6. Black Coffee

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gimana, udah mulai engaged belum sama ceritanya? Atau masih belum yakin ceritanya bakal seru? Hm? Hm? Komen yang banyak, dong... jangan malu-malu.

Next POV Mahmoud kalau bisa 500 votes, 500 komen 😝

Healthy Fun Facts

Mengonsumsi satu sampai dua cangkir kopi hitam menghindarkan kita dari risiko penyakit-penyakit cardiovascular, termasuk stroke. Kopi hitam  dapat membantu meredakan peradangan dalam tubuh kita. Kopi hitam juga merupakan antioksidan yang sangat ampuh. Selain mengandung vitamin B2, B3, dan B5, kopi hitam juga mengandung mangan (senyawa kimia yang berperan besar dalam metabolisme lemak dan karbohidrat), potassium dan magnesium.

Tapi ingat... urusannya bakal lain lagi kalau kopi hitam dicampur banyak susu, gula, dan bahan-bahan lain yang biasa kamu temui dalam kopi-kopi kekinian. 

"Selamat pagi, Mbak Mina! Cantik banget hari ini. Udah sarapan?"

"Met pagi, Parjo. Makasih. Udah. Gimana, lurus, kan?"

"Lurus, Mbak. Cakeeep!"

Parjo, tukang parkir ruko yang selalu melompat dari persembunyiannya setiap kali aku datang, menyahut lembaran sepuluh ribuan dari tanganku, lalu menciumnya sambil mengekeh. Kalau sekarang aku bisa memarkir mobil dengan sempurna, itu adalah jasanya.

Masih di dalam mobil, aku menanggalkan kacamata hitam dan mengecek sekali lagi sapuan make up di batang hidungku, menotol-notolnya sedikit dengan ujung jari supaya bedaknya kembali membaur.

Potongan terakhir roti gandum panggang beroles alpukat yang kubawa dari rumah sebagai pengganjal perut sambil menyetir kujejalkan sekaligus ke dalam mulut. Tentu saja setelah memastikan parkiran ruko pagi itu kembali sepi. Nggak akan ada mata yang bisa menembus kaca film Jaguar Papi, tapi aku tetap harus waspada. Kupulas sekali lagi bibirku dengan nude gloss sesudah memastikan tak satu keping remah gandum pun menempel di sana. Jangan lupa matikan mesin, Mina. Ya, aku ingat. Terakhir kali aku terlalu fokus pada penampilan, aki mobilku tekor.

Sepuluh menit slimmer thigh resistence work out selama dua minggu kelihatannya mulai menampakkan hasil. Jeans-ku pagi ini terlihat sempurna. Aku melangkah jauh lebih percaya diri di atas cutaway arch shoes berwarna teak yang membuat kulit kakiku tampak lebih bersih dan cerah.

Kuabaikan ponsel yang terus bergetar sejak kualihkan ke mode diam.

Paling Si Papi mau marah-marah karena Jaguarnya diam-diam kupinjam, atau bisa jadi Mami. Aku menunggu-nunggu teguran Mami sejak kontak WA putra temannya kublokir. Salah sendiri dia terus menerus mengirimiku quotes romantis seperti bocah edgy yang lagi kasmaran. Bola mataku capek muter-muter terus. Kalau kubiarkan, otot mataku bisa keseleo.

(Mungkin Mami nggak akan menegur sama sekali, she's too chill for an Asian Mom that sometimes makes her sounds scary.)

Adrian juga belum ngamuk-ngamuk lagi pagi ini soal keputusanku mempekerjakan sepupunya sebagai pesuruh.

"Good Morning!" sapaku sambil mendorong pintu kaca ruko dua lantai yang sejak dua tahun ini difungsikan sebagai kantor pemasaran, studio, sekaligus food lab perusahaan kecilku yang bergerak di bidang alat-alat kesehatan dan katering rendah kalori, Healthy Living By Mina.

Display store ada di sebelah, biasanya aku ke sana setelah menyelesaikan rutinitas pagiku mengecek pekerjaan di komputer, mengikuti berita-berita seputar kesehatan dan kebugaran dari berbagai sumber, dan mengecek agenda harian. Aroma biskuit gandum kacang dari dapur percobaan membalas sapaku duluan sebelum Riana menyahut beberapa detik kemudian.

"Good morning, Mbak!" serunya riang menyambutku. Anak manis dengan senyum tulus itu melompat keluar dari pantry dan dengan sigap berniat mengambil alih tas tanganku, tapi aku mencegahnya.

Bukan apa-apa, di tangannya sedang ada segelas kopi hitam hangat dengan pemanis buatan yang nantinya akan diletakkannya di atas meja kantorku di lantai dua. Aku nggak mau dia menodai Prada-ku yang baru dipakai dua kali.

(I know Cinta Laura bilang tas branded itu nggak worth it. Bayangkan berapa banyak anak telantar yang bisa kukasih makan dengan harga tas tangan ini, tapi aku rutin menjadi donatur, kok, di Kitabisa.com. Aku juga nggak mampu-mampu amat mendanai penampilanku dengan tas branded. Ini hanya oleh-oleh dari Papi yang nggak bisa kuuangkan.)

"Aku lagi diskusi seru soal childfree sama Tamara," kata Riana heboh. "Lagi rame banget di media sosial. She's definitely childfree. Aku enggak. Kalau Mbak Mina gimana?"

"Childfree?" aku mengerutkan alis, pura-pura serius. "Aku sih husbandfree."

Riana ketawa kencang. "Kalau husbandfree... punya anaknya gimana?"

"Sperma."

Cewek itu langsung bungkam.

Aku mengabaikannya. Itu caraku memberitahu bahwa pembahasan apapun di luar urusan kantor tidak bisa kutolerir sampai menghabiskan lebih dari lima detik waktuku. But I am serious. I am not a childfree person. I want a kid one day, I just don't really want a fvcking husband.

Alih-alih, mataku memejam. Hidungku mengendus, menghirup aroma manis kue dalam-dalam.

"Hmmmh... harum sekali...."

Kuharap aroma kesuksesanku semanis dan segurih kue gandum kacang bikinan kakak ipaku, Stefani.

"Stef pagi-pagi udah mulai percobaan lagi?"

"Iya, katanya dia sudah memikirkan formula yang lebih bagus akhir pekan lalu. Neneknya yang ngasih ide. Tepungnya diganti tepung singkong," Riana menjelaskan dengan suara renyah bersemangat yang selalu meramaikan kantor kecil ini.

"Tepung singkong?" gumamku—glutten free—menarik juga. Semua orang menyukai apapun dengan imbuhan free di belakangnya. Mereka berpikir anything with 'free' worth it dibayar lebih mahal. Padahal, nggak semua orang juga butuh produk bebas bahan gandum persilangan selama mereka nggak punya masalah sama protein glutten.

But who cares? It sells.

Semakin banyak orang nggak tahu, semakin bagus buat kelangsungan bisnis.

"Anyway... kalau kalian berniat membahas tentang childfree di instagram official kita, pastikan kalian melakukannya kalau sudah siap nggak terima bonus akhir tahun ini. Be like Stef. Work. Stay away from conflict atau penjualan kita bakal terjun bebas gara-gara membahas sesuatu yang teramat sensitif buat netizen Indonesia. Aku naik duluan, ya?"

"O—okay, Mbak.... Kopinya menyusul, ya?"

Aku mengangguk, membelakangi Riana sambil mengulum senyum kecut.

Riana memang asisten yang manis, aku sangat menyukai semangatnya, tapi demi Tuhan... kopi buatannya seperti sampah. Biasanya demi menjaga perasaannya, aku membuang kopi itu di lubang toilet, dan meramu sendiri coffee drip-ku diam-diam. Mimpi buruk ini berlangsung lebih dari sebulan, makanya aku butuh pesuruh baru yang pandai membuat kopi dan memesan makan siang tanpa membuat kesalahan.

Riana selalu salah dan matanya cepat sekali berair kalau aku menegur. Akhir-akhir ini aku terpaksa meal prep dan membawa sendiri makan siangku dari rumah. Itu cukup merepotkan, apalagi kalau kerjaan lagi banyak-banyaknya.

Kadang aku baru tiba di rumah pukul delapan malam, aku butuh bangun sesiang mungkin sebelum jam olah raga pagiku. Gara-gara harus menyiapkan makanan sendiri, terpaksa aku bangun lebih pagi. Pesuruh lamaku pintar memesan makanan sesuai diet-ku, kadang dia memasak sendiri, aku tinggal memberinya uang belanja setiap minggu untuk memenuhi kebutuhan makan siangku.

Saat aku tiba di ruangan, sudah hampir pukul sembilan pagi. Kurasa Sigit Handam Almahmoudi nggak mengambil tawaran kerja dariku.

Baguslah.

Sejujurnya, aku setengah main-main aja sama sepupu Adrian kemarin. Satu, gara-gara aku kesal sama pendapat Adrian mengenai perubahanku. Dua, manajer artis yang kuajak ketemuan jam makan siang memajukan jam pertemuan dan aku nggak sempat pulang untuk siap-siap. Sekalian aja lah berangkat dari apartemen Adri, pikirku.

Kalau hanya menyetrika, aku bisa, kok, meski kadang kulit jari-jari tanganku jadi korbannya. Yang jadi masalah justru adalah butik pakaian dalam terdekat dari sana nggak sanggup mengantar pesananku, katanya masih terlalu pagi. Mereka baru siap-siap buka toko.

Masa iya aku pakai baju dalam yang udah kupakai tidur?

Kemudian aku ingat, aku nggak sendirian di apartemen itu setelah Adrian berangkat ke tempat Steve pagi-pagi sekali. Sepupu Adrian masih tidur lelap di atas kasur lipat di ruang tamu. Kaus oblong polosnya tersingkap sampai ke dada. Aku terperangah menyaksikan ukuran abs nyaris sempurna di perutnya.

(Aku nggak mau membahas morning woods di balik celana kolornya.)

Kalau dia nggak seganteng itu, aku pasti percaya pada permintaan maaf buayanya semalam. Menurutku, dia sengaja diam saja membiarkanku menggagahinya. Dasar kurang ajar. Tapi pagi itu wajah tidurnya begitu damai dan polos. Aku hampir nggak mengenalinya setelah semalaman dia terus memalingkan wajah dariku, atau menatapku dengan sorot ketakutan. Ide itu terlintas begitu saja. Rasanya dia cocok banget jadi bawahanku. Awalan yang bagus, bukan? Belum-belum dia sudah ketakutan duluan.

Apalagi, dia menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat baik. Dalam kurang dari sepuluh menit, rok dan blus-ku tergantung rapi seperti baru diantar dari binatu. Aku hanya perlu menjelaskan sekali ke mana dia harus menjemput pakaian dalam dan sarapanku. Kubekali nomor ponsel, siapa tahu dia tersasar, tapi dia tidak menghubungiku selama empat puluh menit kemudian. Dia kembali bersimbah peluh lima menit sebelum satu jam targetnya habis. Aku memaksanya mengambil tips dariku, atau dia akan kehilangan pekerjaan. Dia menerimanya dengan berat hati.

"Sigit Handam Almahmoudi," jawabnya saat aku menanyai siapa nama lengkapnya. Kepalanya menunduk.

"Aku manggilnya apa?" tanyaku.

"Apa saja yang menurut ibu cocok," katanya sopan.

Kata Adrian, dia biasa disapa Mumu. Menurutku nama itu terlalu imut untuk penampilannya yang gagah. Tingginya mungkin sekitar 185 cm. Penampilannya cukup mengesankan untuk disuruh berkeliaran di kantor mengurus keperluan karyawan yang sebagian besar perempuan. Bisa buat cuci mata juga. Mengingat posisinya di kantor adalah pesuruh, kemungkinan besar nggak akan terlibat dalam hubungan asmara sesama pegawai. Gadis-gadis sekarang sangat selektif memilih pasangan. Cowok miskin biasanya cuma bisa bikin repot.

"Kamu pikirkan lagi saja tawaranku. Kata Adrian kamu pernah kuliah? Jurusan apa?"

"Teknik mesin."

"Tapi kamu belum lulus, kan? Jadi secara teknis... kamu masih lulusan SMA. Aku nggak mempekerjakan lulusan SMA selain sebagai pesuruh," kataku sombong. Padahal, aku menerima Riana sebelum anak itu sidang kelulusan. Itu berarti kurang lebih statusnya sama kayak Mahmoud sekarang.

Salah sendiri dia laki-laki, ganteng banget lagi. Aku paling benci laki-laki ganteng, tapi juga nggak suka laki-laki jelek.

"Saya mau kerja apa saja, buat pengalaman," tukasnya. Entah jujur, entah cuma membual. Nyatanya, hari ini dia nggak datang. Malah Adrian yang menghujaniku dengan hujatan. Semalaman sampai pagi ini aku belum berani mengangkat telepon darinya.

Aku mengambil kembali garlic bagel yang kutawarkan padanya buat sarapan dan ditolak. Katanya dia nggak biasa sarapan begituan. (Ini masih cerita soal kemarin pagi.)

"Saya hanya mau keluar dari kampung, rencana selanjutnya belum ada. Daripada merepotkan Adri, saya mau kerja apa saja, Bu. Saya mau menabung supaya bisa melanjutkan kuliah. Sementara ini saya nggak bisa mengandalkan uang dari orang tua. Sudah dua tahun kuliah saya tertunda karena masalah ekonomi. Kali ini kondisi Abhi sudah mulai stabil, tapi saya belum ingin merepotkannya lagi."

"Abhi itu siapa?"

"Abhi itu panggilan buat Bapak saya."

"Oooh...," aku mengangguk-angguk. "Berapa usia kamu?"

"Mau 25."

Dua atau tiga tahun lebih muda dariku dan Adrian, tapi mukanya lumayan boros juga. Dalam artian yang tidak buruk sebetulnya. Dia malah kelihatan jauh lebih dewasa daripada Adri. Mungkin umur segitu di desa emang sudah pantas jadi bapak-bapak, ya? Orang desa kan biasanya menikah muda. Apa dia nggak punya pacar buat dikawinin di desa? Aku pengin nanya, tapi buat apa? Masa Bu Bos nanya-nanya masalah pribadi dalam wawancara pekerjaan? Gengsi, dong.

Singkatnya, kusuruh dia datang ke alamat yang tertera di kartu namaku sebelum pukul delapan pagi. Aku melirik jam di dinding setelah layar PC menampilkan desktop dengan sempurna. Lima belas notifikasi email baru bermunculan di side bar. Aku menyandarkan punggung di kursi empuk yang kupesan khusus persis punya Papi di kantornya. Kursi megah yang sebenarnya belum pantas kududuki mengingat perusahaan ini masih merangkak seperti bayi.

Mumu sudah resmi terlambat satu jam lebih.

Apa aku terlalu kejam memberinya pekerjaan itu? Aku bisa saja menyuruhnya memakai tracksuit dan memotretnya untuk standee. Orang akan mengira dia model pendatang baru.

Telepon di mejaku berdering bersamaan dengan suara ketukan pintu. "Masuk, Ri," kataku. Sambil memutar kursi membelakangi Riana yang akan masuk, aku menjawab panggilan telepon.

Sebelum aku menyapa, suara Adrian menyerang gendang telingaku. Dia mengomel habis-habisan. Nggak terima aku mempekerjakan sepupunya sebagai buruh rendahan. Selama dia mengamuk, aku hanya diam. Aku bahkan belum memberinya ucapan selamat setelah brand terkenal yang mengadakan audisi itu memilihnya sebagai male ambassador selama setahun ke depan.

Sambil menunggu dia selesai bicara, kuputar kursiku kembali. Kuambil cangkir kopi yang ditinggalkan Riana di meja. Omelan Adrian membuatku lupa bahwa kopi Riana biasanya berakhir di lubang pembuangan. Aku menyeruputnya... dan tercenung.

Kuangkat kepalaku dari permukaan kopi. Di depanku, Sigit Handam Almahmoudi berdiri tegap dengan senyum terkulum gugup.

Sial.

Kopi buatannya... enak sekali.

Dan senyumnya...

Sial dua kali.

... ganteng sekali.


Tuh senyumnya ganteng, kan....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro