65. Wet Wet Wet

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum adegan yang akan kamu baca ini, dan di tengah-tengahnya ada adegan mature yang nggak ada di Wattpad. Di sini disensor, yaaa...  Hanya bisa kamu baca di chapter 65-66 di karyakarsa.

Aku hanya akan update lagi di wattpad kalau chapter ini 100 komen, ya

Cantik sekali.

Lelapnya begitu damai. Pipinya merona. Bibirnya setengah terbuka. Tubuhnya tentu saja telanjang. Tanganku ada di perutnya yang pipih, sama sekali tak terlihat tanda-tanda adanya janin di dalam sana. Aku nggak tahu apakah aman atau tidak bercinta saat kandungannya belum genap dua bulan, tapi semalam itu panas sekali.

Sewaktu tidurnya terusik, matanya yang membuka langsung menatap tepat ke inti mataku. Kelopak matanya mengerjap, tersenyum bersama bibirnya yang merah dan penuh. Dengan serta merta aku menyentuh daging kenyal yang lembab itu, lalu menukarnya dengan bibirku. Tak cukup dengan satu kecupan, bibirku memagut semakin dalam, dan tubuhku berpindah ke atasnya. Bu Mina berpaling sambil tertawa kecil, "Lagi?"

"Oh, Mahmoud...," desahnya saat dengan sengaja aku menggesekkan bagian bawah pinggangku kepadanya. Tubuh polos kami hanya terhalang selimut yang kutarik dan kuhempaskan. Kulitku bergesekan dengan halus kulitnya. Bu Mina mengesah, menggeliat, mengencangkan kejantananku yang perlahan bangkit semakin tegak.

Aku menekan dengan hati-hati.

Tubuhnya menggelepar sensual. Seperti biasa dia mencapainya lebih dulu sebelum aku menuntaskan hasrat.

"Kita ke dokter hari ini," katanya sambil menyandarkan punggungnya di dadaku yang langsung menangkup pinggang dan memeluknya. Air hangat melingkupi tubuh kami, mengalirkan rasa nyaman dan merelakskan otot-otot yang tegang sehabis bercinta.

"Moud...," bisiknya, bibirku baru saja mengecup tepi telinganya. "Apa rencanamu?"

Aku terdiam mengelus perutnya, masih berpikir saat tanganku mulai meremas payudaranya. Apa rencanaku? Aku nggak tahu. Aku hanya ingin terus bersamanya, melakukan ini sepanjang hari sampai dia bilang cukup.

"Kalau aku hamil... ada banyak sekali rencana yang berkaitan dengan HBM yang harus diubah. Sampai sekarang sejak awal perusahaan masih menggunakanku sebagai wajah utama, aku nggak akan bisa melakukannya dalam keadaan hamil."

"Kenapa?"

"Aku bakal jelek dan gendut."

"Itu nggak mungkin."

Bu Mina tertawa getir, "Kamu nggak pernah lihat aku waktu jelek dan gendut, dulu aku nggak kayak gini, Moud. Rambutku dulu tipis, badanku gemuk dan bergelambir... kamu nggak akan jatuh bangun kayak gini melihatku beberapa tahun lalu, mengajakku bercinta setiap waktu... kamu akan langsung berpaling."

"Mungkin saja," kataku jujur. "Tapi saya nggak akan berpaling hanya karena perempuan yang saya cintai jadi gendut dan jelek karena hamil."

Bu Mina menarik wajahnya menjauh dariku, kami bersitatap di atas pundaknya.

"Cinta mungkin datang karena alasan fisik, saya mungkin tertarik pada ibu karena ibu sangat cantik dan seksi, tapi bukan cinta namanya kalau saya meninggalkan seorang wanita yang pernah saya pilih karena kemolekannya. Kalau begitu... nggak akan ada orang yang bertahan dengan satu wanita sampai tua. Semua orang akan jelek juga saat waktunya tiba."

Untuk beberapa saat, dia masih memaku mendengar jawabanku meski kemudian aku mengecup pipinya dan kembali memainkan puncak payudaranya sesuka hatiku. "Jawaban yang menarik," katanya setelah mukanya menghadap ke depan seperti semula. "Jangan mainin payudaraku, Mahmoud! Geli banget rasanya!"

"Tapi biasanya ibu suka."

Dia menggeliat, membuatku semakin ingin melakukan apa yang dilarangnya. Bu Mina terkikik dan akhirnya tertawa kencang saat aku nekat menekan tubuhnya melawan bagian bawahku yang mengeras. Kalau dia mengizinkan, aku akan dengan senang hati kembali melayani hasratnya. Bukan hanya aku yang selalu mengajaknya bercinta, dia selalu menatapku dengan gairah yang membuncah. Aku hanya seorang pria yang sudah mendapatkan lampu hijau, ini tak pernah terjadi saat aku masih menjadi bawahannya. Yah... hanya bawahannya. Sekarang aku juga kekasihnya.

"Kalau aku beneran hamil, which is sepertinya aku emang hamil, kuminta kamu jangan panik. Okay?"

Aku mengaitkan butir kancing teratas kemejaku dan merapikan ujungnya yang kuselipkan di pinggang celana jeans. Tatapan kami bertemu di cermin meja riasnya, kemudian aku mengangguk. Setelah memulas dan mengatupkan bibirnya dua kali, Bu Mina menutup lipstiknya dan tercenung memperhatikanku. "Aku nggak ingin pernikahan karena adanya anak ini."

"Apa?"

"Tenang dulu," katanya, menunduk untuk menaruh lipstiknya di meja. "Kamu sendiri kan yang bilang? Orang yang lagi hamil nggak boleh dinikahi? Aku nggak mau selama kehamilan, aku harus menghadapi tekanan dari keluargamu, atau keluargaku. Mamaku bakal heboh banget, tapi aku bisa mengandalkan papaku untuk meredamnya. Mahmoud... tunggu,"—dia mencengkeram tanganku karena aku mulai resah—"aku tetap ingin tahu siapa ayah bayi ini."

"Kalau ternyata itu anak saya, saya ingin kita menikah."

"Okay."

Aku menarik daguku ke belakang, tak menyangka dia akan setuju semudah itu.

"Kalau ini anak Adrian... aku nggak ingin kamu menikahiku, aku ingin kamu berada di sisiku, kalau kamu masih mau. Kita hanya akan menikah setelah kamu memikirkannya baik-baik, Mahmoud. Kalau ini anak Adrian... akan ada dua pria dalam hidupku dan orang itu adalah sepupumu. Kamu mengerti?"

Aku masih berusaha mengelak saat dia menangkup kedua sisi rahangku dengan telapak tangannya yang halus dan wangi. Rahangku mengeras saat dia memaksaku membalas tatapannya. "Saya ingin menikahimu. Saya mencintaimu."

Tatapannya meredup, tangkupan tangannya mengendur dan menjadi belaian di pipiku. Tanganku menyentuh pinggang rampingnya dan mengentaknya lembut mendekat padaku. Kening kami menyatu, saat napasnya berembus, aku menarik napasku dalam-dalam. Aku tahu batinnya tersentuh, tapi hatinya begitu keras kepala. "Aku juga mencintaimu, tapi sebaiknya kita selesaikan satu per satu dulu. Kita baru akan tahu siapa ayah bayi ini setelah dia lahir."

"Saya nggak terlalu peduli. Saya takut kalau Adrian tahu, dia akan meminta hak yang sama dengan saya, menikahi kamu."

"Aku bukan barang, Mahmoud. Nggak seorang pun bisa menikahiku kalau aku menolaknya. Kamu masih berpikir dunia ini berporos pada kaum laki-laki saja, kalian merasa lebih berhak menentukan nasib perempuan hanya karena kami lah yang menanggung akibatnya. Aku nggak keberatan menanggung anak ini sendirian, aku punya uang, punya keluarga yang akan mendukungku. Aku akan menikah kalau ini anakmu, kalau bukan... aku nggak ingin kamu bertanggung jawab. Kalau setelah itu kamu tetap ingin menikahiku, itu lain soal. Kita lihat lagi nanti. Okay?"

Dia bertanya seolah aku punya kekuatan untuk menolak keputusannya.

"Okay?"

Dengan berat hati, aku mengangguk.

"Menurutku itu keputusan terbaikku," katanya sambil menggamit tanganku sementara aku mengunci pintu apartemennya. "Aku beruntung karena aku punya privilige untuk menentukan bagaimana nasibku. Aku menjalankan perusahaanku sendiri, aku bisa meyakinkan kedua orang tuaku yang kolot. Kalau aku hamil, aku ingin hamil dengan tenang."

"Saya bisa menelepon Abhi saya sekarang. Kalaupun dia mengingkari karena malu, saya bisa menikahi ibu tanpa persetujuan mereka. Kita akan melakukannya dengan tenang."

"Ya... aku yakin nggak akan ada kehebohan apa-apa. Abhi-mu pasti seneng banget punya cucu dari putranya yang meniduri perempuan di luar nikah," katanya sarkas. "Hal-hal kayak gitu yang nggak aku mau, Moud. Please...."

Langkahku terhenti dan tubuhku membalik dengan malas karena Bu Mina menahan pergelangan tanganku.

"Ayo kita hadapi ini berdua saja, ya?" pintanya.

"Berdua," tegasku. "Tanpa Adrian."

"Kalau Adrian memutuskan nggak mau tahu, ya bagus. Tapi kalau dia ingin tahu, aku nggak bisa mencegahnya."

Aku berusaha memelintir tanganku supaya terlepas dari cengkeramannya. "Dari awal, saya nggak bisa menawar apa-apa. Saya cuma pesuruh, nggak lulus kuliah, saya bahkan mau melakukan apa saja karena saya sudah jatuh hati sama kamu. Untuk apa sekarang kamu meminta kalau itu udah jadi keputusanmu?"

"Karena kamu punya hati yang sangat besar, Moud.... Karena kamu aku percaya lagi sama cinta. Aku pengin bareng kamu, kok, Mahmoud. Aku hanya nggak ingin bareng kamu karena alasan lain selain cinta. Sekarang kamu mungkin sangat mencintaiku, tapi jangan ambil keputusan saat kamu melayang karena cinta. Aku pernah melakukannya, menyerahkan segala yang kupunya, terutama kepercayaanku... lihat apa yang kudapat? Pengkhianatan."

Aku terdiam. Mengalah.

Mungkin aku harus mulai menerima bahwa pernikahan hanyalah sesuatu di atas kertas. Aku akan tetap bisa memilikinya tanpa itu semua.


Sebelum kamu lanjut baca part ini di karyakarsa, pastiin kamu udah paling enggak 18+ ya, bagusan kalau 21+ wkwk

Semua part Mr. Mahmoud di karyakarsa emang dua kali lipat lebih panjang, bahkan lebih, tapi spesial part-nya jauh lebih panjang lagi dan panas. Tentu saja, panasnya tetep bisa kamu nikmati tanpa risih, ya...

Jangan lupa kalau kamu dukung semua part atau paket, kamu akan dapat pdf premium TMM yang nggak kujual di mana pun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro