RENA & SATYA - THE MONTHS AFTER

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



Mid December 2011...

Aku hampir tidak memercayai penglihatanku ketika sosok Patrick berjalan ke arahku. Sesi pertama penampilanku di RETRO baru saja selesai.

"Satya, apa kabar?"

Pertanyaan itu meluncur dari Patrick, bahkan sebelum aku berhasil melangkah untuk menghindarinya.

"I'm fine, thanks," jawabku singkat.

"Patrick? Is that you?"

Suara Pak Stefan yang terlihat terkejut ketika menyebut nama Patrick, membuatku kelu dan perasaan tidak enak langsung menyelinap dalam diriku. What is this?

Mataku masih terpaku ke Patrick, yang sepertinya juga terkejut dengan kehadiran Pak Stefan.

"Stefan? What are you doing here?"

"This is what I told you, when I asked whether you're still in Bali or not," jawab Pak Stefan. "I own this café. How come you didn't tell me you're coming to Bali?"

"Saya permisi dulu, Pak."

"Tunggu Satya. Patrick, please let me introduce you to our best asset, Satya."

Patrick, yang seperti menunggu saat ini, hanya memberikan senyumnya dan aku kenal betul, apa arti senyuman itu.

"We've known each other, Stefan. Really well."

Sekarang, aku benar-benar merasa gusar. Life, what are you trying to tell me?






January 2012...

"Joddi, gue pengen ngomong sesuatu ke lo."

"Yes?"

Gue natap wajah Joddi yang keliatan agak lelah. Dia udah siap-siap mau dinner dan sejak malam itu, hubungan gue sama Joddi bisa dibilang makin deket meski gue belum bilang apa pun soal pertanyaan dia waktu itu. But, with our intense communication after the night we slept together and with him being in LA, I know that it's just a matter of time before I can tell him about the answer. Joddi nggak pernah nyinggung soal itu tapi gue yakin, dia nggak lupa.

"Lo kapan balik ke Indo?"

"Buat sekarang masih belum tahu, Rena. Bisa bulan depan atau tiga bulan lagi. It really depends on how things are going here."

Gue cuma bisa ngangguk. Joddi ke LA karena dia ada proyek buat ngebangun rumah salah satu public figure yang gue nggak tahu dan nggak peduli siapa. As an architect, he was quite well known in the architect industry. Gue tahu itu dari Google, karena Joddi nggak pernah cerita how good he is at his job. Anyway, beside the point, he still doesn't know when the project will be finished.

"I'm ready to have a serious relationship with you. A committed one."

Gue tahu, Joddi pasti kaget denger ucapan gue. Tapi gue udah yakin sama apa yang gue bilang. Perlahan, gue udah bisa ngelupain Lukas, karena Joddi ngisi hari-hari gue dan he always does things to make me laugh or simply to impress me. And that's enough to keep Lukas away from my mind.

"Rena? Kamu yakin?"

Meskipun Joddi seperti kaget, gue bisa ngeliat kalau dia juga nggak bisa nyembunyiin perasaan dia yang sesungguhnya.

Gue cuma ngangguk. "100%"

"Now, I have a reason to go home," ucap Joddi sambil senyum. "Thank you Rena, for bringing the best news today."




February 28,2012...

"Satya ... thank you very much!"

Ucapan itu keluar dari mulut Lukas ketika aku menghubunginya melalui Skype untuk mengucapkan selamat ulang tahun. I can't believe a year ago, Lukas was still here in Bali. And after months, that feeling still lingered. Melihatnya lagi dengan sweater dan rambutnya yang dibiarkan agak panjang, membuat hatiku kembali berdesir.

"You look awful, Lukas! Get a haircut!"

Lukas hanya tergelak sambil memberiku his megawatt smile. Betapa aku sangat merindukan senyuman itu. Setelah satu tahun sejak perasaanku ke Lukas berkembang, aku masih sering salah tingkah setiap kali melihat wajah dan ekspresinya.

"I miss Bali, Satya. It's so cold here! I believe the weather is perfect in Bali right now."

"It's raining actually this morning, but it's just stopped. How are you?"

"I'm good! I just ... miss Bali ... you and Rena and surfing."

Aku sempat terdiam mendengar Lukas menyebut namaku terlebih dulu. Mungkin itu tidak berarti apa pun, tapi aku sempat tidak mampu bernapas begitu menyadarinya.

"How's your job searching?"

Aku melihat Lukas hanya menggeleng. "Still looking, Satya. I need a good job with good salary so I can come back to Bali. Soon!"

Aku tersenyum melihat semangat Lukas yang begitu ingin segera kembali ke Bali. Andai saja aku bisa mengatakan kepadanya betapa rasa itu masih ada.

"Let me sing for you as your birthday gift," ucapku sambil meraih gitar yang memang aku siapkan untuk momen ini. "Kamu mau dengar lagu apa, Lukas? Siapkan lebih dari satu, in case I don't know the song."

Aku melihat Lukas menggaruk dagunya sambil menatapku. Aku yakin, apa pun lagu yang diminta Lukas nanti, pasti akan jadi lagu favoritku.

Lukas kemudian tersenyum. "Play The Man Who Can't Be Moved, Satya. Will you?"

Aku terdiam. Terkejut dengan permintaan lagu dari Lukas. Kenapa harus lagu itu, Lukas? Namun, aku kemudian tersenyum.

"Baiklah, I'll sing that song for you."


March 2012...

"I miss you, Rena. So much!"

"Iya, gue tahu, lo udah bilang itu ribuan kali sejak gue jemput lo di bandara."

Joddi cuma ketawa.

Proyek dia di LA memang belum kelar, tapi dia sengaja ngambil off buat seminggu buat balik ke Indonesia. Keluarganya pun nggak tahu kalau dia pulang ke Indonesia. He simply went home to see me. Dan pas gue tahu itu, pengen rasanya gue marah ke Joddi, but he said things that kept my mouth shut.

We're lying on my bed right now. Setelah lama ngejomblo, dan sekarang ada Joddi, gue sadar kalau gue nggak bisa jauh dari Joddi. Gue pegang tubuh Joddi erat banget. Lying my head on his chest and listening to his heart beat. Crap! Kenapa gue jadi mellow begini?

"Gue nggak percaya bakal bilang ini, Jod, tapi bakal berat buat ngelepasin lo kali ini. Now, that we're officially in relationship."

"Rena, aku mau nanya sesuatu sama kamu."

"Mau nanya apa lagi?" Gue natap Joddi yang kayaknya lagi murah senyum. "Kayaknya, setiap lo ke sini dan setiap lo mau pergi, lo wajib ya nanya ke gue?"

Joddi ketawa. "This time, I need your answer as soon as possible."

Lagi-lagi, kalau Joddi udah masang tampang kayak gitu, gue nggak bisa sembarangan becandain dia. Kali ini apa?

"Ask me."

"Will you be my wife and the mother of my children?"




April 2012...

"Rena! Kamu serius?"

Aku merasa sangat wajar bersikap kaget seperti itu. Kenapa? Karena Rena baru saja memberitahuku kalau dia menerima lamaran Joddi. Seorang Rena akhirnya terikat dengan seorang pria untuk sesuatu yang serius! Aku yakin, banyak orang akan terkejut jika mengetahui ini.

"Iye! Gue serius mau kawin sama Joddi jadi lo please stop bersikap sok histeris gitu." Rena dengan santainya mengucapkan kalimat itu.

Aku segera mengulurkan lengan dan memberikan senyum paling lebar yang aku miliki. Rena, yang sedari tadi seperti terlihat tidak bersemangat menceritakan pertunangannya dengan Joddi, langsung tersenyum lebar dan menyambut uluran tanganku.

"Thank you, Satya. Gue baru ngasih tahu lo. Gue sendiri nggak percaya kalau gue nerima lamaran Joddi," ucap Rena begitu kami berpelukan.

Mengenal Rena yang begitu bebas dan susah terikat dengan seorang pria, pertunangan ini adalah langkah besar dalam hidupnya. Aku hanya berharap, pernikahan mereka segera dilaksanakan sebelum Rena berubah pikiran.

"Kapan nikahnya?" tanyaku begitu kami melepaskan pelukan.

"Masih tahun depan. Joddi nggak mau buru-buru dan kami masih mikirin banyak hal. Mau tinggal di mana, dan tetek bengeknya. Lo harus jadi pengisi acara kawinan gue. Gue nggak peduli kalau Presiden Amerika Serikat ngundang lo ke White House dan ngebayar lo ribuan dolar, lo tetep harus ngisi kawinan gue."

Aku tertawa mendengar ucapan Rena yang berlebihan itu. "Iya, aku dengan sukarela mau jadi pengisi nikahan kamu. Sahabat macam apa kalau aku sampai nggak datang apalagi nolak jadi pengisi acara?"

"Gue pegang kata-kata lo, Sat. Awas kalau lo sampai ingkar."

"Iya, janji."

Kami saling bertatapan. Sekalipun masih terselip sedikit keraguan akan keinginan Rena untuk menikah, aku tidak bisa memungkiri bahwa Rena mencintai Joddi. Mengenal Rena, dia jelas tidak mau menunjukkan sisi itu ke banyak orang kalau dia cinta setengah mati dengan Joddi. I'm so happy for her.

"Kalian pasti bakal jadi pasangan paling bahagia. I can't wait for your wedding day!"

"Lo mau janji sama gue, Sat?"

"Apa?"

"Tetep jadi sahabat gue meski gue udah nikah."

Aku menatap Rena dengan tatapan heran. Apakah dia berpikir, hanya karena dia sudah menikah, aku akan berubah? Rena salah kalau mengira aku akan menjauh darinya meskipun dia sudah menjadi milik Joddi.

"Nggak usah khawatir. Asalkan Joddi nggak cemburu aku gangguin kamu buat curhat."

"Jangankan sama lo, sama cowok straight yang jelas-jelas flirting sama gue aja dia nggak cemburu, apalagi sama lo yang jelas-jelas nggak doyan cewek. Tapi, awas ya kalau misalnya Joddi minta lo jadi detektif dia buat ngawasin gue supaya nggak macem-macem."

Aku tertawa. "I will always be on your side, Rena."

Kami saling bertatapan dan aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku mendengar kabar ini. God! How many times have I said that?

"Aku bahagia akhirnya kamu nemuin pria yang sweep off your feet, Rena. You've found your Mr. Right."

"Sat, you'll find your Mr. Right, too. Soon. Trust me."

Aku hanya menghela napas. "We'll see."


May 2012...

"Lo lagi nggak becandain gue kan Sat?"

Kali ini, gue beneran kaget denger berita dari Satya. Udah lebih dari sebulan gue cerita soal pertunangan gue sama Joddi dan dalam kurun waktu itu, gue nggak denger kabar apa pun dari Satya. Wajar kalau gue kaget ketika tiba-tiba Satya bilang kalau si Stefan ngomong ke dia, kalau dia pengen Satya lebih dari cowok yang cuma kerja buat dia. Istilah anak muda, Stefan nembak Satya.

Satya cuma menggeleng. Gue masih nggak tahu kenapa wajah dia malah murung begitu. Dia harusnya seneng dong, ada yang perhatiin dia.

"Aku belum kasih jawaban ke Pak Stefan. Aku bilang butuh waktu buat mencerna semuanya."

Kali ini, gue beneran pengen noyor Satya. I wish I had my Christian Louboutin's stilettos right now. Ini anak kenapa sih otaknya?

"Dan kenapa lo jawab begitu? Jangan sampai lo bilang masih mikirin Lukas atau gue bakal getokin kepala lo, nggak cuma pake hak stiletto, tapi pake godam. What is wrong with you?"

Satya cuma diem. So, this is still about Lukas.

"Sat, gue bilangin ke lo ya, meski gue udah males banget sebenernya, karena lo itu kepalanya lebih keras dari batu. Lukas is straight. LUKAS IS STRAIGHT!" gue sengaja agak ninggiin suara gue buat kalimat terakhir. "Lo tahu artinya itu apa. Perlu, gue nyari kamus Webster-Miriam atau nyeret lo ke psikolog sekalian, buat nyari arti kata straight? Biar lo itu inget, perasaan lo itu jalan di tempat. For how long? Udah setahun lebih, Sat! By all means, kalau lo mau nyiksa diri sampai tua dan nyesel karena nelantarin cowok kayak Stefan, buat sesuatu yang LO tahu pasti, nggak akan berubah."

Satya masih diem.

"Lo pernah bilang ke gue, kalau lo pengen punya hubungan yang bener sama cowok, setelah Patrick sialan itu ninggalin lo buat balik sama mantannya. Terus lo jatuh cinta sama Lukas, yang lo sama gue tahu, nggak akan pernah bisa bales perasaan lo. Sekarang ada Stefan, cowok yang nyodorin hatinya ke lo, tanpa lo minta, tanpa lo harus kejar-kejar, tanpa lo usaha. Dan lo masih mikirin perasaan lo ke Lukas? WAKE UP! Lo nggak bisa terus-terusan hidup dalam mimpi. Lukas is a dream, Stefan is the real thing. Sekarang terserah lo deh Sat, gue udah nggak akan ngomentarin apa-apa lagi. Hidup lo sendiri yang ngejalanin. Asal lo tahu aja, gue mau lo bahagia, karena sekarang gue bahagia udah ketemu Joddi. Tapi kalau lo mau desperate seumur hidup, itu pilihan lo. Pikir baik-baik ucapan gue, kalau lo masih nganggep gue sahabat lo."

Gue nggak bisa duduk di depan Satya, dan gue langsung berdiri dan ninggalin dia sendirian. Selama kami sahabatan, nggak pernah yang namanya gue ninggalin Satya sendirian tiap kali kami ketemuan. Cuma kali ini, gue nggak bisa duduk di sana dan denger dia masih cerita soal perasaannya ke Lukas. Untuk pertama kalinya, gue bisa bilang, Satya itu manusia paling goblok sedunia!



June 29, 2012...

"Saya senang kamu memilih untuk merayakan ulang tahun kamu sama saya."

Sudah tiga minggu status hubungan kami berubah. Sejak bertemu dengan Rena dan diceramahi panjang lebar, aku tidak bisa menyangkal kalau selama ini, aku memang hidup dalam mimpi. Rena's right. Lukas is a dream, Stefan is real. Perasaanku ke Lukas tidak akan pernah berbalas. Selamanya. And life, must eventually go on. Aku tidak bisa terus-terusan bergantung pada sesuatu yang tidak mungkin jadi kenyataan. Dan mengevaluasi perasaanku ke Lukas, adalah hal paling melegakan yang pernah aku lakukan. Sekarang aku bisa benar-benar melepasnya sebagai sesuatu yang tak teraih dan melanjutkan hidup, dengan membuka hatiku untuk Stefan. Pria berjarak 12 tahun dariku itu, berhasil membuka hatiku lebih lebar setiap hari, dengan kepercayaan serta kasih sayangnya.

Aku hanya tersenyum, tetapi tidak terbawa nostalgia, bahwa setahun lalu Lukas meninggalkan Indonesia. Satu tahun....

"Thank you for taking me to Metis, though you didn't really have to."

Kami memang makan malam di Metis tadi dan harus aku akui, it was a wonderful dinner. Setelah itu, kami memutuskan untuk kembali ke vila dan duduk di sofa di ruang koleksi, tempat favorit kami. Stefan memutar piringan hitam milik The Platters, yang sedang mengalunkan Smoke Gets In Your Eyes.

Stefan tersenyum. "Kita bisa pergi ke sana kapan saja, Satya, tidak harus menunggu kamu ulang tahun. Kamu hanya perlu minta."

"Aku nggak percaya kita udah jalan dua minggu."

"Dua minggu itu ... masih sangat baru, Satya. Tetapi saya bersyukur, ada yang bisa saya beri perhatian lebih selain RETRO."

Kami saling bertatapan. Kami memang duduk bersisian, bahkan lengan kami bersentuhan. Namun hanya itu. Kami bahkan belum melakukan apa yang setiap pasangan lakukan sejak kami menjadi pasangan. Aku tidak tahu apakah ini hanya terjadi dengan aku dan Stefan, atau ada pasangan lain yang seperti kami di luar sana.

"Kadang, aku ngerasa bersalah karena nggak bisa kasih kamu apa-apa."

Stefan mengulurkan lengannya dan membelai pipiku. "Satya, kamu sudah memberi saya sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan materi. Buat saya, itu cukup."

"Termasuk, kenapa kita belum melakukannya?"

Tidak perlu aku jelaskan, Stefan sudah memahami maksud pertanyaanku.

"Apakah itu penting? Buat saya, iya. Tapi apakah itu yang paling penting? Buat saya, tidak. Ketika waktunya tepat, semua akan terjadi, Satya. Saya tidak akan memaksanya dari kamu. Tidak akan pernah."




July 2012...

"Lo mau gue ikut lo ke LA?"

Joddi menggeleng. "It's just an idea, Rena. Aku juga belum mengiyakan tawaran-tawaran yang ada. Kalau aku nggak mikirin kamu, aku pasti udah ngambil tawaran itu. They pay big check. Tapi gimana mungkin aku jauhan sama kamu sementara hubungan kita udah terikat?"

Gue cuma ngehela napas. Gue nggak pernah ngebayangin kalau harus pindah ke luar negeri. Not that is a bad idea, tapi gue masih belum bisa jauh dari semua yang gue punya di sini. Lagipula, gue sama Joddi juga belum nentuin tanggal pernikahan. Dia masih lumayan bolak-balik LA-Bali karena ada beberapa proyek tambahan yang Joddi ambil tanpa harus terikat tinggal di LA dalam waktu tertentu.

"Lo mau kita nikah cepet?"

Joddi menggeleng. "Nggak dalam waktu dekat ini, Rena. Terlalu banyak yang harus aku kerjain. Kamu udah nggak sabar ya jadi istriku?"

Gue langsung ngelempar bantal ke muka Joddi yang langsung ketawa. Belum puas, gue juga nyubitin pinggang Joddi dan gelitikin dia.

"Ampuuuuun!"

Doing this kind of thing, always makes me miss Joddi when he's away. Setiap kali ke Bali, Joddi selalu nginep di tempat gue dan sekalipun nggak pernah terlintas kalau gue bakal ngejalanin ini semua, I love seeing Joddi around. I can safely say that I love him. Really love him.


August 2012...


"Sat, lo udah nggak mikirin Lukas lagi kan?"

Pertanyaan itu meluncur dari Rena ketika kami sedang menikmati kue di Bali Bakery. Rena menuntut untuk ketemu ketika aku memberitahunya kalau aku sudah tinggal serumah dengan Stefan.

Aku memang sudah menyiapkan diri untuk mendengar pertanyaan ini dari Rena. Cepat atau lambat, dia pasti ingin tahu bagaimana perasaanku ke Lukas setelah menjalin hubungan dengan Stefan, apalagi pindah ke vilanya.

"Sometimes. Tapi Stefan selalu tahu cara buat ngalihin pikiranku, meski dia nggak tahu. Kalau kamu tanya soal perasaan, aku udah nggak nyimpen itu lagi. Akan nggak adil buat Stefan kalau aku tidur seranjang sama dia, sementara hatiku masih melanglang buana ke Jerman. That just doesn't feel right."

"Akhirnya otak lo bener juga, padahal gue udah pake Jimmy Choos buat getok kepala lo, kali-kali lo bilang masih nyimpen perasaan ke Lukas. This is the relationship you've been looking for, Satya. Don't take it for granted, please?"

Aku mengangguk. Yang Rena tidak tahu, sudah dua minggu aku melepas gelang yang dulu diberikan Lukas. Aku memasukkannya ke kotak, dan menyimpannya di antara tumpukan barang-barang lain yang sudah jarang aku pakai. Bukan aku ingin melupakan Lukas, tapi tidak adil bagi Stefan jika aku sudah bersamanya, tetapi masih mengenakan sesuatu dari pria Jerman yang sempat menguasai hatiku.

Perasaanku ke Lukas tidak mungkin sepenuhnya hilang. Hanya saja, saat ini Stefan yang punya hak untuk menempati sebagian besar ruangan di hatiku. Lukas harus puas berada di pojok dan menyaksikan Stefan, yang semakin hari, semakin mengambil alih ruangan itu sedikit demi sedikit.

"Undang gue dan Joddi, kapan-kapan dinner di vila Stefan ya? Lo bilang dia bisa masak, jadi gue mau dia yang masak."

"Tamu yang sungguh nggak sopan!"

Kami berdua tertawa. Ada keyakinan, semuanya akan semakin mudah untuk meninggalkan Lukas dari pembicaraan kami setelah ini.

September 2012...

"Gue rasa, bukan lo yang beruntung, tapi cowok itu yang beruntung ngedapetin lo, Lukas."

Lukas cuma ngasih gue his million dollar smile, yang sekarang nggak ngefek apa pun ke gue.

We haven't talked for months, let alone see each other through video call. Tapi, entah kenapa, gue tiba-tiba pengen ngobrol sama dia. I told him about Joddi and our engagement. Dan Lukas cerita, kalau dia lagi jalan sama cowok Spanyol dan nunjukkin fotonya ke gue. Gue ngerasa kalau apa yang gue simpen dari Lukas dan Satya, udah nggak ada pengaruhnya sekarang. Mereka udah bahagia sama pilihan mereka masing-masing. Terlepas dari beberapa bulan lalu yang bikin gue marah sama Satya karena dia masih nginget-nginget Lukas sementara Stefan ... Ah, udahlah. Nggak ada gunanya gue nginget-nginget kejadian itu lagi. Yang bikin gue bahagia, they both have moved on. Mereka nggak akan pernah tahu, betapa leganya gue sama itu.

"I do still think, I'm the lucky one for finding him. I'm happy now, Rena."

"Iya, gue bisa liat itu. And I'm extremely happy for you."

"Gimana kabar Satya? Udah lama aku nggak pernah ngobrol lewat Skype lagi sama dia. I hope he's doing fine."

Ternyata, Lukas masih pengen tahu gimana kabar Satya.

"He's doing more than fine, Lukas. Gue bisa ngeyakinin lo, kalau dia juga bahagia sekarang. Masih tetep sibuk. Sekarang dia dapet tawaran banyak banget buat private occasion, dan klien-kliennya juga bukan sembarang orang. He's a well known singer in Bali right now."

"Satya is very good at what he's doing and I'm happy for him, if he's happy with his life."

He's also found someone else, Lukas. A very amazing guy.

"Tell me more about your boyfriend, Lukas! I want to meet him someday when we Skype."

"Tell me first about your engagement!"


October 2012...

"Stefan?"

"Ya?" sahutnya sambil mengalihkan perhatiannya dari iPad dan memandangku.

Aku memang sudah bisa menghilangkan embel-embel di depan nama Stefan dan dia bahkan sempat tertawa ketika akhirnya mendengarku memanggil namanya tanpa sebutan 'kamu' lagi. Sempat ada kecanggungan untuk memanggilnya apa di awal hubungan kami, meski Stefan meyakinkanku untuk memanggilnya Stefan. Mengubah 'Pak Stefan', menjadi 'kamu' sebelum akhirnya menjadi 'Stefan', perlu waktu yang lumayan lama. Sekarang aku mulai nyaman memanggilnya Stefan.

Kami sedang santai di taman belakang, menggelar tikar di bawah pohon dan meletakkan kepalaku di pangkuannya. Aku sibuk mengecek agenda yang penuh minggu depan, dan hanya dua hari kosong dua minggu lagi.

"Aku berpikir buat ambil break bulan depan. Dua minggu cukup. Badanku mulai kerasa capek."

"Kamu mau ke spa?"

Aku menggeleng. "I'm thinking of short vacation. Kalau kamu nggak bisa, aku nggak keberatan liburan sendirian."

"Kamu ingin ke mana?"

"Antara Maluku atau Papua. Aku selalu pengen ke sana."

"Saya bisa meninggalkan RETRO kalau hanya satu minggu, tapi tidak bisa lebih dari itu. Akan ada tribute night untuk Fleetwood Mac dan masih banyak yang harus saya urus."

"Aku tahu. Makanya, aku bilang nggak keberatan pergi sendirian, kalau kamu sibuk. I'll be back 4 days before the tribute night."

"Kita bisa atur lagi nanti ya? Semoga,kamu mengambil liburan ini bukan karena mulai lelah tinggal sama saya."

Aku menggeleng. "Dari mana kamu dapat pikiran itu?"

"Saya takut kehilangan kamu, Satya. Itu saja."

"Kamu harus mulai ngilangin pikiran itu, karena aku nggak ada niat buat pergi dari kamu."

"Saya tahu," ucapnya sambil mendekatkan wajahnya untuk menyatukan bibir kami.




November 2012...

"Kamu keberatan kalau kita nikah bulan Maret?" tanya Joddi pas kami lagi makan malam di Mamasan.

"Orang tua kamu gimana? Kalau aku sih, karena sekarang kamu udah sering di Indonesia, kapan aja nggak masalah. March sounds good to me."

Joddi keliatan kaget denger jawaban gue. "Kok kedengeran nggak antusias gitu? Kamu masih mau nikah sama aku kan?"

"Gue kan nggak mungkin jingkrak-jingkrak kayak orang gila disini, Jod."

"Aku nggak nyangka kamu bakal setenang ini, Rena. Biasanya calon mempelai wanita yang paling ribut dan ribet kalau udah nyangkut masalah nikah."

"Well, sorry to disappoint you Mr. Joddi Spencer."

Joddi cuma bisa ketawa dan ngeliat dia ketawa, bikin gue juga nggak bisa nahan senyum. Who would have thought this thing is happening to me right now?

"Gue boleh nggak, minta satu aja buat nikahan kita?"

"Apa?"

"Can I have Vera Wang dress for our wedding?"

"Aku nggak kenal Vera Wang. Siapa itu?"

"Forget it then."

"Aku beneran nggak tahu siapa itu Vera Wang. Perancang baju pengantin dari Indonesia?"

"I said, forget it, Joddi. Let's just finish our dinner."

Joddi jelas keliatan masih bingung sama permintaan gue. Ya udah. Nggak Vera Wang juga nggak apa-apa. Minta gaun Marchesa aja buat resepsi. Kalau dia tetep nggak tahu, I guess, I should design my own wedding dress.




December 2012...

"Nikahan gue jadinya bulan Maret, Sat. Lo kosongin jadwal lo buat tanggal 16 ya? Pokoknya, gue nggak mau tahu, lo harus dateng dan tampil di nikahan gue. Free of charge. Gue nggak mau nerima alasan apa pun. Lo harus nyanyi."

Aku dan Stefan hanya tertawa ketika kami berempat makan malam di Biku.

"Poor Satya," ucap Joddi. "Aku nggak nyangka calon istriku bisa jadi begitu kejamnya sama sahabatnya sendiri. Nggak usah khawatir, Satya, I'll figure something out behind Rena's back."

Rena segera mencubit pinggang Joddi. "Awas aja kalau alokasi buat Stuart Weitzman-ku dikasih Satya!"

Kami kembali tertawa. Ide makan malam ini memang datang dari Rena. Ketika aku menceritakan ini ke Stefan, dia langsung setuju. So, here we are.

"Kalian berdua memang cocok. Can't wait to see you in your wedding dress, Rena. Dan Joddi, aku nggak akan pernah bosen bilang kalau kamu itu beneran luar biasa bisa bikin Rena sampai mau nikah. Aku sendiri nggak percaya Rena mau nikah."

"Eh, Joddi juga nggak gampang kali buat dapetin gue. Tapi gue memang salut sama keberanian dia," ucap Rena sambil mengelus pipi Joddi.

Stefan berdehem. "Satya, saya berharap bisa menahan diri untuk tidak melakukan itu sekarang."

"Kenapa harus ditahan, Stefan? Aku pikir, nggak akan ada yang peduli juga," sahut Joddi.

"Saya hanya bercanda."

"Stefan, lo nggak mau ngeresmiin hubungan lo sama Satya di Belanda?"

Tubuhku menegang mendengar Rena mengucapkan itu. Aku tidak berani memandang Stefan, karena dia juga pasti terkejut dengan pertanyaan Rena. Semoga Stefan tidak berpikir lebih jauh tentang ini.




January 2013...


"Kenapa kamu belum bilang juga, Rena? Kamu udah nggak nyimpen perasaan itu lagi sama Lukas kan?"

Setelah nyimpen ini sekian lama, gue akhirnya mutusin buat cerita ke Joddi. After all, he's going to be my husband. Gue nggak mau ada rahasia apa pun yang gue masih simpen. Joddi punya hak buat tahu semuanya, termasuk tentang Lukas dan Satya. Gue cuma takut kalau Joddi jadi over reacting. Our wedding is only 2 months away.

"Karena gue masih belum siap buat kehilangan Satya, Jod. He's my best friend. Dan gue masih mau dia dateng ke kawinan gue. Dan soal Lukas, lo nggak usah ngeraguin gue. Perasaan gue ke Lukas udah lama mati."

Gue mandang Joddi, yang keliatan masih nggak percaya sama apa yang baru gue ceritain. Tapi reaksi dia juga bikin gue tenang. Paling nggak, dia nggak bereaksi kayak gue udah selingkuh sama sahabat dia dan mutusin buat nunda pernikahan kami. He's really calm but I know, he has something else in his mind that he hasn't told me yet.

"How could you do that to your best friend, Rena?"

Gue cuma bisa menggeleng. "Gue nggak rela Satya dan Lukas jadian karena gue suka sama Lukas. If you were in my position, you would know how I exactly felt. Gue pengen nurutin ego gue, Jod. And I did. Lo nggak tahu betapa gue ngerasa bersalah begitu tahu kalau perasaan mereka nggak cuma sementara. Gue nunggu, Jod. Gue nunggu sampai mereka nemuin kebahagiaan mereka masing-masing dan gue nunggu, apa yang mereka rasain ilang."

"It's still hard to believe, Rena...."

"Gue tahu gue salah. Tapi gue nggak mau kehilangan Satya dan dia jadi benci ke gue. Gue belum siap. Sekarang mereka udah punya pasangan masing-masing, jadi gue rasa, nggak ada pengaruhnya kalau gue bilang."

Joddi diem. Dari tatapan dia, gue tahu kalau gue ngambil keputusan yang salah baru cerita sekarang. Gue masih nunggu apa yang bakal gue dapet dari Joddi.

"Aku masih mau kita nikah, Rena. You know I love you. Tapi pernikahan itu nggak akan pernah ada sebelum kamu bilang ke Lukas atau Satya tentang ini. You lied to them, Rena. Aku nggak mau ada rahasia di hari pernikahan kita. Either you tell them or we postpone our wedding."

Pengen rasanya gue nangis denger Joddi bilang kayak gitu. Apalagi pas dia pergi gitu aja dari hadapan gue dan gue cuma bisa diem. Gue rasa, ini balesan yang gue dapet karena udah bohong sama Lukas dan Satya. Ini balesan dari Tuhan buat gue....

***

Medianya adalah As Time Goes By, yang pertama kali muncul di film tahun 1943, Casablanca. Berhubung ini udah mau akhir-akhir, sampai di sini dulu ya saya post-nya :)

Happy reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro