dan membicarakan masalah pribadi, kamu bisa kan manggil namaku?"

Aku mengetatkan rahang kuat-kuat sampai gerahamku terasa linu. Perempuan ini... bisa-bisanya dia membelokkan keseriusanku dengan keberatan konyol yang nggak perlu. "Okay, MINA. MINA. MINA. Kamu merasa terancam? Kenapa?!" seruku sambil mengentakkan tubuh di depan kemudi yang kupegangi erat-erat. "Saya ini apa buat kamu? Sampai sekarang pun, apa saya ini hanya objek buat melampiaskan kebutuhanmu? Suruh saya keluar dari sini kalau memang itu maumu, saya akan keluar. Jangan khawatir, besok pagi saya akan datang lagi ke kantor, bekerja, dan difoto berapa kalipun kalian mau. Tidak dibayar pun nggak masalah! Saya masih punya harga diri!"

"Mahmoud!"

Tanganku yang sudah siap menarik lepas sabuk pengaman di pinggangku ditahannya. Brengsek. Kuentak punggungku berkali-kali ke sandaran kursi. Mobil di depanku bergerak, mobil di belakangku mulai membunyikan klakson. Aku menatapnya dengan mata merah terbakar emosi, hidungku mendengus, habis rasanya kesabaranku ini. "Kita putus saja kalau begini," kataku bulat, meski suaraku agak bergetar.

Matanya mencelang mendengar ucapanku.

"Saya antar kamu ke tempat Adrian, saya pulang naik taksi. Besok pagi saya pindah."

"Ke mana?"

"Bukan urusan kamu!"

Lanjutan versi wattpad covernya gini ya

ini lebih hemat, tapi ya kata aku sih mending ikutin paket2 yang premium 🤭
Soalnya exclusive. Cuma bisa baca di situ.

Terus lanjut all extra part.
Kamu bisa cek di paket, habis itu buka part-part di extra part TMM setelah melakukan dukungan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro