10 | Our Secret

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 10 Our Secret

Kukira part ini bakal ada pernikahan, tapi, hehehe, mesti nunggu past besok. Semoga ga mengecewakan ya.

Happy reading!
.
.

Aku merahasiakannya bukan karena malu
Tapi karena aku merasa belum mampu
Untuk tampil menjadi Nyonya Maheswara dalam usia muda

Kak Ian memelotot ke arahku ketika aku tampil di depannya dengan red navy plaid shirt sebagai outer kaus putih, celana jeans, dan sneaker putih. Kemudian dia bersedekap di samping mobilnya sambil menggelengkan kepala.

"Fy, kamu mau ketemu calon mertua lho!" katanya.

"Berisik," gerutuku sambil membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Aku sengaja! Biar Ario berubah pikiran dan mencari perempuan lain untuk dijadikan istrinya. Rata-rata ibu pasti akan lebih memercayakan putranya menikah dengan gadis feminin, jadi kuharap ini akan berhasil untuk membebaskanku dari hal paling tidak masuk akal, menikah muda!

Kak Ian masuk ke dalam mobil dan menghadapkan tubuhnya ke arahku. Aku pura-pura sibuk saja dengan ponsel, aku memang tidak ada kuliah di Senin pagi karena jadwalku ada di siang hari, karena itulah Ibu dan Ayah meminta Kak Ian untuk menemaniku melihat keadaan Mamanya Rio sekarang.

"Fy, kalau kamu pikir ini bakalan buat Rio berubah pikiran, Kakak mau ingetin kamu, itu nggak ada gunanya."

Aku mendelik ke arah Kak Ian. "Apa nih maksudnya?" tanyaku sewot.

"Rio udah lewatin hal paling mendebarkan dalam hidup setiap laki-laki sebelum mereka menikah, jadi kemungkinan Rio berubah pikiran hanya karena kamu berpakaian boyish hari ini..." Kak Ian membentuk kedua jari tangan kanannya, "kecil... banget."

Kemudian dia tertawa begitu puas sambil menjalankan mobil keluar area rumah. Dasar menyebalkan! Paling bahagia dia kalau melihat adiknya tersiksa lahir batin begini. Lihat saja nanti, karma does exist!

***

Aku menunggu Kak Ian berbicara dengan seorang perawat di bagian informasi. Ide siapa sih yang datang menjenguk tanpa memberi tahu Rio dulu? Takut Rio mensetting Mamanya buat pura-pura sakit gitu? Seperti siaran TV yang katanya Reality Show tapi ternyata bohong, ya kali!

"Nggak bisa masuk, Fy. Padahal udah Kakak kasih senyuman maut," kata Kak Ian menghampiriku yang bersedekap sambil menyandarkan punggung ke dinding.

"Kakak ini sejenis malaikat maut yang bisa senyum?" sindirku dengan wajah serius. Kak Ian refleks mendesis sambil menoyor kepalaku dengan pelan.

"Lagian, bukannya ngabarin Ri...o?" kataku terpotong, "itu Rio!" seruku pada Kak Ian ketika melihat Ario Maheswara baru saja keluar dari sebuah lorong rumah sakit. Mungkin karena suaraku yang terlewat nyaring, Rio pun menoleh ke arahku dengan senyum kecilnya yang... Ya Tuhan... ini nih yang bikin goyah pendirian buat tidak menikah muda.

"Kak Ian, Ify, ngapain di sini?" tanyanya ketika sampai di dekatku dan Kak Ian.

Salto! Dia kurang tidur atau bagaimana sih? Pertanyaannya basi amat! Aku jadi gemas mau menjawabnya dengan sindiran, kalau tidak ingat kondisi Mamanya yang sedang sakit.

"Mau jenguk Mama kamu, Yo. Boleh?"

Aku menelengkan kepala ke kanan. Kenapa Kak Ian terlihat sudah begitu akrab dengan Rio?

"Oh?" Rio terlihat berpikir. Dia menoleh ke arah bagian informasi dan memajukan tubuhnya ke arah Kak Ian. "HCU nggak bisa dimasukin banyak orang, Kak. Kecuali... dapat izin dokter," bisiknya.

"Trus gimana? Saya sama Ify tetep mau lihat kondisi Mama kamu dulu, sebelum Ify buat keputusan."

Aku mulai merasa Kak Ian ini mirip dengan Andini deh, mulutnya terkadang kelewat jujur, bikin aku jadi gemas sendiri.

"Oh?" Rio melirik ke arahku. "Hm... gini aja deh, Rio temui dokter penanggung jawab Mama dulu, nanti Rio kasih tahu Kak Ian sama Ify bisa masuk atau nggak."

"Ok, kami tunggu di sana ya," kata Kak Ian sambil menunjuk ke arah ruang pendaftaran pasien rawat jalan.

"Iya, Kak." Rio menganggukkan kepala dan terlihat berlari pelan menuju ke suatu arah. Apa mungkin, kondisi Mamanya sedang gawat?

***

Aku agak merinding ketika harus masuk ke ruang HCU bersama dengan Rio dan Kak Ian. Ada dua orang selain Mamanya Rio yang berada di ruangan tersebut, terbaring dengan alat monitor fungsi vital dan monitor yang kuketahui dari Rio namanya EKG. Entah ada feeling darimana kalau aku bertanya-tanya alat apa saja yang menempel di tubuh ibu dan pasien lainnya saat itu, Rio mendekatiku dan membisikkan keadaan Mamanya secara ringkas.

"Mama masuk dalam keadaan sesak napas sebelum nggak sadarkan diri kemarin lusa. Hepatoma, stadium terminal, metastase."

"Hah?" tanyaku melongo. Rio mungkin lupa kalau istilah yang aku kenal itu probabilitas, account receivable, BEP dan kawan-kawannya. Bukan bahasa jenius yang barusan dia sebut.

"Ah, maaf," katanya menoleh ke arahku, barusan dia bicara sambil memperhatikan dokter yang tengah memeriksa Mamanya. "Maksudku, kanker hati, stadium akhir, dan kondisi sel kankernya sudah menyebar."

Aku menelan ludah, fakta yang terakhir itu sama sekali tidak kuketahui. Ayah tidak menceritakannya kemarin.

"Kemungkinan sembuh, tetep ada, kan?" tanyaku tak enak hati. Aku tidak tega sebenarnya, tapi aku tetap ingin tahu. Aku butuh banyak informasi untuk mempertimbangkan keputusanku nanti, seperti yang Kak Ian bilang.

"Prognosisnya... maksudku, kemungkinan perjalanan penyakitnya, ramalan dokter..." Rio terdiam sejenak dengan kepala tertunduk, hingga akhirnya dia menggeleng. Aku mengerti, dia tidak sanggup untuk mengatakan bahwa secara tidak langsung, tim medis sudah angkat tangan dan memasrahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa.

"Tapi... aku bersyukur Mama bisa bertahan sejauh ini.... Cuma, aku nggak tahu sampai kapan Mama bisa bertahan, makanya aku memutuskan untuk menikah muda." Aku melihat matanya yang menatapku lekat-lekat. "Maaf ya, aku udah buat kamu masuk ke dalam hidupku yang berat."

Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Mataku mulai memanas ketika mendengar Rio meminta maaf padaku, maksudku... Rio pasti tidak ingin hal ini juga terjadi. Harusnya aku memikirkannya dengan kepala dingin dan hati penuh simpati kemarin. Tapi... tetap saja... menikah muda...

"Rio, Mamamu sadar," kata Kak Ian yang sejak tadi memang berdiri di dekat monitor tanda vital.

Rio menghampiri Mamanya yang terbaring lemah dengan... Ya Tuhan... wanita itu bahkan masih bisa tersenyum dengan begitu cantiknya.

"Ma..." kata Rio lembut. "Tidurnya nyenyak?"

"Hm... kamu nggak kuliah, Sayang?" kata wanita itu dengan suara paraunya.

Rio menggeleng dengan bibir melengkung, meski matanya tidak menyinarkan senyum yang sama. "Nanti siang, Ma. Rio tunggu Om Adit datang dulu." Tangan Rio terulur ke puncak kepala Mamanya dan mengusap lembut rambut hitam wanita itu yang terlihat menipis, sepertinya salah satu efek dari pengobatan.

"Mama bosan, Rio. Mau pulang."

"Iya, nanti, makanya Mama harus sembuh, ya?"

Bisa tidak sih aku keluar saja dari sini? Aku mengusap kelopak mataku yang sudah mulai penuh dan siap tumpah. Aku membayangkan kalau yang berada di depanku adalah aku dan Ibuku. Apa aku bisa setegar Rio ketika menjawab permintaan Mamanya yang agak... ambigu? Maksudku, pulang kan bisa ke mana saja... ke surga misalnya.

"Itu siapa, Rio?" tanyanya ketika mendapati aku yang berada di dekat papan nama bertuliskan Pasien: Ny. Riani Eka.

"Ify, Ma. Yang Rio bilang... Rio suka dari SMA," kata Rio membuat wajahku agak memanas. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu di depan Kak Ian?!

"Dari SMA?" Kak Ian melirik ke arahku dan Rio bergantian. Tuh kan, si makhluk resek ini mulai ingin tahu.

"Panjang ceritanya, Kak. Nanti kalau udah jadi adik ipar, Rio ceritakan," jawab Rio dengan senyum geli. Membuat Mamanya ikut terkekeh walau sangat pelan. "Mama pasti sebentar lagi sembuh deh, udah bisa ketawa gitu."

Oh, jadi itu tujuannya. Aku ikut tersenyum setelah mengerti mengapa Rio mengatakan... kenapa wajahku terasa semakin panas sih!?

"Ify, kemari Nak, penyakit tante nggak menular kok," katanya membuatku tersenyum canggung.

Mama Rio meraih tangan kiriku dengan tangan kanannya yang terpasang jarum infus. "Tante bakal seneng banget kalau bisa lihat Ify sama Rio bersatu."

Oke, aku tahu satu hal sekarang. Mamanya ini benar-benar sudah putus asa karena begitu ingin melihat Rio menikah. Dia pasti memiliki ketakutan bahwa besok, bahkan mungkin setengah jam lagi dia akan menghadap Tuhan.

Aku tersenyum canggung, melirik Kak Ian yang hanya melemparkan senyum penuh arti padaku. Kepala Kak Ian juga mengangguk seolah mengiyakan apa pun yang berada di ujung mulutku saat ini dan siap untuk dilontarkan.

"Tante, Ify janji akan membuat Tante merasa sangat senang, tapi dengan satu syarat."

Mama Rio tersenyum sebelum berkata. "Apa, Sayang?"

Aku mendongakkan kepalaku ke arah Rio yang menatapku tanpa berkedip, apa mungkin dia sudah tahu apa yang akan aku katakan berikutnya?

"Ify janji mau menikah sama Rio. Tapi bukan di rumah sakit. Jadi Tante harus membaik dan diizinkan dokter untuk pulang ke rumah buat menghadiri pesta pernikahan kami."

Bibir Mama Rio melengkung begitu lebar, matanya pun terlihat berbinar. Demi Tuhan, aku sama sekali tidak berani melihat Kak Ian mau pun Rio! Aku baru saja mengiyakan lamaran seorang pria demi sebuah kemanusiaan. Aku berharap setelah ini Tuhan berkenan memberikanku hadiah, IPK naik misalnya, atau memenangi kejuaraan Taekwondo se-Jakarta juga boleh, kedengarannya menarik.

"Rio, panggil dokter sekarang. Bilang Mama mau melakukan apa pun supaya Mama bisa keluar dari rumah sakit dan mengadakan pesta buat kalian." Mendengar nada suara Mama Rio membuatku tersenyum dalam hati, rencanaku berhasil. Ya, rencana untuk meningkatkan semangat Mama Rio untuk sembuh. Karena seburuk apa pun prediksi dokter, Tuhan-lah yang berkuasa untuk memberikan keajaiban di saat kita nyaris menyerah.

"Fy, kamu serius?" Pertanyaan Rio membuat kepalaku mendongak.

Aku mengangguk. "Harus private garden party, kamu tahu pernikahan Song Joong-Ki? Kurang lebih kayak gitu."

"Ify," panggil Kak Ian sambil menatapku dengan mata menyipit. "Jangan macem-macem kamu."

Aku mengangkat bahu. "Kupikir, Tante Riani dan seluruh perempuan di dunia suka garden party. Iya nggak, Tante?"

Mama Rio mengangguk. Mendadak, dia agak kesulitan bernapas.

"Ma?" Rio terdengar panik melihat kondisi Mamanya yang tiba-tiba berubah.

"Nggak pa-pa Rio, Mama hanya terlalu senang."

Waduh, apa aku salah strategi ya?

***

"Kenapa harus private garden party?" tanya Kak Ian padaku di dalam mobil. Kini kami sedang menunggu lampu merah berubah warna menjadi hijau di perempatan terakhir menuju kampus. Setelah sekian lama berdiam, tanpa ada satu pun pembicaraan yang terjadi sehabis keluar dari ruang HCU karena mendapatkan teguran dokter. Kehadiran aku dan Kak Ian dianggap menjadi faktor utama Mama Rio sesak napas secara tiba-tiba.

Mungkin, Kak Ian syok dengan keputusanku untuk menikah dengan mengadakan pesta, padahal kondisi Mama Rio sakit keras dan memiliki prediksi dokter tak dapat bertahan dalam melawan penyakitnya.

"Mama Rio pasti nggak ingin dianggap sakit di hari bahagia anaknya, Kak. Lagian, kalau kita sedih di depan orang yang berjuang melawan kematian yang seolah terus mendekat, apa itu nggak jahat namanya?"

Kak Ian melirikku dengan bibir melengkung. "Kamu mendadak dewasa ya, apa karena efek mau menikah?"

Aku hanya mengangkat bahu, tak acuh dengan pertanyaan sarkas Kak Ian yang biasanya selalu kubalas dengan nada tinggi.

"Jadi, kenapa harus private garden party? Bukan garden party aja? Kamu nggak berniat mengundang banyak orang memangnya?"

Aku menggeleng. "Aku mau pestanya rahasia, tertutup, yang datang cuma keluarga kita aja, tanpa teman, tanpa kolega Ayah dan Kak Ian. Pokoknya, semakin sedikit yang tahu, semakin bagus."

"Lho, kenapa?" tanya Kak Ian sambil menjalankan mobilnya ketika lampu sudah berubah warna. "Kenapa harus dirahasiain segala? Kamu kan nggak hamil di luar nikah."

Lagi, Kak Ian mengatakan hal yang menyebalkan tapi anehnya, aku sama sekali tidak berniat untuk marah-marah.

"Aku merahasiakannya bukan karena malu. Tapi karena aku merasa belum mampu untuk tampil menjadi Nyonya Maheswara dalam usia muda. Kakak nggak lihat tadi? Tante Riani terlihat tetep cantik dengan senyumnya, meskipun dia tahu hidupnya mungkin udah nggak lama lagi. Aku merasa belum pantas aja buat bersanding sama Rio dan mungkin juga menggantikan peran Mamanya di dalam keluarga, makanya aku nggak mau orang-orang tahu."

Aku mendengar Kak Ian mendengkus sebelum tangan kirinya terulur ke puncak kepalaku. "Kayaknya, Ayah udah tahu duluan deh kalau kamu bakal jadi dewasa karena pernikahan ini. Kalau gitu, Kakak restui kamu buat ngelangkahin Kakak, Fy."

Aku tersenyum kecil sambil menolehkan kepalaku ke arahnya. "Aku juga nggak nyangka bakal punya pikiran kayak gini, tapi makasih, Kak."

Kak Ian hanya menggumam sekilas dan aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Kuharap, pengorbananku untuk tidak menikah muda di usia dua puluh membuat Rio lebih banyak kesempatan untuk bersama dengan Mamanya.

Bahkan kalau aku boleh meminta lebih, aku berharap Tuhan mengizinkanku untuk banyak belajar dari Tante Riani agar bisa menjadi istri yang baik bagi Rio di masa depan. Dengan begitu, Tante Riani akan berumur lebih panjang dari prediksi dokter.

.
.
To be continue

Kalau ada yang salah dari unsur medisnya, kasih tahu ya manteman. Btw, ada yang pernah bilang kalau salah satu efek menikah muda adalah perubahan sifat karena adaptasi dengan sifat suami... Yah kurang lebih gitu sih, hehe.

Aku tunggu dukungan materiel dan morel manteman semua ya, karena buat author wattpad amatir kayak aku, vote itu dukungan materiel dan komentar merupakan dukungan morel.
Jadi, maukah temen2 memberikanku kedua dukungan tadi? ^‿^

Terimakasih dan sampai jumpa di part selanjutnya!

Nnisalida
281217

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro