12 | My Secret Wedding

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Re-publish, baru ngeh kalau nama Papanya Rio beda -_-


Part 12 My Secret Wedding

Bahagia itu takkan berubah nama
Meski menjadi sebuah rahasia
Luka takkan berubah nama
Meski kita mengumbarnya

"Wahai saudara Ario Maheswara bin Aryasatya Maheswara, saya nikahkan dan saya kawinkan putri kandung saya, Alifya Ardhani binti Hanif kepadamu, dengan mas kawin berupa 121 gram logam mulia dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Alifya Ardhani binti Hanif dengan mas kawin tersebut, tunai."

Aku merasa ada sebuah beban baru saja dilepaskan dari dadaku, aku juga merasakan bahwa ruangan VVIP ini kembali terisi oleh oksigen ketika Ayah dan Ario berhasil membacakan kedua kalimat sakral itu. Pegangan di tangan kiriku terasa lebih erat, aku pun menoleh dan mendapati Tante Riani, atau mungkin lebih tepatnya, Mama Riani, tersenyum ke arahku meski hidungnya terpasang alat bantu pernapasan.

"Mama senang sekali, Ify jadi menantu Mama," katanya pelan. Bahu kananku disentuh oleh sebuah jemari yang kemudian aku genggam. Aku menoleh dan mendapati Ibuku yang menahan tangisnya.

"Jadi istri yang nurut suami dan sholeha ya, Sayang," ucapnya sambil memeluk dari balik punggungku.

"Ajari Ify ya, Ma, Bu...." Hanya itu yang dapat aku lontarkan, seaneh apa pun, sebingung apa pun, aku tetap saja merasa terharu di hari ini. Alifya Ardhani resmi menjadi istri Ario Maheswara, meski dengan cara yang benar-benar berbeda dari orang kebanyakan.

***

"Kamu nggak suka?"

Aku mendongakkan kepala dan mendapati wajah Rio yang menatapku tanpa berkedip. Pertanyaannya itu benar-benar tepat sasaran. Meski tanpa suara, aku tidak berhenti memandangi cincin yang kini melingkar di jari manis tangan kananku. Desain cincin ini cukup menarik sebenarnya, ditambah pula dengan ukiran nama RIO di bagian dalamnya yang menyentuh langsung kulitku. Aku tersentuh sekaligus terbebani dalam waktu bersamaan setiap kali melihatnya.

Tapi, aku tetap saja merasa janggal! Alifya Ardhani, si gadis tomboi yang sejak kecil selalu mematahkan kalungnya, meletakkan sembarangan gelangnya, dan enggan memakai antingnya. Kini justru mengenakan cincin pasangan yang hanya dipilihnya secara acak melalui katalog, ketika Rio dan Om Adit datang ke rumah untuk membahas masalah pernikahan.

Aku ingat, hari itu, Rio menggunakan twist tie sebagai ukuran jariku untuk membeli model cincin yang aku pilih, karena aku menolak untuk ikut dengannya ke toko perhiasan. Takut kalau-kalau aku bertemu dengan Alyssa atau Andini, atau anak-anak kampus lainnya yang mengenali aku dan Rio. Pokoknya, siapa pun yang berhubungan dengan kampus tidak boleh ada yang tahu! Termasuk kucing kampung yang ada di sana.

"Kamu kayak nggak nyaman sama cincinnya, kesempitan?" tanyanya lagi karena aku sibuk melamun.

Aku menggeleng sambil bergumam. "Nggak gitu... ini... harus banget dipake, ya?"

Mendadak, Ario berdiri ketika seorang berjaket nama perusahaan restoran pizza datang menghampiri kami yang tengah duduk tidak jauh dari gerbang rumah sakit. Tante Riani, maksudku Mama, tiba-tiba mengatakan ingin makan bakso, maka dari itu aku dan Rio pergi keluar untuk membelikannya bakso. Namun Ray dan Om Adit yang baru saja memesan pizza meminta aku dan Rio sekalian untuk menunggu pengantar pizzanya saja, biar kami bisa makan bersama dengan Mama. Yah, benar-benar pernikahan asal sah, tidak ada makanan, tidak ada hiasan. Satu-satunya hiasan di ruang VVIP itu hanya bunga yang Kak Ian beli sebelumnya. Hanya itu.

"Kamu keberatan pakai cincinnya?" kata Rio setelah urusannya selesai, sambil kami berjalan kembali ke dalam rumah sakit.

"Aku takut temen-temenku nanti curiga, aku nggak pernah pake perhiasan sebelumnya."

"Hm. Aku tahu."

Aku menelan ludah. "Kamu sering banget nguntit aku, ya? Aku jadi takut sama kamu, tahu nggak," kataku ngeri.

"Aku akan berhenti menguntit mulai sekarang," jawabnya dengan cengiran.

Ya iyalah! Suami mana coba yang menguntit istrinya!? Kecuali itu suami pengangguran dan tidak memiliki kepercayaan meski barang seupil pada pasangannya!

"Aku serius, Rio!" sahutku gemas. Di depan lift, Rio memindahkan bungkusan bakso di tangan kanannya ke tangan kiri. Ibu pernah bilang padaku, kalau membawa barang bawaan tidak boleh ditumpuk dengan satu tangan, baru saja aku mau mentransfer ilmuku pada Rio, tangan hangatnya yang menyentuh kulit jemari tangan kiriku membuatku terpaku.

Lagi-lagi, tangan pria ini membuatku merasa bahwa aku adalah gadis paling beruntung di dunia. Tangannya yang sangat halus dan juga terasa hangat dalam waktu bersamaan itu membuatku benar-benar nyaman! Berbeda ketika pertama kali dia menyentuh keningku, berbeda ketika tangannya menyentuh jemariku sebelum ijab kabul. Kali ini, tidak ada rasa takut, tidak ada rasa bersalah. Mungkin karena kami sudah menikah dan bebas untuk saling menyentuh.... Oh astaga, pikiranku mulai kemana-mana. Hentikan Ify, hentikan!

Ingat perjanjian pra-nikah kalian!

"Ah ya, soal perjanjian pra-nikah kita itu...." Entah mengapa aku sangat penasaran. Tapi, lebih baik diutarakan sekarang, mumpung lift yang terbuka tidak terisi oleh orang lain dan hanya kami berdua yang sedang menuju ke lantai tujuh tempat Tante, eh Mama dirawat.

"Kamu serius?"

Rio menoleh ke arahku dengan alis matanya yang meninggi. "Point yang mana?"

"Memangnya, ada berapa sih isi perjanjiannya?"

Bibir Rio tersenyum lebar, dia tertawa kecil sebelum pintu lift terbuka di lantai lima dan masuklah seorang perawat dengan beberapa peralatannya yang aku tidak tahu apa itu.

"Kita belum satu jam menikah, dan kamu udah lupa isi perjanjiannya."

Ya ampun, Rio! Perawat tadi melirik ke arah kami diam-diam dengan mata terbelalak. Ih, mulutnya benar-benar sembarangan! Aku mendesis sebal, kalau tidak ingat ada perawat itu, sudah kujewer mulut Rio yang nyinyir-nya satu tingkat di bawah Gio, mantannya Alyssa.

Ketika lift terbuka di lantai tujuh, perawat tadi keluar lebih dulu dari kami. Seolah pasangan pengantin baru yang berdiri di belakangnya tertempel tulisan "jaga jarak, awas baper!"

"Kamu tuh ya!" bisikku sambil melotot ke arahnya yang menahan tawa.

"Kan, perjanjiannya, hanya dirahasiakan dari orang-orang kampus sampai kita lulus." Dia melepaskan gandenganku persis setelah kami keluar dari lift, yaaah.... Kok dilepas sih? Eh... kok aku jadi begini?!

"Kalau suster tadi adiknya, sepupunya, saudara tirinya, anaknya ternyata kuliah di kampus kita gimana!?" tanyaku ngawur. Sepertinya tiap sentuhan Rio membuat otakku jadi agak korslet.

Rio tersenyum lebih lebar dengan suara tawa yang lebih jelas daripada sebelumnya. "Kamu tuh, perawat tadi sebaya dengan kita, masa udah punya anak?"

"Siapa tahu? Kita aja udah nikah sekarang!" balasku tak mau kalah. Sampai dering ponsel menghentikan ocehanku untuk mendebatnya. Alamak!! Kenapa pula Gabriel harus menelepon di waktu dan tempat yang tidak tepat begini?!

Aku menghentikan jalanku beberapa langkah dari pintu ruang rawat Tante, maksudku Mama Riani. Aku mendongak dan mendapati Rio menatapku dengan pandangan bertanya.

"Kamu duluan aja, aku harus jawab telepon dulu."

"Siapa?" Entah kenapa, nada ucapan Rio terasa berbeda di telingaku.

"Gabriel." Aku melihat mata kanan Rio menyipit sesaat, sebelum dia bergumam dan buka suara.

"Jangan lama-lama."

Aku hanya mengangguk. Ketika Rio telah menghilang di balik pintu, aku menggeser icon telepon berwarna hijau dan mendekatkan ponselku ke telinga kiri.

"Apa Gabby?" jawabku langsung dengan nada jutek. Harusnya aku masih bisa berdebat mesra sebelum menikmati pizza. Tapi makhluk satu ini merusak rencana.

"Gue bukan pemilik kedai pempek, berhenti panggil gue begitu."

Benar juga ya, aku sudah menikah, seharusnya aku tidak memanggil Gabriel dengan panggilan sayang itu lagi. "Oke, Gabriel. Ada apa?" tanyaku dengan nada serius.

"Lo di mana sekarang?"

Wet, wet, ada angin apa Gabriel tanya begini? Dia tidak lagi di rumah sakit ini dan menelepon untuk memastikan apa aku berbohong atau tidak kan? "Kenapa nanya-nanya?"

"Fy, kalau gue nanya, lo nanya, kapan kelarnya?"

Aku menggaruk pelipisku, benar juga. "Lagi nggak di rumah." Memang benar kan? Aku tidak sepenuhnya jujur dan tidak sepenuhnya bohong.

"Ya gue tahu, rumah lo sepi, gue tanya tetangga lo, katanya mobil bokap sama mobil kakak lo keluar. Makanya gue nanya lo di mana sekarang?"

Aku terdiam. Aku harus jawab apa ya? Aduh! Bohong itu dosa, tapi kalau jujur akan membuatku masuk ke dalam akun soc-med kampus ternyinyir sejagat raya. Sebelas dua belas dengan akun lambe turah di instagram yang hitz itu.

"Fy..."

Ya Allah! Aku membalikkan tubuhku yang membelakangi pintu VVIP dan mendapati Rio berdiri di sana dengan wajah merengut.

"La−"

Aku langsung menutup bibir Rio dengan tangan kananku. Melihat kelopak matanya membesar, aku pun mendekatkan jari telunjukku ke bibirku sendiri. Aku membentuk kata "sssttttt..." tanpa suara ke arahnya, memohon agar Rio mau berhenti bicara atau tamatlah riwayatku di kampus.

"Gue denger suara deh, Fy, kayak nggak asing gitu. Lo lagi di mana sih?"

"Rumah saudara jauh gue." Rio langsung menyipit tak suka mendengar jawabanku. "Lo sebenernya ngapain telepon? Gue ada perlu nih."

"Oh, ini. Mami baru balik dari Bandung, bawa nanas. Pas natal kemarin, nastar yang Mami bikin agak gagal. Makanya dia mau kasih nanas ke lo, biar Mama lo bikinin Mami nastar, Mami bilang nastar Mama lo itu maha karya−"

"Oke, taruh aja nanasnya deket pohon mangga, atau nggak titip di tetangga, atau lo bawa pas kuliah. Gue pergi dulu ya, sampein makasih gue ke Mami lo. See you!"

Dan kuputuskan sambungan itu secara sepihak sebelum pria di depanku yang telah berstatus menjadi suami Alifya ini marah besar. Maksudku, ngeri sekali bertengkar sungguhan dengan suami di hari pernikahan, kan?

"Aku ini... saudara jauhmu?" tanya Rio dengan suara berat dan mata tajam.

"Saudara seiman yang berubah jadi imam," jawabku sambil menampilkan senyuman termanis. "Jangan marah ya, Suamiku sayang.... Kalau aku nggak bohong begitu, nanti Gabriel tahu kalau kita ada hubungan spesial." Aku menggamit lengan kiri Rio dan bergelayut manja.

"Bagus kalau dia tahu, dia bakal berhenti deketin kamu," sahutnya dingin.

Aku mengerucutkan bibir. "Gabriel belakangan jadi pinter hitung-hitungan, nanti yang ajarin aku akuntansi sama statistik siapa?"

"Aku," katanya sambil menatapku dalam. "Jangan bergantung sama orang lain, kamu ini istriku. Kamu hanya boleh bergantung padaku."

Aku mengedipkan mata takjub. Apa aku sedang bermain drama Korea sekarang ini?

"Dan ada baiknya kalau kita kasih tahu Gabriel kalau kita sudah menikah."

"No!" seruku sambil melepaskan lengan kirinya yang sempat kupeluk tadi. "Kita nggak perlu kasih tahu siapa-siapa saat ini. Karena... karena...." Aku memutar otak, harus mengeluarkan kata-kata yang tepat untuk bisa mengalahkan pendapat Rio. "Bahagia itu takkan berubah nama. Meski menjadi sebuah rahasia. Luka takkan berubah nama. Meski kita mengumbarnya."

Rio terbelalak, dan aku tahu bahwa aku berhasil memenangkan perdebatan kami.

.
.
To be continu

Semoga tidak ada yang bertanya, berapa harga mas kawinnya. Tapi kalau beneran penasaran, cek aja harga mas kawin Raisa-Hamish yang 500 gram, trus cari tahu sendiri berapa harga mas kawin 121 gram logam mulia, itupun klo beneran ada yg penasaran ︶︿︶

Kutunggu jejak-jejak kalian ya semuanya. Sampai jumpa part berikutnya!

080118 -> Tanggalnya menarik nih, kamu nggak mau nembak aku kayak Ario?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro