SATYA - MY EVENING WITH LUKAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sejak Lukas menjemputku di stasiun, kami tidak terlalu banyak bicara. Percakapan kami seperti terjadi melalui dimensi lain, dimensi yang hanya kami berdua tahu. Kami bertukar senyum dan aku merasakan Lukas berhati-hati dengan apa yang diucapkannya. Aku sendiri bingung bagaimana harus menghadapi ini. Di satu sisi, aku tidak bisa mengingkari kebahagiaan karena bisa bertemu lagi dengan Lukas, bukan sebagai Satya yang selama ini dia kenal, tapi sebagai Satya yang memiliki perasaan untuknya. Namun aku tidak bisa lagi mengabaikan perasaanku terhadap Stefan, yang sekarang mungkin sedang duduk seorang diri dan memikirkan apa yang aku lakukan di sini bersama Lukas.

Pikiran dan hatiku seperti bekerja sama untuk menyiksaku dengan dua hal yang saling bertentangan. Aku sendiri masih mencari tahu mana yang lebih menguasaiku. Keberadaanku bersama Lukas sekarang atau pikiran tentang Stefan.

Lukas memintaku untuk tinggal di apartemen yang baru disewanya dua minggu lalu. Dia tidak peduli dengan keberatan yang aku ajukan.

Kami baru saja pulang makan malam. Ada perasaan terharu ketika sebuah kue ulang tahun dikirim ke meja kami diiringi his megawatt smile. Fakta kalau Lukas masih ingat ulang tahunku-meski masih besok-membuatku ingat kado yang diberikannya padaku.

"Thank you for the dinner and the birthday cake, Lukas."

Lukas menatapku dan mengangguk.

Ingin rasanya mengulurkan tanganku menelusuri rambutnya. Keinginan itu begitu kuat, sehingga aku sering harus mengalihkan pandangan setiap dorongan itu muncul. Menatap mata birunya dan senyum yang masih sama itu, seperti buah terlarang bagiku.

"I still can't believe you're here, Satya. I never thought ... that I would see you again."

Aku memaksakan senyum tipis di wajahku.

"You promised that we will see each other again, didn't you? I just wish ... things were different between us."

Aku berusaha untuk tidak mengucapkan kalimat itu, tapi ada dorongan kuat untuk mengungkapkannya. Mengucapkannya terdengar seperti hubunganku dengan Stefan adalah kesalahan yang tidak seharusnya terjadi, seperti aku tidak menginginkannya. Hubunganku dengan Stefan bukanlah sebuah kesalahan. Aku hanya berharap kami tidak bertemu dalam keadaan seperti ini. Kalau pun takdir menginginkan kami bertemu kembali, akan lebih mudah bagiku untuk mengendalikan perasaan jika melihat Lukas bersama pria lain. Rasa sakitnya tidak akan seberat ini.

"Jangan bilang seperti itu, Satya. If things were different between us, we probably had a relationship back then, but we would've never known how that relationship would turn out. We probably would hate each other when our relationship didn't work. Kebohongan Rena memang membuat kita jadi seperti ini, but maybe that's the way it had to be. And now, you're happy with Stefan."

Aku langsung menatapnya. "You're not a psychic who know exactly what I'm feeling."

Lukas terdiam, sadar bahwa dia berasumsi tentang hal yang sepenuhnya hanya aku yang mengetahuinya.

"You're right, I'm not a psychic."

Lukas seperti ingin mengikutsertakan Stefan sebanyak mungkin dalam percakapan kami. Ini seperti ketika dia dulu menyebut nama Rena setiap kali kami membahas sesuatu. Seperti aku dan Rena harus ada dalam satu kalimat. Kali ini, dia seperti tidak lelah mengingatkanku bahwa aku milik orang lain, milik Stefan. Bahwa perasaan kami tidaklah penting. Lukas seperti menginginkan aku melupakan apa yang sedang kami bicarakan. Dia seperti meminta untuk tidak mengatakan apa yang ada di pikiranku saat ini dengan tatapannya.

But, I did.

"You haven't told me what happened, Lukas."

Menceritakan kembali apa yang menyebabkan Lukas jadi seperti ini, bukanlah sesuatu yang mudah untuknya, aku tahu itu. But I need to know. I want to know. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk menanyakannya.

Melihat Lukas dengan dua tongkat penyangga masih membuat hatiku miris. Bayangan Lukas berjalan menuju ke pantai setiap kali dia selesai surfing dengan menenteng surfboard-nya, tubuh basahnya, serta air laut yang menetes dari rambutnya, membuat tenggorokanku tersekat. Lukas pasti mengalami masa-masa sulit setelah apa pun yang menimpanya. Jika saja Rena bisa menghilangkan perasaan cemburunya, kejadian ini mungkin saja tidak akan pernah terjadi. Kalau memang harus terjadi, aku mungkin bisa menemaninya. Sumpah serapahku rasanya tidak akan pernah habis setiap kali nama Rena menyelinap.

"A ski accident, when I was skiing in Alpen. I don't have to tell you the detail of it, do I?"

Aku hanya mampu menelan ludah. "Apa kata dokter? Kamu akan bisa jalan lagi tanpa bantuan tongkat itu kan?"

Lukas memberiku senyum lebarnya dan mengangguk. "Jangan khawatir Satya, aku akan baik-baik saja. It takes time, but I will be able to walk again without these damn sticks."

Aku kembali memaksakan senyum, meski ada bagian yang ingin memaksanya menceritakan lebih detail apa yang terjadi. But knowing that he will be alright, that's enough for now.

"Stefan loves you very much, Satya. He's an amazing guy."

Ada bagian dariku yang berharap agar Lukas tidak mengatakannya. Mendengarnya dari orang lain mungkin adalah sebuah pujian dan aku akan dengan senang hati menerimanya. Tapi Lukas? Aku merasa ada sayatan yang menggores hatiku. Tidak lebar, tapi cukup untuk membuatku merintih kesakitan.

"He is."

"Kamu mencintainya kan Satya?"

Aku hanya diam. Berharap dia tidak mengajukan pertanyaan itu.

Ekspresi Lukas berubah ketika aku tidak juga mengalihkan tatapanku darinya.

"Satya...."

Aku mengalihkan pandangan dari Lukas ke seisi ruang tamu yang masih sedikit berantakan dengan beberapa benda. Berharap apa yang ada di hadapanku saat ini mampu menghilangkan suara Lukas ketika menanyakan apakah aku mencintai Stefan atau tidak. Sebelum kebohongan Rena terungkap, aku tidak akan ragu menjawab pertanyaan itu. Namun ketika kembali melihat Lukas dan menghabiskan satu hari bersamanya, aku seperti diingatkan kembali betapa kuatnya perasaanku dulu terhadap Lukas, dan harga yang harus kami bayar untuk bisa mengatakan aku mencintainya. Aku masih mencintai Stefan, tetapi melihat Lukas lagi, membuat perasaan yang sudah bersembunyi itu kembali mengintip. Cintaku tidak mungkin terbagi untuk Lukas dan Stefan. Saat ini, sebagian hatiku memilih untuk bersama Lukas dan sebagian lagi, memintaku untuk menelpon Stefan agar dia menjemputku esok.

"He asked me to legalize our relationship."

Entah kenapa aku memberitahukan perihal ini ke Lukas. Mungkin aku berharap melihat Lukas kecewa dan mengatakan sesuatu yang akan membuatku berpikir untuk menolak apa yang Stefan minta dariku.

"That's a good news, Satya! I'm happy for you."

His megawatt smile is trying to deceive me right now. Aku sadar, dia mengucapkan itu untuk menutupi perasaannya yang sesungguhnya.

"I haven't said yes."

Ekspresinya berubah. "Why?"

"Karena Stefan memintaku menjawab lamarannya setelah kita ketemu. Kalau pun aku mengiyakannya, dia ingin itu yang benar-benar aku inginkan. Not because I have to be with him, but because I also want the same thing."

Aku menatap Lukas yang mengalihkan wajahnya dariku, hingga aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.

"Kita sudah bertemu sekarang, nggak ada lagi yang menghalangi kamu mengatakan iya atas lamaran Stefan kan?"

Aku diam.

"Satya," Lukas kemudian mengulurkan tangannya dan menggenggam milikku, sebelum senyum tipis terpasang di wajahnya. "I've never really asked you anything, but this time, I would like to ask you to say yes to Stefan's proposal. That will make me happy."

Genggaman tangannya yang mantap, tetapi lembut, seperti ingin meyakinkanku untuk melakukan apa yang baru dimintanya dariku. Menerima lamaran Stefan.

"Kenapa kamu dan Stefan selalu memintaku untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah menjadi keinginanku sendiri?"

Suaraku datar, tetapi ada kemarahan di sana. Seperti permintaan Stefan tidak cukup agar aku bertemu Lukas, sekarang Lukas memintaku agar menerima lamaran Stefan. Kenapa mereka melakukannya? Kenapa mereka memintaku untuk memilih dan mengambil keputusan sekalipun keputusan itu akan membuat mereka terluka?

Lukas hanya diam.

"I love him, Lukas. I really do. But, I don't want to be the one to hurt you, either. I know I have to choose, because I can't have you both, I can't love you both. But please, don't ask me to accept his proposal just because ... just because you think I should. Don't make a choice for me."

Lukas menghela napas. Dia sadar, semuanya jadi semakin rumit sekarang. "Satya ... things have changed between us. Apakah ada jaminan, jika kamu memilihku, suatu saat nanti kamu nggak akan menyesalinya? What if I can't give you happiness? Nobody knows for sure what the future will hold for us. Aku nggak mau kamu meninggalkan Stefan hanya karena saat ini, perasaan lama itu menguasaimu. Anggap aku sebagai masa lalu, Satya."

Butuh beberapa menit bagiku untuk mencerna kalimat Lukas. Begitu memahaminya, aku menatap Lukas dalam-dalam. Sebagian dari hatiku berteriak agar Lukas menarik kembali kalimatnya. I've never thought that I would hear those words from him. Kalimatnya seperti menegaskan apa yang kami rasakan sudah tidaklah penting.

"You let me go?"

Lukas menggeleng. "How can I let you go when you've never even been mine?"

Kalimat Lukas benar-benar membuatku tersentak.

You've never been mine....

Aku merasakan tangan Lukas menyentuh pipiku sebelum membelainya lembut.

"Call Stefan and ask him to pick you up tomorrow. You should be with him on your birthday."

Aku kelu.

Ketika kami bertatapan, ada yang mendorongku untuk bergerak mendekatinya. Wajah kami begitu dekatnya hingga aku bisa merasakan embusan napasnya. Aku ingin Lukas menginginkanku. Seluruh tubuhku bereaksi ketika jemarinya mulai menelusuri wajahku. Ketika akhirnya merasakan bibir Lukas menyentuhku, hatiku menangis. Ini akan jadi ciuman terakhir kami. A goodbye kiss. Ketika aku masih ingin menahan ciuman kami, Lukas menariknya. Ada luka yang tidak bisa aku hindari dari tatapan matanya. Tangannya meraih pundakku, sebelum dia mendekapku erat. Seperti di stasiun tadi, tidak ada keinginan untuk melepasnya. Aku memjamkan mata, membiarkan aroma tubuh Lukas menguasai indera penciumanku. Perlahan, aku menggerakkan lenganku untuk mengeratkan pelukan Lukas dan membelai rambutnya.

Saat ini aku ingin waktu berhenti. Membeku.

Ketika melepaskan pelukannya, Lukas tersenyum. Aku tidak ingin Lukas tersenyum, aku ingin dia menangis atau bersedih karena dia merelakanku untuk Stefan.

"Call him, Satya ... please do it for me, for everything that we didn't and never have. I'll ... I'll get you some water."

Lukas kemudian bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur. Tatapanku terpaku pada punggungnya sampai tubuh tingginya menghilang, sementara perasaanku masih tertinggal. Tanganku gemetar ketika meraih ponsel dari saku celana. Aku menatap nanar layar hitamnya. Jika aku menelepon Stefan sekarang, semua yang berhubungan dengan Lukas akan selesai. Tidak akan ada jalan kembali.

Dengan berat hati, aku mencari nomor Stefan. Setelah menemukannya, aku masih ragu untuk menekan tombol call atau kembali ke menu utama. Aku mendengar bunyi tut tut tut sebelum digantikan oleh suara pria yang begitu aku hafal.

"Stefan ... Aku baik-baik aja ... Yes, I met him. Stefan? ... can you ... can you come and pick me up tomorrow? ... I will ask Lukas and text you where you can find us once we decided a place ... Yes you could take the earliest train I guess ... have you had your dinner? ... Yes, we've just had ours ... See you tomorrow, okay?... Good night, Stefan."

Aku menghela napas dan menundukkan wajah begitu sambungan kami terputus. Panggilan itu adalah jawaban atas permintaan Lukas. Untuk tetap bersama Stefan.

"Thank you, Satya."

Suara Lukas membuatku mengangkat wajah untuk menatapnya. Aku tahu, untuk apa terima kasih yang baru diucapkannya kepadaku.

Aku belajar malam ini, bahwa sebuah pilihan akan selalu membawa kekecewaan.

***

One more chapter and then this story is done! Lega luar biasa! :)

Saya agak bingung mau kasih media apa, terlalu banyak yang bagus, tapi saya akhirnya mutusin buat pake lagunya Whiskeytown, Excuse Me While I Break My Own Heart Tonight, karena liriknya cukup mewakili perasaan Lukas dan Satya.

Ini chapter terakhir saya pake POV Satya. Chapter penutup nanti, kalian boleh nebak, apakah saya pake POV Lukas atau Stefan, hahaha. Karena menurut saya, this is the perfect end for Satya's POV.

Enjoy this chapter and don't forget to listen the song while reading it :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro