Bab 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Anton dan Fedeline memutuskan menemui Simon, Kiara, dan Kieve di cafe keesokan paginya. Agak sedikit sulit untuk meminta mereka datang ke kantor polisi, mengingat dua opsir yang bertugas piket tidak berpengalaman menulis surat panggilan tanpa petunjuk Sheriff Connor, Fedeline merasa lebih baik membuat janji dengan ketiga remaja itu di cafe dekat kampus mereka. Waktunya lebih leluasa dan suasana yang santai ia harap bisa membuat mereka lebih nyaman menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Selain itu, Anton juga perlu mengecek rekam medis Harris dari klinik kampus, tempatnya sering berobat.

Kieve menawarkan daftar menu sekalian untuk sarapan. Fedeline dan Harris kompak memilih secangkir kopi dan roti bakar sirup maple. Suasana cafe tidak terlalu ramai. Cafe mungil yang berada tepat di sebelah klinik kampus membuat tempat ini bersih dan mudah diakses. Parkirannya luas dan asri dengan beberapa tanaman pot yang tersusun rapi di luarnya. Interiornya juga nyaman dan cozy, cat serba putih dengan lukisan dan foto yang menggantung di dindingnya. Jarak antara meja pun tidak terlalu dekat. Cukup untuk memberi mereka ruang dan privasi untuk membahas hal yang cukup sensitif.

Fedeline mengamati beberapa orang yang keluar masuk cafe. Kebanyakan adalah mahasiswa yang datang untuk memberi sarapan, nongkrong bersama teman di cafe, atau sekadar mengetik dengan memanfaatkan WiFi gratis yang disediakan cafe.

Kieve rupanya bekerja paruh waktu di cafe tersebut. Sejak Fedeline datang tadi, Kieve sibuk bolak-balik membuatkan pesanan dan melayani pelanggan. Fedeline dan Anton terpaksa memulai tanya jawabnya tanpa menunggu Kieve menyelesaikan pekerjaannya. Anton yang juga tampak tidak sabaran meminta Fedeline to the point agar mereka tidak buang waktu. Namun, Fedeline masih sibuk mengamati Kieve yang sedang meracik menu di belakang meja counter.

“Jadi, Harris anggota klub pecinta alam?” tanya Anton memastikan begitu melihat foto yang ditunjukkan Simon. Harris dan Simon merupakan anggota klub pecinta alam dan sudah beberapa kali naik gunung.

“Iya, Pak. Di antara semua anggota klub, Harris yang badannya paling bugar dan besar. Dia juga yang paling senang naik gunung.”

“Dia juga tidak punya riwayat asma, kan?”

“Tidak, Pak. Tapi hari saat kejadian, dia memang sempat mengeluh agak sesak dan mual,” jawab Kiara seraya mencoba mengingat. “Kalian ingat bukan, dia bilang perutnya agak sakit waktu kita mau mulai mendaki?”

“Kukira dia hanya mengejekmu yang memang sudah mengeluh sejak awal pendakian.” Simon memotong. “Harris ... memang sempat bilang perutnya sakit dan jarinya agak mati rasa.”

“Hipotermia?” terka Anton.

“Aku juga mengira begitu. Karena itu tidak begitu kutanggapi.” Simon menundukkan pandangan. Ia tampak sedikit merasa bersalah.

“Tidak juga. Melihat dari pakaian tebal yang ia kenakan, seharusnya itu cukup untuk mencegah hipotermia. Lagipula, Harris yang paling berpengalaman.” Fedeline mengingat lagi momen saat ia menemukan mayat Harris. Topi wol tebal. Jaket hitam tebal. Celana jeans. Dan ada juga kaos sweater di balik jaketnya. Sepertinya itu sudah cukup untuk menangkal suhu dingin di puncak.

“Apa hipotermia bisa menyebabkan orang berhalusinasi? Harris bilang pandangannya agak berbayang. Ia melihat asap-asap putih dan bumi yang berputar.” Kiara menjelaskan apa yang dikatakan Harris saat di puncak. 

Namun, tidak ada yang menjawab pertanyaan Kiara. Hipotermia bukan penyebab Harris meninggal. Fedeline tidak mendapati ciri-ciri korban hipotermia pada mayat Harris.

“Apa kalian ingat apa saja yang dimakan Harris sebelum naik gunung?” Fedeline merasa janggal dengan apa yang terjadi. Gejala yang Harris alami mirip dengan gejala keracunan. Meskipun ada banyak faktor yang menyebabkan keracunan, karena makanan, gigitan ular, atau tidak sengaja memakan kelopak bunga liar yang berada di jalur pendakian Bursbenrgh—yang setahu Fedeline merupakan bunga-bunga beracun.

“Ya. Kami berlima makan sandwich sekitar jam 7 malam. Setelah selesai mendirikan tenda.” Kiara menjawab cepat. Ia memanggil Kieve yang sudah mulai agak santai pekerjaannya untuk segera bergabung. Kiara menepuk kursi kosong di sebelahnya dan mengajak Kieve untuk menguatkan informasi yang ia berikan.

Kieve merapikan celemek dan duduk. Ia beberapa kali minta maaf karena tidak maksimal dalam menjawab pertanyaan Fedeline dan Anton. “Maaf, aku tidak menyangka hari ini agak sedikit ramai. Biasanya sepi,” tukasnya.

“Tidak apa-apa. Aku baru menyampaikan ke mereka kalau kita sempat makan sandwich bersama.” Kiara menjelaskan singkat. “Yang kita makan waktu di api unggun.”

“Iya, benar. Aku yang membuat sandwich-nya. Harris dan Kiara memang sering sarapan dan makan siang di sini. Kiara bilang, dia mau memesan sandwich untuk dibawa naik gunung dengan alasan tidak mau repot.” Kieve menjelaskan panjang lebar soal sandwich yang membuat Fedeline tertarik dan mengamati daftar menu yang ada di hadapannya kini.

Cafe ini menyediakan aneka jenis sandwich. Sandwich kacang dan jelly, sandwich telur, sandwich keju, sandwich ayam, dan sandwich tuna.

“Harris tidak punya alergi, kan?” Fedeline penasaran. Pada beberapa orang yang alergi seafood atau kacang, atau sejenis makanan tertentu, sedikit porsinya saja bisa mematikan. Seperti dirinya yang hampir mati karena alergi udang.

“Aku tidak begitu yakin, tapi sepertinya ia sudah pernah mencicipi semuanya.” Kieve tampak sedikit ragu. Ia menoleh pada Kiara, meminta penjelasan lebih lanjut. Kieve berharal Kiara yang merupakan pacar Harris tahu lebih detail soal pacarnya itu.

“Dia tidak punya alergi. Bahkan, Harris mengaku kalau dia sangat menyukai sandwich buatan cafe ini.” Kiara mengelak. Fedeline mencatat poin penting dari pertanyaan Kiara. Sandwich merupakan makanan kesukaan Harris dan cara termudah untuk meracuni seseorang adalah melalui makanan favoritnya.

“Selain sandwich, ada lagi?”

“Harris dan aku sempat makan mie instan tengah malam. Pukul berapa, ya? Aku tidak begitu yakin. Mungkin sekitar pukul sepuluh atau sebelas malam.” Simon tampak berpikir. Ia mengaku tidak pakai jam tangan jadi tidak begitu yakin. “Pokoknya para gadis sudah masuk tenda, aku dan Harris mengobrol sebentar lalu makan mie di luar.”

“Jadi, karena tidak kenyang makan sandwich, kalian berdua makan mie instan?”

“Ya. Kami membelinya di penjual kecil di dekat tenda.”

“Apa dia mengeluh sakit perut setelah makan mie?”

Fedeline merasa janggal. Apa mungkin Harris keracunan mie instan? Tapi, jika Harris keracunan,  kenapa Simon tidak? Apalagi sebagai seseorang yang sering mendaki, Harris pasti cukup akrab dengan makanan instan. Tidak mungkin lambungnya menolak mendadak. Fedeline menatap Anton yang sekarang menulis catatan kecil di ponselnya,  atau mungkin mengirim pesan. Wajah Anton terlihat bosan dan tidak tertarik berlama-lama di cafe itu.

“Sepertinya tidak. Dia bilang perutnya sesak. Mungkin karena kekenyangan.” Simon menjelaskan dengan asal. Pemuda itu melirik sekelompok mahasiswa yang ramai memasuki cafe. Ia tampak sedikit tidak nyaman dengan kerumunan. Mau tak mau, Fedeline juga ikut menoleh.

Sekitar tujuh mahasiswa memasuki cafe dan mengangguk pada Simon. Mereka sempat mengucapkan turut berduka cita atas kematian Harris. Pada Fedeline mereka mengenalkan diri sebagai mahasiswa yang mengambil semester pendek untuk perbaikan akademik atau yang masih terlibat aktivitas organisasi kampus. Mereka mengenal Harris sebagai sosok yang ramah dan riang. Fedeline mengangguk. Pemuda populer, kaya raya, dan tampan. Ada banyak alasan untuk iri pada Harris, tapi kalau sampai nekat membunuhnya, agaknya sedikit berlebihan.

Kieve undur diri dan bergegas melayani pesanan. Ia  terus bolak balik antara meja cafe dan kitchen counter untuk membuat makanan dan melayani pesanan. Fedeline mengamati kelihaian Kieve yang dengan cepat membuatkan makanan dan minuman lalu kembali lagi ke kursi mereka untuk mengikuti obrolan.

“Kau sudah lama bekerja di sini?” tanya Fedeline basa-basi. Melihat sosok Kieve yang pekerja keras membuatnya teringat masa sekolahnya dulu. Ia juga bekerja part time di sebuah coffee shop demi menambah uang jajan untuk membeli buku-buku favorit.

Kieve mengangguk. “Ya. Sejak tahun pertama kuliah. Meskipun tidak full time karena masih harus kuliah, ini pekerjaan lumayan. Anne dan Rosemary lebih banyak memasak, tapi mereka masuk siang hari ini.”

“Kau jago sekali membuat sandwich.” Fedeline memuji Kieve. Gadis itu hanya tersenyum kecil dan tersipu. “Sandwich mana yang paling sering dipesan Harris?”

Kieve terdiam sesaat. Ia tampak sedikit bingung dan takut-takut pada Kiara. Fedeline mengamati Kieve dan Kiara yang saling tatap dan terdiam.

“Aku tidak yakin. Mungkin, cokelat?” terka Kieve. Ia meringis dan tampak bingung.

“Tuna! Aku dan Harris paling suka sandwich tuna. Itu juga yang aku dan Harris makan saat di gunung.” Kiara menjelaskan panjang lebar. Ia tampak bangga memamerkan kedekatannya dengan Harris yang tidak terpisahkan.

Fedeline cukup heran. Kiara tampak sangat menyukai Harris. Apa alasan Harris memutuskan hubungannya dengan Kiara dan memilih Kieve? Secara visual, Kiara jauh lebih cantik, menarik, dan modis dibanding Kieve yang sangat sederhana dan tidak memakai make-up. Apa yang Harris inginkan dari Kieve sebenarnya juga masih merupakan tanda tanya besar.

Fedeline melingkari catatan tentang sandwich di buku kecilnya. Walaupun ia masih belum tahu, apa mungkin sandwich itu ada kaitannya dengan kematian Harris, layak untuk diselidiki. Kalaupun peracunan itu dilakukan melalui sandwich, ia harus memastikan sidik jari Kiara ada di sandwich yang Harris makan. Sedang sibuk menulis, tiba-tiba Anton mengerang, seperti orang baru bangun tidur. Matanya mengerjap pelan, memperhatikan sekitar lalu menyesap kopinya sampai habis.

“Apa kau sudah selesai? Kita harus ke kediaman Tuan Oxford sekarang.” Anton sudah berdiri dari bangkunya. Meregangkan tangan dan punggung seolah pegal berjam-jam terjebak bersama anak remaja.

“Untuk apa?”

“Untuk apalagi kalau bukan mengkonfrontasi Giska.”

“Apa?”

Anton tidak menjelaskan lebih lanjut. Fedeline terpaksa berpamitan dan menyusul rekannya yang suka bertindak semena-mena itu. Setelah tadi malam ia membiarkan Fedeline tidur di lantai, sekarang ia membuat Fedeline menenggak kopi seperti kesetanan, hampir tersedak malah. Kieve, Kiara, dan Simon hanya melambai. Kiara kembali terisak memohon agar Fedeline menemukan penyebab kematian mantan pacarnya itu. Sedangkan Kieve membungkuk dan bergegas mengerjakan pesanan selanjutnya.

“Kau akan menangkap pelakunya, kan?” tanya Simon pada Fedeline sebelum wanita itu naik ke mobil yang sudah distarter oleh Anton.

“Kita belum tahu penyebab kematian Harris. Aku tidak bisa berjanji.”

“Kau akan menemuinya kurang dari setengah jam lagi. Apa lagi yang kau ragukan?” Simon tampak kesal dan gusar. Ia meninggalkan Fedeline yang masih mengernyitkan dahi. Simon adalah orang yang percaya kalau Harris dibunuh.

“Giska?”

“Aku lupa mengatakan ini padamu. Tapi, makanan terakhir yang dimakan Harris adalah sari jeruk kaleng yang diberikan Giska. Kami bertiga minum sari jeruk kaleng saat di puncak. Aku yakin Harris diracun dan sari jeruk kaleng itu pasti sudah ditambahi racun atau semacamnya oleh Giska!” Simon menaikkan intonasi. Ia sangat kesal karena menganggap detektif Berrington yang harusnya cekatan ini bertindak sangat lambat.

“Aku belum tahu soal sari jeruk kaleng,” jawab Fedeline lemah. Ia mencatat informasi itu sebagai pertanyaan yang akan ia tanyakan pada Giska nanti. Fedeline tersadar. Saat ia menemukan mayat Harris, ia mencium aroma jeruk dari kerah jaketnya. Simon tidak berbohong soal sari jeruk.

“Ya, karena kau belum bertemu dengan Giska. Kuharap kau memeriksa sisa kaleng jeruk yang ada di tas Harris.” Simon meninggalkan Fedeline dan berjalan pelan kembali ke dalam cafe.
Fedeline mengernyit. Hubungan persahabatan mereka berlima sedikit aneh. Terlebih, ia tidak tahu harus percaya pada omongan siapa. Ada terlalu banyak motif tapi ia tidak tahu mana yang memiliki dendam paling besar hingga tega menghabisi nyawa temannya sendiri. 

***
Giska Hewitt, sepupu perempuan Harris yang merupakan mahasiswa baru di Mountberry College, terduduk lemah di sofa. Ia didampingi Nyonya Oxford, Nyonya Hewitt, dan Tuan Blooming, pengacara keluarga mereka. Fedeline merasa aura tidak bersahabat sejak memasuki ruang tamu kediaman keluarga Oxford. Bukan hanya karena wartawan yang bertebaran di luar pekarangan –status Tuan Oxford sebagai walikota membuat kasus ini seketika viral—tapi tidak ada sedikit pun senyum di wajah Tuan Blooming. Wajahnya keras dan kaku, rahangnya tajam, dan tatapannya dingin. Fedeline langsung tahu, ada yang tidak beres sebelum mereka tiba di rumah ini.

Nyonya Oxford duduk agak berjauhan dengan Nyonya Hewitt. Ia menggenggam sehelai tisu yang sudah kusut, bekas air mata. Giska yang tidak banyak bicara hanya memandang lantai dengan kosong. Tuan Blooming yang lebih banyak mengambil peran, lebih vokal, seolah jadi juru bicara keluarga Hewitt. Nyaris semua informasi yang Fedeline butuh disampaikan oleh Giska karena gadis itu masih terlihat shock.

“Jadi, Giska memang Ikut mendaki Bursbenrgh dengan sukarela, ikut mendaki sampai ke puncak, dan turun duluan sebelum Harris dan Simon turun,” tanya Fedeline mengkonfirmasi apa yang disampaikan Tuan Blooming.

Pengacara berusia 40-an tahun itu mengangguk. “Ya. Klien kami menjamin bahwa ia tidak tahu apa-apa soal kematian Harris dan tidak ada motif apa pun untuk mencelakainya.”

“Tapi, katanya kalian sempat bertengkar saat di puncak?” tanya Anton. “Biar kuingat, Giska kecewa karena setelah Harris memutuskan hubungan dengan Kiara, bukannya menyatakan cinta pada Giska, justru kepada Kieve.”

“Itu bukan motif yang cukup untuk membunuh sepupu sendiri.” Tuan Blooming menolak Giska dipojokkan dengan alasan klise, masalah percintaan.

“Oh, begitu. Bagaimana dengan ancaman Giska yang akan menghancurkan usaha Tuan Oxford? Salah satu saksi menyampaikan bahwa Giska sempat mengancam Harris sebelum turun gunung dan Harris tampak frustasi setelahnya. Dari catatan kami juga diketahui bahwa usaha properti milik Tuan Oxford memiliki catatan hutang pada Bank swasta yang dikelola keluarga Hewitt. Ada juga sejumlah tagihan pajak yang belum dibayarkan atas nama Adelante Corporation yang setahu kami dimiliki Tuan Oxford.”

Fedeline tercengang. Bagaimana bisa Anton menemukan informasi sedetail itu. Bukankah tadi malam ia yang paling bosan mendengar penjelasan saat wawancara. Dia juga yang mengantuk sepanjang pagi saat di cafe. Dia tidak menyangka, Anton sudah melakukan penyelidikan cukup jauh tentang keluarga Harris sebelum interview hari ini.

“A-aku tidak bermaksud begitu,” jawab Giska lirih.

Fedeline mencoba menatap Giska untuk menemukan kejujuran dari matanya. Namun, Giska tidak mendongak sekali pun. Jemari kanan dan kirinya bertaut satu sama lain, gemetar. Giska ketakutan. Suaranya juga seolah tenggelam, tidak jelas apa yang ia katakan. Anton mengubah posisi duduk, menghadap Nyonya Oxford dan Nyonya Hewitt yang sama kehabisan kata, tidak tahu bahwa Giska yang polos dan manis setega itu memanfaatkan situasi keuangan keluarga Harris yang sedang seret.

“Apa laporan yang aku  dapat dari departemen pajak ini salah, Nyonya Oxford?” tanya Anton. Ia memajukan tubuh ke depan, mengembangkan senyum kecil, dan menatap Nyonya Oxford penuh intimidasi.

Nyonya Oxford tampak pucat. Ia tidak bisa mengelak kalau keluarga mereka memang sedang ada masalah. “Ya, situasi memang sedang tidak baik.”

“Apa maksudnya mengatakan ini? Apa kau menuduh Giska sengaja meracuni Harris karena hutang dan pajak yang belum dibayar?” tanya Nyonya Hewitt. “Giska tidak akan tahu sampai sedetail itu. Hanya karyawan kepercayaan malah yang tahu kondisi ini.”

“Tolong jangan berasumsi dan menyudutkan klien kami seperti ini, Pak.” Tuan Blooming mengeraskan suara. “Bagaimana bisa Nona Hewitt membunuh Harris di atas sana? Aku  yakin Anda sudah melihat tubuh Harris yang tinggi besar. Nona Hewitt tidak akan bisa merobohkannya dan mendorong ke dalam jurang.”

Anton mengulum senyum. Ia menyimpan kembali ponselnya. “Kurasa Giska belum memberi tahu soal jeruk kaleng yang ia berikan pada Harris.

“Jeruk kaleng?”

“Minuman terakhir yang Harris konsumsi, sepertinya sari jeruk kaleng yang Giska berikan.” Fedeline merasa ini kesempatan yang bagus untuk mengulik apa yang Simon sampaikan padanya tadi. “Kami akan meminta tim forensik mengecek apakah Giska sengaja memasukkan racun ke dalam minuman yang diberikannya pada Harris atau tidak.”

Semua kehabisan kata. Kematian Harris bukan karena kecelakaan melainkan diracun merupakan hal yang paling tidak mereka sangka. Nyonya Hewitt juga tampak panik dan kebingungan, menatap Giska meminta penjelasan. Nyonya Oxford yang tersulut emosi, tangisnya kembali meledak dan menyerang Giska. Ia menjambak Giska dan mengguncang tubuhnya sambil meneriakkan kata-kata makian. Giska masih tertunduk, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Tega sekali kamu, Giska. Aku  sudah menganggap kamu sebagai anak sendiri dan tinggal di rumah ini tapi seperti ini balasan yang kau berikan!”

Nyonya Oxford mengguncang Giska makin kencang dan membuat Nyonya Hewitt panik, mencoba melerai putrinya yang sekarang disalahkan oleh kakak perempuannya sendiri. Tuan Blooming menarik Nyonya Oxford agar menenangkan diri. Situasi makin chaos, Fedeline dan Anton jadi makin serba salah dan tidak mungkin melanjutkan interview.

“Sampai hasil otopsi keluar, kami mohon agar Anda jangan menuduh tanpa bukti. Hingga saat ini, Harris masih berstatus meninggal karena kecelakaan. Jadi tolong, jangan membuat situasi semakin membingungkan.”

Fedeline dan Anton akhirnya memutuskan untuk undur diri. Pertanyaan baru bergejolak di benak Fedeline. Giska tidak mengelak dari pertanyaan Anton, apa mungkin Giska yang sebenarnya meracuni Harris? Tapi, racun apa yang Giska gunakan? Arsenik? Sianida? Fedeline menggeleng, tidak ada bau aneh dari mulut Harris begitu mayatnya ia temukan. Apa mungkin bau jeruk bisa menyamarkannya?

“Apa kau siap naik gunung?” tanya Anton begitu Fedeline duduk di sebelahnya dan memasang sabuk pengaman.

Fedeline kaget sekaligus kebingungan, “Untuk apa?”

“Ini upayaku untuk mengabulkan keinginanmu,” tukas Anton seraya menekan pedal gas dan melaju ke arah Gunung Bursbenrgh secepat yang ia bisa.

***

Fedeline tidak siap dengan usulan gila Anton. Ia bersikeras ingin mengecek TKP ditemukannya Harris untuk mengkonfirmasi kecurigaan awalnya. Padahal, mereka tidak mengenakan jaket tebal, tidak membawa peralatan yang memadai, dan tidak memakan cukup makanan sebelum mendaki gunung yang suhunya bisa membuat mereka berdua hipotermia jika berangkat dengan perut keroncongan.

“Tidak biasanya kau cerewet soal makanan,” cecar Anton saat Fedeline masih bermalas-malasan menyeret kakinya. Bagaimana tidak, ia menggigil kedinginan.

Anton terus berjalan melewati jalur pendakian yang kosong. Sheriff Connor dan Tuan Oxford sengaja meminta area pendakian gunung Bursbenrgh ditutup selama tujuh hari ke depan, atau setidaknya sampai penyebab kematian Harris ditemukan. Mereka tidak mau ada orang yang keluar masuk area dan mencoba menghilangkan barang bukti atau merusak TKP. Kasus ini sangat sensitif lantaran prestise kota Mountberry sangat tergantung pada keberadaan gunung Bursbenrgh. Tanpa gunung itu, Mountberry tidak akan punya apa-apa. Meskipun punya ladang kebun yang cukup luas, pendapatan kota Mountberry sepenuhnya bergantung pada sektor wisata, yaitu Gunung Bursbenrgh.

“Kenapa kau sebegitu nekatnya naik gunung? Biasanya kau paling tidak mau repot dan lebih memilih menunggu laporan tim forensik.”

“Fedeline, sampai detik ini, orang-orang di luar sana masih berpikir bahwa Harris meninggal akibat kecelakaan. Orang yang tidak tahu pasti konflik di antara lima sahabat itu, hanya akan menutup kasus ini sebagai kasus kecelakaan biasa. Tuan Oxford memintaku secara khusus kemarin untuk memastikan bahwa ini bukan kecelakaan. Bisa kau bayangkan, apa yang akan terjadi jika ada kasus kecelakaan yang menewaskan pendaki di gunung ini?”

“Well, Bursbenrgh ditutup seperti sekarang.”

“Exactly. Kau tahu apa efeknya pada sektor lainnya?”

Fedeline tidak tahu ke mana arah pembicaraan Anton. Bagi sebagian besar orang, kematian Harris hanya akan menjadi halaman depan koran yang menyita perhatian. Setelah itu, hanya orang tua yang akan terus menerus berduka. “Semua akan kembali baik-baik saja, kan?”

“Ekonomi lumpuh. Penginapan mati total, toko suvenir dan restoran kehilangan pelanggan. Mountberry persis akan mati. Karena semua orang akan takut datang ke Bursbenrgh. Dana kota akan dialihkan untuk promosi besar-besaran dan butuh waktu lama untuk mengembalikan semua jadi normal seperti sekarang.”

“Itu terdengar seolah kau sedang mencari kambing hitam atas kematian Harris.”

Anton terkekeh. “Bukannya kau sendiri yang bilang kematian Harris bukan karena kecelakaan. Terlalu janggal katamu, kan?”

“Iya, tapi ... Aku tidak menyangka kau akan sesemangat ini mengungkap kematiannya.”

“Kita bisa menunggu hasil forensik besok pagi. Tapi, aku tidak bisa berdiam diri sebelum mengecek lokasi penemuan mayat. Kau masih punya foto korban yang kau ambil saat ditemukan, kan?”

“Ya, masih ada di ponsel.”

“Kau bilang tidak ada luka sama sekali kan?”

“Memang tidak ada. Karena itu kurasa ia mati bukan karena kecelakaan tapi ... mati sebelum berada di sana.”

Anton mempercepat langkah kakinya dan Fedeline tergopoh-gopoh menyamai. Mereka berdua sempat mengangguk dan menyapa dua petugas polisi yang sedang berjaga di sekitar TKP. Mereka menunjukkan badge polisi dan meminta izin masuk ke area penemuan mayat yang sudah dipasangi police line.

Suasana tidak jauh berbeda dengan kemarin sore. Garis kapur juga masih tercetak jelas di rerumputan. Mayat Harris ditemukan dengan posisi terlentang. Kedua kakinya agak sedikit terbuka dan tangannya tergeletak di tanah. Rerumputan di sekitar mayat Harris juga sudah tumbuh dengan lebat dan licin. Padahal semalam tidak ada hujan.

Fedeline dan Anton bergantian turun menggunakan tali yang dipasang tim SAR untuk memudahkan tim forensik menyelidiki TKP. Anton menapakkan kaki di tanah kering, di sekitar garis kapur, licin.

“Memang licin tapi .. sepertinya bukan ini penyebab dia jatuh, kan?”

Fedeline mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto-foto mayat Harris. “Bukan. Lihat pakaiannya, bersih. Lihat juga tangannya.” Ia menggeser slide foto yang menunjukkan telapak tangan Harris. “Jika dia terpeleset, harusnya tangannya agak sedikit kotor kan?”

Anton mengamati foto dengan saksama. Ia mengangguk dan menggeser hingga menemukan foto yang menunjukkan seluruh tubuh Harris. “Pakaiannya tertutup rapat?”

“Iya. Bahkan bawahan celana jeans dimasukkan dalam tali sepatu. Sepatunya juga ditali dengan rapat. Tidak ada bekas lumut di tapak sepatu.”

“Tidak ada luka bekas gigitan ular?”

“Sejauh yang kulihat, tidak ada.”

Mereka berdua lantas mengeliminasi beberapa opsi kematian Harris. Kematian akibat kecelakaan jelas tidak mungkin karena ia tidak terpeleset. Kematian karena digigit ular juga tidak mungkin, kecuali ia digigit ular ketika di puncak dan racunnya baru bereaksi saat ia jatuh ke jurang jalur pendakian. Namun, gejala yang Harris alami, berdasarkan penuturan teman-temannya, mirip dengan gejala keracunan.

“Tentang racun yang disebut Simon, ....” Fedeline melanjutkan kemungkinan sambil mengingat lagi temuannya pada hari itu. Anton yang sebelumnya sibuk menemukan petunjuk apa pun di tanah, jadi menolehkan pandangan dan memperhatikan Fedeline. “Ada dua racun mematikan yang mungkin saja ia pakai, sianida dan arsenik. Waktu kemungkinan kematiannya pun sekitar tiga jam setelah dikonsumsi. Tapi, aku tidak mencium bau almond ataupun bawang putih. Yang tercium olehku justru aroma jeruk, terutama di area kerah bajunya.”

“Jeruk?”

“Iya. Itu mengkonfirmasi bahwa Harris memang benar minum sari jeruk.”

“Sari jeruk merk apa?”

“Entahlah, Simon hanya bilang minuman sari jeruk bersoda.”

Anton menggelengkan kepala. “Maka bukan Giska pelakunya. Minuman bersoda itu pasti terguncang selama di perjalanan lalu saat dibuka tidak sengaja tumpah di kerah jaket Harris. Jika Giska menambahkan racun di dalamnya, sodanya pasti tidak akan meletup seperti itu.”

“Artinya, racun itu kemungkinan dari mie instan yang ia makan bersama Simon dan sandwich yang diberikan Kiara.” Fedeline berusaha mengerucutkan kemungkinan.

“Tidakkah menurutmu sedikit aneh? Sandwich yang Kiara berikan dimakan sebelum ada pertengkaran. Apa motif Kiara meracuni padahal hubungan mereka baik-baik saja sebelumnya. Itu artinya kemungkinan pelakunya Simon?” Anton kembali menuduh Simon seraya tertawa menyebalkan. “Dia sengaja membuatmu mencurigai Giska untuk lepas dari tuduhan ini.”

Fedeline kesal. Anton memang sejak awal sudah mengincar Simon. Sikap arogannya memang dengan sengaja dilakukan untuk memancing Simon emosi. Tapi, Fedeline tidak menyangka kalau Simon yang berada di balik ini semua.

“Bagaimana kalau kita cari informasi tentang mereka semua? Latar belakang, motif, dendam. Hasil forensik baru keluar besok. Aku paling benci menunggu tanpa melakukan apa pun.”

Anton mengangguk dan kembali mengamati area sekitar garis kapur. “Apa tidak ada barang-barang aneh di sekitar sini?” tanyanya.

“Mungkin sudah dibawa tim forensik,” jawab Fedeline.

Mereka berdua bergegas menuju rumah sakit. Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab. Fedeline dan Anton seolah dikejar waktu. Jangan sampai barang-barang sekecil apa pun terlewat dari penyelidikan.

○●○●○●○●○●○●○

Bersambung

Terima kasih sudah mampir dan membaca cerita ini.

Well, jika sedikit membingungkan karena ada banyak cast, percayalah, ini semua tidak sia-sia.

Waspada pada siapa pun, termasuk pada orang yang paling tidak punya motif.

Love,
Author

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro