Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wawancara singkatnya dengan Kieve dan Kiara membuat Fedeline makin kebingungan. Apalagi Kieve terlihat gelisah ingin cepat pulang karena besok dia harus kerja pagi. Fedeline jadi merasa bersalah walaupun ia tahu sudah merupakan tugasnya untuk mewawancarai demi menemukan petunjuk kematian Harris. Setelah mengantar Kieve dan Kiara ke mobil—Kieve bersikeras akan menyetir sendiri walaupun salah satu petugas kepolisian di Mountberry menawarkan mengantarnya pulang—dan kepergian Sheriff Connor serta Simon ke rumah, Fedeline dan Anton dilanda kesepian dan kebingungan.

“Apa kau masih mau melanjutkan kasus ini? Jadwal cuti kita cuma satu hari ini, kau tahu itu, kan?”

Anton memecah kesunyian saat Fedeline dan dirinya sama-sama memandang kosong di tumpukan buku di ruang kerja Sheriff Connor. Ruangan yang tampak tua, beraroma kayu oak  --yang merupakan ciri khas Sheriff Connor—dan agak berantakan itu bakal jadi tempat mereka bermalam. Sheriff Connor bersedia meminjamkan ruang kerjanya sebagai tempat istirahat sekaligus ruang interview bagi Fedeline dan Anton malam itu. Ada dua opsir yang tugas piket berada di meja depan. Fedeline tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan karena suara TV sangat keras. Fedeline melihat catatannya lagi dan menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Anton. Ia berpikir keras, apakah ia benar-benar ingin menghentikan penyelidikan dan kembali ke Berrington?

Ini bukan soal pekerjaan ataupun gaji. Bahkan setelah mengesampingkan ketidaksukaannya pada Anton, ia merasa bahwa menyelesaikan kasus ini adalah tanggung jawab moralnya. Ini soal integritasnya yang meronta, memintanya bertahan barang dua atau tiga hari lagi demi mengungkap kematian Harris.

“Apa kita bisa membiarkan kasus ini ditangani dua opsir di luar?” Fedeline setengah berbisik, takut kalau dua opsir yang sekarang sedang tertawa terbahak-bahak menonton tayangan di televisi. “Mereka pasti belum pernah menangani hal semacam ini.”

Anton ikut melirik ke luar pintu yang tidak tertutup. Suara tawa mereka memang kencang, mengalahkan suara perutnya yang keroncongan. Anton memaklumi jika Fedeline tidak yakin pada kinerja dua opsir itu. Namun, ia juga tidak berkomentar banyak. Ia kembali menyadarkan tubuh ke sofa. Anton tidak banyak bertanya pada Kieve tadi, mengingat gadis tomboi itu tidak terlalu banyak alasan keikutsertaan dan tidak punya motif untuk menghabisi Harris. Namun, saat Fedeline mewawancarai Kiara, ia sempat mengingat beberapa hal penting. Beberapa hal yang membuatnya menaruh kecurigaan.

“Apa menurutmu wajar, seseorang yang asma dan tidak punya pengalaman naik gunung nekat ikut ke puncak Bursbenrgh hanya demi kekasihnya?” Anton meminta pendapat Fedeline sebagai seorang perempuan.

Sebagai laki-laki ia merasa tindakan itu sedikit berlebihan. Kiara dan Giska adalah dua gadis remaja yang tidak punya pengalaman naik gunung tapi mau saja ikut bersama Harris. Jika cinta alasannya, apa itu cukup? Apa mempertaruhkan nyawa demi bisa jalan-jalan bersama pacar itu masuk akal?

“Kalau Kiara mencintai Harris, sampai ke ujung dunia pun mungkin dia ikuti,” jawab Fedeline klise. Wanita muda itu cukup sering menonton drama televisi, hafal betul pada tabiat perempuan yang ada di layar kaca saat sedang jatuh cinta. 

“Menurutmu, siapa pelakunya?” tanya Anton lagi. Ia gemas, tidak paham, sekaligus penasaran dengan pendapat rekan perempuannya itu.

“Semua orang punya peluang.”

“Serius, jawab aku. Kau sudah menanyai mereka semua, apa mungkin kau tidak menaruh curiga pada siapa pun?”

“Sejujurnya ada. Kiara dan Giska. Tapi, kita belum mewawancarai Giska. Aku ingin tahu lebih banyak tentang gadis remaja itu. Dia ... dia terlalu muda untuk jadi pembunuh. Tapi, dari penuturan Simon tadi, Giska terdengar seperti gadis yang emosional. Yah, perempuan bisa bertindak nekat kalau cintanya bertepuk sebelah tangan. Tapi, bagaimana cara si pelaku membunuh Harris, itu lebih utama.” Fedeline menjelaskan panjang lebar. Masih tidak yakin dengan kesimpulannya.

“Apa kau yakin tidak melihat luka? Pendarahan dalam? Memar yang menggelap?” Anton bertanya setelah terdiam cukup lama. Isi kepala mereka sekarang sangat penuh, saling bertabrakan untuk menemukan petunjuk sekecil apa pun. Mereka nyaris buntu jika penyebab kematian Harris masih belum diketahui.

Fedeline menggelengkan kepala. Seingatnya saat mayat Harris ditemukan, memang tidak ada bekas darah. Lain cerita jika dokter forensik nanti menemukan sesuatu. Ia harus bersabar menunggu hasil otopsi. “Sepertinya, tidak.”

“Sejujurnya aku lebih suka berada di rumah sakit dan menunggu hasil otopsi.” Anton mengeluh. Ia membolak-balik tubuhnya karena merasa tidak nyaman. “Ruangan ini dingin. Bagaimana cara kita akan tidur di sini malam ini?”

Anton menepuk sofa yang keras. Tidak yakin apa punggungnya bisa bersahabat dengan kursi yang tidak nyaman itu. Beberapa kali ia berpindah posisi, mencari bagaimana tempat ternyaman untuk melepas penat lantaran Fedeline tidak mau diajak cari penginapan. Anton mau saja tidur di mobilnya. Walaupun tidak bisa meluruskan kaki, kursi mobilnya cukup empuk. Ia juga tidak akan terganggu suara berisik, dari layar televisi dan tawa cekikikan dua opsir polisi di luar misalnya.

Fedeline memalingkan pandangan. Ia masih sibuk memikirkan cara bagaimana akan mewawancarai Giska. Ada informasi yang masih kurang dan berharap dapat menemukan jawabannya dari gadis belia mahasiswa baru itu.  Jika kecurigaan Anton benar, Simon berada di balik ini semua, mungkin saja Giska tahu sesuatu tentang pertikaian mereka di atas. Hanya saja, Giska memilih bungkam dan pergi sebelum sempat dimintai keterangan. Kiara dan Kieve yang turun gunung terlebih dahulu mengaku tidak tahu banyak dan tidak bisa memuaskan rasa penasaran Fedeline tentang pertikaian mereka.

“Apa kau ingat yang dikatakan Kiara tadi?”

“Yang mana?” Anton yang tadi sedang berusaha memejamkan mata harus bangun lagi.

“Harris bersikap aneh.”

“Halusinasi maksudmu? Atau depresi?”

“Harris mengaku dia agak sesak napas walaupun tidak punya riwayat asma.”

“Baiklah. Daripada kita menduga-duga, besok kita akan cek rekam medis dan catatan penyakitnya. Sekarang akan kita pikirkan cara ternyaman untuk tidur di ruangan ini.”

Anton tidak mau lagi menanggapi Fedeline. Ia sudah terlanjur membaringkan tubuh dan memalingkan wajahnya menghadap sandaran sofa. Telinganya ditutupi sehelai kertas, katanya untuk mengurangi silau cahaya lampu ruangan. Tidak berapa lama, terdengar suara mendengkur yang cukup keras.

Fedeline menggerutu. Ia sedang berusaha serius tapi Anton tidak mau diajak kompromi. Bahkan, rekannya itu sudah terlelap duluan seolah tidak ada masalah apa-apa. Ia jadi gemas, apa Anton memang selalu sesantai ini kalau ada kasus. Fedeline merinci daftar kegiatannya besok.  Ada banyak hal yang harus ia lakukan demi mengumpulkan kesaksian. Pergi menemui Giska, minta hasil otopsi di rumah sakit dan menyiapkan surat pengajuan pemindahan divisi. Dia benar-benar lupa pada rencana awalnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro