RENA - STAY WITH ME

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Gue kangen Lukas.

Nggak tahu kenapa, tiba-tiba pengen banget ngobrol sama dia. Biasanya, kalau gue liat Lukas online di Skype, gue langsung sign out. Kenapa? Karena sekalipun udah lama Lukas ninggalin Bali dan gue berusaha buat nggak terlalu sering chatting atau e-mail dia, tetep aja kalau gue ngobrol langsung, perasaan bersalah itu muncul lagi. Terakhir kali gue video call sama Lukas kira-kira lebih dari sebulan lalu. Itu pun cuma sebentar.

Tapi pas ngeliat status Lukas online sekarang, gue kangen liat his million dollar smile. Rasanya baru kali ini gue kangen banget sama Lukas.

Gue baru aja nyapa Lukas dan tiba-tiba pintu kamar gue diketuk.

"Ck, siapa sih ah?"

Gue sebenernya males buat beranjak dari tempat tidur buat bukain pintu. Apalagi di luar lagi ujan deres banget. Kalau nggak liat status Lukas tadi, gue pasti udah molor. Yang jelas sih bukan Satya. Kalau Satya, dia pasti ngasih tahu kalau mau main ke kos. Pas buka pintu, gue bener-bener nggak nyangka siapa yang lagi berdiri di depan gue.

"Lo ngapain ke sini malem-malem, Jod? Ujan-ujan pula."

Gue nggak bisa nyembunyiin senyum karena ngeliat Joddi dateng malem-malem sambil bawa sebuket mawar. A bitch like me still have a heart, tahu! Dan gue memang paling suka dibawain bunga. I never told anyone, though. At least, bukan cowok yang lagi pedekate atau nge-date sama gue. Rasa-rasanya, Joddi bukan dua-duanya.

"To see my beautiful princess," ucap Joddi sambil nyodorin buket mawar itu. "Hujan badai pun akan aku tempuh."

"Gombalan lo basi!" balas gue sambil nyambar buket mawar itu, tapi gue nggak bisa nyembunyiin senyum denger jawaban Joddi. Such a silly guy. "Lo itu sama jelangkung nggak ada bedanya ya? Dateng nggak bilang-bilang."

"Tapi, aku bilang kan kalau mau pulang?"

"Beneran deh, Jod. Lo ngapain ke sini malem-malem? Gue nggak tahu lo lagi di Bali."

"Can I come in, Rena?"

"Jawab dulu pertanyaan gue, baru gue biarin lo masuk."

Gue sebenernya nahan senyum liat Joddi yang rambutnya basah dan gue yakin, dia pasti kedinginan. Kemeja hitam sama jeans dia juga agak basah. Lagian, siapa yang suruh malem-malem, ujan-ujan pula dateng ke kosan gue? Tapi gue pengen tahu kenapa dia ke sini. Sebenernya kalau boleh jujur, Joddi ini udah mulai keliatan maksudnya sejak dia dateng tiba-tiba sebulan lalu dan mau aja gue ajak ngeliat performance Satya. Tapi gue nggak mau ge-er duluan, well sebenernya juga nggak perlu ge-er sih. Gue bukan baru kemarin kenal cowok. Udah tahu Joddi mau ke mana sama perhatian-perhatian dia ke gue.

"Karena aku pengen ketemu kamu. Nggak ada yang salah kan? And I can't wait until tomorrow."

"Kenapa lo nggak bisa nunggu sampai besok?"

"Aku nggak harus jawab seratus pertanyaan kamu sebelum ngebiarin aku masuk kan?"

Gue masih ngulum senyum pas gue balikin badan dan ngebiarin Joddi masuk. Gue langsung ngambil handuk bersih dari lemari dan ngeletakkin buket itu di atas meja. Pas gue mau nyodorin handuk itu ke Joddi, dia udah ngelepas kemeja dan sekarang cuman pakai daleman putih. Semoga dia nggak lepas celana juga. Bukannya gue nggak nyiapin kondom sih, tapi gue lagi nggak mood buat ngapa-ngapain, apalagi having sex sama cowok. Not in the mood at all.

"Lo mau gue bikinin kopi atau teh?"

"Nggak usah, Rena. Aku ke sini bukan buat minum kopi atau teh tapi pengen ngomong sama kamu."

Kali ini gue beneran mati langkah. Gue masih berdiri di depan dia sambil ngamatin Joddi yang lagi ngeringin rambut dan lengan dia. Tiba-tiba, gue takut banget sama apa yang baru gue denger.

Not now, please.

"Lo mau ngomong apa?"

"Tenang aja Rena, aku nggak akan minta kamu buat jadi istriku."

Gue spontan langsung ngulurin tangan buat nyubit pinggang Joddi. Cowok ini bukan jenis cowok lucu yang suka ngelempar lelucon atau semacamnya. Cuma kalau dia udah mulai, bisa bikin gue geregetan, yang ujung-ujungnya, bakal bikin gue ketawa. Dan kalau gue udah geregetan, satu-satunya yang gue lakuin adalah nyubit.

"Aww! Sakit tahu!"

"Makanya kalau ngomong jangan ngawur."

Joddi ketawa sementara gue masih berusaha nyembunyiin ketakutan gue sama kalimat Joddi sebelumnya. Istri? Gue tahu sih, Joddi suka sama gue, tapi dari sekian puluh cowok yang pernah jalan sama gue, nggak ada satu pun dari mereka yang pernah nyebut kata istri, sekalipun buat becandaan. Nah, apalagi gue lagi nggak jalan sama Joddi. Makanya gue jadi makin bingung sama Joddi malam ini. Datang tiba-tiba, terus kalimat-kalimat yang dia bilang. Bikin gue takut.

"Okay, enough. Let's get down to the business. Kamu bisa kan dengerin aku tanpa harus nyela?"

Kali ini, Joddi natap gue dan dari beberapa kali ketemu sama dia, gue tahu kalau dia memang serius sama apa yang mau dia bilang. Gue pernah sekali becandain dia pas dia natap gue kayak gini dan hasilnya? Mood dia jadi ilang dan gue dicuekin sampai besoknya. So, I know that this time, I really have to pay attention to whatever he's going to say.

"Oke."

"Rena, kamu mungkin bukan tipe cewek yang suka dibatasi sama sebuah hubungan. We talked about that before. Dan apa yang kita jalani beberapa bulan ini, simply for fun, no strings attached. Tapi beberapa minggu terakhir, aku sadar nggak bisa kayak gini terus. I want us to be more than just having fun. Aku rasa, kamu pasti tahu kalau aku suka sama kamu. Dan aku ke sini malam ini, karena aku pengen tahu jawaban kamu. Would you like to have a serious relationship with me, Rena? A committed one?"

Gue natap Joddi dengan tatapan nggak percaya. Gue kira, Joddi bakal bilang those crap words to flatter me. But, he didn't. Dan jujur, gue kaget sama pertanyaan dia. Belum pernah ada cowok yang nembak gue dengan pertanyaan kayak gitu. Bahkan, gue nggak pernah ditanya apa gue mau jadi cewek mereka atau nggak. Apalagi buat punya hubungan yang serius. Gue jelas kaget dan gue yakin, Joddi bisa ngeliat itu dari ekspresi wajah gue.

"Aku bilang sekarang karena besok, aku harus ke LA buat beberapa bulan. Ada hal yang harus aku kerjakan di sana. Aku sengaja terbang ke Bali malam ini buat kamu karena aku nggak akan bisa tidur kalau nanya pertanyaan itu lewat telepon. Aku pengen lihat ekspresi kamu, jawaban kamu. Apa pun itu, paling nggak, aku akan tenang buat terbang ke LA besok."

Gue cuma bisa nelen ludah denger kalimat Joddi. Dia terbang ke sini malam ini cuma buat nanyain gue pertanyaan itu? Pertanyaan yang bahkan gue nggak nyangka bakal gue dapet, gimana juga bisa gue ngasih jawabannya?

"Gue ... nggak tahu musti jawab apa, Jod. Gue nggak nyangka lo bakal nanya itu ke gue."

"Aku cuma pengen hubungan kita punya status, Rena. It drives me crazy every time I remember what we have is just for fun, though I agreed with it. Aku nggak tahu gimana kisah cinta kamu yang terakhir, karena kamu nggak pernah cerita. Tapi kalau kamu takut buat mulai sebuah hubungan lagi, a serious one, please don't. Aku nggak bisa janjiin kamu apa-apa, tapi aku akan berusaha nepatin apa pun yang aku bilang. I always keep my words."

Kalau cowok lain yang bilang kalimat kayak gitu, gue tanpa mikir panjang, pasti langsung bilang kalau cowok itu bullshit banget. Tapi nggak tahu kenapa, kalimat itu jadi punya efek yang beda keluar dari mulut Joddi. Gue nggak ragu kalau dia serius sama apa yang dia bilang. Yang gue nggak yakin, adalah apa yang harus gue bilang buat nanggepin omongan Joddi. Kalau gue nerima Joddi sekarang, itu sama aja gue bohong sama diri gue sendiri dan ke Joddi juga. Gue masih punya perasaan ke Lukas. Gue nggak yakin seberapa kuat perasaan gue ke Lukas sekarang. Tapi ngeliat Joddi yang terbang ke Bali cuma buat gue dan apa yang baru gue denger dari dia, nunjukkin kalau dia serius. Nggak main-main. Lagipula, harapan gue ke Lukas juga cuma harapan kosong kan?

"Joddi, jujur selama ini, nggak ada cowok yang minta itu dari gue, punya hubungan serius. Gue nggak tahu gimana perasaan gue ke lo sejujurnya. Sure, I like you. You're such a nice guy. Tapi gue nggak yakin sama perasaan gue sendiri. Gue nggak mau jadiin lo pelampiasan atau pelarian karena apa yang gue alamin terakhir kali. Nggak bakal adil juga buat lo kalau gue nerima lo murni karena gue kasihan atau karena lo udah rela terbang ke sini buat bilang itu ke gue. Kalau lo mau nunggu, give me time to think about it."

Joddi natap gue dan gue bener-bener nggak tahu apa yang ada di pikiran dia sekarang. Paling nggak, gue udah jujur ke dia tentang apa yang gue rasain. Gue rasa, itu yang perlu Joddi tahu buat saat ini.

Tanpa gue duga, Joddi ngulurin lengannya buat ngeraih tangan gue. He squeezed my hands. I let him do that, because to be honest, it feels really good having a man squeezing my hands like that.

"Aku tahu kamu pasti butuh waktu, Rena. Aku anggap itu jawaban dari kamu. And that's enough for me. I'll wait, Rena. Just let me know when you're ready with whatever answer you have." Joddi kemudian ngasih gue senyumnya. "Thank you."

Gue lagi-lagi nggak bisa ngomong. Gue biasanya nggak terbawa suasana kayak gini. I always find something to say to break the ice. Why? Simply because I don't want to get carried away by my own feeling. The other side of Rena that I've never let any man see. But this time, I surrender to my own feeling.

"I should go," ucap Joddi sebelum dia ngelepasin genggaman dia, tapi gue tahan.

Joddi natap gue kaget. Mungkin dia nggak nyangka kalau gue bakal ngelakuin itu. But, I did. Gue tiba-tiba ngerasa kalau gue butuh Joddi sekarang. I can't let him go.

"I can't let you go, Joddi. Not yet."

Gue natap Joddi dan tanpa gue sadarin, tubuh gue jadi makin deket ke Joddi. I ran my hands along his muscular arm before they rested on the back of his neck. Gue cuma bisa mejamin mata gue ketika lengan Joddi narik tubuh gue makin deket dan bibir kami ketemu.

I kissed him before to prove whether he's gay or not. But this time, I don't want to prove anything. Even when I heard the sound of my Skype, means that probably Lukas finally reply my message, but I ignored it. I simply let Joddi kissed me deeper. When our lips parted, we stared at each other and I really want to let him know what's crossing my mind right now.

"Gue pengen lo tinggal disini malam ini, Joddi. Stay with me."


***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro