7. Juicy Baked Salmon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Absen dulu, dong...

Siapa yang nungguin POV Mas Mahmoud?

550 komen yuuuk. Votesnya sebanyak mungkin wkwk... Ayo dong semua berpartisipasi, kemarin ada satu orang yg menuhin goal sendiri. Apa lama2 yg komen paling banyak, kukasih akses baca duluan ya? 😝

Healthy Fun Fact

Otot VS Lemak

Dengan berat badan yang sama, orang dengan massa otot  tinggi memiliki ukuran lebih kecil dan bentuk tubuh lebih padat daripada orang yang punya massa otot rendah dan menimbun lemak lebih banyak. 

Makanya... kadang kalau kita diet dengan asupan yang benar dan disertai olahraga, berat badan yang turun nggak langsung signifikan, malah bisa jadi meningkat, ini diakibatkan oleh massa otot yang terbentuk karena latihan dan asupan gizi seimbang.  Selain menggunakan timbangan, kalau kamu lagi diet, pertimbangkan juga untuk mengukur pinggang, pinggul, perut, paha, dan dadamu, ya! Jangan hanya fokus pada berat badan.

Jangan lupa follow medsos-ku!

***

Mahmoud

Jadi pesuruh memang nggak pernah kubayangkan sebelumnya.

Terdengar kasar dan rendahan.

Kalau Ummi sampai tahu, beliau pasti menangis tersedu menyesali izin yang diberikannya saat melepasku ke Jakarta, apalagi Abhi. 

Biarkan anak muda bertualang menentukan jalan hidupnya. Tugas orang tua hanya memberi restu, berbahagia ketika mereka berhasil, dan menerima kapanpun mereka kembali.

Aku sendiri belum terlalu jelas mengenai tujuanku, baik tujuanku kemari, maupun tujuan hidup.

Yang kutahu, semakin lama aku tinggal di kampung, hubunganku dengan Mas Ahmad akan semakin renggang. Seperti kebanyakan hubungan saudara laki-laki yang usianya terpaut cukup jauh, aku hampir nggak pernah berbicara dari hati ke hati dengan Mas-ku. Kalau saja kesempatan itu ada, aku pasti akan menjelaskan betapa nggak berminatnya aku melanjutkan bisnis turun temurun keluarga, menggarap sawah, atau mengelola kios beras di pasar.

Sejak dulu, Mas Ahmad lah yang diproyeksikan menjadi penerus Abhi. Ummi bilang, aku lebih cocok melanjutkan kuliah, lalu bekerja di perusahaan besar sebagai teknisi. Kalau memungkinkan dikirim ke luar negeri sebagai tenaga ahli. Untuk itu, aku butuh ngumpulin duit sendiri. Segan rasanya merepotkan Abhi saat seharusnya aku sudah bisa meringankan beban keluarga.

Katakanlah alasan itu cukup kuat untuk menerima tawaran Bu Mina. Daripada aku menganggur menunggu pekerjaan yang lebih baik, mending kujalani dulu. Apa bedanya jadi pesuruh di kantor orang dengan jadi babu Abhi di kios? Di sana aku juga harus mengepel, mengangkut barang-barang berat, bolak-balik membawakan masakan Ummi untuk makan siang Abhi, dan lain-lain. Hanya bosku aja yang ganti.

Iya. Ganti perempuan cantik yang sedang menyeruput kopi buatanku setelah tanpa sengaja aku menabrak asistennya gara-gara terburu-buru.

Kalau di rumah aku takut sama amukan Abhi, di sini juga sama. Bedanya... dimarahin Bu Mina ada ser-ser-nya sedikit.

(Yakin sedikit?)

(Banyak.)

Mungkin saja, tanpa kuakui di depan Adrian, aku memang nekat datang ke sini untuk bisa melihat lagi salah satu ciptaan Tuhan terindah yang pernah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Tanpa bermaksud mengecilkan pesona gadis-gadis desa yang ayu dan lugu, menurutku profil perempuan mandiri dan pintar ala kota besar seperti Bu Mina menyedot minatku lebih kuat lagi.

Semalaman aku susah tidur memikirkannya. Mana yang lebih berat buatku? Harga diriku yang jatuh karena dijadikan pesuruh padahal aku merasa sanggup—misalnya—menjadi teknisi, atau staf marketing, atau keinginanku melihatnya sekali lagi?

Setiap hari.

Tiba-tiba, aku sudah bangun sebelum subuh, membantu Adrian yang masih molor bersih-bersih apartemen, bersiap-siap, dan datang ke sini meski terlambat karena harus lebih dulu berdebat dengan sepupuku mengenai harga dirinya (bahkan bukan mengenai harga diriku sama sekali.)

Menurut Adrian, Bu Mina sudah melecehkan harga dirinya.

Dia nggak menyebut-nyebut harga diriku sedikit pun. Padahal... kan aku yang bakal membuatkannya kopi dan mencucikan piring bekas makan siangnya nanti.

Aku dibiarkan menanti Bu Mina selesai menerima telepon. Mbak Riana—yang menolak dipanggil ibu karena masih muda—harus membersihkan lengan blusnya yang terkena noda kopi. Katanya, Bu Mina paling nggak suka staf kantor berpenampilan kurang bersih. Saat ini jantungku berdegup lumayan kencang yang kutahu bukan lagi akibat berlari-lari mengejar waktu. Aku gugup memikirkan penampilanku.

Apakah Bu Mina akan menyukainya?

(Lancang sekali, Mu. Buat apa dia menyukaimu?)

Apakah Bu Mina akan membencinya?

(Itu lebih baik.)

Kursi yang membelakangiku akhirnya berputar.

Perempuan berambut panjang yang menjepit gagang telepon di telinga dan bahunya itu belum menyadari keberadaanku. Dia hanya fokus pada cangkir kopi yang kuletakkan tak jauh dari papan bertuliskan namanya, Wilhelmina Paulina Santoso.

Namanya saja sudah sangat merdu.

Pagi ini dia tidak berantakan seperti malam hari saat menindihi pinggangku. Dia tampil secantik sebelum meninggalkan apartemen Adrian setelah memberiku tugas pertama yang kuselesaikan dengan cukup baik. Bulu matanya tebal, panjang dan lentik. Kelopaknya berwarna kecoklatan dengan garis mata hitam yang ujungnya ditarik menyerupai sayap kecil. Pipinya merona merah muda seperti kelopak bunga mawar. Dan bibirnya... aku memejamkan mata... belum pernah aku memperhatikan sosok perempuan sedetil ini. Aku merasa sangat kurang ajar. Tapi... bibirnya ranum.

Dia cantik sekali....

"Lho, kok kamu tahu-tahu udah di sini?"

... dan galak.

Aku menengok ke balik badanku, mengira dia tidak berbicara kepadaku.

"Saya?" tanyaku seperti orang bodoh. Memangnya siapa lagi? Di belakangku nggak ada siapa-siapa. Aku menggulirkan bola mataku ke kanan dan ke kiri saking nggak bisa memandang langsung matanya yang menatapku tajam. "Saya Sigit Handam Almahmoudi," kataku, makin terdengar bodoh. Siapa tahu dia lupa siapa aku.

Bu Mina mengembalikan cangkir kopi yang barusan disesapnya ke meja. Dia mengangkat sebelah tangannya ke arahku, mencegahku bicara. "He's right infront of me right now," katanya kepada rekannya di telepon. "It's up to him. Dia laki-laki dewasa dan dia ke sini karena butuh pekerjaan. Memangnya kamu bisa ngasih dia pekerjaan misal aku membatalkan tawaranku? Ya cuma ini lowongan yang ada di kantorku. Ngapain aku mengejekmu? Aku lagi bantuin sepupumu!"

Rupanya Adrian melayangkan protes kepada Bu Mina setelah gagal membujukku menolak pekerjaan dari sahabatnya. Sahabat yang berusaha menindihnya saat dia sedang tidur. Menyenangkan sekali hubungan persahabatan orang kota, ya? (Kalau Abhi mendengarku berpikiran seperti ini, aku bisa dirukiyah habis-habisan.)

"Dia menutup telponnya," kata Bu Mina kepada udara di sekitarnya, kemudian mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. "Adrian nggak mencoba mencegahmu ke sini? Kupikir kamu nggak jadi datang. Jam berapa ini? Aku nyuruh kamu datang jam berapa?"

"Delapan," jawabku pelan. "Saya masih kesulitan dengan rute bus-nya."

"Nanti ada motor inventaris yang bisa kamu pakai. Kamu punya SIM?" tanyanya tegas. Aku mengangguk. "Kamu terlambat, lho, Mahmoud. Aku bisa saja membatalkan tawaranku kemarin. Mungkin itu akan menyelamatkan hubunganku sama Adiran."

Aku nggak berani mengatakan apa-apa.

Bu Mina menarik napas dalam-dalam. "Ke depannya, kami mungkin butuh teknisi di bagian produksi. Kalau... perusahaan ini berjalan lancar dan kami benar-benar memproduksi produk-produk kami sendiri. I am not going to sugar coat our condition, but we are struggling. Sementara ini, kami masih bekerja sama dengan beberapa vendor. Untuk sementara, ya memang hanya ini pekerjaan yang aku punya buat kamu."

"Saya mengerti."

Selama beberapa saat ke depan yang terasa lama dan kaku, Bu Mina mendiamkanku. Aku masih belum mengalihkan tatapanku dari lantai, tapi bisa kurasakan kedua bola mata indahnya yang hitam kelam jatuh padaku, tapi tidak benar-benar mengawasiku. Dia sedang berpikir.

"Yakin kamu mau jadi pesuruh?"

Karena kupikir tidak sopan menjawab tanya tanpa menatap wajah si penanya, aku mengangkat mukaku. "Kalau saya punya pilihan, mungkin saya akan menjawab tidak yakin," jawabku agak lebih berani dari yang kuperkirakan. Apalagi saat kulihat matanya membola mendengarnya. "Tapi saat ini... saya akan menjalaninya dulu."

Buru-buru aku menunduk lagi. Bu Mina menggigit sisi kanan bagian dalam bibir bawahnya yang merah alami namun lembab dan basah. Tanpa bisa kucegah, anganku melayang pada rasa bibir yang mengulum bibirku malam itu. Kenyal dan manis. Aku yakin dia sendiri sudah sepenuhnya melupakan insiden itu. Dia begitu profesional tentunya. Laki-laki sepertiku nggak akan mungkin membuatnya gundah seperti yang terjadi kepadaku sejak kejadian tersebut. Aku sendiri sampai lupa apa yang biasa kupikirkan saat benakku melayang tanpa batas sebelum Bu Mina menyelinap di balik selimutku.

(Mahmoud, kamu lelaki penuh dosa.)

"Oke kalau begitu," katanya.

Kepalaku tegak tepat saat Bu Mina membusungkan dada sambil menarik napas panjang. 'Oke kalau begitu'-nya membuatku bersemangat, tapi desain pakaian dalam yang menjiplak samar di blus satin putih gadingnya lagi-lagi bikin aku nyaris sempoyongan. Rasanya aku ingin cepat-cepat keluar dari sana, tapi aku juga ingin melihatnya lebih lama.

(Istighfar, ALMAHMOUDI!)

"Yuk," ajaknya sambil mengitari meja. "Aku kenalin sama yang lain dan kujelasin job desc kamu di sini."

Aku menyisih, tapi mendahuluinya saat dia harus membuka pintu, lalu menunggu kembali sampai Bu Mina berjalan di depanku. Beliau berhenti di depan meja Mbak Riana yang kosong, berkacak pinggang dengan satu tangan, dan tangannya yang lain menggunakan ponsel. Aku mencoba tidak memperhatikan pinggulnya yang ramping terbalut celana jins dan kaki-kaki jenjangnya yang ditopang sepatu berhak sangat tinggi. Bagaimana cara para perempuan berjalan tegak di atas benda seruncing itu?

"Riana lagi bersihin lengannya yang ketumpahan kopi sama kamu, katanya?"

Aku meringis meski Bu Mina nggak bisa melihat karena posisinya membelakangiku. "Saya nggak sengaja," tuturku.

"Nggak apa-apa, paling enggak, aku nggak perlu minum kopi bikinannya lagi. Kamu udah bisa pakai coffee maker kayak di tempat Adrian belum?"

"Sudah, Bu."

"Bagus, nanti tanya Steffani ke mana kamu bisa beli biji kopi kesukaanku dan di mana Susanto biasa menggilingnya. Oh... Susanto pesuruh sebelumnya. Dia dipecat karena mencuri. Oh. Aku benci sekali pencuri!"

Aku mengangguk paham. Waktu dia bilang 'pencuri', aku teringat tuduhannya padaku malam itu. Terutama pada penampilannya saat menuduh. Renda-renda hitam pada penutup dadanya.... Aku meneguk ludah.

(Ya, aku tahu. Aku harus salat taubat nanti malam.)

Sementara itu, Bu Mina masih terus mengoceh, "Riana nggak bisa meramu kopi begituan, bikin kopi instan aja dia nggak becus," cemoohnya, setengah berbisik, lalu memimpin langkah lagi ke area berkubikel. "Di sini karyawannya cuma sedikit. Di display store sudah ada office boy lain. Di sana lebih banyak yang harus diurusin. Di sini sedikit, tapi memang orangnya lebih spesifik soal selera. Kamu tinggal catat dan ingat-ingat saja maunya mereka."

Bu Mina berdiri di ruang kosong di depan beberapa kubikel yang di antaranya berisi puncak-puncak kepala manusia. Tangannya menunjuk-nunjuk. "Itu kubikel Stef, Chief tech officer yang ngurusin produk makanan, dia lagi di dapur uji coba. Sebelahnya punya Albert. Kayaknya dia lagi ke vendor ngurusin tummy trimmer kolaborasi sama Dian Rai. Itu kubikel Cynthia, financial officer sini. Nanti urusan kamu sama dia, ya? Gaji, tunjangan kesehatan, segala macem. Jangan gangguin dia kalau nggak penting banget. Kerjaannya paling banyak. Marketing Gio sama Irfan juga kayaknya lagi pada keluar survey lapangan, yang di sini cuma Tamara. Tam... bangun bentar, ini gue kenalin anak baru."

Seorang perempuan dengan alis gundul sebelah muncul dari balik kubikel, tangannya memegangi sebuah cermin kecil dan pensil.

Saat melihatku, cermin itu jatuh berkelontang di meja, lalu dia menangkup mulutnya dengan kedua tangan seperti adegan-adegan lebay yang suka kulihat di Tik Tok. "Ya ampuuun, Mbak Mina, cucok banget...!!! Itu siapa? Selebgram dari mana? Kok aku nggak pernah lihat? Model buat tracksuit bulan depan?! Kyaaaah!!!"

Aku terpojok di dinding saat perempuan itu merangsek menghampiriku.

James Mahmoud Bond 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro