4. Chia Seeds

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum baca, komen dulu laaah... mana nih yang nunggu Mas Mahmoud update??

Healthy Fun Fact:

Siapa yang secara berkesinambungan selalu menjaga pola makan?

Langsing atau gemuk tidak ada yang permanen!

Karenanya, healthy diet itu seharusnya dijadikan life style, bukan rancangan jangka pendek untuk mencapai berat badan ideal. Kalau ada produk atau pola diet ekstrem yang mengklaim BB-mu nggak akan balik lagi usai mengonsumsi atau mempraktekan pola diet mereka, then RUN,  you're scammed.

Akan nggak sehat juga buat kita mengonsumsi obat diet terus menerus, atau menjalani diet ekstrem berkepanjangan. That's why... yang paling pas adalah mengubah pola makanmu menjadi lebih sehat. Eat whole food. Eat more, and weight less.

Sigit Handam Al Mahmoudi baru berani berkacak pinggang setelah Adrian menggeretnya masuk kamar dan menahanku di luar. Pria yang akrab dipanggil Mumu itu hanya mengenakan sehelai boxer untuk menutupi bagian paling vital di tubuhnya, termasuk pinggul dan panggulnya yang nyaris seukuran.

Berkali-kali kuintip, Adrian sedang menahan napas takjub. Otaknya pasti berkerja keras memperkirakan komposisi massa otot dan lemak di badan Mahmoud. Buatku, tanpa hitungan pasti pun, semuanya terlihat optimal. Massa otot yang pas, tanpa gelambir lemak sedikit pun.

Bagian tubuhnya yang lain, terutama dadanya yang bidang dan tegap, seolah mengejek Adrian yang rajin melatih otot-otot pektoralisnya, tapi belum bisa mencapai level ukuran dada ideal milik Mahmoud. Belum lagi bahunya yang kokoh dan lebar melebihi ukuran pinggang rampingnya, serta paha kencang dan ukuran lutut ideal untuk menopang tinggi tubuh yang beberapa sentimeter melampaui Adrian.

Kalau Steve melihat makhluk tampan bak Adonis berkulit kecokelatan setengah telanjang ini berpose seperti model tanpa dia sendiri menyadarinya, sudah bisa dipastikan predikat anak emas pendatang baru Bright Agency akan berpindah ke tangannya.

"Kalau bukan pacarmu, siapa dia?" Mahmoud menuding ke luar.

Aku bisa melihat semuanya dari cermin di ruang tengah. Meski sudah menyumpal telingaku dengan airpod (aku cuma pura-pura, supaya bebas menguping) suaranya tetap tertahan karena khawatir aku mendengar ucapannya. Kelihatannya dia tipe yang selalu lemah pada wanita galak. Mending menghadapi sepuluh orang pria buat diajak adu jotos daripada satu perempuan judes yang nggak ragu-ragu tarik urat.

Adrian menggaruk keningnya, entah mendadak gatal, atau hanya karena bingung harus bagaimana. Waktu menyanggupi permintaan ibunya untuk menampung, kalau bisa mencarikan Mumu pekerjaan, dia mungkin nggak menyangka akan bertemu seorang pemuda seumuran yang jauh lebih menarik darinya.

Kulit Mahmoud lebih-lebih—dibanding segala hal lain pada dirinya yang doable buat dikejar meski dengan target dan optimisme tinggi demi menyamainya—membuat Adrian iri. Belakangan hal itu masuk akal bagiku. Persian heritage dari darah Abhi-nya mengalir kuat, menganugerahinya kulit cerah nan bersih, jauh dari kesan pucat. Bercampur dengan darah Jawa tulen dari ibunya, serta tempaan sinar matahari yang memberinya sapuan kecokelatan, bikin tampilan Mahmoud lebih eksotis.

"Tahu-tahu, dia naik ke atas badanku, ngulum-ngulum bibirku. Kalau katanya aku dikira kamu, masa kalian bukan pacaran?"

"Mina cuma teman, berani mampus. Jangan kasih tahu ibu soal ini...."

"Aku baru mau ngasih tahu Bulik," gumam Mahmoud sambil menurunkan tangannya dari pinggang dan memindahnya terlipat di depan dada. "Dia udah berpesan sebelum aku jalan, kalau Adrian punya pacar, suruh ngasih tahu orang rumah. Jangan sampai pulang-pulang pacarnya udah berbadan dua. Jadi ini maksudnya? Temenan aja kayak gini, Dri... aku nggak ngerti... memangnya gimana orang-orang kota besar ini bergaul?"

"Aaah..., nggak usah ceramah. Kalau kamu mau tahu, di sini aku sibuk kerja nyari makan. Nggak mikir begituan. Udah jangan banyak bacot. Mina bilang kamu diem aja digrepe, berarti enak, kan?"

"Aku tidur, bangun-bangun dia udah di atasku. Bukannya diem..., aku kaget setengah mati sampai badanku kaku semua. Kukira aku lagi diapain. Siapa tahu ada rampok, terus aku lagi mau dikuliti. Ngeri banget aku, Dri... tapi bersyukur juga karena nggak diterusin. Namanya juga manusia, kalau aku ikut kebablasan gimana? Jangan sampai lah... kamu juga... hati-hati temenan sama perempuan kayak gitu. Kasus perempuan hamil gara-gara seks bebas kan banyak terjadi terutama di—"

"Halah, nggak jauh beda sama di kampung!" potong Adrian malas. "Di sana yang bunting duluan juga beserak di sawah."

"Tapi keluarga kita nggak begitu... dan aku cuma ngasih tahu sebagai saudara."

"Kamu sendiri kenapa nggak kawin? Kita kan seumuran. Hayo... kamu lari ke Jakarta karena di kampung udah nggak ada temen, kan? Sabat melaut, kan? Kamu juga males, kan, disuruh kawin?"

Mahmoud mendengus. Sambil mendekati pintu untuk mencabut kaus oblongnya dari kapstok, dia mendumal, "Selain Lastri, nggak ada yang mau sama aku."

Nggak ada yang mau sama dia? Mustahil.

Adrian pasti langsung malas menanggapi humble bragging macam begitu. Jangankan di kampung, di Jakarta aja, rahim cewek-cewek pasti pada anget ngeliat Mahmoud telanjang dada. Namanya mungkin agak ketinggalan zaman, tapi nama selalu jadi soal gampang. Apa aja bisa jadi soal kecil buat kaum good looking.

Mahmoud mengenakan kaus dan celana jins-nya dalam diam. Aku masih bisa melihat semuanya dari tempatku duduk di sofa. Dari mukanya, kayaknya dia masih nggak enak aja sama aku. Meskipun secara teknis dia lah yang kulecehkan, tapi tetap saja... buatnya yang lugu, aku perempuan. Aku yang harusnya merasa rugi. Dia tampak sangat bingung soal hubunganku dan Adrian.

Menggelikan.

Memangnya di kampung nggak ada istilah FWB, ya? Nggak ada temannya yang nyari belalang di sawah bareng-bareng, lalu diam-diam ciuman di balik semak-semak?

Sementara itu diam-diam Adrian mengamati Mahmoud yang sudah rapi dari ujung rambut hingga kaki.

Dari pesan lainnya di ponselku yang baru kubaca, dia bilang aku disuruh jangan kaget karena sepupunya itu dekil dan bau. Maklum, dia baru turun dari bus. Adrian memintaku buru-buru pulang. Malah, gara-gara aromanya nggak keruan, dia memilih bermalam di rumah Steve meski untuk mencapainya, ia harus merogoh kocek untuk memakai jasa taksi online.

(Sebentar lagi Adrian memang akan menandatangani kontrak dengan nominal besar, tapi itu kan belum pasti. Menghemat adalah satu-satunya jalan kalau nggak mau lagi-lagi merepotkanku, tapi bau badan Mahmoud yang katanya mirip kambing saat tiba di apartemen nggak memberinya pilihan.)

Dia sempat tertawa terpingkal-pingkal mendengarku mengamuk di telepon menceritakan kejadian konyol di balik selimut. Dia pikir, yang kutemukan di kamarnya masih seorang cowok berambut lurus abu-abu berdebu dan acak-acakan. Setelah dicuci, rambut Mahmoud ternyata hitam berkilat. Sisa basah sehabis mandi membuat rambut itu tersisir rapi ke belakang hanya menggunakan jari. Hidungnya sih pastinya tetap mancung sejak pandangan pertama, tapi aku bisa membayangkan hidung besar itu dalam kondisi kelewat berminyak. Saking risih melihat penampilan sepupunya sendiri, Adrian bahkan nggak sampai hati memberitahu entah noda apa yang mencoreng batang hidung Mahmoud saat pemuda itu tiba. Mungkin tahi cicak, atau noda karat dari tempatnya menyandarkan kepala saat tertidur dalam bus.

Seingat Adrian, Mahmoud memang ganteng. Ini informasi yang kudapat setelah mereka selesai berkasak-kusuk. Kedua putra Budhe Adrian di kampung itu memang rupawan, tapi sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka bersua.

Adrian sudah beberapa kali lebaran nggak pulang. Malu karena belum juga bisa tampil di layar televisi atau di iklan-iklan jejaring sosial, padahal dia sudah sesumbar mau jadi artis di Jakarta. Kuliah aja dia tinggal. Pokoknya yang jelas, Adri nggak menyangka Mahmoud tumbuh menjadi pemuda yang bukan hanya ganteng, tapi memesona, bahkan dari kacamatanya sebagai sesama pria.

Entah apa yang bikin aku sekesal ini sudah salah sasaran ke pemuda seseksi itu. Mungkin terlanjur malu.

"Eng... Dri... siapa nama cewek barusan?" Mahmoud membisik, tapi telingaku memang sangat tajam dan terlahir untuk menguping. "Ngamuk banget dia kupanggil 'Mbak' mintanya dipanggil 'ibu'. Aneh, bukannya cewek suka kesal kalau dipanggil 'ibu' karena kesannya tua?"

Adrian ikut-ikutan menanggalkan jaket dan mengganti kemejanya dengan kaus tanpa lengan untuk tidur. "Mina itu bos, dia punya perusahaan start-up di bidang kesehatan yang sedang berkembang. Ibu yang dia maksud di situ buat menegaskan superioritasnya, bukan karena ibu biasa dipake buat manggil perempuan tua."

Aku melengos saat menangkap cowok itu mengangguk-angguk kagum sambil mengintip ke arahku. Mungkin, penjelasan Adrian tadi memberinya cukup alasan untuk memahami kejudesanku.

Sambil menunggu Adrian buang air kecil di toilet, Mahmoud duduk di tepi ranjang. Aku pura-pura menggulirkan layar ponsel, tapi bisa merasakan tatapannya mengawasiku.

Posisiku nyaman, aku duduk di sofa dengan kedua kaki naik ke atas meja. Pahaku yang terpapar berpotensi menjadi fokus perhatiannya, tapi kalau aku menurunkannya sekarang, dia bisa curiga aku bisa melihat semua gerak-geriknya dari cermin di ruang tengah.

Mahmoud masih saja memperhatikanku sampai melongokkan lehernya.

Seaneh apa sih penampilanku memangnya? Aku hanya menyanggul asal rambut panjangku ke atas kepala, tapi memang banyak yang bilang leher jenjangku sangat menggiurkan. Pada satu momen, aku merasakan tatapannya berlabuh di sana. Telingaku yang bersih berhias anting bunga mungil dari batu permata yang seakan tumbuh di kupingku berkedut responsif.

"Cantik, kan?"

Pertanyaan Adrian yang tiba-tiba dan diucapkan lumayan lantang itu sama-sama membuatku dan Mahmoud melonjak. Refleks, aku menoleh dan tatapanku bersirobok dengan mata Mahmoud yang mencelang. Dengan sigap ia mempersempit celah pintu yang terbuka.

"Dulu dia nggak begitu," imbuh Adri santai. "Ayo temui dia."

"Nggak mau," tolak Mahmoud, terdengar sungkan. "Ngeri aku. Mending aku di sini aja, kamu yang jelasin ke dia bahwa aku menyesal."

"Menyesal? Kan kamu yang disosor katanya? Menyesal... apa menyesaaal?"

Sialan Adrian!

Mahmoud memaki dalam bahasa jawa kasar. Aku nggak mengerti artinya. "Dia pasti kesal banget sama aku. Cewek kayak dia nyium bibirku... pasti jadi aib buatnya."

"Hah?" Aku bisa membayangkan alis-alis Adrian menukik tajam saat dia menyeru.

Aku juga ikutan heran. Sebenarnya makhluk-makhluk di atas rata-rata kayak Mahmoud gitu pada ngeliat dirinya sendiri kayak apa sih di cermin? Aku nggak relate. Apalagi Adrian. Sebagai cowok yang agak narsis, dia aja suka kelewat percaya diri. Mahmoud dengan ketampanan dan kebugarannya harusnya punya self esteem yang jauh lebih tinggi dari siapapun di antara kami berdua.

Tahu-tahu, Adrian menyeletuk kencang, "Kamu tuh mirip sama Minul! Mina dulu nggak begini," kata Adrian santai.

"Hssst... dia bisa mendengarmu!" Mahmoud mempertingatkan.

"Kamu nggak lihat dia pakai airpods?" sanggah Adrian.

Aku yakin Adrian bahkan nggak peduli kalaupun aku bisa mendengar. Apartemen murahan begini, dari luar saja bisa kedengaran orang berbincang-bincang di dalam.

"Maksudku nggak galak dan brangasan kayak yang kamu lihat barusan. Dia juga selalu ngerasa rendah diri, persis kamu gini. Jangan bilang... badanmu jadi bagus begini karena insekuritas juga kayak dia? Siapa yang udah nyakitin hatimu, hm?"

"Kalau kamu nanya aku, badanku jadi begini karena ngangkut ton-ton-an beras! Abhi-ku sempat jatuh miskin dan nggak bisa bayar kuli panggul."

Adrian mendesah kurang puas dengan jawaban Mahmoud. Mungkin dikiranya, semua orang punya masalah yang sama. Untung dia berhenti kuliah buat jadi psikolog dulu. Pintu yang barusan hampir ditutup Mahmoud dibukanya kembali.

Aku pura-pura menggoyangkan kepalaku supaya Adrian mengira aku sedang sibuk mendengarkan musik.

"Kadang... perubahan yang kelihatan bagus dari luar, nggak seindah cerita seseorang saat mencapainya. Orang-orang kayak Minul mengubah penampilan luarnya untuk menghibur diri dari kekalahan, tapi justru perlahan menggali kegagalan lain dalam hidupnya. Kegagalan untuk menerima dirinya sendiri apa adanya."

Aku tercenung.

Kalau Mahmoud tidak di sana dan aku tidak sedang pura-pura tak mendengar, aku pasti sudah mendebat Adrian habis-habisan. Sebaliknya, aku mengubah diri supaya bisa mencapai versi terbaik dari diriku. Baik itu secara fisik, maupun mental.

Saat itu, aku merasa sangat kecewa pada Adrian. My switch on him suddenly turned off. Kupikir dia cukup mengenalku. Ternyata, baginya, setelah seseorang mengalami hal yang teramat berpengaruh dan mendorongnya untuk berubah, perubahan baik atau buruk dianggap sama.

Sama-sama tidak menerima kenyataan. 

Terima kasih udah baca dan komen, ya!

Anyway kalian baca Empat Bulan Yang Lalu? Aku habis posting cerita tentang Sam, antagonis di cerita itu di KaryaKarsa.com/kincirmainan
Dukung dan baca, ya, kalau kamu ngikutin EBYL dan penasaran sama Sam.

Oh iya, kayaknya kemarin masih banyak yang bingung, Yoshi Sudarso jadi Mahmoud apa Adrian, jadi kushare lagi ya dream cast-nya ❤️


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro