66. Daddy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karena goal-ku chapter sebelumnya nggak nyampe, kayaknya udahan aja, yah?

Trapping Mr. Mahmoud hanya akan aku post di wattpad sampai chapter 70. Selebihnya kalau mau, silakan ke karyakarsaku aja. Lanjutin baca dari chapter 70 ke 100, lalu lanjut ke extra part-nya. Udah ada paket-paketnya.

Aku pengin update sampai tamat, tapi jujur jadi males karena yang baca nggak ada effort-nya. Buat yang setia vote dan komen, mohon maaaf banget-banget, yah? Nanti kita ketemu lagi di romance comedy dan chiclit-ku yang lain. Sekarang aku lagi posting cerita yang agak serius, judulnya Swing. Silakan mampir kalau mau baca.

Selanjutnya, TMM kupost berturut-turut tiap hari satu part sampai chapter 70 aja.

Next time, kalau mau baca gratis, please lah hargain permintaan penulis, apalagi permintaannya gampang banget. 

Bye

"Wilhelmina Paulina Putri Santoso!" Papi menyebut nama lengkapku dengan suara menggelegar. Aku yang terjaga gara-gara panggilan teleponnya dan masih sibuk mengucek mata sontak terhenyak. Mahmoud masih terlelap di sisiku dengan mulut terbuka. Dia mendengkur halus, kecapekan menggempurku semalam. Dokter bilang, asal hati-hati, nggak apa-apa bercinta. Semua masalah pernikahan yang sempat nurunin mood-nya seakan nggak pernah terjadi. Dia pulang dengan riang gembira, kami bercanda, berdansa, lalu bercinta.

"Now you answer me, and answer without any tendency of misleading the facts!"

"Easy, Pap, ingat jantung," aku berusaha menenangkannya. Sekilas teringat pada sederet notifikasi telegram dan WA dari orang-orang kantor sebelum panggilan dari papi kembali masuk. Belum genap pukul tujuh pagi, aku nggak sedang ulang tahun kan hari ini? Ada apa, ya?

"Are you pregnant?!" tembak Papi, aku langsung mengumpat.

Oh... fuck...

"Papi lihat di akun gosip di instagram!" terangnya.

"Astaga, Papi.... Papi kan sudah Mina bilang ngapain sih ngikutin gosip-gosip begituan? Papi tuh bos besar, lho. Dikit-dikit kalau aku minta konsultasi soal bisnis aja alasannya sibuk, kok masih bisa ngikutin berita-berita begituan?"

Mahmoud terusik. Aku mengacungkan jari telunjuk di depan bibir, memberinya isyarat supaya tutup mulut. Hal itu membelalakkan mata sipitnya dan dia langsung merangkak merapat padaku tanpa suara.

"Nggak usah mengalihkan pembicaraan," Papi mengecam. "Gosip adalah fakta yang tertunda. Lagipula, ada banyak hal yang bisa kita petik dari ngikutin gosip. Kita jadi tahu apa yang sedang in di tengan masyarakat, itu selalu ada kaitannya dengan bisnis!"

"Ohhh... gitu, ya, Pap...." (Aku menggeleng ke arah Mahmoud yang bertanya dengan gerakan bibirnya, apa apa?)

"Kamu sendiri juga memanfaatkan akun gosip kan buat gimmick jualanmu?"

Aduh... padahal maksudku kalau bisa aku ngasih tahu papi entar-entar aja, kalau perutku sudah sedikit melendung. Kalau perlu malah setelah melahirkan, biar aku terbebas dari stres.

"Kamu nggak bermaksud menyembunyikan ini dari papi-mamimu, kan? Ngapain kamu ke obgyn? Mamimu khawatir rahimmu bermasalah, kamu kan suka telat datang bulan waktu masih remaja. Kamu kena tumor?"

Aku mendecap. Si papi denial banget. Dulu datang bulanku nggak teratur karena kegemukan dan pola makan yang kurang sehat. Mami dari anak-anaknya kecil selalu memanjakan dengan makanan dan gula berlebihan, makanya aku kelebihan lemak, otomatis hormonku nggak seimbang. Kakak laki-lakiku jerawatan parah saat akil balig. Beberapa tahun terakhir, mens-ku sudah bisa dihitung dengan kalender, kemarin kata dokter kandunganku sehat sentosa, amit-amit kena tumor.

"Enggak," jawabku pendek dan malas.

"Apa maksudmu ENGGAK?" Papi malah tambah galak. "Maksudmu... kamu hamil?"

"Iyaaa...."

"Astaga... anaknya siapa?"

"Belum ketahuan."

"MINA!!!"

Aku menjauhkan ponsel dari kupingku dan kuping Mahmoud sekaligus. Sambil menggosok tepi daun telinga dan mengurangi sakit pada gendang telingaku yang pekak gara-gara pekikan Papi, Mahmoud membantuku mengenakan kemejanya yang tersampir nggak jauh dari sisi tempat tidurnya.

"Ya terus kenapa memangnya kalau aku hamil? Papi sama Mami dulu juga hamil sebelum nikah, makanya Kakek mau nikahin kalian, kan?"

"Lalu menurutmu dulu kakekmu nggak marah-marah gitu? Dia sampai hampir nyewa pembunuh bayaran buat ngabisin nyawa papimu ini. Enak aja kamu ngomong."

"Ya, Papi kan bukan kakek," (aku mengucapkan terima kasih pada Mahmoud tanpa suara karena dia berkeliling telanjang bulat mencari celana dalamku yang tercecer, lalu membantuku memakaikannya hingga ke paha. He looked so hot, jadi aku menghadiahinya sebuah kecupan.) "Aku bisa ngatasin semuanya sendiri, Papi tinggal ngurusin histeria Mami, I am gonna be fine. I am going to give you cucu, you know. Papi percaya aku, kan?"

"Siapa itu?" tanya Papi curiga.

"No one."

"Papi dengar orang cipokan. Kalau ada laki-laki di situ, kenapa kamu bisa bilang kamu nggak tahu siapa bapaknya?"

Aku mengembuskan napas berat. Setelah tahu siapa yang menghubungiku, Mahmoud segera mengenakan pakaian dan melipir keluar kamar. Aku berusaha tidak terlalu panik karena cukup paham bagaimana menghadapi Papi. Sejak kecil kami diajarkan untuk bertanggungjawab penuh atas segala kesalahan yang kami buat, termasuk hal-hal seperti ini. Seks di luar nikah bukan dosa besar di keluarga kami, yang paling penting bagi Papi justru kami tahu bagaimana melakukan hubungan seksual yang sehat dan tidak merugikan. Tentu saja... hal seperti ini termasuk hal yang merugikan buat kaum perempuan sepertiku, tapi aku sudah dewasa. Seperti yang pernah kubilang, daripada anaknya menikahi pasangan yang menindasnya di rumah, Papiku kemungkinan jauh lebih bisa menerimaku sebagai seorang single mother.

Papi terus mencecar, "Itu office boy yang kamu jadiin model kan yang nganter kamu ke dokter?"

"Papi tahu ini dari akun gosip, kan? Jadi ada orang iseng yang ngirim videoku waktu aku sedang ke obgyn, gitu?"

"Betul."

"Dia lebih bahas soal aku atau Mahmoud? Mahmoud-nya kelihatan, nggak?"

"Enggak terlalu kelihatan, sih, dua-duanya. Narasinya juga ambigu seperti biasa, tapi di komen ada yang nyebut-nyebut kalian berdua karena jaket cowok itu jaket keluaran perusahaan kamu tahun lalu. Mina... is this true? Jadi itu kamu, apa bukan?"

"Itu aku."

Hening.

"Papi mesti bilang apa ke Mamimu? Dia bisa kena serangan jantung!"

"Nggak akan."

"Terus kenapa kamu bilang kamu nggak tahu siapa bapaknya? Memang kamu tidur sama berapa laki-laki? Kok bisa sampai nggak tahu yang mana satu?"

Aku menyibak tirai kamar dan membiarkan sinar mentari masuk menerangi ruangan. Walaupun aku tahu setelah Mahmoud ke dapur menyeduh kopi (aromanya sudah mulai tercium) aku sepenuhnya sendirian, tapi aku menoleh sekali lagi untuk memastikan. "Ceritanya panjang, Pi, intinya... I need you to trust me."

"Maksudnya?"

"Mina nggak bisa menikahi salah satu dari dua orang ini, nggak dalam waktu dekat. Look, Mahmoud sedang jadi model utama perusahaanku, papi tahu, kan? Dia nggak bisa menodai namanya sekarang, atau kami akan hancur. Kami masih punya serangkaian rencana yang akan bikin HBM makin sukses, sambil kami pikirkan siapa yang bisa menggantikan Mahmoud kalau publik mulai menduga ini anaknya. We've been working so hard buat membangun image-nya. Ibu-ibu dan perempuan muda akan kecewa kalau Mahmoud yang manis, pinter mengaji, menghamili perempuan yang adalah atasannya di kantor. It could be a disaster."

"Jadi office boy itu beneran bapaknya anakmu? Astaga Mina...."

"Belum tentu."

"ASTAGA MINAAA... Papi bakal kena serangan jantung sekarang!"

"Tck... jangan becanda, ah!" hardikku jengkel. Sekali lagi, aku menoleh. Ruangan masih kosong. Volume suaraku memelan, "Sekarang ini yang jadi concern Mina hanya HBM. Aku bertanggung jawab ke semua bawahanku yang sekarang harapannya sedang di atas awan, Pap. Mina tahu Mina salah, this should not be happening, tapi udah telanjur."

"Who's the other guy?"

"Adrian."

"Yang satunya pesuruh, yang satunya artis wanna be," cemooh Papi. "Can you find any better classy men?"

"Mahmoud bukan pesuruh, dia udah jadi model sekarang. Papi nggak tahu kan banyak banget perusahaan terkenal yang mencoba membajaknya dari HBM? Kalau papi punya departemen store atau clothing line, Papi nggak mungkin merendahkan Mahmoud dengan cemoohan kayak gitu. If you're nice to him, nanti Mina pinjemin buat opening cluster Papi yang baru di Solo. Dia bisa bahasa Jawa, lho. Cakep, deh pasti."

"Halah!" kibas Papi emosi. Aku bisa membayangkannya sedang duduk memijat pelipis di tepi kolam renang halaman belakang, menjauh dari Mami yang sekarang mungkin masih tidur. "Gimana urusannya sama Adrian?"

"Dia belum tahu."

"Bagaimana kalau dia tahu?"

"Akan makin runyam," kataku cepat, menarik napas sampai memenuhi rongga dadaku. "Atau bisa jadi... kami malah punya jalan keluar."

"Maksudmu?"

"Yah... kalau Adrian ikut campur, aku bisa memakainya buat tameng. Dia nggak rugi apa-apa. Sekarang kerjaannya lagi berantakan, siapa tahu dia justru butuh publikasi, kan? Dengan begitu... orang-orang nggak akan mencurigai Mahmoud."

"This guy... Mahmoud...," sebut Papi terbata. "Is he going to be okay with this?"

"No. Of course not, tapi dia bilang dia mau ngelakuin apa saja buat Mina. Semoga saja... termasuk yang satu ini."

"Tapi siapa yang lebih kamu harapkan buat jadi ayah dari anakmu?"

"Oh, Pap... come on...."

"Mina... dengerin Papi. Kamu sudah terlalu lama memendam luka yang nggak perlu. Laki-laki dulu itu brengsek, tapi nggak semua lelaki seperti itu. Ada laki-laki seperti Papimu yang mau melakukan apa saja untuk istri dan keluarganya, akan ada satu orang buatmu di dunia yang keras ini. I believe you can handle it all by yourself just like you used to, but baby... mungkin ini saatnya kamu membuka hati untuk menerima pertolongan yang mungkin nggak kamu inginkan, tapi kamu butuhkan. Kalau dua orang laki-laki keparat ini worth it, choose wisely."


Kalau mau lanjut di karyakarsa, ada paket-paketannya. Bisa tuh baca dulu chapter 66-70, terus lanjut paket 71-80, 81-100, baru paket extra part.
Jangan ragu soalnya isinya lebih lengkap dan syahdu 😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro