5. Boiled Eggs

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Spam vote dan komennya mana, nih? Nungguin enggaaak? 

Dua hari sekali kok kayaknya keseringan, ya? Dulu Hiu juga tiga hari sekali, kan?

Healthy Fun Facts

Taukah kamu, makan di atas jam delapan malam tidak lantas membuatmu gemuk. Semuanya tergantung pada apa yang kamu makan, berapa banyak yang kamu makan dan seberapa aktif kamu seharian itu. Pagi atau malam, kalau kamu makan terlalu banyak dan beraktivitas terlalu sedikit, tubuhmu akan mengubah kelebihan kalori menjadi lemak.

Anyway, follow WATTPAD-ku dulu sebelum baca ya. Happy reading!

Mahmoud

Aku susah kembali tidur.

Berkali-kali mencoba memejamkan mata, bukannya tidur, malah wajah cantik Bu Mina terus menggangguku. Aku nggak bisa melupakan kejadian satu jam lalu begitu saja. Rasa bersalah masih membebaniku. Apalagi semakin ingin kuusir dari kepala, gelenyar aneh yang kurasakan di bawah pinggangku saat Bu Mina mendudukinya malah kembali terasa.

Aku merasa penuh dosa.

Kesalahannya itu satu hal, tapi terus membayangkan berat tubuhnya saat menindihku secara diam-diam membuatku merasa seperti sedang melecehkannya.

Lupakanlah, Mu. Di desa, kamu sudah sering melihat perempuan berkulit bersih dan bertubuh sintal mengenakan kain sambil menjemur pakaian, kenapa mengusir dada perempuan dari benakmu kali ini demikian sulitnya?

Aku menekuk lutut sambil menekan bagian bawah pinggangku, lalu mengubah posisi tidurku membelakangi Adrian yang sudah mendengkur pelan. Adrian tidur di atas kasur lipat bersamaku. Dia menolak ajakan Bu Mina tidur di dalam. Sebelum menghilang di balik pintu kamar bersama dengan blus dan roknya yang sangat ketat, perempuan itu memelototiku lagi. Aku hanya bisa diam menunduk. Permintaan maafku diabaikannya. Adrian yang memaksanya meminta maaf kepadaku pasti membuatnya lebih membenciku lagi.

Rasa malu, terhina, dan bingung campur aduk menjadi satu. Demi Tuhan. Kalau tadi aku sadar, aku pasti akan menghentikan perbuatannya. Mungkin karena lelah di jalan, tidurku begitu nyenyak. Kupikir aku sedang bermimpi, jadi aku membiarkannya. Sampai lama-lama, mimpi indah dibelai-belai bidadari itu makin terasa nyata. Sempat terlintas di benakku, ini bukan mimpi basah biasa. Ini terlalu nyata. Yang membangunkanku adalah perubahan adegan dalam mimpi yang begitu tiba-tiba. Aku gelagapan dan terjaga gara-gara seekor ular melelet keluar dari bibir seorang perempuan dan ternyata itu lidahnya!

Perempuan kota memang berbeda. Di desa, kalau ada gadis salah menegur seorang pria saja, mereka akan malu bukan kepalang. Di sini, sudah tahu salah, malah aku yang dibentak-bentak. Mungkin dia merasa sudah rugi besar karena salah pegang. Aku ingin bilang bahwa aku lebih rugi karena semua yang dilakukannya itu adalah pengalaman pertama bagiku, tapi aku nggak yakin apa benar aku merasa rugi?

Entah sudah berapa kali aku diam-diam meraba bibirku dalam kegelapan. Sebanyak apapun kuusap, rasanya masih hangat dan aneh. Di beberapa bagian bibirku yang kujilat masih terasa manis dan legit. Kasihan Bu Mina, pasti dia mencuci bibir dan mulutnya sebanyak tujuh kali di toilet sebelum tidur.

Entah kapan akhirnya kesadaranku hilang, siang itu aku terbangun gara-gara seseorang membuka tirai lebar-lebar. Cahaya matahari yang bersinar terik menyilaukan mataku. Hampir saja mulutku memprotes. Biasanya Ummi yang suka melakukannya kalau aku bangun kesiangan. Astaganaga. Jam berapa ini? Aku sontak belingsatan. Belum salat Subuh. Abhi bisa ngamuk!

Oh iya...

Aku sekarang ada di Jakarta. Bebas. Napasku terembus ringan. Kepalaku kuletakkan kembali ke atas bantal. Kelopak mataku menutup menikmati guyuran sinar mentari. Hari-hari nganggurku yang memilukan akan segera berakhir. Senyumku melebar, harapan baru selalu terasa menyenangkan. Nggak akan ada lagi ceramah Ummi yang selalu sama setiap hari. Apa lagi kalau bukan mendaftar nama anak gadis tetangga yang siap nikah? Kata Ummi, kalau udah nggak mau melanjutkan kuliah, tinggal di desa aja lah, lalu berkeluarga.

Aneh.

Orang nganggur, kuliah tertunda, malah disuruh nikah. Mau dikasih makan apa anak istriku nanti? Ummi sepertinya lupa, aku hampir melupakan kuliahku yang tertunda dua tahun lebih karena apa. Kalau bisnis Abhi nggak bangkrut kena tipu, saat ini aku mungkin sudah kerja di kantor, atau minimal kalaupun kuliahku ngadat seperti teman-temanku di Solo, paling enggak aku sedang menanti giliran wisuda.

Panasnya matahari Jakarta. Sakit kulitku disengatnya. Jam segini di desa matahari masih ramah menyapa, angin bertiup sepoi-sepoi mengiringi orang-orang hilir mudik ke sawah atau berangkat ke kota terdekat untuk mengadu nasib. Perutku mendadak melilit. Aku menoleh, Adri sudah nggak ada di sampingku. Sepertinya dia sudah jalan ke tempat yang dibicarakannya semalam sebelum meninggalkanku sendirian di apartemennya.

Ada makanan apa di dapurnya, ya? Roti? Mie instan? Sereal? Ah... belum-belum aku sudah merindukan meja makan Ummi. Pagi-pagi begini, biasanya aku sudah mandi. Di meja makan, lauk pauk sarapan sudah tersaji, secangkir kopi siap diseruput buat mengawali hari. Abhi udah teriak-teriak nyuruh tukang angkut memikul karung-karung beras ke kota.

Kenapa kamu nggak tinggal aja meneruskan usaha Abhi di pasar, Mu? Kenapa kamu nggak nikah saja sama Lastri? Apa sih enaknya tinggal di kota? Berisik, Mu. Kamu tega ninggalin Ummi sama Abhi sendiri?

Aku sedang asyik melamun memikirkan kehidupan nyaman yang nyaris membuatku terlena ketika aroma kopi membelai hidungku.

Padahal Mas Ahmad sudah siap meneruskan usaha Abhi, terus aku harus meneruskan usaha yang mana lagi? Yang ada malah nanti hubungan persaudaraan jadi berantakan gara-gara uang nggak seberapa. Takdir sebagai anak kedua ya memang menjauh supaya anak tertua bisa mengabdi pada keluarga. Adrian juga begitu. Mana mau dia disuruh kembali ke desa mengurus warung bakmi ibunya?

Aku mengendus. Bau kopi yang manis. Sudah saatnya membuka mata dan memulai hari. Adri mungkin meninggalkan kopi untukku sebelum berangkat. Aku bisa membersihkan apartemennya sebagai pengganti ucapan terima kasih, kemudian mulai menyusun rencana. Hal pertama yang harus kulakukan adalah mencari pekerjaan. Semalam aku lupa memastikan apa ucapannya itu benar, atau isapan jempol biasa. Mengenai pekerjaan di kantor Bu Mina.

Kalau benar... berarti aku bisa melihatnya setiap hari.

Istighfar, Mu! Kutepuk pipiku sendiri sebelum bayangan tubuh Bu Mina dan pakaian dalam hitamnya kembali mengusik bagian tubuhku yang nggak seharusnya bangun kalau aku sudah bangun. Aku baru beringsut dari atas kasur lipat ketika kulihat kaki-kaki jenjang yang mulus tertekuk manis di sofa tepat di hadapanku. Leherku kaku. Tatapanku terkunci pada sepasang paha ramping yang kencang itu.

Dia nggak pakai celana!

Ya Allah....

Rok ketatnya semalam juga nggak ada.

"Ada kopi di coffee maker," katanya, tanpa menoleh padaku. Suaranya masih parau sehabis bangun tidur. Kulirik sekilas, kulitnya seakan berpendar ditempa sinar mentari. Seperti semalam, rambutnya dinaikkan. Tengkuknya... ah... kenapa tengkuk wanita bisa seperti itu? Melihat dari jauh saja memacu kerja jantungku. Apalagi menyentuhnya....

Aku meneguk ludah.

Woi. Buat apa kamu menyentuh tengkuknya, Mahmoud???

"Nggak ngopi?" tanyanya lagi.

Aku hanya mengangguk, masih nggak berani lancang memandang wajahnya.

Dia memberi tahu, "Sebentar lagi aku pulang."

Aku mengangguk lagi, kali ini sambil menarik selimut yang mau kulipat. Jantungku berdenyut-denyut. Baru di dalam apartemen saja, Jakarta sudah bikin aku panas dingin begini. Apalagi di luar?

Apa sih yang dipikirkan perempuan ini? Bertelanjang kaki di depan lawan jenis yang baru pertama dilihatnya semalam. Kalau di desa, dia harus sudah siap dianggap penggoda. Di kota, ini namanya kemerdekaan berekspresi.

Sebagai kaum berpendidikan meski nggak terlalu tinggi, aku memahami itu.

Sebagai pria, aku pusing.

"Kamu bisa nyetrika?"

Dia suka nanya rupanya.

Alhasil, pertanyaannya membuatku mendongak. Tapi, alih-alih menjawab, aku malah ternganga. Bu Mina sepertinya belum mandi, kelembaban yang melapisi kulit mukanya bagai lapisan kaca tipis yang bening berkilauan memantulkan sinar matahari pagi. Entah apa istilah perempuan untuk itu, tapi aku yakin, untuk bisa membuat kulit manusia selicin boneka seperti pipi Bu Mina, pasti biayanya sangat mahal.

Oh!

Dia menarik ikat rambutnya seperti model-model perempuan dalam pariwara.

Rambutnya dibiarkan tergerai jatuh sebagian ke bahu setelah dia mengibaskan kepalanya cepat, tapi di benakku seakan dilambatkan. Struktur mahkotanya agak bergelombang, berkilau luar biasa indah. Kesan berantakan itu membuatnya tampak sangat... menggairahkan.

Seksi. Maksudku seksi. Bukan menggairahkan.

(Memang menggairahkan.)

Dia menurunkan kaki-kakinya, memajukan tubuhnya ke arahku. Fokus mataku yang langsung tertuju pada bayangan gelap di bawah dagu saat tubuhnya membungkuk buru-buru kualihkan. Namun sial, semua hal yang ada di tubuhnya menggiurkan sehingga di bagian manapun tatapanku berlabuh, rasanya tak pantas.

"Namamu Mahmoud, kan? Kamu bisa nyetrika?"

"B—bisa," anggukku.

(Matanya, Moud. Kamu bisa menatap matanya. Itu lebih sopan daripada dia mengira kamu sedang menatap belahan dadanya.)

"Ikut aku bentar," suruhnya sambil meletakkan cangkir yang barusan dipegangi dengan kedua tangan ke atas meja.

Bu Mina berdiri, kemudian berjalan pelan menuju kamar Adrian sambil mengumpulkan rambut indahnya ke belakang untuk kemudian dijatuhkan ke bahu kanan. Aku meneguk ludah. Dalam keadaan berdiri, pemandangan di depanku semakin bikin aku sesak napas. Ujung kemeja yang sepertinya milik Adri itu hanya bisa menutup auratnya sampai dua belah pantat saja. Warna putih kemeja dan terangnya ruangan tak mampu mencegahku melihat bayangan benda berbentuk segitiga berwarna kontras yang ukurannya sangat kecil di baliknya.

Dia ini malaikat atau setan yang memang diutus untuk menguji imanku, atau memang orangnya suka menggoda begitu, sih?

"Kata Adrian, kamu bisa mengerjakan semuanya, kan?" Bu Mina membuka pembicaraan begitu kami berdua berada di dalam kamar tidur Adri. "Sejak kecil, nenek kalian sering memujimu karena dibanding cucu-cucunya yang lain, kamu paling rajin, paling rapi, paling bisa diandalkan."

"Adrian bilang begitu?" aku jadi salah tingkah.

Kuikuti gerak-gerik Bu Mina yang lantas duduk di tepian tempat tidur sambil menyilangkan kaki dengan bola mataku. Katanya, "Aku ada janji temu dengan klien dua jam lagi. Harusnya sih jam makan siang, tapi tahu sendiri... klien adalah raja. Jadi kalau raja mengubah waktu janji temu, kita nggak bisa apa-apa kalau masih mau makan."

Meski prinsip seperti itu nggak berlaku untuk Abhi-ku di kampung, aku mengulas senyum membenarkan. Apapun yang dikatakannya dengan nada bicara normal tanpa pelototan mata begini pasti akan kubenarkan dan kukerjakan seperti robot. Persis seperti aku membenarkan semua ucapan Ummi-ku di rumah, asal dia nggak mengomel.

Bu Mina menyambung, "Aku nggak akan sempat pulang ambil baju ganti. Nasib baik semalam aku tidur pakai kemeja Adrian."

Jadi benar itu kemeja Adrian.

Kemejaku pasti akan jauh lebih nyaman dikenakannya tidur karena ukurannya agak lebih besar.

(Entah kenapa aku berpikir seperti barusan.)

"Sebelumnya... aku mau nanya, emang bener kamu mau kerja di tempatku? Gajinya kecil, lho. Kami perusahaan yang baru mulai. Takutnya nggak sesuai sama ekspektasimu. Tapi kalau kamu memang yakin mau susah-susah dulu, sekalian sekarang aku tes, biar besok hari Senin kamu bisa langsung masuk."

Aku belum sempat menyahut.

"Coba kamu ambil pakaianku di kapstok itu, lalu disetrika yang rapi jangan sampai klienku tahu baju itu habis kupakai semalam. Habis itu, di gedung B lantai dua ada butik kecil yang menjual pakaian dalam. Aku sudah menelepon pegawainya untuk disiapkan item yang kuminta, kamu tinggal ambil. Sebelum balik ke sini, jemput garlic bagel salami-ku di kedai sarapan di seberang gedung. Kalau kamu bisa melakukan semuanya kurang dari satu jam, kamu diterima kerja di Healthy Living By Mina. Sebagai pesuruh."

Ganteng banget Mas Mahmoud yah

Kira-kira kalau aku sering-sering selang seling POV Mahmoud gimana?

Spam komen dong, jangan cuman nyuruh2 update cepet doang 🥺

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro