SATYA - TWENTY FOUR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

After Twenty Four Months...

Rasa gugup tidak pernah meninggalkanku, meski kereta sudah berangkat dari Amsterdam hampir dua jam lalu. Dalam hitungan menit, aku akan sampai di Köln Hauptbahnhof.

Untuk bertemu Lukas.

Bagaimana bisa aku menyetujui ide Stefan agar aku ke Cologne?

Sejak kebohongan yang Rena simpan dariku selama lebih dari dua tahun terungkap, semua kenangan yang aku miliki bersama Lukas selalu membayangi. Setiap senyum yang diberikannya padaku, ingatan tentang pelukan yang diberikan Lukas sepulangnya kami dari panti asuhan, malam di Nyang-nyang ketika dia merekamku menyanyi Forever, hingga pelukan yang diberikannya sebelum dia pergi ... semuanya datang seperti fragmen setiap hari. Seperti mengejek perasaan yang aku rasakan terhadapnya dulu. Setelah Stefan memintaku menemui Lukas, sekalipun di saat yang bersamaan dia memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya yang sah.

Apakah memang masih ada cinta untuk Lukas?

Pertanyaan itu memenuhiku begitu lambaian tangan Stefan menjauh dari Centraal Station Amsterdam. Sepanjang perjalanan, aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaan itu. Jawaban aku mencintai Stefan memang sering muncul, tetapi keraguan juga tidak jarang menyusup. Aku tidak bisa meninggalkan Stefan untuk Lukas. Namun apakah keyakinan itu masih berdiri tegak saat melihat Lukas nanti? Ketika aku sendiri masih tidak siap bertemu dengan pria yang pernah menguasai hatiku.

Ataukah sejak kejadian di Keukenhof, ada yang berubah?

Aku memejamkan mata. Berharap bisa membiarkan pikiranku berhenti mempertanyakan apa yang akan terjadi setelah kereta ini berhenti di Köln Hauptbahnhof. Dua tahun yang lalu, aku mengantar Lukas ke bandara dengan banyak ketidakpastian dan penyesalan karena tidak bisa mengatakan kepadanya tentang perasaanku. Sekarang, aku akan bertemu kembali dengannya dalam situasi yang sama sekali tidak pernah terbayang olehku. Apakah dia sudah berubah?

Aku tersentak ketika perlahan, Intercity-Express yang membawaku ke Cologne melambat sebelum akhirnya berhenti.

Jantungku masih berdegup dengan kencang hingga aku membiarkan mataku terpejam untuk sesaat. Ramainya kerumunan orang di luar menjadi pusat perhatianku selama beberapa menit, sebelum berdiri dan berjalan pelan menuju pintu keluar.

Tubuhku rasanya bergetar begitu pintu keluar kereta semakin dekat. Aku bahkan sempat tersandung ketika kakiku tepat menginjak peron. Musim panas sepertinya membawa keceriaan di wajah setiap orang. Apakah aku satu-satunya yang tidak bisa tersenyum lebar saat ini? Aku menarik napas dalam sebelum melangkah mengikuti arus penumpang lain dan berharap tidak akan menemukan Lukas. Aku ingin Lukas memutuskan untuk mengabaikan permintaan Stefan dan melanjutkan hidupnya tanpa harus bertemu denganku lagi.

But, he didn't.

Langkahku terhenti ketika menangkap sosok jangkung yang sedang berdiri di antara kerumunan orang. Tidak sulit untuk mengenali sosoknya. Tatapan Lukas tertuju ke arahku, seperti aku satu-satunya orang yang berada di stasiun ini. Langkahku terasa begitu berat hingga untuk beberapa saat, aku hanya bisa diam, membiarkan beberapa orang menyenggolku. Hatiku bergemuruh dengan hebat melihat tubuhnya, yang selama dua tahun menghilang dari pandanganku. Melihat Lukas melalui video call dan melihatnya saat ini, adalah dua hal yang tidak bisa disamakan. Napasku terhenti ketika melihat Lukas harus mengandalkan dua tongkat untuk menyangga tubuhnya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merutuki takdir yang sudah mempermainkan hidup kami seperti ini. Apa yang terjadi dengan pria yang tidak pernah sekalipun menunjukkan kesedihan di depanku selama 8 bulan kehadirannya di Bali?

Tubuhku menegang ketika perlahan, Lukas berjalan ke arahku. Ketika jarak kami semakin dekat, aku hanya bisa menelan ludah. Wajah Lukas masih belum banyak berubah. Hanya saja, rambutnya dibiarkan agak panjang hingga menutupi kedua daun telinganya. Rambut-rambut tipis yang dulu tidak pernah menghiasi wajahnya, sekarang membuatnya terlihat semakin matang. Namun, dia tetaplah Lukas. Hanya dua benda panjang di sisi tubuhnya itu yang membuatku hatiku teriris. Inikah kenyataan yang harus aku lihat?

Tanganku bergetar ketika dengan susah payah, lengan Lukas terulur dan meraih tanganku dalam genggamannya. Aku tidak berharap pertemuanku dengan Lukas akan jadi seperti ini. Bukan dalam situasi seperti ini.

Senyum Lukas mengembang, sekalipun tidak lebar. Namun cukup untuk membuatku menarik napas dalam, menahan tangis.

"Apa kabar Satya?"

Kami saling berpandangan. Menatap sepasang mata itu, aku melihat keceriaan yang dulu selalu terpancar darinya, meredup. Bukan hilang, hanya meredup. Seperti cahaya lilin yang sebentar lagi akan padam. Jemariku bergetar ketika menelusuri lengannya yang telanjang, merasakan kulit kami bersentuhan sebelum membiarkan tanganku berhenti di pangkal lehernya. Dengan lembut, jariku beranjak dari sana untuk membelai pipi Lukas yang terasa sedikit kasar sebelum mataku menatap kedua matanya yang terpejam. Beginikah rasanya melihat sebuah harapan yang pernah aku miliki tentang Lukas menjadi nyata? Setelah kebohongan Rena menyimpan identitas Lukas dariku, dan juga sebaliknya. Membuat kami harus menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda, takdir yang tidak sama. Beginikah rasanya menyentuh Lukas, tanpa ada ketakutan apa yang aku lakukan akan melukainya? Beginikah rasanya menyentuh pria yang pernah begitu berkuasa atas hari-hariku?

Lukas membuka matanya dan saat mata kami bertemu, aku membiarkan naluri dan perasaan menuntun tubuhku semakin dekat dengan Lukas. Membiarkan kedua tanganku meraih tengkuk Lukas dan menariknya lebih dekat hingga tidak menyisakan celah di antara bibir kami. We kissed. Mengabaikan deru suara kereta, keributan orang yang berlalu lalang di sekitar kami, suara announcer dalam bahasa Jerman yang entah mengumumkan apa. Hanya ciuman kami yang menjadi satu-satunya hal terpenting saat ini.

Aku membiarkan bibir Lukas menekan bibirku semakin dalam, sementara aku berusaha untuk tetap menahan air mata agar tidak tumpah. Ini terlalu emosional untuk kami berdua. Dipisahkan oleh seseorang yang mengaku sebagai sahabat, tetapi mempermainkan perasaan kami dengan kebohongannya. Aku membiarkan perasaanku terhadap Stefan menghilang untuk saat ini. Aku membayangkan ciuman ini bisa saja menjadi ciuman sehari-hari kami, tanpa ada luka atau pun kesedihan. Ciuman ini bukan terasa sebagai sebuah pengkhianatan atas hubunganku dan Stefan. Ciuman ini seperti ... pelampiasan untuk sebuah cerita yang tidak pernah terjadi karena perasaan cemburu seorang wanita. Tidak akan pernah ada sesal untuk ciuman ini. Selamanya.

Ketika ciuman kami berakhir, aku melihat ada air mata di pelupuk Lukas.

"I shouldn't have kissed you, Satya. I'm sorry."

Ketika dia menjauhkan tubuhnya dariku dan membiarkan punggung tangan menyeka matanya, aku tetap menahan tubuhnya agar kami tetap berdekatan. Pandangannya beredar sesaat sebelum kembali menatapku. Aku tidak mengharapkan pertemuanku dengan Lukas akan jadi seperti ini. Permintaan maaf Lukas untuk apa yang baru saja kami bagi tidak bisa aku terima, karena bagiku, ciuman kami bukanlah sebuah kesalahan.

"Fuck with sorry, Lukas. I won't apologize and will never apologize for what we just did. And you shouldn't either."

Ada senyum yang dipaksakan mengembang di wajahnya.

"Kenapa kamu ke sini, Satya? You've done a stupid thing by coming here."

"Because Stefan asked me to see you. And I wanted to see you."

"Why didn't you say no? You're a happy man, Satya. You don't need to see me. You have no obligation to see me."

"Because I wanted to see you for the three of us. For myself, for Stefan, and for you."

Kami saling bertatapan. Lukas seperti tidak menginginkan kehadiranku hanya karena aku sudah bersama Stefan. Ada yang berbisik di dalam hatiku kalau Lukas menginginkanku ada di sini. Dia terlalu menjaga perasaanku hingga tidak akan mengatakannya. Kalaupun aku memilih Lukas, Stefan tidak akan membenci kami berdua. Saat ini aku hanya ingin menuruti kata hati dan mengabaikan semua logika. Ada tuntutan tanpa henti diteriakkan oleh perasaanku untuk mengatakan apa yang belum terkatakan olehku dua tahun lalu saat mengantarnya ke bandara.

"Ada yang ingin aku katakan, Lukas. Sesuatu yang harusnya aku katakan dulu, tetapi tidak bisa."

Lukas menggeleng. "Please don't. Aku mohon," pintanya sembari membiarkan pandangannya teralih dariku.

Menggunakan tanganku yang masih menahan tubuhnya, aku menyentuh kedua pipi Lukas, memaksanya untuk menatapku. Begitu mata kami terkunci, aku mengucapkan tiga kata itu. "I love you."

Lukas memejamkan mata sebelum membukanya kembali. Lukas pasti tidak menyangka akan mendengarnya dariku. Alasan sebenarnya aku menyetujui permintaan Stefan adalah agar aku bisa mengatakan perasaanku yang dulu belum tersampaikan ke Lukas. I had to say it in front of this tall man.

"Satya...."

Kalimat itu terdengar begitu indah sekaligus menyesakkan. Aku menginginkan Lukas mengucapkan hal yang sama kepadaku, aku ingin dia mengungkapkan apa yang tidak bisa dikatakannya ketika Rena menutupi fakta yang sebenarnya dari kami.

"You can say it now, because this is our only chance. And I want you to take the chance."

"I can't," ucap Lukas. "Kamu milik Stefan, Satya."

"Dia tidak akan tersakiti oleh apa yang ingin kamu bilang."

Lukas terdiam, sebelum akhirnya kalimat itu meluncur dari mulutnya. "I love you, Satya."

He said it. Jika kalimat itu terucap ketika dia masih di Bali, hatiku pasti akan bersorak riang. Tetapi detik ini, pengakuan Lukas justru membuat dadaku sakit, sekalipun aku yang memintanya.

Kedua lenganku meraih Lukas dalam pelukan sebelum aku membasahi pundaknya dengan isakanku.

We finally said the words. But I wish, those words were said twenty four months ago.

***

Buat saya, ini part dalam Twenty Four yang selalu sukses bikin saya berkaca-kaca. Saya udah nulis cerita ini 3 tahun lalu, tapi kemarin pas saya proofing dan edit lagi, saya tetep aja mau mewek. It's simply ... heartbreaking. Knowing you can't say the words because someone else's jealousy. 

Semoga terjawab kenapa saya ngasih judul cerita ini Twenty Four. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro