SATYA - POTLUCK DINNER

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



November 2010...

"Lukas."

"Satya."

Singkat.

Perkenalan itu berlangsung hanya sekian detik, tanpa embel-embel 'nice to meet you' atau semacamnya. Namun cukup membuatku tahu, pria tinggi ini bernama Lukas. Pertemuan kedua sebenarnya, karena tidak ada perkenalan pada pertemuan pertama kami. Tinggi badannya menyita perhatianku ketika melihatnya dulu. Dan senyumnya. Aku memanggilnya 'A guy with megawatt smile'.

Namanya Lukas.

.

"It's really good what you cooked," ucapnya sambil mengunyah bola-bola kentang yang memang aku buat untuk acara potluck dinner bulan ini.

"Thanks. Someone is finally said it's edible," candaku, yang disambutnya dengan tawa. "Are you on holiday?" tanyaku, sambil mencomot satu potong hasil buatanku sendiri.

Pertanyaanku, jelas terdengar sangat wajar. Komunitas traveling tempat aku menjadi salah satu anggotanya, memang dipenuhi banyak traveler dari berbagai belahan dunia. Banyak dari mereka yang hanya beberapa hari di Bali, tetapi tidak sedikit yang menetap di Bali karena urusan pekerjaan. Atau semata-mata karena memang mereka ingin tinggal di sini.

"I'm a temporary residence, you can call it. I will be here in the next 8 months. I'm having my apprenticeship," jawabnya sambil tersenyum.

"I see," balasku singkat.

"Me and Rena are in the same hotel," ucapnya sambil mengarahkan pandangannya ke arah Rena, yang sedang berbicara dengan salah satu traveler. Nama traveler itu sudah tidak tersimpan dalam ingatanku lagi. Bagaimana mungkin, aku bisa mengingat nama 23 orang dengan sekali perkenalan?

"Rena?"

Lukas mengangguk, sepertinya tidak menyadari aku sedikit terkejut mendengarnya menyebut nama Rena.

"Aku training di hotel tempat Rena bekerja. Jadi bisa dibilang, dia seniorku meski kami beda departemen."

Hmmm... Rena bahkan tidak memberitahuku kalau Lukas training di hotelnya, meski aku sempat menyinggung pertemuanku dengan 'A guy with megawatt smile'. Namun, Rena juga tidak bisa sepenuhnya salah karena aku hanya menyebutnya sekali, itu pun sambil lalu. Namanya saja baru aku tahu belum genap sepuluh menit yang lalu.

"Kamu asli mana?"

"Saya orang Jerman. Saya berasal dari Köln," jawabnya dalam Bahasa Indonesia

"Wah, sudah bisa berbahasa Indonesia."

"Sedikit."

Aku mengerutkan dahi sesaat, berusaha mengingat nama kota itu sebelum mengangguk. Memang cukup banyak traveler dari Jerman yang aku temui, tapi seingatku, belum ada yang berasal dari Köln. Atau aku yang memang tidak ingat pernah bertemu traveler dari Köln? Anyway, sekarang aku tahu kalau pria ini bernama Lukas dan berasal dari Jerman. Cukup untuk saat ini.

"Aku ke sana dulu ya?"

Aku kembali mengangguk sembari memerhatikan Lukas yang berjalan menjauh untuk membaur dengan traveler lainnya. Komunitas kami memang selalu mengadakan potluck dinner sebulan sekali. Setiap orang yang datang, wajib membawa satu jenis makanan atau minuman yang bisa dimakan/diminum oleh beberapa orang. Jadilah sebulan sekali, kami seperti pesta besar. Banyak makanan dan minuman, mulai dari yang berupa camilan, makanan utama, makanan penutup, minuman bersoda, dan yang wajib ada, bir. Sering, semua itu tidak habis hingga yang kebetulan jadi tuan rumah, pasti mendapat kelebihannya.

Ketika mataku menangkap Lukas yang sedang tertawa lepas entah karena apa, aku tidak mampu menahan senyum. Semoga tidak ada yang memerhatikanku.

"Lo ngapain senyum-senyum, Sat?"

Ternyata aku salah.

Senyumku langsung lenyap begitu menyadari Ida, sang tuan rumah sudah ada di sebelahku. Tangannya mencocol irisan mangga muda ke sambal gula merah dan dalam hitungan detik, irisan mangga itu sudah beralih ke mulutnya.

"Minta dong!"

Tanganku langsung terulur untuk meraih satu irisan mangga muda tanpa mengindahkan pertanyaan Ida. Gila! Asem banget!

Bahkan, ketika rasa asam mangga muda dan sambal yang pedasnya serasa membakar rongga mulutku ini, aku masih bisa tersenyum tipis ketika tanpa sengaja, bir yang dipegang Lukas, tumpah sedikit hingga menodai kausnya.

Sore ini, rasanya aku memang terhipnotis oleh keberadaannya di ruangan ini. Pandanganku seperti mengekor ke mana pun Lukas bergerak.

"Lo merhatiin siapa sih, Sat?"

Suara alto Rena yang memang khas itu, langsung membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya. Tubuh mungil dan langsingnya, yang dibalut rok merah pendek selutut dan blus krem tanpa lengan, sudah berdiri di sampingku. Dia memang sering menginterupsi lamunan orang, meski orang itu sebenarnya sedang ingin menikmati lamunannya. Persetan dengan lamunan orang, mungkin itu motonya. Harapanku kali ini, dia tidak mengikuti pandangan mataku.

"Nggak lagi merhatiin siapa-siapa," jawabku asal. Lebih baik berbohong daripada harus memberikan penjelasan panjang lebar kepadanya.

"Eh, Patrick lo gimana kabarnya? Lo nggak pernah cerita lagi soal dia."

Dia sangat tahu, aku tidak suka nama Patrick disebut di tempat umum, apalagi di tempat seramai ini yang siapa pun bisa mendengarnya. Namun sepertinya Rena bersikap tak acuh, meski tatapan tajamku terarah kepadanya. Terkadang, sikap cuek dan blakblakan Rena bisa sangat mengganggu.

"Kamu kan punya nomornya. Kenapa nggak tanya sendiri?"

"Kok lo gitu jawabnya? Tumben-tumbenan lo nadanya gitu gue tanya tentang Patrick."

Geram karena dia kembali menyebut nama Patrick, dengan cepat aku membalas kalimatnya. "Lagi nggak mau ngomongin dia ah. Nggak usah tanya-tanya lagi."

"Ya udah. Lo kan pasti cerita ntar."

Meski kesal, ucapan Rena sama sekali tidak salah. Aku pasti akan cerita juga kepadanya. Rena kemudian menjauh dariku dan mengakrabkan dirinya dengan beberapa anggota komunitas kami yang sudah menjadi teman dekat. Aku bahkan tidak sadar ketika tiba-tiba, sebotol bir yang sudah terbuka tutupnya, terulur di depanku.

Kenapa tiba-tiba tempatku berdiri ini begitu diminati banyak orang?

Pandanganku segera beralih ke pemilik lengan yang mengulurkan bir itu. Tebak siapa? Yap! Lukas dengan senyum lebarnya.

"Bir?"

Aku membalas senyumnya tipis, sebelum menggeleng.

"Aku nggak minum."

Sepertinya, Lukas terkejut mendengar fakta yang baru aku beritahukan kepadanya. Dari ekspresi wajahnya, aku bisa mengetahuinya.

"Kenapa?"

"Nggak suka aja," jawabku singkat.

"Gue kasih sejuta deh kalau lo sampai bisa bikin Satya minum alkohol. Setetes aja, nggak usah banyak-banyak."

Suara Rena tiba-tiba hadir di antara kami dan dengan santainya, meraih botol bir Lukas dan menempelkannya ke bibir, sebelum mengosongkan seperempat isinya. Lukas sepertinya tidak keberatan dengan itu. Sedetik berikutnya, Lukas melakukan hal yang sama ketika botol itu sudah kembali ke tangannya.

"Attention please!"

Suara cempreng Ida serta sendok yang dipukulkannya pelan ke gelas hingga menimbulkan suara berdenting, mau tidak mau membuat siapa pun yang ada di ruangan ini menghentikan percakapan. Ketika yakin dia sudah menjadi pusat perhatian, Ida tersenyum lebar.

"Thank you everyone for showing up at my place for our monthly potluck dinner and I hope you all enjoy the food, snacks and drinks that we've got here. And for your entertainment tonight, I can say that I'm dying and so glad to see him perform in my house. For the first time! He always says no every time we ask him to perform in our monthly potluck dinner. But, tonight is special. So, come over here Satya!"

Rasanya, melangkahkan kakiku kali ini jauh lebih berat daripada tampil di hadapan puluhan orang asing yang seminggu dua kali, jadi penontonku. Di antara siulan, tepukan tangan dan teriakan, aku berjalan menghampiri Ida. Ditambah lagi tatapan semua orang yang tertuju ke arahku. Seperti ini penampilan pertama buatku.

"Hi everyone," sapaku sambil melambaikan tangan singkat. "I'm Satya."

"Satya is one of our active members and ladies, do not fall for him after his performance, okay? Because he's going to hypnotize you with his voice."

Lenganku langsung mengeluarkan gitar dari tas yang aku bawa, setelah duduk di single sofa yang sudah disiapkan Ida untukku.

"Satya, I love you!"

Aku hanya tertawa ketika mengetahui teriakan Rena, sementara jemariku sibuk mengatur senar dan mencoba memetik beberapa nada. Ucapannya itu juga disambut tawa oleh beberapa orang. Ketika sudah merasa mantap, aku menarik napas dalam dan mengembuskannya.

"I'm not sure whether any of you familiar with this song or not, but I'm going to perform this song, simply because I love it. I'm gonna sing... I'm Gonna Find Another You by John Mayer."

Aku terdiam sesaat. Mengedarkan pandangan ke seluruh isi ruangan dan memerhatikan setiap orang. Mereka jelas menungguku memetik gitar dan mendengar suaraku.

It's really over, your made your stand

You got me crying as was your plan

But when my loneliness is through

I'm gonna find another you

Selama menyanyikan lagu itu, aku berusaha untuk tidak memusatkan pandangan ke Lukas. Gagal total. Keberadaan Rena yang berdiri tepat disampingnya, membuatku bisa menipu siapa pun yang memerhatikan pandanganku. Namun sejujurnya, aku memang tidak tahu kenapa jadi seperti ini. Berulang kali, aku mengingatkan diriku untuk tidak memerhatikannya. Namun, pandanganku tidak bisa diajak bekerja sama.

Senyumku mengembang begitu menyanyikan bait terakhir dan tepukan serta siulan, kembali memenuhi ruang tengah Ida.

"More! More! More!"

Teriakan itu terdengar jelas dan sepertinya, mereka tidak akan berhenti sebelum aku memenuhi permintaan mereka.

"Satya, one more song?" Ida memohonku dan aku hanya terdiam. Berpikir.

Ekor mataku sempat menangkap Lukas menjadi salah satu yang meneriakkan kata itu, hingga kemudian aku mengangkat tangan kananku.

"Let me think..."

Aku memejamkan mata sembari berusaha memikirkan satu lagu yang bisa aku mainkan dengan gitar di tanganku. Jemariku tiba-tiba sudah memetik kunci lagu yang selama ini, jarang aku mainkan di tempat umum. Simply karena tidak banyak yang mengetahui lagu ini. Entah karena alasan apa, tiba-tiba aku memainkan intro lagu itu.

"Maybe, some of you know this song and some other will hear this song for the first time. It's one of my favorite songs and I don't play it often, because the lyrics are very deep. Here is Forever by Ben Harper. I hope you like it."

Not talkin' 'bout a year

No not three or four

I don't want that kind of forever

In my life anymore

Forever always seems to be around when it begins

But forever never seems to be around when it ends

Menyanyikan lagu ini, adalah salah satu taktik, agar mataku tidak terfokus ke Lukas. Aku lebih fokus pada ruang kosong di tembok, melewati orang-orang dan membiarkan mereka menikmati suaraku tanpa memerhatikan arah pandanganku. Setiap menyanyikan lagu ini, aku seperti berada di dimensi lain. Liriknya menghipnotisku.

Senyum lebar terpasang begitu tanganku memetik nada terakhir, sebelum mengakhiri lagu dan mengucapkan terima kasih. Tepuk tangan segera mengisi rumah Ida dan meski mereka memintaku menyanyikan satu lagi, aku dengan sopan menolak. Aku segera bangkit dari tempatku duduk dan berjalan menuju ke salah satu meja untuk sekada membiarkan segelas air putih membasahi tenggorokanku. Entah kenapa, aku merasa begitu haus. Jelas bukan karena aku habis menyanyikan dua lagu. Ada sebab lain.

"I know the second song you sang! And you sang it beautifully, Satya. That song must have had meaning for you. Now, I won't offer you alcohol because I don't want to ruin your wonderful voice."

Lukas sudah berdiri disampingku, sementara aku hanya bisa tersenyum. Jadi, dia sedikit dari orang yang mengetahui lagu itu. Interesting.

"Thank you."

"Aku tidak keberatan mendengar kamu menyanyi lagi."

"Kamu bisa dateng ke kafe tempat aku biasa nyanyi. Rena tahu tempatnya. Just ask her."

"Really? That would be awesome!"

"Lukas, lo keberatan nggak kalau kita balik sekarang? Kayaknya mendungnya gelap banget. Gue takut kita kehujanan sebelum naympe Sanur."

Aku memandang Rena dengan tatapan penuh tanda tanya mendengarnya mengucapkan kalimat itu, tetapi sepertinya Rena mengabaikannya.

"Kamu tadi bareng Lukas?"

Rena mengangguk. "Kos gue sama dia deket banget, jadi sekalian tadi. Gue balik dulu ya Sat? Ntar gue BBM lo deh."

"Oke," jawabku singkat ketika Rena mencium pipi kiriku.

"See you soon, Satya!"

Aku hanya melambaikan tangan sekenanya, sementara Rena dan Lukas mulai berjalan menghampiri Ida dan beberapa orang lain untuk pamit. Bingung masih memenuhi kepalaku, meski sosok mereka sudah menghilang dari pandangan.

"Lukas itu cowok baru Rena ya? Rena kan jarang banget bawa cowok ke potluck."

Suara Laras, yang menyandang gelar clubber sejati dalam komunitas kami, sekaligus the queen of gossiper, segera membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Aku nggak tahu, Ras."

"Lo kan sahabatnya Rena, masak nggak tahu sih, Sat?"

Kalau sudah begini, aku jadi malas menanggapinya.

"Coba tanya yang lain deh. Mungkin, mereka lebih tahu daripada aku."

Sekali pun tahu, aku tidakakan pernah mengumbar informasi sembarangan ke Laras. Mengenalnya dua tahun,cukup untukku memasang rambu hati-hati jika sudah berada di dekatnya. Renabiasanya cerita apa saja, tetapi sampai saat ini, nama Lukas tidak pernah adadalam obrolan kami. Mungkin, memang mereka tidak ada apa-apa.

***

Another story from me! Memang sengaja mau bikin surprise sih, nggak kasih teaser atau apa. Ini salah satu cerita yang menurut saya, agak beda sama cerita-cerita sebelumnya, karena dari Part 2, kalian akan bisa lihat dan baca sendiri. This will be a bit long, tapi saya udah kelar editin dan rapiin, jadi postingnya nanti saya 2 part gitu.

I hope you all enjoy this story and happy reading!

Oh ya, medianya adalah I'm Gonna Find Another You-nya John Mayer :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro