14 | I For You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika ketemu kata yang berantakan, itu mungkin efek wattpad yang error. Sebelum membaca, mari kita doakan agar wattpad segera pulih kembali.

Selamat membaca!
Semoga suka dan kutunggu vomentnya (vote dan komentarnya) ^‿^

Don't be silent readers ya.
Jangan diem aja, ntar doi jadi gak peka ︶︿︶

.
.
.

Part 14 I For You

.
.

Aku tidak akan menangis di saat dia menangis
Namun, aku akan tertawa di saat dia tertawa
Karena saat dia bersedih aku akan menguatkan
Dan di saat dia bersuka aku akan membuatnya lebih bergembira

Rio langsung menutup pintu mobil kemudian berlari ketika sudah berhasil memarkirkan HR-V putihnya dalam sekali percobaan. Aku berulang kali mengingatkan Rio untuk tetap berhati-hati selama mengemudi dan memberikan sugesti bahwa semua akan baik-baik saja, meski dalam hati aku sendiri meragukannya.

Aku mendesis sebal sambil melirik sekilas pada platform shoes biru dongker yang kupakai, benda ini membuatku kesulitan untuk menyamakan kecepatan lari Rio yang sudah menghilang di balik belokan menuju lift pengunjung.

"Panik sih, tapi masa ninggalin," gumamku yang kemudian menghela napas di depan lift yang tertutup sempurna. Entah kenapa tiba-tiba saja mataku terasa memanas, mengingat bahwa aku tahu bahwa aku baru saja terluka dengan apa yang Rio lakukan.

...

Alifya, kamu ini kenapa!? Tentu saja Rio meninggalkanmu, kamu berlari sangat lambat sementara sampai sekarang kalian belum tahu bagaimana keadaan Mama Riani. Dasar egois!

Aku benar-benar menangis sekarang, aku merasa sangat bodoh ketika masih saja memikirkan diri sendiri di keadaan seperti ini. Aku refleks mengusap kedua mataku yang basah ketika pintu lift yang lain terbuka. Aku menggeser tubuhku dua langkah ke kanan dan masuk ke dalam kotak besi itu, menekan lantai kamar VVIP Mama Riani dan kembali merenung.

"Tadi aku liat Dokter Febri bawa defibrilator ke VVIP, katanya sih buat kamar yang pasien dari HCU itu lho, Kak. Hepatoma stadium terminal."

"Oh, yang mau nikahin anaknya bukan?"

Aku mengernyit. Defibrilator? Nikahin anak?

Kedua orang yang berdiri di belakang punggungku dengan jas putih khas dokter itu kembali bersuara. Dan aku masih tetap terdiam sambil menajamkan pendengaran.

"Iya, yang itu. Kasihan deh, mungkin dia udah ada feeling kali, makanya nikahan anaknya jadi di VVIP, padahal harusnya dia masih di HCU."

TING! Bunyi lift membuatku mendongak dan dengan setengah berlari, aku meninggalkan kedua dokter yang sepertinya menggosipkan tentang Mama. Orang menikah di rumah sakit memangnya ada berapa banyak? Jadi kemungkinan besar itu memang Mama.

Aku jadi sangat cemas ketika ingat apa itu defibrilator, aku pernah melihat alat itu dan mendengar namanya dari salah satu drama Korea yang Alyssa tonton. Itu alat pengejut untuk mengembalikan detak jantung pasien, kurang lebih begitu.

Karena berlari sambil memikirkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi, aku sampai lupa kalau sekarang sedang pakai platform shoes dan....

"Aduh!" Aku dan orang yang kutabrak sama-sama mengerang, tapi melihat aku yang sedang sangat terburu-buru membuat orang tersebut memakluminya dan berjalan kembali. Tepat saat aku akan berdiri, aku merasakan ngilu di pergelangan kaki kananku.

"Nice! Harus banget keseleo sekarang nih?" kataku yang berusaha tidak memaki. Terpaksa, dengan sedikit mendesis menahan sakit, aku melepaskan kedua sepatu dan berjalan tanpa alas kaki sepanjang koridor yang sepi.

Setelah berbelok, barulah keramaian nampak terlihat di depan pintu kamar VVIP Mama Riani. Kak Ian orang pertama yang menyadari kehadiranku, berjalan terpincang dengan tangan kiri berpegangan pada pegangan besi yang menempel di dinding koridor.

"Fy?" Kak Ian bertanya heran setelah berhenti tepat di depanku, namun kemudian aku mendengarnya mendesis dengan nama Rio yang keluar dari bibirnya. Tiba-tiba Kak Ian berjongkok di depanku sambil berkata, "Naik, Fy. Nanti kakimu bisa bengkak kalau dipaksa jalan."

Tanpa bersuara, aku langsung melingkarkan tanganku ke leher Kak Ian dan dia menggendongku di punggungnya, lalu berjalan mendekati kerumunan. Ibu yang pertama melihatku, kemudian Ayah dan Om Adit. Mereka semua bertanya tanpa suara dengan alis yang merengut.

"Nggak apa-apa kok, cuma terkilir kayaknya," kataku menjelaskan. Tiga detik setelahnya, dua orang dokter laki-laki keluar dari kamar rawat Mama dengan wajah tertunduk.

"Kita semua sudah tahu kemungkinan terburuk−"

Rio langsung melewati kedua dokter tadi. Diikuti dengan Ray di belakangnya.

Aku melotot melihat hal itu dan membisikkan pertanyaanku pada Kak Ian yang masih enggan menurunkanku dari punggungnya.

"Kak, Mama... kenapa?" bisikku.

"Sesak napas, dan tadi detak jantungnya tiba-tiba aja nol, Fy," jawab Kak Ian masih dengan suara tenangnya.

"Tim medis sudah melakukan yang terbaik, namun Tuhan berkehendak lain. Maafkan kami." Kedua dokter tadi membungkukkan diri dan berlalu. Aku yang paham betul apa maksudnya langsung berontak di punggung Kak Ian, meminta agar dia menurunkanku segera.

Namun Kak Ian justru masih terdiam ketika Ayah, Ibu dan Om Adit sudah masuk ke dalam ruang rawat Mama.

"Kakak, turunin Ify!" bentakku tak sabar melihat Kak Ian yang seperti membatu. Bisu, tuli dan tidak bergerak sama sekali. "Kak!" seruku lagi dengan air yang sudah meluncur bebas dari kedua kelopak mata.

"Dengar, Fy. Jangan menangis di depan Rio," katanya dengan suara memberat.

Aku tahu, tapi....

"Sesusah apa pun, jangan menangis. Kalau kamu menangis, gimana dengan perasaan Rio? Dia baru aja kehilangan wanita paling berharga dalam hidupnya, dan dia lihat perempuan lain yang juga sama berharganya menangis di depan dia. Jadi Kakak mohon, jangan menangis di depan Rio."

Aku mengusap hidung dan kedua mataku dengan tangan kiri, aku mengangguk sekilas sebelum menjawab, "Turunin Ify sekarang, Kak."

Kak Ian tidak menurunkanku begitu saja, dia membawaku masuk terlebih dahulu ke dalam ruang VVIP Mama dan mendapati Rio yang naik ke atas ranjang, sedang melakukan RJP pada tubuh Mama yang sudah menutup mata. Ray berdiri di belakang tubuh Rio sambil menangis kencang, Om Adit berulang kali meminta Rio untuk berhenti, namun Rio seolah kesetanan dan terus menekan dada Mamanya dengan kedua tangan.

Aku turun dari punggung Kak Ian dan berjalan terseok-seok ke arahnya. Melingkarkan kedua tanganku di pinggang Rio dan mendekatkan bibirku di sebelah telinga kirinya, sambil menahan suaraku menjadi isakan.

"Udah, Yo, udah... kamu nyakitin Mama kalau kamu begini."

Rio menghentikan gerakannya untuk menekan dada Mama Riani, wajah bersih Mama terlihat memucat dengan mata yang terpejam. Jika bukan karena pernyataan dokter, aku pasti mengira Mama hanya sedang beristirahat, nyatanya, Mama beristirahat untuk selamanya.

"Ikhlasin Mama, Yo. Aku mohon, Mama pasti sedih banget kalau lihat kamu begini."

Aku berhasil membawa tubuh Rio turun dari ranjang rawat dan membiarkan tubuhnya terduduk lemas di depan kakiku. Aku tahu Kakak melarangku untuk menangis, tapi aku tidak bisa menahan tangisku. Semua orang di sini menangis dan bagaimana aku bisa berpura-pura baik-baik saja? Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menenangkan Rio di saat aku sendiri masih sangat terpukul dengan semua ini. Aku memutuskan untuk tetap berdiri di depan Rio yang terduduk dengan wajah yang tertutup kedua tangannya.

Ma, kenapa Mama pergi di hari yang sama ketika Rio berhasil mewujudkan impian Mama? Kenapa Mama harus pergi di hari pernikahan kami? Aku mengusap kembali kedua mataku yang basah dan menarik napas panjang. Aku mendekatkan bibirku ke pipi Mama yang semakin memucat.

"Alifya sayang sama Mama. Semoga Mama dapat tempat terbaik di surga Allah." Lalu aku bergegas mencium pipi kanan Mama sebelum air mata itu kembali menyeruak.

***

Pemakaman sudah selesai pagi ini, jenazah Mama sempat menginap di rumah sakit selama semalam karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan untuk pemakaman di malam hari. Sejak proses memandikan, mengkafani dan pemakaman, aku hanya terduduk di ranjang sepanjang pagi mengingat kakiku yang rupanya benar-benar terkilir.

Kak Ian dan Rio mengingatkan agar aku tetap berada di kamar sampai semua tamu pulang, begitu mengetahui bahwa ada banyak orang kampus yang datang untuk mengucapkan belasungkawa. Aku merasa jadi istri yang tidak berguna, selain tidak bisa membantu apa-apa, aku juga tidak berdiri di samping Rio ketika dia terpuruk seperti ini.

Aku mendesah bosan dan mengedarkan pandangan ke seluruh kamar Rio. Kamarnya tidak seluas kamarku, namun terkesan hangat dengan rak buku cokelat yang berdiri kokoh mengapit kepala ranjang king size. Dengan wallpaper dinding berwarna cokelat khas kayu. Hanya ada lemari yang berhadapan dengan meja belajar yang terdapat sebuah bingkai foto di atasnya. Gambar Rio tengah mengenakan jas berwarna putih, jas dokter. Tengah merangkul adiknya yang mengenakan jas hitam yang kebesaran.

Bibirku melengkung kecil ketika menyadari makna foto itu. Ray bermimpi untuk menjadi seorang direktur, mungkin. Dan menjadi dokter adalah mimpi Rio, meski itu bertentangan dengan kemauan Papanya yang sudah meninggal lebih dulu.

Aku menghela napas lagi, merasa sesak tiba-tiba menyerang hatiku ketika tahu bahwa Rio kembali ditinggalkan, sementara aku menjadi satu-satunya perempuan yang tersisa dalam kehidupannya.

"Belajar masak, belajar rapi-rapi, belajar... huft..." Aku menggembungkan pipi ketika kata akuntansi nyaris keluar dari mulutku. Kenapa akuntansi yang terlintas sih di kepalaku? Menyebalkan sekali!

Cklek! Suara pintu yang terbuka membuat lamunanku buyar. Aku tersenyum kecil ketika mendapati Rio-lah yang masuk ke dalam kamar dengan kemeja hitamnya, serta lingkar berwarna serupa di bawah kedua matanya.

"Kamu udah makan?"

Rio menjawabku dengan gelengan kepala, dia mendekatiku dan duduk di sebelah kiriku sambil memejamkan matanya. Aku tahu, dia pasti mengantuk dan sangat lelah. Semalam, Rio dan Om Adit juga Ayah memutuskan untuk mengurus semuanya, pemakaman yang sudah dipersiapkan tadi malam harus tertunda ketika hujan deras tiba-tiba saja turun, seolah mengerti bahwa kami semua tengah berduka di hari pernikahanku dan Rio.

Kak Ian diutus untuk mengantar Ibu dan aku pulang, aku awalnya tidak bisa tidur sesampainya di rumah, namun mengingat bahwa aku bisa ambruk kapan saja jika tidak tidur. Aku pun terlelap dan terbangun tepat pukul enam pagi, kemudian langsung bergegas ke rumah Rio dengan taksi, tentunya bersama Ibu dengan pakaian kami yang juga berwarna hitam.

"Kamu pasti capek, tidur aja dulu," kataku lagi ketika Rio tak bersuara sama sekali. Rio masih bergeming, aku sangat bingung dibuatnya. Dia tidak mau bicara, tidak juga makan, namun tidur pun enggan.

"Semuanya, udah pulang?" tanyaku kembali mencoba memancing Rio untuk bersuara.

"Hampir," katanya pelan, nyaris seperti berbisik.

"Kamu mau makan apa, atau butuh apa? Aku siapin," ujarku setengah memaksa. Dia harus makan, harus! Ayah bilang Rio dan Ray tidak mengonsumsi apa pun sejak semalam, namun pagi ini Ray meminum segelas susu sebelum berangkat ke pemakaman.

"Aku butuh Mama, Fy."

Ya Tuhan. Aku harus jawab apa ini?

"Aku... aku kira Mama bakalan lebih semangat melawan penyakitnya kalau aku wujudin satu impiannya. Tapi... tapi Mama malah...." Rio menarik napasnya pelan, meski setitik air itu tetap menetes dari mata kirinya.

Aku tidak sanggup menjawab ucapan Rio, aku takut suaraku justru akan berubah jadi isak tangis di depannya yang sedang rapuh. Kemarin aku sudah menangis sesenggukkan di depan jenazah Mama saat masih di kamar VVIP. Tapi, tidak kali ini. Aku tidak akan menangis di depan Rio yang sangat terluka. Aku akan menjadi gadis yang kuat, sehebat ketika aku mengenakan dobok dan menendang lawan untuk memenangkan pertandingan. Sehebat itu pulalah aku akan menahan tangisku dan menenangkan pria yang kini menjadi suamiku.

Aku memutuskan untuk mengulurkan tangan dan merengkuh kepala Rio ke dalam pelukanku. Aku mengelus perlahan puncak kepala Rio, membiarkan tangisnya semakin pecah meski tanpa suara.

"Mama udah baik-baik aja. Mama udah nggak ngerasa sakit lagi sekarang. Mama pasti mau, kamu terus hidup dan perjuangin semua cita-cita kamu, Yo. Aku akan ada selamanya di samping kamu. Aku akan ada buat kamu. Kita akan terus sama-sama sampe semua impian kita jadi nyata."

Aku tersenyum kecil saat mengeluarkan kata-kata itu dengan lancar, tanpa terisak, tanpa keraguan. Seolah-olah aku menjadi kuat ketika mengingat perjuangan Mama Riani yang melawan penyakitnya hingga akhir. Hingga akhirnya Tuhan memberikan takdir yang pastinya lebih baik untuk makhluk ciptaan-Nya.

"Jangan tinggalin aku, Fy. Aku mohon," bisiknya perlahan membuat napasku tertahan. "Aku cuma punya kamu sekarang, jadi jangan tinggalin aku." Aku menggigit bibir bawahku dan menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering mendengar Rio yang memohon dengan suara yang begitu berat.

Aku di sini Rio, untuk kamu, untuk selamanya.

Tak lama kemudian, aku merasa kepala Rio memberat dengan napas yang teratur. Sepertinya, dia jatuh tertidur di dalam pelukanku kali ini.

.
.
.
To be continue

Kebaca kan ceritanya? Sampe ketemu bersambung? Soalnya ada temenku yang ceritanya berhasil dipost, tapi cuma setengah.

Tinggalkan jejak kalian ya. Komen dan vote (Bintang). Jadi aku tahu kurangku di mana, dan aku bisa makin semangat juga lanjutin ceritanya.

Eh ini masih dengan niatan bikin TCSW jadi RomCom lho, cuma kan, hidup ga melulu lucu ya, jadi, harus balance antara bahagia dan sedihnya.

Sampai ketemu lagi di part berikutnya!

190118

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro