Weird and Weirder

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah satu tahun sejak Issho tinggal bersama Takame dan Saha sebagai anak mereka, dan Issho sudah menyadari banyak hal yang aneh di waktu satu tahun itu. Contohnya adalah hal yang terjadi dihadapannya.

"Ah... Segar banget! Takame! Tambah dong, bir-nya!" Teriak seorang gadis yang tingginya juga menyamai ibunya. Bedanya, gadis itu memiliki tanduk hitam raksasa di kedua sisi kepalanya yang menjunjung keatas, membelah apapun yang mencoba menyentuh kepala gadis itu. Rambut hitam legamnya berbeda jauh dengan ibunya yang putih bagaikan salju, menambah kesan kalau keduanya berbanding terbalik. Pakaian dari gadis itu juga tampak megah, sebuah gaun hitam dengan aksen-aksen keemasan di berbagai sisi, sekali lagi berbeda dengan ibunya yang hanya mengenakan pakaian ibu rumah tangga sederhana. Yang sama hanyalah warna mata keduanya: kuning kecerahan.

"Aduh, Kak Lucy... jangan minum banyak-banyak gitu..." tukas Saha mencoba menenangkan gadis aneh yang bernama Lucy itu. Lucy memandang Saha geram, dan Saha menarik tangannya yang mencoba meraih cangkir yang ada ditangan gadis seukurannya itu.

Sementara itu, ayahnya yang berada di sisi lain meja tempat mereka berempat duduk melemparkan botol bir dengan tangan kanannya. Lucy dengan mudahnya menangkap botol itu, dan Takame langsung menghilangkan tangan kanan yang dibuatnya dari sihir.

"Papa... tangan kanan papa kok bisa tumbuh gitu, ya?" Tanya Issho penasaran. Awalnya Takame dan Saha kebingungan karena Issho sudah bisa bicara, berjalan, dan berfungsi layaknya anak enam atau tujuh tahun hanya dalam setahun saja, tapi tanggapan Takame saat Issho mengejutkan keduanya juga membuat Issho kebingungan sendiri.

'Saha, kita berdua jauh dari kata normal. Kenapa kita menganggap kalau anak kita nantinya normal?'

Sampai saat ini Issho hanya bisa mengucap syukur karena ayahnya aneh bin ajaib.

"Lah?! Anakmu udah bisa bicara, Takame?!"

"Kupingmu tuli? Gak kau dengar dia tadi ngomong gitu?"

"Ngajak berhantam sama bosmu, hah?!"

"Gas, bangsat."

Lucy mengangkat tangan kanannya, bola energi kehitaman muncul ditangannya secara instan. Begitu juga dengan Takame yang mengeluarkan sihir yang sama di tangan kirinya. Namun, sebelum keduanya bisa menghantamkan sihir mereka satu sama lain, sebuah jentikan jari terdengar dan sihir di kedua tangan mereka hilang.

"Jika kalian ingin berkelahi diluar saja. Dan Takame, berapa kali kubilang untuk tak menggunakan kata kasar di depan Issho?" Tegur Saha ke kedua orang... yang satu terlihat dewasa yang satu tidak terlalu... yang ada di meja makan itu. Issho hanya memperhatikan hal yang terjadi dihadapannya dengan kebingungan tapi juga kekaguman.

Kedua orang tuanya bisa menggunakan sihir keren seperti bola hitam tadi. Begitu juga dengan orang-orang yang datang ke kediaman mereka seperti Lucy ini. Issho mengingat jika Lucy adalah kakaknya Saha, tapi ia tidak tahu kenapa Lucy memiliki sepasang tanduk yang membuat tanduk Dia***s terlihat pendek, tapi dia tidak berani menanyakannya.

Terutama karena dia masih berumur satu tahun.

"Tapi, ngeri juga anakmu udah bisa ngomong lancar gitu padahal masih satu tahun."

"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya... atau apalah itu." Jawab Takame.

"Eh? Berarti dia nanti tumbuh jadi orang kurang waras sepertimu?"

"Tandukmu mau kupatahkan, hah, cebol?"

"Tanganmu satu lagi mau kubuntungkan, hah, playboy?"

Sebelum mereka berdua bisa lanjut bertengkar lagi, Saha menarik kerah baju mereka berdua lalu menyeret mereka berdua ke luar rumah. Anehnya, keduanya menurut tanpa adanya perlawanan. Ketika Saha kembali ke meja makan, Issho bisa mendengar ledakan yang dahsyat berasal dari luar rumahnya.

"Mama? Apa papa tidak apa-apa melawan bosnya?"

"Hmm? Apa kau sudah mengerti hal yang gituan, nak?"

Issho berkeringat dingin. Ia lupa tadi saat berbincang di meja adalah pertama kalinya ia mendengar kata 'bos'. Tapi, dia tidak ingin berbohong kepada ibunya karena ibunya bisa melayangkan nyawanya secepat mungkin sama seperti ayahnya.

Tentu saja ibunya tidak akan melakukan itu, tapi jaga-jaga karena keduanya tidak normal.

"Ah... iya..."

"Buset, dah. Si Takame bego itu habis mabuk sebenarnya ngelantur apa di depanmu."

'Selamat...!' Teriak Issho girang dalam hatinya. Memang, ayahnya sering mabuk. Tapi anehnya ketika mabuk ayahnya hanya terlihat memiliki wajah memerah saja. Perangainya sama seperti biasa dan bahkan bisa dibilang dia lebih normal ketika mabuk.

Tapi tentu saja dia jadi tambah gila jika Saha sedang berada di dalam ruangan yang sama.

"Papa dan kak Lucy sebenarnya sudah kenal jauh lebih lama dibandingkan papa dengan mama. Jadi keduanya bertengkar seperti itu sebenarnya sudah biasa." Issho hanya bisa mengangguk. Tapi, bukankah Lucy tadi memanggil ayahnya playboy? Apa keduanya memiliki hubungan dulunya?

Issho ingin tahu, tapi pada saat yang sama, dia juga tidak ingin tahu.

...

Sebuah kastil megah berwarna merah darah berdiri dengan tegak, memandang hunian yang berada di dataran yang lebih rendah dari kastil itu bagaikan seorang tuan memandang rendah budaknya. Kastil itu disinari oleh warna langit sore dari belakang, seolah ingin menyebutkan jika kastil itu memanglah kastil yang sakral.

Di dalamnya, lebih tepatnya di sebuah ruangan yang memiliki sebuah karpet merah yang menghubungkan antara pintu yang diberikan hiasan kaca antik dengan sebuah kursi hitam yang beraksen merah darah pada bagian sandaran lengannya tapi emas di bagian lainnya, seorang gadis duduk disana.

Gadis itu adalah Lucy.

"Yang mulia, hamba ingin mengabarkan sesuatu padamu." Di dekat tahta itu, seorang pelayan pria dengan jas dan celana panjang hitam menuturkan katanya sembari membungkukkan badannya ke depan, tangan kanannya berpose menyanjung. Rambut kuning keemasan pria itu dibiarkannya memanjang, hampir mencapai pinggangnya. Mata merahnya menatap kearah gadis yang ia sebut sebagai 'Yang Mulia' dengan antusias, seolah memiliki kebahagiaan tersendiri.

"Apa itu, Beel?" Tanya Lucy terdengar tak tertarik.

"Gerbang yang menghubungkan antara kita dengan Kerajaan Seafolk sudah bisa digunakan. Kita bisa mengirimkan duta kita dan menerima duta mereka secepatnya." Lucy memusatkan perhatiannya ke arah pria yang disebutnya Beel itu, kali ini tertarik dengan apa yang dia katakan. Gadis itu lalu menyandarkan kepalanya ke tangannya.

"Aku tahu Belph bisa bekerja cepat jika kita meyakinkannya, tapi aku tidak menyangka orang-orangnya Trish bekerja cepat juga," puji Lucy sembari tersenyum. "Mengenai kedutaan kita dengan mereka, kita akan bahas nantinya di Pertemuan. Kerajaan yang lain mungkin akan tertarik dengan proposisi kita, dan aku harap utusan dari Kerajaan-Kerajaan Manusia adalah salah satunya."

"Maafkan aku, Yang Mulia, tapi apakah kita memang perlu membuat gerbang teleportasi dengan Kerajaan-Kerajaan Manusia juga?" Tanya Beel sembari menundukkan kepalanya.

"Awalnya aku juga tidak mau. Tapi, anaknya Takame dan Saha masihlah manusia. Tidak mungkin kita membiarkannya hidup di Nerakia selamanya, bukan?" Tanya Lucy.

"Kenapa... tidak kita--"

Sebelum Beel bisa menyelesaikan katanya, Lucy sudah berada di hadapannya, tangan kanannya memegang pundak Beel.

"Yang Mu--?!" Lucy mendorong Beel ke bawah, memaksa pria itu berlutut dihadapannya. Mau tidak mau Beel hanya bisa menurut.

"Beelzebub. Aku tidak peduli perasaan rasismu terhadap manusia. Saat ini, di masa perdamaian Dan tanpa peperangan ini, keinginanku hanya ada dua: membuat Takame bahagia dan bertemu dengan-Nya. Apa kau ingin menghalangiku dalam mencapai keinginanku?!"

"Tidak, Yang Mulia Lucifielle!"

"Bagus. Kuharap kau tidak mengulanginya lagi." Lucy melepaskan genggamannya dari pundak Beel lalu kembali duduk ke tahtanya. Wajah Beel terlihat tidak enak, dia tidak ingin mengangkat wajahnya menghadap Lucy.

"Oh iya, Beel, apa kau ingat dimana es krim yang kemarin itu kau beli? Belikan lagi untukku."

Sepertinya Beel terlalu khawatir.

...

"Heh... kau ingin belajar sihir?"

"Iya, pa!" Kata Issho semangat. Sejak melihat jika sihir itu nyata dan bisa digunakan, dia selalu ingin mempelajarinya. Terutama sihir-sihir keren seperti bola hitam yang ayahnya gunakan melawan Lucy tadi.

"Papa ingin mengajarimu, sih, tapi papa juga jelek dalam mengajari orang. Coba tanya mama, deh." Saha, yang sedang menyuci piring, mendengar pembicaraan mereka tertawa kecil.

"Jarang sekali kau merendahkan dirimu ketika dibandingkan denganku, Takame."

"Si buset langsung besar kepala." Sekali lagi Saha tertawa kecil. Karena merasa harus cepat, Saha mengangkat kedua tangannya lalu menepukkannya. Sekejap, semua alat makanan kotor yang ada sudah bersih dan kembali ke tempatnya seharusnya.

Issho punya banyak pertanyaan.

"Mama? Kenapa mama harus menyuci piring biasa jika mama bisa menggunakan sihir?" Ketika Ibunya sudah sampai ke tempatnya berada, Ibunya menggendongnya ke dalam pangkuannya lalu tersenyum sedih.

"Begini, nak. Papa dan mama tidaklah biasa. Jadi, karena bisa hidup damai dan tenang seperti ini, mama ingin hidup kayaknya orang biasa semestiya. Bukan berarti mama tidak mau menggunakan sihir, ya. Tapi mama hanya akan melakukannya jika ada hal yang penting."

"Hal yang penting?"

"Ya. Seperti mengajarimu sihir."

Issho mengangguk. Akhirnya, dia akan belajar sihir!

"Sihir itu adalah berkah dari para dewa dan dewi. Dengan memberikan mereka doa, mereka akan menjawab permohonan kita dan mengabulkannya dalam bentuk sihir yang kita inginkan," jelas Saha.

"Halah, hoax."

"Takame, diam."

Issho merasa kalau ayahnya selalu mengganggu ibunya hanya karena dia tidak ada kerjaan. Takame terkekeh kecil, meminum teh hangat yang ada dihadapannya dengan pelan. Ternyata pria yang bisa menahan sihir dari Lucy masih harus menunggu tehnya dingin dulu baru bisa meminumnya.

"Karena dewa dan dewi yang memiliki kuasa mengenai satu hal biasanya tidak hanya satu saja, kita bisa meminta kepada dewa atau dewi yang kita inginkan," lanjut Saha.

"Contohnya, nak, Amaterasu, Ra, dan Apollo ketiganya adalah dewa-dewi yang mengurus matahari. Kau bisa berdoa kepada salah satunya untuk menggunakan sihir yang berhubungan dengan matahari." Kali ini Takame yang melanjutkan penjelasannya. Dia kemudian mengangkat tangan kirinya, lalu merapalkan mantranya dengan lantang.

"Wahai Dewi Amaterasu, dengarkanlah keinginanku dan kabulkanlah permintaanku. Dalam namamu aku bertindak, dan demi namamu aku bersaksi. Tunjukkanlah padaku jalan cahaya, bagaikan matahari yang menyinari tata surya. Dengan ini aku berdoa: Taiyo-no-kagura!"

Dari tangan Takame, bunga-bunga Sakura tiba-tiba mengitari ruangan dimana mereka berada. Sakura-sakura itu memutari Takame yang menjadi pusatnya, dan tubuhnya sendiri mulai mengeluarkan cahaya. Dia kemudian mengarahkan bunga-bunga itu kearah Saha dan Issho yang sedang bersama. Kumpulan Sakura itu pun menari mengitari keduanya, dan Issho bisa langsung merasakan tubuhnya segar bugar.

'Ah... Rasanya habis selesai berendam bak air panas...' Issho melihat kearah ibunya yang juga memiliki ekspresi serupa.

"Jelas, kan?" Tanya Takame.

"Tumben kau mau berdoa sepanjang itu kepada seorang dewi."

"Soalnya si Amaterasu itu kadang khotbahnya panjang kali lebar kali tinggi kali dimensi ketujuh sekalinya bertemu denganku. Kalau kuberi dia doa mungkin khotbahnya lebih pendek kalau aku harus berurusan dengannya lagi," balas Takame. Ia kemudian menghabiskan teh hangatnya lalu melemparkan cangkirnya sembarangan ke arah tempat cucian piring mereka. Sebelum cangkir itu merusak sesuatu, Saha menahan cangkir itu ketika masih terbang lalu memasukkannya dengan pelan ke tempat seharusnya.

"Papa sendiri, sih, biasanya hanya berdoa kepada Ra jika papa butuh bantuan soal bebijian. Hahahahaha!" Ucap Takame tiba-tiba sembari tertawa terbahak-bahak. Saha mengarahkan telapak tangannya yang mengurus cangkir tadi kearah suaminya. Merasakan ada yang tidak beres, Takame berhenti tertawa lalu melihat Saha yang menatapnya kembali dengan marah. Sebelum Takame sempat bertanya apa masalahnya, Saha menghempakan tangannya ke bawah, Dan kepala Takame tiba-tiba saja serasa dihantamkan ke meja yang ada dihadapannya dengan sangat keras sampai mejanya terbelah.

"Takame, Issho masih kecil. Jangan gunakan bahasa seperti itu dihadapannya. Dan perbaiki meja itu."

"Kan kau yang--"

"Apa?"

"Gak ada. Cuman mau bilang hari ini mungkin harga bubuk teh lagi diskon."

Issho hanya bisa tertawa canggung. Ayah dan ibunya memang sering berdebat seperti ini. Tapi biasanya ibunya yang mengalah. Jika Saha tidak mengalah maka Takame biasanya menyadari kalau Saha tidak sedang main-main dan menghentikan leluconnya.

Tapi kadang dia kelewatan seperti ini.

"Nah, tadi papa sudah mencontohkan bagaimana sihir itu dilakukan. Tapi sihir yang dilakukan papa terlalu berlebihan untukmu. Kali ini ibu akan mengajarimu sihir penyembuhan sederhana, ya?"

Issho mengangguk. Saha tersenyum lembut lalu menyandarkan tangannya ke kening Issho.

"Ulangi setelah ibu, ya? Wahai Engkau Yang Maha Kuasa..."

"Wahai engkau yang maha kuasa..."

"Issho, ketika kita merapalkan sihir untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa, kita harus menggunakan huruf kapital jika memanggilnya," tutur Saha. Issho menatap ibunya aneh, begitu juga dengan Takame yang sedang membersihkan meja yang rusak tadi.

"Serius, dah, Saha. Sampai sekarang aku gak tahu bagaimana caramu bisa tahu kalau apa yang kami katakan pakai huruf kapital atau tidak."

"Sebut saja intuisi seorang ibu."

"Yaelah." Takame menghela nafas, lalu mengalihkan pandangannya ke Issho. "Sabar, ya, nak. Mama itu agak religius soal agamanya."

"Takame, nanti malam kita akan bicara soal 'agak religius' itu, sekarang aku harus mengajari Issho sihir ini." Takame hanya membuat simbol 'ok' dengan jarinya lalu melanjutkan bersih-bersihnya.

"Sekali lagi ya? Wahai Engkau Yang Maha Kuasa,"

"Wahai Engkau Yang Maha Kuasa,"

"Berkatilah kami mahkluk yang lemah ini,"

"Berkatilah kami mahkluk yang lemah ini,"

"Berilah kami kesehatan untuk melewati cobaan ini,"

"Berilah kami kesehatan untuk melewati cobaan ini,"

"Heal." Dari tangan Saha, cahaya hijau mulai berkeluaran Dan memasuki kening Issho. Sekali lagi, Issho merasa disegarkan.

'Tapi rasanya agak beda. Tadi habis selesai berendam... ini rasanya terkena angin sepoi-sepoi waktu naik sepeda motor dengan santai...' Issho tersenyum segar. Tapi, dengan sekejap ia mengingat dia harus merapalkan sihirnya. Ia memeluk Saha lalu berkata,"Heal."

Dari kedua tangannya terlihat cahaya hijau serupa keluar dan mulai memasuki tubuh Saha. Mata Saha terbuka lebar ketika melihatnya.

"Wah! Takame! Issho bisa!" seru Saha bangga.

"Serius? Mantap, dah! Issho ini kayaknya bakalan lebih gila lagi dari aku nantinya!"

"Kuharap tidak."

"Kuharap juga tidak, ma."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro