SATYA - STEFAN'S INVITATION

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


November 2011...


"Terima kasih sudah mau datang, Satya."

Aku hanya mengangguk sambil berusaha bersikap tenang dan wajar. Dua hal yang tidak bisa aku lakukan sejak melangkah masuk ke vila Pak Stefan. Bahkan jauh sebelum itu. Tiga hari lalu, begitu selesai tampil di RETRO, Pak Stefan memintaku untuk ke kantornya dan di sana, dia mengundangku datang ke vilanya Minggu ini. Aku tidak menjanjikan bisa memenuhi undangan itu dan Pak Stefan memahaminya.

But ... here I am.

Sudah sebulan berlalu sejak kejadian yang membuatku bingung harus bersikap seperti apa. Satu bulan yang membuatku merasa begitu canggung di hadapan Pak Stefan. Aku memang sempat berpikir untuk berhenti dari RETRO, meski aku bilang ke Rena tidak akan berhenti. Semuanya masih membuatku bingung. Ketika mendapatkan undangan ini, aku langsung menghubungi Rena dan seperti biasa, dia langsung memintaku untuk mengiyakannya.

"Sudah sebulan Pak, dan saya tidak mau hubungan kita jadi semakin canggung di RETRO. Bagaimana pun juga, Pak Stefan atasan saya dan saya bekerja di RETRO. Saya yang harusnya minta maaf, karena tanpa sengaja mendengar obrolan Pak Stefan sampai Bapak merasa berutang penjelasan ke saya. Saya minta maaf untuk sikap saya selama sebulan ini."

Aku sudah menyiapkan kalimat itu dan melatihnya, berharap memiliki keberanian untuk mengutarakannya. Ketika akhirnya kalimat itu terucap, Pak Stefan hanya menatapku dan mengangguk, sebelum tersenyum. Seolah dia sudah menduganya. Meraih cangkir teh yang sudah terabaikan selama lebih dari lima belas menit, aku menyeruputnya. Hanya sebagai pengalih agar aku tidak perlu menatap Pak Stefan dan menduga apa yang sedang dipikirkan atasanku itu.

"Kamu berhak bersikap seperti itu, Satya. Kalau ada di posisi kamu, saya mungkin sudah berhenti dari RETRO. Saya bersyukur karena kamu tidak melakukannya. Terima kasih untuk tetap di RETRO."

Aku mengangguk. "Saya memang punya pikiran untuk keluar, Pak. Tapi akan sangat tidak adil dan kekanak-kanakan kalau saya keluar dari RETRO karena apa yang saya dengar. Pekerjaan saya dan apa yang saya dengar adalah dua hal yang berbeda, yang tidak seharusnya saya campur adukkan."

Kami saling bertatapan sebelum Pak Stefan menghela napas panjang. This could be the moment I've been waiting for.

"Saya memang seorang homoseksual, Satya. Jake adalah mantan tunangan saya. Kami memang berencana untuk menikah, tetapi dua bulan sebelum hari H, saya melihat Jake bersama pria lain. Mantan pacarnya. Salah satu sahabat menguatkan cerita saya ketika dia juga melihat Jake bersama pria yang sama ketika dia di Antwerp. Jake akhirnya mengakui, dia kembali menjalin hubungan dengan mantan pacarnya enam bulan setelah kami bertunangan. Kembali ke Indonesia dan RETRO adalah cara saya untuk sembuh dari luka itu. Saya juga tidak menyangka kalau Jake ada di Bali dan datang ke RETRO. Apa yang kamu dengar adalah apa yang selalu dia katakan ke saya. Kalau dia masih mencintai saya dan meminta kesempatan kedua. Saya yakin, kamu pasti akan mengatakan hal yang sama kalau kamu mengalami apa yang saya alami."

Aku kembali membasahi tenggorokanku dengan teh yang sudah mulai dingin. Siapa yang menyangka Pak Stefan mengalami apa yang aku alami dulu bersama Patrick? Apakah ini sebuah kebetulan atau memang takdir, dengan parodinya, membiarkan aku dan Pak Stefan berbagi kenyataan yang sama?

"Apakah cincin yang Pak Stefan pakai itu...."

Pak Stefan segera menggeleng. "Bukan. Bagaimana mungkin saya masih mengenakan cincin dari pria yang sudah mengkhianati saya?"

Betapa bodohnya aku menanyakan pertanyaan seperti itu. Aku tidak melihat cincin itu di jari Pak Stefan sekarang. Mungkin Pak Stefan memang tidak memakainya kalau sedang di rumah.

"Maafkan saya sudah bertanya seperti itu, Pak."

"Tidak apa-apa, Satya. Wajar kalau kamu bertanya seperti itu."

Kembali, aku hanya bisa tersenyum tipis.

"Saya takut kalau kamu orang yang homophobia, seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya. Ada ketakutan dari saya kalau suatu saat, ketika saya kembali ke Indonesia, orang akan mengetahui hal itu. Sejauh ini memang belum ada yang tahu selain kamu. Beberapa teman dekat yang sudah puluhan tahun mengenal saya, mereka tidak pernah keberatan dengan orientasi saya. Boleh saya bilang, kalau saya beruntung kamu yang tahu hal ini?"

"Saya aktif di traveling community, Pak. Bisa dibilang, hal seperti itu bukanlah hal yang baru buat saya. Gay atau bukan, selama orang itu bahagia dengan hidup mereka dan tidak mengganggu orang lain, kenapa saya harus takut dan menghindarinya?"

Karena saya juga seorang homoseskual, Pak.

Ingin rasanya mengucapkan kalimat itu agar Pak Stefan tahu, tidak mungkin aku seorang homofobik. Namun aku hanya diam. Apa pentingnya Pak Stefan tahu aku gay atau tidak? Lebih baik seperti ini. Aku juga belum melupakan perasaanku terhadap Lukas.

"Saya tidak salah menilai kamu, Satya. Kamu pria baik."

"Saya hanya berusaha menghapus kecanggungan di antara kita, Pak. Tidak ada yang lebih membuat saya gusar selain sikap saya sebulan ini. Saya lega Pak Stefan tidak memecat saya."

"Saya tidak akan melakukannya, Satya. Kamu aset berharga RETRO. Saya tidak sedangkal itu."

"Terima kasih, Pak."

"Semuanya sudah jelas kan?"

Aku mengangguk.

"Kamu keberatan kalau saya tunjukkan koleksi piringan hitam saya, Satya?"

Pertanyaan Pak Stefan itu membuyarkan pikiranku. Aku kemudian tersenyum tipis. Tidak menduga topik percakapan kami yang berubah haluan.

"Boleh, Pak. Saya sudah jatuh cinta dengan lagu-lagu lama dan setiap hari, selalu mencari referensi."

"Mari, Satya." Pak Stefan bangkit dari sofa sebelum aku mengikutinya.

Kami meninggalkan taman belakang, tempat kami menghabiskan waktu selama hampir satu jam ini. Vila yang disewa Pak Stefan ini memang luas, selain karena hanya Pak Stefan yang tinggal di sini. Taman belakang langsung berhadapan dengan kolam renang dan dua pohon besar yang berada di pojok, membuat taman belakang ini semakin rindang. Kami berjalan melewati dapur, ruang makan, dan bar—yang memang terpisah dari bangunan utama—yang dihubungkan dengan pergola. Begitu sampai ke teras belakang, ada pintu kaca yang langsung menuju ke ruang tengah dan menyambung ke ruang tamu. Ada satu kamar di lantai dasar dan kami menuju ke sana.

"Ini ruang koleksi saya, Satya. Semua benda peninggalan dari kakek sampai Papa, ada di sini." Pak Stefan memberitahuku begitu kami memasuki ruangan besar yang sepertinya merupakan kamar, tetapi diubah Pak Stefan menjadi ruang koleksi.

"Saya tidak berani membayangkan ada berapa banyak lagi koleksi kuno yang Pak Stefan punya."

Ruang ini dilapisi wallpaper cokelat kayu dengan berbagai bingkai menghiasi dindingnya. Aku melihat beberapa foto keluarga, tetapi ada beberapa foto musisi legendaris dipasang disana. Lagi-lagi foto The Everly Brothers dan Nat King Cole, ada gramofon yang berdiri di dekat rak yang berisi puluhan, bahkan mungkin ratusan piringan hitam. Beberapa benda yang aku lihat benar-benar membuatku serasa kembali ke masa lalu. Ada cermin berukuran cukup besar yang penuh dengan ukiran dan satu grandfather clock yang mengambil porsi ruangan ini. Pak Stefan tidak menutupi lantai kayu yang ada dengan karpet, menambah kesan kuno pada ruang koleksi ini. Aku bahkan sempat melihat beberapa artikel yang dibingkai, yang dari warna kusamnya, pasti berasal dari koran atau majalah lama.

"Kamu mau dengar apa, Satya? Koleksi piringan hitam saya memang nggak begitu lengkap, karena ada banyak yang masih saya tinggal di Belanda dan sebagian saya taruh di RETRO. Tapi masih banyak juga yang saya simpan di sini. Kamu mau dengar Vera Lynn?"

"Apa saja, Pak, saya yakin pasti suka," jawabku sambil menatap Pak Stefan yang tersenyum mendengar jawabanku.

Aku mengamati satu persatu foto yang ada di meja yang letaknya tidak jauh dari grandfather clock. Ada begitu banyak foto hitam putih dan aku hanya menemukan beberapa foto berwarna. Pak Stefan memang menarik. Aku tidak bilang tampan, karena kata itu hanya bisa menjelaskan kondisi fisik seseorang. Pak Stefan menarik. Aku melihat salah satu foto Pak Stefan bersama satu pasangan yang sudah cukup berumur.

"Itu orang tua saya, Satya. Diambil sewaktu ulang tahun saya yang ke-27. Salah satu momen terbaik dalam hidup saya."

Di foto itu, Pak Stefan tertawa sementara kedua lengannya merangkul seorang kedua orang tuanya. Pak Stefan jelas mewarisi fisik sang ayah. Meski sudah tidak muda, sisa-sisa ketampanan beliau masih terlihat. Dengan rambut putih dan sepasang mata biru keruh, Pak Stefan jelas mewarisi garis wajah sang ayah. Ibu Pak Stefan juga sangat cantik. Dengan perawakan perempuan Indonesia pada umumnya, wajah oval, rambut sebahu yang digerai, senyum yang sangat kharismatik, sangat tidak mengherankan kalau mereka memiliki putra seperti Pak Stefan.

"Ini adik perempuan dan laki-laki saya, Satya. Mereka tinggal di Toronto dan Lyon sekarang. Sudah berkali-kali saya mengundang mereka untuk datang ke Bali, tapi mereka masih belum punya waktu."

Aku hanya mengangguk melihat dua foto yang ditunjukkan Pak Stefan. Adik-adik Pak Stefan sama menariknya. Meski harus aku akui, adik laki-laki Pak Stefan jauh lebih tampan daripada Pak Stefan. Mereka lebih terlihat seperti orang Kaukasia pada umumnya daripada Pak Stefan, yang masih terlihat kalau dia memiliki daraj Indonesia.

"Apa adik-adik Pak Stefan juga memiliki hobi yang sama? Mengoleksi barang-barang tua dan menyukai musik-musik lama?"

Ada tawa keluar dari Pak Stefan. "Hanya saya, Satya. Mereka selalu mengolok saya karena sejak kecil, kakek dan nenek selalu memutar lagu-lagu lama sebagai pengantar tidur. Itu foto mereka, Satya. Lalu, itu foto Papa dan Mama sewaktu muda."

Intro sebuah lagu yang belum pernah aku dengar, langsung mengisi ruangan ini. Pak Stefan menatapku, ketika aku hanya diam.

"Ada apa, Satya?"

"Melodi lagu ini mengingatkan saya dengan musik zaman Perang Dunia II, Pak."

"Vera Lynn memang sangat populer ketika Perang Dunia II berlangsung, paling tidak bagi tentara Inggris. Ini salah satu koleksi saya yang paling berharga."

Aku mengangguk. Pak Stefan kemudian menceritakan setiap benda yang ada di ruangan ini, bagaimana kakeknya dulu suka mengoleksi artikel-artikel dari koran tentang musik dan menurun ke papanya. Setiap cerita yang aku dengar, membuatku semakin mengenal pribadi Pak Stefan, meski tidak sekalipun kami membahasnya. Dari cerita-cerita tentang keluarganya, aku semakin kagum dengan Pak Stefan yang begitu menyayangi dan menghargai sejarah keluarganya, sekalipun hanya benda-benda kecil seperti artikel-artikel koran itu. Beberapa kali, aku mengamati Pak Stefan ketika sedang bercerita dan rasa kagum itu menjadi semakin besar. Tidak banyak pria seperti Pak Stefan tersisa di dunia ini.

"Saya harap kamu tidak bosan mendengar cerita saya, Satya," ucap Pak Stefan ketika menceritakan tentang bagaimana kakek dan nenek Pak Stefan bertemu.

"Saya justru senang mendengar cerita Pak Stefan dan saya sangat kagum dengan Pak Stefan yang begitu menjaga dan menghargai sejarah keluarga."

Pak Stefan tersenyum. "Dari dulu, saya memang tertarik dengan sejarah, Satya. Menjaga dan merawat benda-benda ini membuat saya bahagia."

Kami kemudian duduk di sofa yang terletak tepat di samping gramofon, sementara Vera Lynn masih mengalunkan lagu yang tidak aku tahu judulnya. Suasana di ruangan ini begitu hangat. Mungkin karena semua benda-benda yang mengisi tempat ini serta cinta yang dimiliki Pak Stefan untuk sejarah keluarganya, yang membuat ruang ini memiliki atmosfer yang berbeda.

"Terima kasih untuk cerita-ceritanya, Pak Stefan. Ruangan ini benar-benar indah dan hangat."

"Kamu tahu, Satya? Dari tamu-tamu yang pernah ke sini, mereka tidak pernah bisa ada di ruangan ini lebih dari lima menit. Kamu orang pertama yang bisa bertahan di sini lebih dari setengah jam dengan cerita-cerita saya. Orang lain mungkin akan mati bosan. Saya jarang menunjukkan ruangan ini ke setiap tamu yang datang, karena tahu mereka akan bosan."

Aku menatap Pak Stefan dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana mungkin orang tidak tertarik dengan ruangan ini?

"Saya merasa terhormat."

Pak Stefan tertawa. "You're different, Satya. Kamu dipersilakan datang ke sini kapan pun kamu mau. Pintu rumah saya akan selalu terbuka untuk kamu. Ruangan ini selalu jadi tempat saya merenung. My mood booster."

Tawaran yang baru aku dengar membuatku tertegun. Apakah Pak Stefan berpikir aku akan dengan mudah datang ke sini tanpa mengingat fakta, kami tetaplah atasan dan bawahan? Sekalipun ingin, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi tanpa undangan dari Pak Stefan.

"Saya akan ingat itu, Pak."

Pak Stefan menepuk lututku dan sentuhan singkat itu, membuatku menahan napas.

"Kamu ada rencana apa, Satya? Keberatan kalau kamu tinggal untuk makan malam?"


***

Medianya adalah lagu klasik, yanga slinya dinyanyiin sama Edith Piaf, Hymne L'Amour. Ini versi Inggris-nya dinyanyiin sama Vera Lynn

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro