Makam Orang Mati - Puri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PRIA itu berdiri di depan sebuah makam berpagar tinggi. Mata cokelat gelapnya menatap lurus pada nisan besar yang menjadi pusara seorang teman lama. Embusan dingin angin malam, kesunyian di antara remang-reman lampu pemakaman, tak membuatnya takut untuk berhadapan dengan makam orang mati. Dia sudah menyaksikan kematian lebih banyak dari orang lain di dunia ini.

Kedua tangan besar dengan urat-urat menonjol ia masukkan ke saku celana dalam keadaan mengepal. Selalu seperti itu, perasaannya kacau balau kala ia mengunjungi makam orang yang ia cintai.

"Kau patut berbangga diri sekarang," ucapnya tanpa takut ada yang mendengarkan. Nyatanya tidak ada seorang pun di sini selain dia. Lagipula siapa yang akan datang ke pemakaman pada pukul dua dini hari? Hanya dirinya.

"Harusnya kau bisa berdiri di sini, di sampingku. Kau harus melihat bagaimana mimpimu waktu itu menjadi nyata." Dia menarik senyum simpul. Kacamata besar tak bisa menutupi bagaimana matanya mulai berkaca-kaca. "Kesetaraan yang kau perjuangkan, kini membuahkan hasil."

"Anak cucumu mengenangmu. Kau menjadi pahlawan mereka karena sudah memberikan kehidupan yang layak hingga detik ini. Hidup bebas tanpa kekangan, batasan antara pria dan wanita." Tangan kirinya ia letakkan di atas pagar pembatas makam. Ibu jarinya mengusap besi dingin itu perlahan. "Yah, walau ada beberapa wanita bodoh yang malah menyia-nyiakan perjuanganmu."

Sejujurnya, semua ini selalu dia ulang setiap tahun. Kegiatannya sekarang, ke makam Raden Ajeng Kartini pada dini hari tanggal 21 April, bicara tentang hasil dari apa yang sudah ditabur oleh Kartini. Kekagumannya, ketidaknyamanan hatinya, dan hinaan karena tidak semua orang menjadi seperti yang Kartini harapkan.

Dia tidak pernah lelah untuk mengulang hal tersebut setiap tahun. Lelah itu hilang berganti dengan semakin besarnya tekad untuk mencapai cita-cita seperti Kartini. "Aku melihatnya. Tahun ke tahun. Tidak ada yang sesempurna dirimu. Tidak ada yang sepertimu."

"Setidaknya, apa yang mereka tuai adalah kebaikanmu. Selamat ulang tahun, Kartini." Satu langkah mundur membawa pria tadi menghadap ke sisi kanan, ia mulai berjalan menjauhi lingkungan makam tersebut. "Setidaknya kau sudah tenang di tempatmu, tidak sepertiku yang masih melanglang buana di kehidupan ini."

Bunyi serangga malam yang terganggu atas kehadirannya menggema. Dia tidak menghiraukan. Hanya terus melangkah menelusuri tanah Indonesia menuju gerbang pemakaman.

Langkahnya terhenti ketika tiba di sisi pintu kemudi mobil. Berdiri tegap, tangan kirinya terangkat setinggi dada. Baru sadar kalau dia berada di dalam sana lebih dari sejam setelah melihat jam tangan. Meski lebih singkat dari biasanya, tapi cukup untuk membuat supirnya terlelap di belakang kemudi.

Tangan kiri tadi ia ketukkan ke jendela, membuat si supir berusia tiga puluhan di dalam sana bangun dan bergegas keluar. "Maaf, Tuan Knox." Dia membukakan pintu penumpang belakang setelah mendapat anggukan maklum. "Kita langsung pulang ke rumah?"

"Ya," sahutnya sembari masuk ke mobil, diikuti si supir, "besok pagi aku akan pergi dengan Bisma. Pak Dika bisa beristirahat dan menjemputku di rumah sakit jam dua siang."

"Baik, Tuan."

Mobil sedan berwarna biru gelap itu meluncur membelah kesunyian malam. Knox menutup mata, pikirannya melayang. Waktu berlalu begitu cepat, perubahan terjadi di mana-mana. Bertemu dengan Kartini membuatnya sadar, kalau dunia dan tempatnya tinggal saat ini berkembang menjadi lebih maju.

Mereka lebih manusiawi.

Kemerdekaan yang dulu diusahakan oleh para pejuang, dipertahankan. Perdamaian yang menjadi cita-cita rakyat zaman dulu, dicapai. Kini, yang dulu adalah musuh menjadi teman. Beruntunglah mereka yang lahir setelah zaman penjajahan.

Meski ada musuh baru yang muncul setelahnya. Meski musuh tersebut tidak terlihat dan tidak bisa diperangi dengan tombak atau parang. Meski begitu, setidaknya ada banyak orang yang masih berjuang untuk terbebas, meski juga yang terperosok semakin banyak.

Teknologi, rasa tinggi hati, angkuh, perebutan kekuasaan, dendam ....

73 tahun Indonesia merdeka, negara berkembang ini menjadi salah satu tempat yang menawan. Sedangkan dirinya yang hidup selama ratusan tahun belum menghasilkan apa-apa. Ketika dunia sudah mencapai beberapa cita-cita mereka, kenapa dia belum bisa?

Karya: yes_yez

Jurusan:  Romance

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro