Reincarnation Reawakened

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di tengah suatu tanah lapang yang luas, terlihat tiga orang sedang berlari. Di seberang lain dari tiga orang itu, terlihat tengkorak hidup yang bergerak dalam jumlah yang tak terhingga berlari juga untuk menyambut mereka. Ketika kedua belah pihak sudah mulai dekat, satu-satunya gadis diantara tiga orang itu mengangkat senjatanya. Sepasang senapan laras panjang yang dia gunakan di tiap tangan.

"Wahai pemanah yang bermandi cahaya matahari, ukirlah jalur dari peluru ini menembus semua yang menghalangi! Sfaira Aktinon!" Moncong dari kedua senapannya bersinar terang dan ketika gadis itu menekan pelatuknya, sebuah garis cahaya terbentuk dari mulut kedua senjatanya menuju ke tengah-tengah kerumunan para tengkorak yang menjadi lawan mereka. Tanpa banyak adegan yang melamakan, semua tengkorak itu langsung tumbang tanpa alasan... jika kita tidak menghitung tembakan tadi sebagai alasannya.

Tapi gadis itu belum selesai karena setiap senapan tidak akan memiliki satu buah peluru saja. Dia langsung menahan pelatuk kedua senjatanya mengayunkan senjatanya ke kiri dan kanan, membersihkan banyak tengkorak yang ada. Meski begitu, tetap saja jika tulang-tulang bergerak yang masih ada jauh lebih banyak daripada yang sudah jadi tumpukan bagai mainan anjing.

"Cih! Kalian semua!" Gadis itu berhenti sejenak, menggantungkan salah satu senjatanya ke balik punggungnya. Dia pun membuka telapak tangannya yang bebas, lalu menutup matanya.

"Wahai dewi panen yang kesepian, dengarkanlah sebuah keinginan. Keinginan untuk diberikan alat yang bisa meraup semua hikmat. Morfi Sfairas." Ditangannya yang terbuka, sebuah peluru pun muncul. Dia kemudian memasukkannya ke dalam senapannya, lalu kembali berdoa. Siapapun tahu kalau melakukan hal seperti ini di medan pertempuran sama saja dengan mencari mati.

Dan para tengkorak pun tidak tinggal diam. Mereka langsung berjalan kearah gadis itu, senjata mereka yang beragam diangkat untuk menebas dan menusuk. Namun sebelum mereka bahkan menyadari kalau gadis itu berhenti, seseorang sudah merapalkan mantranya sendiri.

"Wahai naga agung penguasa langit, dengarlah impian dariku yang rumit. Aku ingin anak dari rasmu yang agung, menjadi pelayanku menuju masa depan yang baru! Summon! Great Thunder Dragon!" Dari atas langit tanpa awan, sebuah petir menyambar pasukan tulang yang mencoba mengganggu gadis itu, menyebabkan asap mengepul disekitaran area sambaran tadi. Asap itu secara paksa disebarkan oleh sebuah kepakan sayap raksasa yang mencuat dari tubuh seekor naga yang kini berada di depan si gadis. Naga itu pun memperlihatkan taringnya, aliran listrik terlihat menjalari giginya.

"Wuh! Makasih, Zenith! Untung tuanmu bisa cekatan!" Teriak gadis itu.

"Mending kau percepat mengisi peluru mainan-mainanmu itu, atau aku dan master akan menghabisi pasukan tengkorak ini sendirian," balas naga itu.

"Cih! Emangnya si cupu itu bisa apa?" Belum juga satu detik setelah gadis itu membalas si naga, orang yang tadi memanggil naga itu berteriak,"Thunder Justice!"

Sekali lagi, sebuah petir muncul di hari tak berawan dan menyambar pasukan tengkorak itu. Tapi tidak sampai disitu, petir yang menyambar tengkorak tadi mulai melompat, menyambar mereka yang masih belum terkena serangan yang ada sampai tidak ada lagi tengkorak yang dekat. Melihat hal itu si gadis terkesima.

"Si cupu, ya, Apollonia?"

"Diam, Wilbert."

Ketika mereka berdua masih berbicara, si pria terakhir yang masih berlari tanpa henti mengangkat kedua tangannya ke depan. Di tangan kanannya terlihat gumpalan cahaya putih yang mengitarinya, sementara di tangan kirinya suatu zat hitam yang tak terjelaskan mengumpul. Ia lalu menepukkan tangannya, mencampurkan kedua warna yang sangat berbeda satu sama lain menjadi suatu kesatuan lalu menghunuskannya ke depan.

"Chaos Pierce!" Warna hitam dan putih menyatu menjadi sebuah kilauan tajam, menembus semua tengkorak yang mencoba menghalanginya. Pria itu lalu melakukannya lagi dan lagi tanpa memperdulikan sisinya. Ketika ada yang ingin menyerang pria itu di bagian kiri, naga tadi dengan sigap melindunginya. Begitu juga bagian kanannya dengan si pria cupu dan belakangnya dengan si gadis bersenapan.

"Majulah, Issho!"

"Hajar ayahmu yang tolol itu!"

"Pasti! Akan kubuat dia tahu, kalau kita serius!"

...

Suara sirene berbunyi kencang, membisingkan telinga mereka yang berada di dekat asal suara bagai jeritan itu: sebuah ambulans yang berada di tengah jalan yang menyebabkan jalan menjadi macet. Namun, jalan tersebut awalnya sudah berada di dalam kekacauan, sebab mereka yang disekitar tempat itu bisa melihat jika ada badan yang tergeletak tak berdaya.

Menyebutnya badan pun mungkin sudah tidak akurat. Cairan merah gelap masih mengalir perlahan dari tubuh tersebut, memaksa keluar Dari dekapan kain gelap yang mencoba menutupi pandangan keji yang awalnya adalah sebuah badan seseorang-- bagian perutnya. Hal yang lebih baik tidak perlu dijelaskan terpampang disana, pakaian manusia itu tak sanggup menutupinya yang menyebabkan campuran warna antar darah dan cairan kekuningan itu mulai terserap oleh kain yang mungkin akan meledak karena banyaknya air yang harus diserapnya.

Manusia itu terlihat sangat terkejut, raut wajahnya bagaikan melihat sang malaikat pencabut nyawa mendatanginya dengan sabit ikoniknya diangkat tinggi. Tentu saja, kita bisa menganggap truk yang tergeletak tak jauh dari manusia itu sebagai maut itu sendiri baginya. Rambutnya yang awalnya sudah tak terurus sekarang sangat kacau dan mulai dicat berwarna darah. Matanya mengeluarkan air mata dalam jumlah yang tak sedikit, menandakan ajal yang mendatanginya datang dengan serangan yang membabi buta. Tidak ada yang tahu cairan yang keluar baik dari mulut maupun hidungnya adalah darah atau sudah tercampur dengan cairan yang dikeluarkan oleh tubuh untuk melindunginya. Yang jelas, perlindungan tersebut sangatlah tidak cukup untuk melindungi manusia itu.

Siapapun yang melihat wujud dari manusia itu sudah pasti tahu kalau keselamatannya memiliki kemungkinan yang lebih kecil dibandingkan gacha bintang lima sebuah game rilisan *********.

...

"Aku bisa merasakan kesadaranmu sudah kembali, manusia. Atau kurasa, kesadaranmu sudah sampai?"

Suara tersebut, suara seorang gadis kecil yang sedikit kebingungan, adalah satu-satunya suara yang didengar oleh seorang pria yang kini sedang duduk. Rambut hitam tak terurusnya terlihat sedikit lebih rapi dibandingkan kondisinya yang naas tadi, dan pakaian hitamnya juga tidak tercampur dengan darah yang tak terhitung jumlahnya. Ketika pria itu benar-benar sadar, ia langsung memegang-megang sekujur tubuhnya dengan perasaan terdesak dan keringat langsung terlihat jelas mulai berkeluaran dari pori-pori kulitnya.

Setelah memastikan kalau dirinya tidak... sebut saja diambang kematian, ia langsung mengalihkan pandangannya ke hal yang berada dihadapannya. Ia bisa melihat sebuah meja kayu sederhana dengan taplak kain putih yang tak bercorak juga, dan orang yang berada di seberangnya adalah seorang gadis yang terlihat masih berada di masa pubertas hanya mengenakan sebuah kaus kutang yang kebesaran untuk menutupi tubuhnya duduk diatas sebuah kursi kayu yang terlihat akan patah apabila digoyang sedikit saja. Pria itu ingin menanyakan orang tua macam apa yang membiarkan anak mereka mengenakan pakaian yang terlihat sangat tidak bermartabat seperti itu tapi kemudian ia melihat ke sekitarnya.

Hitam. Hitam sejauh mata memandang. Hanya gadis dan perabotan yang ada didekat gadis itu dan dirinya yang kini memiliki warna selain kegelapan hitam.

"Dimana--"

"Kau sudah mati."

Belum selesai pria itu bertanya, si gadis langsung mengatakan satu hal yang membuatnya mengingat kejadian sebelum dirinya berada disini.

Saat itu harusnya salah satu dari hari biasa tanpa masalah. Hanya dirinya yang menjadi parasit negara dengan hidup tanpa pekerjaan yang hanya bisa meminta uang dari keluarganya untuk hidup bermalas-malasan. Namun, ketika dia melihat seorang gadis sedang diganggu oleh pria mabuk, ia langsung mendatangi pria itu dan melemparnya barang yang ia beli tadi. Pria mabuk itu tak terima dan langsung mengejarnya, mengeluarkan pisau yang tadinya ia sembunyikan. Melihat hal itu dia hanya bisa berlari sekuat tenaga, berlari kemana saja asalkan tidak ditangkap oleh si pria mabuk itu. Sayang, dia memang tidak ditangkap oleh pria mabuk itu, tapi sebuah truk yang sedang melaju lebih cepat dari biasanya karena dia melanggar lampu hijau pada malam harilah yang memeluknya dan membawanya bertemu dengan dewa kematian.

Ketika mengingat hal itu, dia langsung menjerit, rasa sakit yang tadinya terlupakan memunculkan dirinya ke benak pria itu. Melihat hal itu, si gadis mengangkat jari telunjuknya dan pria tersebut tidak merasakan sakit itu lagi.

"Kau sudah sedikit tenang?"

Orang bodoh pun seharusnya tahu seorang pria yang menggenggam kepalanya dengan kedua tangannya sembari menunduk ke tanah dan bernafas tersendat-sendat jauh dari kata tenang, tapi gadis itu setidaknya mencoba mencairkan suasana.

"A... Aku tidak apa-apa... Kurasa..." Balas pria itu. Gadis itu menunduk pelan kemudian menjawab,"Bagus. Tapi, apa perasaanmu sudah siap?"

Awalnya, pria itu tidak mengerti apa maksud dari gadis itu. Tapi kemudian ia berpikir apa yang akan terjadi pada manusia yang sudah mati.

'Ah, neraka atau surga ya.'

Dengan sebuah helaan nafas, pria itu kemudian berkata,"Apa aku akan... Ke neraka?" Tanyanya.

Namun, berbeda dengan anggapannya, gadis itu memandangnya aneh kemudian tertawa kecil. "Hmm... Ya, kurasa aku bisa mengatakan kalau aku akan mengirimmu ke neraka. Tentu saja, bukan neraka yang sesungguhnya."

Hal ini menarik perhatian pria tadi. Ia kemudian menyadari situasi seperti ini sangatlah mirip dengan berbagai cerita yang berasal dari negara matahari terbit, yang saking banyaknya cerita tersebut memiliki sebuah genre tersendiri.

"Kau akan mengirimku ke dunia lain?!" Tanyanya lagi, tapi kali ini jauh lebih bersemangat.

"Jangan berharap banyak. Aku akan mengirimmu ke dunia yang tanpa ampun, tapi dunia itu tetaplah dunia favoritku," balas gadis dihadapannya.

"Dunia yang akan kau datangi nanti dibagi menjadi tiga dunia kecil: Nirvania, dunia para Angel dan God, Nerakia, dunia para Demon, dan Neitheria, dunia mereka yang bukan Angel, God, maupun Demon. Kau akan terlahir kembali sebagai Human, atau manusia. Tapi, kau akan terlahir sebagai anak dari..." Gadis itu terjeda sesaat, kemudian terkekek pelan,"...dua mahkluk favoritku yang menjadi pasangan suami-istri."

Pria itu mengangguk antusias. Dia bisa terlahir kembali ke dunia baru. Dia bisa membuang semua hal-hal yang menjeratnya di masa lalu. Dia bisa menjadi orang baru yang bisa diandalkan. Dan dia bisa memiliki seorang teman, atau bahkan pacar maupun istri. Tentu saja dia bersemangat.

Gadis itu kemudian tersenyum, tapi kali ini senyumnya terlihat seperti senyum seseorang yang sedang memainkan bonekanya dengan kasar sampai merusaknya.

"Kau tahu kenapa aku memanggilmu? Memilihmu?" Tanya gadis itu tiba-tiba. Pria itu menggelengkan kepalanya yang membuat senyuman gadis itu menjadi semakin lebar dan menyeramkan.

"Seorang pria yang tidak memiliki hubungan signifikan dengan orang lain, tidak dalam pekerjaan, pelatihan, maupun pendidikan, tidak memiliki keahlian yang bisa dipamerkan, dan memiliki hubungan yang buruk dengan semua keluarganya sampai keluarganya mengingikan dia menghilang."

Jawaban dari gadis itu membuat wajahnya kehilangan warna dan ekspresi. Semua hal itu adalah hal yang terjadi padanya, meskipun dia tidak tahu kalau keluarganya tidak menginginkannya.

'Tapi tentu saja... Mana ada orang yang menginginkanku.'

"Aku mencari orang seperti ini. Anehnya, banyak orang seperti ini di duniamu, jadi kau harusnya beruntung aku memilihmu." Ucapan gadis itu tak sedikitpun menambah gairahnya.

"Alasan kenapa aku memilih orang yang seperti itu karena aku ingin melihat, apakah orang tak berguna seperti itu akan tetap tak berguna apabila menjadi anak mereka." Mendengar alasannya, pria itu merasa jengkel. Ia pun menghantamkan tangannya ke meja dihadapannya karena tak terima selalu diledek seperti itu.

"A-aku tidak...!" Sebelum pria itu selesai berbicara, sebuah warna lain muncul di dalam ruangan itu. Warna tersebut adalah warna kuning kehijauan, dan asalnya berada di belakang gadis itu. Sebuah mata raksasa terbuka lebar dan memandang pria itu layaknya memandang kotoran, jijik dan dengki.

"Udah keras?" Tanya gadis itu. Pria itu pun memalingkan pandangannya, tapi kemana pun ia melihat, ia melihat mata itu lagi. Tidak, mata itu tidak berpindah, melainkan mata baru terbuka, melihatnya dengan kedengkian yang serupa. Ia bahkan mencoba melihat ke bawah kakinya, tapi sebuah mata tetap berada disana menyapanya. Warna hitam di ruangan itu kini telah ditelan oleh warna kuning kehijauan dari mata-mata raksasa yang berada di sekitarnya.

Satu-satunya pilihannya adalah melihat ke arah gadis itu, yang kini matanya juga berwarna sama dengan mata-mata raksasa tadi.

"Sekali lagi kutanya: udah keras?"

Pria itu ingin menggelengkan kepalanya. Ia sangat ingin melakukannya. Tapi entah kenapa, tubuhnya tidak mendengarkannya. Dia juga mencoba membuka mulutnya, tapi hal yang bisa ia lakukan hanyalah menelan air liurnya saja tanpa membuka mulutnya sedikitpun.

"Sepertinya kau masih tidak mengerti posisimu disini, dasar kau hama yang tak berarti. Aku menarik jiwamu kemari, memberimu kesempatan untuk hidup sekali lagi di lingkungan yang jauh lebih baik dari kompeten, dan kau berani, berani, mengangkat suaramu?"

Pria tersebut masih membeku dalam takut.

"Aku adalah Yog-Sothoth, keberadaan yang ada di luar realita manapun. Aku mengenalmu, orang tuamu, buyutmu, sampai ke dewa yang kau puja sekalipun, aku mengenalnya. Aku sudah melihat segalanya, bahkan semua kemungkinan akhir dari cerita mahkluk menyedihkan sepertimu. Aku mengetahui segalanya, baik dari rahasia penciptaan alam semestamu sampai siapa yang menciptakannya. Jika kau merasa punya pencapaian yang membuatmu layak bahkan untuk hidup di semesta yang aku datangi dalam tidurku, aku ingin kau mengutarakannya padaku sekarang juga."

"Yog-Sothoth.... Mahkluk yang disebut Lovecraft!" Mendengar hal itu gadis itu mengangkat alisnya.

"Ah, Lovecraft? Pria yang aneh. Entah bagaimana dia bisa memasuki tempatku dalam imajinasinya. Aku hanya harus meyakinkannya kalau aku memang bagian dari imajinasinya. Hal yang mudah." Senyuman gadis itu yang tadinya sinis dan kejam mulai berubah menjadi senyum tertarik.

"Ternyata dirimu yang ini adalah dirimu yang membaca setidaknya mengenai diriku. Menarik."

Pria itu mengangguk pelan, akhirnya bisa bergerak setelah gadis itu, Yog-Sothoth, sudah tidak memandangnya kejam. Semua mata-mata tadi masih terbuka, tapi tatapannya tidak semenyeramkan tadinya.

"Jadi... Kau ingin aku hidup disana?" Yog mengangguk.

"Ya. Tentu saja aku tidak memberitahu kedua orang tuamu jika aku akan membuat anak mereka sebagai salah satu mainanku. Meskipun aku tahu mereka tidak akan bisa membantahku, aku ingin kau merahasiakan bahwa aku yang mengirimkanmu kesana. Biarkan aku yang memberi tahu mereka ketika waktunya tiba, ok?"

Pria itu mengangguk.

"Mantap. Pergi sana. Muak aku melihatmu."

...

"Sayang, lihat! Imut, kan?"

"Wah, iya! Pipinya tembem sepertimu!"

"Heh! Minta dihajar?"

Pria diruangan itu tertawa terbahak-bahak, sementara wanita yang menggendong seorang bayi yang berada di tempat tidur sandaran pria itu terlihat cemberut. Anak yang berada di dekapannya tidak menangis, terdiam dengan wajahnya yang merah.

"Takame, dia anak laki-laki," kata wanita itu pelan.

"Mau kau beri nama, Saha?" Tanya pria yang bernama Takame itu.

"Hmm... Sahatakael?"

"Buset. Aku tahu kekreatifanmu setara dengan kecoa, tapi gak gitu juga."

Saha menatap suaminya dengan raut wajah yang jelas tidak merasa tersanjung sedikitpun.

"Kalau begitu coba kau beri nama, hah?!"

Takame menggaruk dagunya dengan tangannya satu-satunya yakni tangan kirinya, lalu menjawab,"Bagaimana kalau Hitori?"

"Ah, 'sendiri'? Hmm... Iya sih, ia saat ini sendiri, tapi bagaimana kalau--"

"Kau sendiri sudah berjanji kalau kita tidak akan memiliki anak lagi, Saha."

Saha terlihat sedih, tapi kemudian mengangguk pelan. "Tapi, apa kau yakin? Memberinya nama seperti itu bisa saja mengutuknya untuk selalu sendiri," jelas si istri.

"Ah... Benar juga..."

"Kalau begitu, bagaimana dengan Issho? Bukan 'sendiri', melainkan 'bersama'," ucap Saha. Takame mengangguk.

"Nama yang bagus."

...

'Jadi namaku sekarang Issho, ya? Sungguh ironi sekali dibandingkan aku dulu,' pikir pria itu, yang kini adalah Issho. Pria itu tahu kalau kedua orang tuanya ini adalah orang yang menarik, bahkan tanpa mengingat ucapan Yog sedikitpun dari beberapa saat mereka bersama.

"Takame! Masakannya udah jadi, nih!" Teriak Saha yang kini sedang mengenakan sebuah apron memasak. Bagi Issho, Saha tidak cocok disebut sebagai ibu dari penampilannya. Soalnya, dia tidak yakin jika tinggi Saha menembus satu setengah meter, dan bagian kewanitaannya (baca: dada) memiliki ukuran yang juga dibawah rata-rata. Namun, selain dari penampilannya, sifatnya yang sangat murah hati kepada orang lain, yang anehnya selain suaminya karena mereka terus saja berdebat, dan kemampuannya dalam ibu rumah tangga bisa membuatnya sebagai ibu idaman yang jika kita masih kecil membuat kita ingin ke rumah teman kita yang memiliki ibu seperti itu karena pasti akan diberi makanan atau kue.

Takame, yang tadinya tidak berada di meja makan dan ada di lantai dua, langsung berada di meja makan rumah mereka dan duduk dengan santai. Bagi Issho, pria ini jauh lebih aneh dari ibunya. Takame terlihat seperti tokoh protagonis dengan rambut acak-acakan yang biasanya terlihat di anime-anime bergenre dunia lain yang sering ia lihat. Bedanya, apabila tidak bersama dengan Saha, Takame memiliki pandangan yang terlihat kehilangan cahayanya dan dipenuhi kekelaman, tapi keberadaan istrinya mengembalikan cahaya itu. Dan tentu saja, fakta jika pria itu hanya memiliki tangan kiri saja adalah salah satu keanehan yang tidak dia tahu alasannya.

"Apa makanan kita hari ini?" Tanya Takame.

"Daging naga," jawab Saha santai. Ketika pertama kali mendengarnya, Issho hampir kehilangan nyawa keduanya karena tersedak. Untung saja ibunya mahir dalam sihir penyembuhan.

'Meski begitu, daging naga...?' Issho tidak tahu apakah naga dianggap sebagai mahkluk biasa atau mahkluk tingkat dewa yang bahkan dijadikan sebagai pelindung suci di berbagai daerah. Tingkah dari kedua orang tuanya membuatnya percaya kalau daging naga itu hanya hal yang biasa-biasa saja, tapi dia tidak ingin percaya semudah itu mengingat keduanya adalah orang kesukaan Yog, yang berarti keduanya jauh dari kata normal.

"Et dah, ini-ini aja. Apa gak ada makanan lain atau gimana?"

"Kan kau yang selalu nge-hunt naga kalau lagi senggang, rambut terbalik!" Issho awalnya tidak mengerti apa maksud ejekan ibunya itu. Tapi ia tidak butuh waktu lama untuk mengerti. Takame memiliki rambut hitam acak-acakan yang klise, tapi rambutnya akan jauh lebih aneh jika Takame mencoba merapikannya.

Soalnya dia akan membuat ponytail ke depan, bukan ke belakang.

"Bacot, pendek!"

"Heh, kan kau yang pertama mengatakan cinta kepadaku yang pendek ini. Apa jangan-jangan kau...?"

Takame menampar wajahnya keras sampai-sampai gelombang angin terlihat jelas dari tamparannya.

"Stop," kata Takame.

"Bagus, sekarang makan makananmu." Ketika Takame ingin meraih makanan yang ada dihadapannya, Saha menampar tangannya.

"Makan itu pakai tangan kanan."

"Tanganku 'kan cuman tangan kiri."

"Halah, bacot."

Takame menghela nafasnya kesal. Ia kemudian memfokuskan pandangannya ke tangan kanannya. Issho bisa melihat ada butiran-butiran cahaya kecil bagai kunang-kunang yang terbang mendekati posisi dimana tangan kanan Takame berada. Tak butuh waktu lama, cahaya-cahaya itu mulai mengambil wujud padat yang tak lama kemudian menjadi sebuah tangan kanan yang terlihat sehat dan segar layaknya tangan itu selalu ada disana.

Melihat hal ini, Issho yang awalnya hanya menganggap kalau Takame dan Saha hanyalah sekedar pasangan sebleng pudar seutuhnya. Sangat jarang baginya melihat seseorang bisa menumbuhkan fisik yang sudah terpotong selain dengan menyambungnya kembali bahkan di cerita sekalipun. Hal yang begituan biasanya hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa.

"Nah, bagus. Kalo dari tadi gitu kan lancar jaya udah." Takame hanya membalas Saha dengan ekspresi yang tidak senang.

"Ok, sekarang kita berdoa. Nak, ayo berdoa." Meskipun dari tadi berada di gendongan Saha, sepertinya baru sekarang keduanya mengingat keberadaannya. Issho yang Masih bayi hanya bisa mengikut saja karena dia masih belum memiliki kendali penuh terhadap tubuhnya.

'Tapi, tetap saja. Takame dan Saha... aku ingin tahu sekuat apa kalian sebenarnya.'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro