64. Tidak Putus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku hanya akan update TMM lagi kalau part ini komennya 100, ya.

Jangan lupa follow aku di sosial media.


Putus.

Aku termangu. Secara mengejutkan, aku justru merasa menjadi pacar Mahmoud saat dia memberontak dan memarahiku, bahkan membentakku dan menyuruhku nggak ikut campur ke mana dia akan pergi. Dadaku berdebar kencang. Beginilah kamu seharusnya, Mahmoud! Bahkan setelah kami berkencan, aku masih sulit membedakan posisi kami di kantor sebagai atasan dan bawahan, dengan di rumah sebagai sepasang kekasih. Aku sama sekali nggak membantahnya, aku justru berpaling untuk menikmati perasaan ini. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku merasa dimiliki.

Rasanya berjam-jam kemudian kami baru tiba di gedung apartemen baru Adrian. Aku nggak tahu dia di dalam, atau tidak, tapi aku sudah meninggalkan pesan di WA-nya. Nggak terbaca, sih, tapi bukan berarti nggak dibaca. Aku untung-untungan saja. Satpam di luar mengizinkan kami masuk, mobil diparkir di lahan parkir untuk tamu. Mahmoud baru mematikan mesin setelah membiarkannya menyala beberapa saat.

Apa dia benar-benar mutusin aku?

Kami sama-sama membisu. Hening di dalam mobil. Gelap. Hanya bunyi napas berat gantian berembus yang terdengar, menambah suasana canggung dan tegang. Mataku perlahan beradaptasi dan kegelapan berangsur berkurang, cahaya-cahaya lampu di sekitar lahan parkiran menerangi sampai ke dalam. Aku menunggu dan kurasa Mahmoud melakukan hal yang sama. Dari sudut mataku, kulihat otot-otot lehernya melentur ke kiri. "Pastikan Adrian mengantar ibu pulang," dia masih bisa bilang begitu.

Oh, wow... dia serius.

Yah, orang seperti Mahmoud biasanya sangat serius dengan ucapannya. Sama seperti waktu dia bilang dia mau melakukan apa saja, dia pun melakukan apa saja. Mungkin aku sudah menyentil egonya dengan kuat, tapi itu berarti aku mungkin benar. Seseorang biasanya akan marah kalau motif tersembunyinya berhasil ditebak. To be honest, nggak sulit untuk menerka hal itu. Reaksiku juga pasti bisa diterkanya dengan mudah, siapa yang sanggup dihadapkan pada sosoknya yang menggiurkan tanpa boleh melakukan apa-apa?

Aku memandangi wajah Mahmoud yang tampan tanpa cela. Dengan paras seperti itu, begitu mudah dia membuat seseorang jatuh cinta. Aku tak tahu mengapa hatiku begitu keras kepala.

"Okay," mulutku berucap. Aku lantas merampingkan perut dan melepas sabuk pengaman, lalu mengenakan sepatu yang sebelumnya kutanggalkan.

"Mina!" Mahmoud menghardik gusar. Aku yang sedang menarik tumit sepatu supaya kakiku bisa masuk sontak berhenti dan menoleh padanya. Dia menyentuh lenganku. Mungkin dia bermaksud mencegahku keluar, padahal nggak usah dicegah juga aku nggak akan bisa ke mana-mana kecuali dia membuka kuncian sentralnya. "Sudah? Semudah ini saja?" tanyanya.

Kujebloskan kakiku ke dalam sepatu, lalu mengubah posisiku ke arahnya. Mahmoud menahan napas, dadanya membusung. Matanya membola menatapku. Apa dia benar-benar sudah bertekuk lutut di kakiku? Apa aku seharusnya bahagia menerima cinta yang begitu besar dan bisa kumanfaatkan kapan saja ini? Kenapa aku tidak merasakannya? Kenapa aku tidak senang melihatnya kacau gara-gara sikapku yang acuh tak acuh? Apa aku juga sudah jatuh hati padanya?

"Mahmoud...," kataku lembut, kusentuh pipinya. "Kamu bisa tinggal kalau kamu mau."

"Apa kamu mau saya tinggal?" tanyanya. Somehow, aku merasa aneh saat dia memanggilku dengan 'kamu', bukan ibu, atau Bu Mina. Kenapa aku harus melukai perasaannya dengan mencemooh caranya memanggilku kalau panggilan itu sudah begitu enak di telingaku? Apa itu karena panggilan tersebut membuatku kesulitan menganggap bahwa kami berdua menjalin kasih?

Wahai hatiku yang keras kepala, tunduklah. Cukup kepalamu saja yang batu.

Aku menggamit tangannya, "Iya. Aku mau kamu tinggal."

Ekspresi Mahmoud seketika berubah. Otot-otot dadanya yang tegap melentur, napasnya terembus panjang dan lega. Dia meremas jemariku yang menggamitnya, lalu setelah matanya memejam cukup lama, dia menatapku bulat-bulat. Kupikir dia akan mengatakan sesuatu, tapi ternyata dia menarik tubuhku mendekat dengan paksa dan membuatku tak kuasa menolak keinginannya supaya aku duduk di pangkuannya. Mahmoud menyelipkan kedua tangannya di rumpun rambutku, mencengkeram tempurung kepalaku dan membawa wajahku mendekat padanya. Keningku menyatu dengan keningnya sebelum bibirnya menempel lekat pada bibirku dan bertahan di sana sampai beberapa waktu. Bibir Mahmpud tak bergerak meski aku membuka mulut, mengundang pagutan bibirnya.

"Saya ini apa buat kamu?" tanyanya sedih.

"Jangan," cegahku. "Jangan pertanyaan-pertanyaan sulit di saat seperti ini. Aku nggak sanggup berselisih paham denganmu sekarang."

"Kenapa?"

Tanganku menyelinap masuk ke dalam lengan Mahmpud dan menyisir rambut di dekat pelipisnya. Dalam jarak yang begitu dekat, mata kami bertemu. Entah apa, tapi aku yakin Mahmoud tak bisa menebak isi kepalaku sekarang. Aku memilih menutup kelopak mataku sebab aku tahu pagutan yang tak pernah dilakukannya tadi akan dilakukannya sekarang.

Mahmoud melumat bibirku dengan rahang mengeras dan urat-urat dahi bertonjolan. Bibirnya memagut dalam dan kuat, lidahnya menyeruak memasuki rongga mulutku, kemudian dikeluarkannya lagi untuk membasahi bibirku lantas mengulumnya. Aku mengerang, Mahmoud menggigit bibir bawahku samar dan melepaskannya. Mata kami kembali bertemu sebelum dia mengecupku lagi, menghirup napasku, dan diam di sana sampai aku memisahkan diri darinya. Oh, Mahmoud... seandainya saja hubungan kita tidak serumit ini.

"Ayo kita temui Adrian sekarang," putusku.

"Kenapa kita harus menemui Adrian sekarang? Apa yang begitu mendesak?"

"Kamu akan tahu nanti—"

"Saya mau tahu sekarang, saya pacarmu. Adrian bisa tahu belakangan," desaknya.

"Aku hamil," jawabku pendek, Mahmoud membeku. Aku menunggu beberapa saat dengan perasaan iba menyaksikannya terdiam seperti patung. Tubuhku yang bersandar di roda kemudi kuentak maju supaya aku bisa merengkuh kepalanya dan membenamkannya ke dadaku. Kedua lengan Mahmoud jatuh terkulai.

Aku mengelus kepalaya, membelai-belai rambutnya. Kasihan kamu, Moud... aku sudah menempatkanmu pada posisi yang sangat sulit. Entah apa jadinya nanti. Aku nggak akan meminta pertanggungjawaban, yang kutahu justru akan semakin melukai hatinya. Kata maaf yang kuucapkan lembut di telinganya membuat lengannya bergerak. Mahmoud memeluk pinggangku.

"Ayo kita pulang," ajaknya. "Kita bicarakan di rumah."

"Moud... Adrian juga harus tahu soal ini."

"Saya nggak peduli. Adrian bahkan nggak menjalin komunikasi dengan kamu setelah apa yang dilakukannya. Dia tahu benar apa risikonya dan dia memilih menjauh. Saya tahu apa risikonya dan saya nggak peduli itu anak siapa. Saya yang akan bertanggung jawab. Memangnya kalau Adrian mau bertanggung jawab, ibu—kamu—mau menerima pertanggungjawabannya?"

"Ibu nggak apa-apa, Moud."

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Mina. Saya sangat serius!"

Aku melipat bibir, tawaku menyembur tertahan tanpa bisa kuhentikan. Mahmoud melepaskan pinggangku dan menaruh lengannya di kedua sisi bahuku, lalu menjambak rambutku dengan kesal sampai aku menyerah, "Maaf, maaf... aku sudah sangat tegang seharian, aku baru sadar aku sudah begitu terbiasa dengan caramu memanggil. Aku hanya kesal tadi, kamu boleh memanggilku seperti biasa, Moud... aku suka...."

"Saya nggak ingin membagi kebahagiaan ini dengan Adrian," rengek Mahmoud seraya menyeret pinggulku maju. Kakiku yang tertekuk mengapit pinggangnya, rok-ku tersingkap paksa. Tanganku menahan pundaknya untuk mencegah dadaku dan dadanya berhimpitan. Mahmoud merangsek mengendusi rahangku. Aku tidak melawan. Gerakan sensual itu mendebarkan jantungku, desah tertahan lolos dari bibirku.

Panggulku yang berkontraksi menghasilkan sekresi di genitalku, membuatku resah. Rangsangan Mahmoud di tepi daun telingaku memberatkan napasku. Otot-otot leherku tertarik ke atas, kepalaku terangkat saat napasnya membelai di sekitar leherku. Sesuatu yang keras di bawah pinggang Mahmoud menekan bagian belakangku, tanpa sadar pinggulku bergerak dan membuatnya mengerang.

"Apa yang harus saya lakukan?" tanyanya.

"Melepasku."

Matanya sontak membelalak.

"Maksudku sekarang," kataku gemas sambil mendorong pundaknya. "Kita harus menemui Adrian, Moud. Ini bukan kebahagiaan, Mahmoud! Setidaknya belum. Kamu tahu apa yang terjadi malam itu, kan?"

"Tapi bukan berarti yang jadi ini yang malam itu!" bantahnya. "Kita sudah melakukannya ratusan kali setelah malam itu. Bisa jadi itu benih saya sepenuhnya, tidak ada campur tangan Adrian. Lebih baik kita singkirkan gagasan itu mulai sekarang."

"Ini nggak sesederhana itu," desahku gamang.

"Ini mungkin sesederhana itu," tegas Mahmoud teguh pendirian. "Pertanyaannya, apa yang harus saya lakukan? Siapa yang harus saya temui dulu? Ayahmu? Atau ayahku? Kita nggak mungkin punya anak tanpa pernikahan, kan? Saya tahu kamu berpandangan luas, kamu bebas, mandiri, kamu bisa bertanggung jawab sendiri, tapi saya nggak bisa membiarkannya. Kita akan menikah. Iya, kan?"

"Oh Mahmoud... aku...."

"Nikahi saya," katanya.

Aku menelan ludah.

"Saya tahu kamu juga menginginkannya. Kamu hanya pernah terluka, bukan berarti luka itu nggak bisa disembuhkan. Lihat saya, Mina, apa yang bisa kamu ragukan dari keseriusan saya?"

"Kita harus yakin dulu, Moud... ini anak siapa."

Mahmoud membekap mulutku dengan tangannya. Dia menggeleng, lalu setelah yakin aku nggak akan bicara apa-apa lagi, dia membebaskanku dari bungkamannya. "Kalaupun itu anak Adrian, kamu nggak akan mau menikahinya, kan?"


Silakan melanjutkan membaca di Karyakarsa untuk TMM chapter 65. Wet Wet Wet karena ini special part. Special part berisi adegan mature yang nggak aku share di Wattpad.
Hehe...
Di wattpad aku share versi syariahnya aja 🤭

Dukungnya via web ya. Klik link karyakarsaku di wattpad. Jangan dukung via aplikasi.
Di web, kamu bisa isi saldo koin, atau langsung pakai e-wallet ke part yg mau kamu akses aja dengan harga sesuai yang kukasih tanpa pajak. Di aplikasi, kamu harus isi saldo koin dengan harga plus pajak yang lumayan lebih mahal.
Nanti setelah kamu berhasil dukung, kalau mau baca via aplikasi juga bisa asal kamu login dengan akun yang sama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro