67. Extra Chocolate Cake

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Good moooorning!!!
Sebenernya posting cerita itu lebih enak kalau bodoamat ya mau dibaca apa enggak 🤣

Btw kalian pada punya tiktok nggak? Topik yang sering diikutin apa? Kalau soal olahraga, bole intip tiktok-ku, tapi jangan dibully, ya wkwk... aku share fitness journey amatiran tapi, bukan tulisan. Cape ah sana sini soal tulisan semua nantu akunku. Buat fun aja sih. Siapa tau kalian jadi pengin olahraga juga.

"Mami cuma mau bilang, Mami percaya sama kamu, Mina Sayang. Kalau kamu kesulitan menemukan laki-laki buat menutupi aibmu, Papi bisa menyuruh salah satu anak buahnya menikahimu. Itu urusan gampang, kan, Pap?"

Aku mencoba tersenyum meski Mami nggak akan bisa melihatnya. Histerianya berlangsung singkat dan itu terjadi di depan Papi. Sewaktu beliau meneleponku, suaranya sudah jauh lebih tenang. Mami mengira aku khilaf meniduri pesuruhku yang ganteng, lalu aku nggak mau dinikahi karena perbedaan status kami.

Well... setidaknya, aku sudah berhasil menyingkirkan satu masalah pelik tanpa banyak mengeluarkan energi. Semua ini memang harus dihadapi dengan tenang atau aku akan jadi gila sebelum hormon kehamilan benar-benar menyerangku. Sampai detik ini, tubuhku belum memberikan tanda-tanda gangguan kehamilan, jadi waktu yang paling tepat menyusun strategi selanjutnya adalah segera.

Gio menutup rapat pintu ruanganku.

Seperti biasa, Albert dan Tamara sudah duduk di kursi, aku di singasanaku sendiri. Mahmoud ada di ruangan lain mencoba pilot run beberapa produk baru yang akan diluncurkan tak lama lagi. Gosip sudah menyebar, tapi setidaknya orang-orang belum menyimpulkan apapun dan masih terus menduga-duga. Kebetulan, ada berita hangat lain yang lebih seru buat dikunyah netizen. Tapi tiga orang di hadapanku ini nggak perlu konfirmasi siapapun bahwa dua orang di parkiran klinik persalinan itu adalah aku dan Mahmoud.

"Aku nggak mau berdebat, apalagi dihakimi. Aku hamil dan belum pasti ini anak Mahmoud atau anak Adrian."

Gio yang nggak kebagian bangku tetap berdiri. Dia membuka kacamata dan mengelapnya dengan ujung kemeja. Albert tidak mengubah ekspresinya, dalam perjalanan kemarin dia sudah menghubungiku. Tanpa bertanya babibu, dia langsung memutuskan tidak boleh ada pernkahan dalam waktu dekat dengan Mahmoud. Tamara membuka mulutnya dan memaku. Aku mengabaikannya karena lebih baik dia terus begitu sampai pembicaraan ini selesai.

"Anak Adrian," putus Albert.

"Anak Mahmoud," bantah Gio.

Aku menghela napas panjang saat Albert menengok dan mendongak pada Gio dengan kedua mata menyorot tajam, "Aku nggak sedang main tebak-tebakan," dia menggeram. "Aku bilang ke Mbak Mina, itu harus jadi anak Adrian, bukan anak Mahmoud. Setidaknya, biarkan publik berpikir begitu kalau kita masih mau Mahmoud jadi brand ambassador kita."

Gio ber-Oh ria dengan tololnya.

"Aku juga berpikir begitu, tapi bagaimana kalau Adrian nggak setuju?"

"Aku justru khawatir Mahmoud-nya yang nggak setuju," gumam Albert, di sini aku mengangguk sekali lagi karena itu ada benarnya. Melihat reaksi Mahmoud kemarin, akan sangat sulit meyakinkannya untuk hal yang satu ini. "Tapi sebenarnya kita bisa saja nggak ngomong apapun ke publik, kan?"

"Tapi ini skandal buat perusahaan kita, apalagi kalau anak Mbak Mina belum jelas punya siapa."

"Maksudku, it's Mahmoud they care about, bukan Mbak Mina," Albert kembali menandaskan. Aku langsung mencatat di otakku untuk menyerahkan pucuk pimpinan pada Albert jika aku cuti hamil nanti. Dia cepat mengambil tindakan dan tegas, "Kita tinggal mengganti female face brand kita, habis perkara. Wilhelmina Santoso sedang hamil, lalu memangnya kenapa? Bilang saja suaminya ada di luar negeri, atau memang dia punya pacar dan sedang hamil. Nggak ada image yang akan rusak di sini. Sejak awal publik menganggap Wilhelmina Santoso sebagai gadis mandiri yang kaya, bebas dan kebarat-baratan. Semua orang akan maklum, bahkan mungkin memberikan semangat karena dia harus mengandung seorang diri tanpa pasangan. Nggak ada yang tahu Mahmoud dan Mbak Mina pacaran, kan? Yang tahu hanya kita bertiga, karyawan lain juga hanya menduga-duga. Mereka akan lebih curiga pada Adrian, apalagi setelah dia merangsek masuk tempo hari dan marah-marah."

Aku terdiam menyatukan jari jemariku di depan bibir. Kalimat terakhir Adrian waktu itu terngiang di telingaku. Dia belum tahu pada malam yang sama, aku dan Mahmoud juga melakukannya tanpa pengaman. Daripada harus mengakui bayi ini sebagai bayi Adrian yang pastinya akan membuat Mahmoud kecewa, aku lebih suka dengan gagasan Albert barusan.

"Mbak berhasil meyakinkan Mahmoud supaya nggak buru-buru nikahin Mbak, kan?" tanya Albert to the point.

"Mas!" Aku baru akan mengangguk saat Tamara yang ternyata sudah mengatupkan bibirnya berseru dengan emosional. "Kalian berdua kejam banget, sih? Nggak ada apa yang peduli sama perasaan Mbak Mina? Mbak Mina ini hamil lho, belum ketahuan anaknya siapa! Apa dia nggak kebingungan?"

Semua mata mendadak menatap padaku. Aku menggeriap kebingungan. Memangnya aku harus bingung kenapa? "I am okay, Tam... aku nggak apa-apa, kok. Aku akan punya bayi, bukannya itu menyenangkan?"

Kedua bola mata Tamara membulat tak percaya. Kelopak matanya baru mengedip saat tangan Albert menepuk bahunya, "Itu risiko yang harus dihadapinya kalau tidur dengan dua laki-laki tanpa pakai kondom, Tam," katanya seolah aku nggak berada di sana, tapi matanya mengarah tepat ke manik mataku.

"Dia sudah dewasa, dia tahu apa yang dihadapinya. Mungkin menikah buat Wilhelmina Paulina Santoso lebih mengerikan dibanding jadi single mother," imbuhnya sinis. Aku menelan ludah. Albert pasti kesal sekali padaku karena kondisiku ini mengacaukan rencana kami sampai akhir tahun. "Lagi pula, ini saatnya perusahaan kita berkembang pesat, kurasa kita semua tahu... kalau ada yang harus dipikirkan pada saat-saat seperti ini adalah bonus akhir tahun kita, Tam. Mahmoud harus tetap bersih, dan seseorang harus segera menggantikan Mbak Mina. Siapa kandidat yang paling gampang? Riana? Atau kita perlu buka audisi diam-diam?"

"Ada cewek cantik yang bisa kita jadikan pesuruh supaya bisa kita sandingin sama Mahmoud?" kekeh Gio kering.

Namun, candaannya yang nggak mutu itu justru mengerutkan kening Albert semakin dalam. Aku menanti dengan rasa penasaran tingkat tinggi, sebentar lagi dia pasti punya ide cemerlang lain yang mungkin akan menyelamatkan kami.

Sebelum hitungan ke sepuluh, Albert menggebrak meja di depannya. "Aku tahu!" cetusnya gembira.

Sayangnya, sebelum dia menjelaskan apa yang dia tahu itu, sosok Adrian sudah berdiri di depan kantorku. Dia sedang berdebat dengan Riana sambil memegangi handle pintu ruanganku yang sebelumnya ditinggalkan Gio dalam keadaan terkunci. Rapat dibubarkan tanpa penutupan, semua orang berhamburan keluar, Adrian melangkah masuk dengan langkah-langkah cepat dan berhenti tepat di depan meja kerjaku. Dia pasti sudah melihat unggahan di akun gosip itu. Kedua tangannya ditumpukan di atas meja, tubuhnya dicondongkan ke depan. Aku mundur.

"You're pregnant," desisnya, gerahamnya mengatup, rahangnya mengeras. Sekilas, aku melirik ke balik tubuhnya, berharap Mahmoud masih berada di ruangan lain mencoba pilot sample celana larinya. Sklera mata Adrian menyala merah, entah dia baru bangun tidur, menangis, atau sedang mabuk. Kudengar hidupnya agak berantakan sejak terakhir kali kami bertemu. Aku duduk dengan waspada dan dia langsung bisa menangkap perubahan mimik wajahku. "Apa?" semburnya. "Kenapa kamu diam? Kamu nggak berniat memberi tahuku? Kamu nggak berpikir untuk memonopolinya, kan? It's my baby."

Aku membungkam rapat mulutku. It's my baby, katanya? Kayak aku nggak tahu aja dia mengatakannya hanya untuk menyakiti hati Mahmoud. Bola mataku memutar ke atas dan kembali memandanginya sambil menggeleng tak percaya.

"Do you even care?" tantangku.

Adrian terperenyak.

Sedetik berikutnya secara refleks kedua tanganku mengepal di depan muka melindungi diri sendiri gara-gara aku tak cukup cepat untuk menghindar saat Adrian mengitari meja dan menarik lengan kursiku yang bisa berputar. Dia menunduk rendah. Kuturunkan tanganku dan kuletakkan di pangkuan. Wajah kami beradu. "Ini bukan anakmu."

"Apa maksudmu bukan anakku?"

"Aku juga melakukannya dengan Mahmoud."

Adrian membuka mulutnya, tapi aku membungkamnya lagi dengan imbuhanku, "Di malam yang sama. Sama-sama bareback."

Leher Adrian patah di depan wajahku yang kutarik mundur hingga tempurung kepalaku bersentuhan dengan sandaran kursi. "Bagaimana kamu tahu itu bukan punyaku?"

"Aku nggak tahu, Adrian."

"I wanna do something right," katanya to the point. "I was at my lowest point, lalu aku melihat kalian berdua di unggahan akun gosip itu. Stevan mengirimkannya padaku, aku yakin dia melakukannya untuk menghancurkan reputasi Mahmoud. Let me do something right, Wilhelmina. Itu bisa jadi anakku, kan?"

"Bisa jadi juga anak Mahmoud."

"Kamu akan menikahinya?"

"Kalau ini anak Mahmoud."

"Bagaimana kalau itu anakku?"

"Dia tetap akan menikahiku," ucap Mahmoud yang tiba-tiba sudah berdiri di seberang mejaku. "Dia pacarku. Lepaskan tangannya."

Kalau ada yg bilang terlalu banyak yg harus dibaca di karyakarsa, ya emang semua kupost di sana versi panjangnya. Bukannya hampir semua penulis gitu? Baca lebih cepat dengan berbayar? Aku juga sama, malahan di KK kukasih versi panjang biar nggak rugi.

Terus kalau ada yg bilang di wattpad jadi nggak nyambung kebanyakan di KK, duh kamu salah, shaaay. Di wattpad justru draft awalku nulis TMM. Gimana nggak nyambung? Ya nyambung dong.

Dah ya

Muach

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro