RENA - RETROspection

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



"Sekarang, rencana lo apa?"

Gue sama Satya lagi di Warung Malang, nggak tahu juga kenapa dia ngajak ketemuan di sini. Sejak ketemu Satya di RETRO sama Joddi pas tribute night itu, gue belum ngobrol panjang lebar sama dia. Gue sebenernya pengen cerita ke Satya soal Joddi, karena gue tahu, Satya pasti udah mikir yang macem-macem ngeliat gue sama Joddi. The truth is, gue memang pengen cerita ke Satya semuanya. Not that Lukas thing anymore. Tapi pas gue mau ketemu Satya begitu dia selesai tampil malam itu, Satya bilang kalau dia mau langsung pulang karena capek. Dari ekspresi mukanya, gue tahu something happened. Butuh hampir tiga minggu sebelum akhirnya Satya minta kami ketemuan dan cerita semuanya. Gue antara kaget dan nggak.

"Aku masih nggak tahu harus gimana, Rena. Udah hampir tiga minggu tapi aku masih ... kaget."

"Pokoknya, jangan bilang ke gue kalau cuma gara-gara itu lo mau berhenti dari RETRO."

Satya nyeruput jus jambu merahnya sebelum menggeleng. "Gaji di RETRO jauh lebih besar dari kafe atau restoran manapun. Tapi hubunganku sama Pak Stefan jadi canggung banget. Pak Stefan mungkin nggak pernah nyangka kalau aku tahu dia ... just like me. Dia bahkan mungkin nggak mau seorang pun tahu. Aku nggak mau dia berpikir kalau aku itu homofobik atau semacamnya. I just ... don't know what to do."

Gue ngehela napas. Gue nggak pernah ada di posisi Satya, jadi sekuat apa pun gue berusaha buat ngerti posisi Satya, gue tetep nggak bisa. Ini masalah yang lumayan rumit. Terlalu banyak kemungkinan. Dan karena gue nggak kenal sama si Stefan ini, gue juga nggak bisa ngeraba kemungkinan-kemungkinannya.

"Sat, udah lebih dua minggu kan sejak malam itu?" Satya mengangguk. "Kalau menurut gue, Stefan ini justru nggak keberatan lo tahu tentang rahasia dia. Kalau dia keberatan, dia pasti udah manggil lo ke ruangan dia dan mungkin aja, dia bakal mecat lo dengan alasan yang dibuat-buat. But he didn't! Bahkan dia bilang mau ngejelasin semuanya ke lo. Mungkin dia cuman ngasih lo waktu karena tahu lo pasti kaget. Sometimes, people do that. Instead of giving explanation right away, they wait. Gue rasa, Stefan ini memang cuma nunggu lo tenang."

Satya natap gue dengan pandangan kosong. No expression. Gue juga nggak tahu kenapa dia mandang gue kayak gitu. Mungkin Satya lagi mikirin kalimat yang baru gue bilang.

"Do you think so?"

"Ya nggak tahu, Sat. Tapi, alasan apa lagi coba yang masuk akal kalau bukan apa yang gue bilang tadi? Atau, kalau lo mau denger alasan yang jauh lebih absurd, mungkin nggak absurd juga sih, tapi alasan yang bakal bikin lo kaget, mungkin aja bos lo itu suka sama lo."

"Kamu ngaco, Rena!"

"Coba denger dan analisa kalimat gue ini. Oke, gue ngerti alasan dia nyimpen rahasianya di sini, with our close-minded people and everything, fine. Yang nggak gue ngerti, satu, lo bilang sendiri kalau gaji di RETRO jauh lebih gede dari kafe atau restoran mana pun di Bali. Itu bisa berarti kalau lo memang jago banget dan dia ngehargain bakat lo, atau dia memang punya rasa sama lo. Lagian, ada jarak beberapa bulan kan sejak lo kerja di sana sampai bos lo nawarin buat jadi full time di RETRO? Dua, dia ngejar lo sampai ke sisi panggung dan bilang mau ngejelasin semuanya. Buat apa dia ngelakuin itu kalau bukan karena dia suka sama lo? Dia pasti nggak mau lo berpikiran yang macem-macem atau lo salah persepsi soal dia sama Jake. Dia itu bos lo, Sat! Ngapain coba dia sampai segitunya kalau dia nggak ada rasa sama lo?"

Gue liat Satya cuma diem. Analisa gue bener kan? Menurut gue, aneh aja seorang bos janji ngejelasin sesuatu sama bawahannya. Dari itu aja udah nggak make sense banget. Satya musti tahu kemungkinan kalau bosnya itu ada rasa sama dia. Kalau bukan gue, siapa lagi yang bisa bilang ke Satya? Gue bukannya bisa mengaruhin Satya buat ngambil keputusan ya, tapi he always listens to me. Paling nggak, ucapan gue tadi itu bakal bikin Satya tahu, ada kemungkinan yang sebelumnya nggak dia pikirin.

"Terdengar terlalu absurd, Rena."

See? Gue tahu dia bakal bilang begitu. Pengen rasanya noyor kepalanya berkali-kali pake stiletto Jimmy Choos gue. Siapa tahu dengan itu, letak otaknya bisa gue benerin. Ini nih Satya yang gue nggak suka. Dia nggak mau ngeliat kemungkinan yang sebenernya ada. Gue sadar, bakal butuh waktu buat ngeyakinin dia tentang hal ini, kalau memang dugaan gue bener.

"Gue tahu lo bakal bilang kayak gitu. Tapi lo coba pikirin deh kalimat gue, bener-bener lo pikirin. Paling nggak, lo nggak bakal kaget kalau nanti, apa yang gue omongin jadi kenyataan, karena lo udah gue kasih tahu."

Gue ngeliat Satya cuma ngangguk. Gue yakin, itu karena dia sendiri nggak tahu sama apa yang mau dia bilang. Kalau gue bisa, pengen rasanya bikin dugaan gue itu jadi kenyataan. Stefan looks like a very nice guy and he's so mature. Patrick kind of guy. Tapi gue berharap Stefan nggak bajingan kayak si Patrick. Satya butuh cowok kayak Stefan. Yang paling gue pengen adalah Satya bisa ngelupain Lukas. Gue masih dan akan terus ngerasa bersalah, tapi paling nggak, kalau Satya punya cowok, kebohongan gue bakal dibales sama cowok yang lebih baik dari Lukas. Apalagi kalau Lukas juga udah punya pasangan.

"Kamu gimana sama Joddi?"

Sigh....

"Maksud lo gimana itu apa?"

"Rena...."

Kalau Satya udah ngasih gue tatapan kayak gitu, berarti dia lagi nggak mood buat basa-basi busuk. He needs my explanation about Joddi and how we ended up at RETRO that night. Satya pasti pengen tahu ceritanya.

"Gue sama dia baik-baik aja. Belum ada status apa-apa. Lo tahu sendiri gue paling males LDR-an. Joddi masih di Jakarta dan gue masih di sini. Gue nggak mau balik Jakarta dan Joddi juga belum bisa pindah ke sini. Daripada ribet dengan status yang macem-macem, gue sama Joddi masih have fun aja."

"He adores you."

Kali ini, gue naikin alis sambil natap Satya. Did I misheard his last words?

"Maksud lo?"

"Aku belum kenal jauh sama Joddi, tapi dari apa yang aku lihat pas kalian ke RETRO, the way he looked at you ... mungkin memang dia berniat buat serius atau mungkin karena perasaanku aja yang udah desperate pengen lihat kamu punya pacar lagi."

"Lo itu ya?" balas gue sambil ketawa, yang ternyata bikin Satya ketawa juga.

"Seriously Rena, Joddi kelihatan kayak cowok baik-baik. Aku nggak bilang kalau cowok-cowok kamu sebelumnya nggak baik, tapi aku bisa ngerasain kalau Joddi itu bukan tipe player. Aku bisa aja salah. Aku nggak akan kaget kalau one day, kalian akan jadi pasangan. Entah pacaran atau malah jadi suami istri."

"Sat, lo kalau mau ngaco, jangan bawa-bawa gue kenapa? Ucapan lo itu bukan cuma ngawur tapi ngelantur pakai banget banget. Lo kan tahu sendiri gue masih belum mikirin nikah. I still want to have fun. Simpen aja deh pikiran lo tentang gue sama Joddi jadi suami istri."

Satya ketawa lagi.

"Tapi, kamu tertarik kan sama dia?"

"Who doesn't? Kalau soal fisik, dia memang keren. Lo tapi juga tahu cowok keren kebanyakan kayak gimana. Either player, sex maniac, mata keranjang, brengsek, atau gay. Gue kenal Joddi baru beberapa bulan dan sering ketemu juga nggak. Cuma kadang telepon, BBM-an dan kalau dia ke Bali, disempetin ketemuan, meski juga nggak nemenin dia seharian. Kalau lo bilang gue tertarik sama fisik dia, itu bener. Tapi kalau buat attach perasaan gue ke dia..." Gue menggeleng. "Belum dulu, Sat."

"Kamu sampai kapan mau ngejomblo, Rena?"

"Lo tuh seharusnya nanya diri lo sendiri pertanyaan itu."

Kami berdua saling pandang dan nggak lama kemudian, gue sama Satya ketawa bareng. Rumit ya kalau udah ngomongin hati? Gue nggak yakin Satya bakal tetep bisa ketawa kayak gini kalau tahu gue udah bohongin dia soal Lukas. Kadang gue berpikir apa yang bakal Lukas atau Satya lakuin kalau mereka tahu gue bohongin mereka. Will they hate me? Will they forgive me?

Gue orang yang percaya kalau time heals everything. Nggak cuma patah hati dan kecewa, tapi juga cinta. Paling nggak, dalam kasus Satya sama Lukas ini. Semakin lama gue nyimpen ini dari mereka, gue yakin, perasaan mereka bakal makin berkurang or completely gone. Dan saat itu tiba, gue yakin kalau gue jujur, mereka akan ketawa dan nanya balik kenapa gue ngelakuin itu. Things will be different. It won't be a big deal for them anymore. Kenapa? Karena itu akan jadi masa lalu dan mereka udah punya masa depan. Kenapa harus ngeributin hal yang udah kejadian?

Pikiran semacam itu yang bikin gue tetep nyimpen rahasia ini sampai entah kapan. Gue sendiri juga nggak tahu.

"Balik yuk, Sat? Temenin gue beli baju."

"Buat apaan lagi sih Rena? Baju kamu itu udah se-lemari penuh, belum cukup juga?"

Cowok ya, kalau disuruh nemenin cewek belanja, nggak pacar nggak temen, sekalipun temen itu gay, tetep ngeluh kalau cewek itu udah punya banyak baju. Hellowww? Yang namanya cewek, itu nggak pernah cukup kalau urusan baju.

"Udah, ikut aja. Lo itu pacar nggak, suruh nemenin belanja aja masih bilang baju gue udah banyak. Selama masih ada cewek di dunia ini Satya, yang namanya baju se-gudang pun itu nggak pernah cukup."

"Ya ya ya ya. Mau ke mana?"

"Ke Seminyak aja. Animale sama Bamboo Blonde lagi ada diskon, terus ntar sunset-an di La Plancha. Parkir di Seminyak Square aja, kita jalan."

"Ya udah."

Satya langsung bangkit dari hadapan gue dan jalan ke kasir. Sementara itu, gue mikirin lagi obrolan gue sama Satya tadi. Tentang Stefan, tentang Joddi, dan gimana kalau semuanya itu jadi kenyataan, bukan cuman obrolan dan dugaan gue sama Satya.

Would we look at this time in the future and laugh about it?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro