SATYA - STARRY STARRY NIGHT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


June 2011...

"I can't believe I'll be going soon."

Aku hanya bisa membiarkan pandanganku tetap menatap bintang-bintang yang bertaburan tak beraturan di atas kami. Sementara itu, ingin sekali rasanya menulikan telinga supaya tidak mendengar Lukas mengucapkan kalimat itu. Tidak ada suara lain yang mengelilingi kami selain suara debur ombak yang sejak lima jam lalu, telah menyambut kami. Suara binatang-binatang malam, yang sibuk menarik lawan jenisnya atau hanya berkeliaran, menyelinap. Api unggun yang kami nyalakan dua jam lalu, masih cukup terang untuk menemani kami hingga tertidur nanti.

Aku tahu, hanya tinggal menghitung hari sebelum Lukas meninggalkan Bali. Kemah di Nyang-nyang ini adalah satu hal yang sangat ingin dilakukannya sebelum pergi. Rencana yang tiba-tiba sebenarnya, hingga hanya kami berdua yang ada di sini sekarang. Bahkan, Rena pun tidak tahu rencana ini.

"Time goes fast."

"Aku belajar banyak selama tinggal di Bali, Satya. In a cruel world we live in right now, there are still so many good people in this part of the world. I'll miss the people here. You, Rena, Ida, everyone ... has been so kind to me."

Aku memalingkan wajah ke Lukas, yang masih membiarkan bintang-bintang di atas kami menjadi pusat perhatiannya. Aku merasa seperti dilempar ke malam di panti asuhan empat bulan lalu, ketika Lukas juga berbaring di sebelahku. Perbedaan paling besar adalah perasaanku terhadapnya semakin dalam. Ya, aku masih menyimpan perasaan itu, sekalipun tahu konsekuensi apa yang akan terjadi padaku.

"Aku yakin, keluarga kamu di sana juga pasti nggak sabar buat ketemu kamu lagi. And your girlfriend, too."

Lukas memandangku. Kami saling bertatapan sebelum akhirnya, senyum itu terpasang di wajahnya. I'm gonna miss that.

"Hubungan kami sedang sedikit bermasalah sekarang. Aku harap, ketika aku pulang, semuanya akan kembali normal."

Beberapa kali, kami memang sempat membicarakan hubungan Lukas dengan pacarnya. Bukan karena aku ingin tahu, tapi karena obrolan kami tiba-tiba saja menuju ke arah sana. Aku berusaha untuk mencari tahu melalui Facebook Lukas tentang pacarnya, tetapi tidak menemukan apa pun. Dia sepertinya tidak terlalu terbuka untuk hal yang satu itu, setidaknya di Facebook. She's a lucky girl.

"Dia pasti seneng ketemu kamu lagi."

Lukas hanya terdiam.

"Apa yang ingin kamu lakukan buat farewell nanti, Lukas?"

Lukas mengangkat bahu. "Maybe just dinner."

"Kamu udah ngantuk?"

Lukas menggeleng. "Kenapa?"

Aku bangkit dari posisiku sebelum meraih gitar yang memang sengaja aku bawa. Aku ingin memiliki momen berdua dengan Lukas dan menyanyikan beberapa lagu untuknya. Terdengar sentimental? Aku hanya berharap bukan itu yang menghinggapi Lukas. Menganggapku sentimental.

Aku duduk bersila di samping Lukas yang masih merebahkan tubuhnya, hanya sekarang, pandangannya fokus ke arahku.

Tanganku mulai mencoba beberapa nada sebelum memandang Lukas.

"Ada lagu yang ingin kamu dengar?"

Lukas terdiam sebelum mengeluarkan ponselnya dan dalam waktu singkat, dia memutar intro lagu yang membuatku tertegun untuk beberapa saat. Bagaimana mungkin lagu yang sama mengisi pikiran kami berdua?

"Aku selalu suka lagu ini, Satya. Can you play it for me?"

Aku menelan ludahku sebelum mengangguk. "Kamu mau nyanyi bareng aku?"

Lukas tertawa sebelum memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. "Are you sure? Aku yakin kalau suaraku akan merusak lagu itu. You have the voice, Satya. I'll hum along with you."

Aku hanya tersenyum sebelum mulai memainkan lagu yang memang ingin aku nyanyikan di hadapan Lukas.

Some try to hand me money, they don't understand

I'm not broke, I'm just a brokenhearted man

I know it makes no sense, but what else can I do?

How can I move on when I'm still in love with you

Mungkin lagu ini terlalu mencerminkan apa yang aku rasakan. Bukan keseluruhan liriknya, melainkan judulnya dan lirik 'I'm the man who can't be moved' Lukas ikut bersenandung lirih dan kami sama-sama tersenyum. Beberapa minggu setelah Rena memberitahuku tentang Lukas di Biku, waktu itu aku mendengar lagu ini diputar ketika sedang makan di salah satu restoran di Legian. Aku bahkan sempat tertegun beberapa lama ketika pikiranku mulai memroses lirik lagu milik The Script itu. Ketika tahu judul lagu itu adalah The Man Who Can't Be Moved, aku sadar bahwa perasaanku ke Lukas, mungkin tidak akan bisa dialihkan untuk jangka waktu yang aku belum tahu. I'm the man who can't be moved.....

Ketika selesai, Lukas langsung memberikan tepuk tangannya. Melihat senyumnya seperti sekarang, membuatku ingin mendekatkan tubuh untuk menciumnya. Membayangkan itu, aku tidak mampu menahan senyum. Jelas sekali, aku tidak akan pernah berani melakukannya.

"That must be one of the best renditions of that song that I've ever known."

Aku tertawa. "You're exaggerating, Lukas."

"Thank you, Satya."

Aku mengangguk. "Apakah kamu bisa jadi seperti itu, Lukas?"

"Jadi seperti apa?"

"Seperti pria yang di lagu itu. The man who can't be moved. Do things he did in the lyrics."

Tawa Lukas langsung pecah begitu tahu maksud pertanyaanku sebelumnya. Melihatnya seperti itu, hatiku melonjak. That laugh.....

"I don't know. Mungkin kalau aku benar-benar mencintai seseorang. Kamu tahu kan, kadang cinta bisa jadi sangat posesif sampai-sampai logika pun kalah?"

Like what I'm feeling for you, Lukas. Logika milikku pun tidak mampu menghalangi perasaanku.

"Kadang-kadang? Menurutku, cinta selalu ngalahin logika, Lukas. Always."

"That's the way love should be, right? Kamu mengutamakan perasaan daripada logika, tanpa sepenuhnya mengabaikan logika. They work best together."

Aku terdiam. Saat ini, aku lebih mengutamakan perasaan daripada logikaku, Lukas, karena aku memilih seperti itu.

Kami terdiam. Lukas kembali memandangi langit yang menaungi kami, sementara aku, membiarkan mataku menatap jilatan api yang mulai menghabiskan kayu yang kami kumpulkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menatap Lukas melalui ekor mataku. Jika saja semua berbeda, suasana seperti ini akan menjadi sangat sempurna. Aku, Lukas, bintang, suara ombak, dan api unggun....

Aku berusaha mengusir pikiran-pikiran yang mencoba merasukiku. Mengingatkan diriku, semua itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Selamanya, hanya akan menjadi imajinasiku.

"Do you want me to play another song?"

"Kamu keberatan?"

"Kalau keberatan, aku nggak akan nanya, Lukas."

Lukas tersenyum. "Play Forever, Satya. Please."

Aku menundukkan wajah, menjadikan senar gitar sebagai pengalihan atas permintaan Lukas. I won't say no. Setelah malam ini, lagu itu akan lebih punya arti daripada sebelumnya. Dan aku tidak tahu, sampai kapan bisa menghapus kenangan akan Lukas, setiap kali menyanyikannya.

Ketika nada pertama sudah aku petik, Lukas menginterupsiku.

"Tunggu, Satya. Let me record this one."

Lukas kemudian mengeluarkan lagi ponselnya dan kemudian mengarahkannya ke arahku. Aku kembali menundukkan wajah, kali ini karena malu.

"It's dark, Lukas."

"Actually, it's not. Api unggun itu cukup terang."

Aku menghela napas sebelum kembali mulai memetik senar gitarku dan memainkan Forever.

Beberapa kali, aku menangkap senyum di wajah Lukas. Hatiku berontak, ingin menyisipkan namanya di antara lirik lagu.

So give me your forever

Please your forever

Not a day less will do

From you

Bagaimana mungkin aku tidak akan mengasosiasikan lagu itu dengan Lukas sekarang?

Begitu selesai, aku menarik napas lega. Setiap kali tampil, aku selalu bisa meredam emosi agar tidak memengaruhi penampilanku. Tidak pernah ada cerita aku terbawa emosi hingga membuat penampilanku berantakan. Namun malam ini, untuk pertama kalinya, emosi benar-benar terlihat dari caraku bermain gitar, dari suaraku yang sedikit bergetar dan fokusku yang tidak sempurna. Semua karena lagu itu dan Lukas.

"Aku merinding, Satya. It's not even cold, but I get chills. How did you do that?"

Karena aku menyanyikannya hanya untuk kamu, Lukas. Bukan untuk orang lain.

"You're very kind with your words."

"Untung aku merekamnya. I will treasure this forever."

"Do you mind, if I play another song?"

Lukas menggeleng. "Bahkan, jika kamu menyanyikan 10 lagu pun, aku tidak akan keberatan."

Sejak diterima di RETRO, Pak Stefan sering memintaku untuk memainkan lagu-lagu The Everly Brothers. Bukan hanya lagu-lagu klasik mereka, seperti Devoted To You, Let It Be, Love Hurts, atau All I Have To Do Is Dream saja, tetapi juga beberapa lagu lain yang punya memori untuk Pak Stefan. Aku dengan senang hati mempelajari lagu-lagu itu, terlebih melodinya sederhana. Saat ini, hanya ada satu lagu yang mengisi pikiranku.

Aku berdehem, yang disambut tawa oleh Lukas, sebelum memetik gitar.

Don't blame me for falling in love with you

I'm under your spell

But how can I help it

Don't blame me can't you see

When you do the things you do

If I can conceal the thrills that I'm feeling

Don't Blame Me

"Is that an old song, Satya? Aku belum pernah mendengarnya."

Aku mengangguk. "Don't Blame Me milik The Everly Brothers. I sang that song couple weeks ago on the opening night of Retro. Pak Stefan, memintaku untuk memasukkan lagu ini sebagai salah satu lagu yang ingin didengarnya saat malam pembukaan. I like the lyrics. Sederhana tapi punya arti yang dalam."

Lukas tersenyum. "Kamu nggak akan mengubahku jadi penggemar lagu-lagu lama kan, Satya?"

"Lagu-lagu lama justru sangat to the point menurutku. It sounds corny sometimes, but the lyrics always very simple to understand. Ada alasan kenapa banyak lagu dari tahun 60-an jadi lagu-lagu yang melegenda. Lagipula, tidak ada yang salah kan jadi penggemar lagu-lagu lama?"

Lukas menggeleng sambil memasang ekspresi yang membuatku tidak mampu menahan tawa.

"I'm not ready yet to have the same taste as my Dad. Aku yakin, kalian pasti akan akur kalau ketemu."

"I believe we will."

Aku memasukkan kembali gitarku ke tas sebelum merebahkan diri ke sleeping bag. Lukas melakukan hal yang sama.

"Kamu belum mau tidur kan, Satya?"

Aku menggeleng. "Belum. Apakah ada topik menarik yang bisa kita bicarakan?"

Lukas tertawa. "We'll find one, don't worry."

"Thank you for asking me to camp, Lukas. This is nice. Not many people around. Are you going to do the same thing with Rena?"

Lukas mengerutkan kening. "Maksud kamu?"

"Just spend time with her only."

"Oh," jawab Lukas, yang sepertinya tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan itu dariku. "Aku belum memikirkannya. But, that's a good idea, Satya. Spending my last days here with two best friends I have."

Aku menelan ludah. Mendengar Lukas menyebut kata teman, mengingatkanku kalau selamanya kami hanya akan jadi seperti itu. Kenyataan yang berusaha aku jalani, tetapi tidak bisa diterima oleh hatiku.

"What is the most interesting thing about surfing? Aku hanya berpikir, surfing itu olahraga ekstrem. Penuh bahaya."

"Bahaya itu ada di mana saja, Satya. Bukankah hidup sendiri itu sebuah bahaya? Disappointment, failure, money, wealth, they're dangerous. Surfing seperti meditasi bagiku. Every time I'm on board, I feel calm and relax. Seperti semua masalah yang aku punya lenyap hanya dengan surfing. I leave all my problems on the shore. It's just me and the wave. And how small I am compare to the ocean. Somehow, I always feel grateful for everything I have."

"Apakah kamu takut dulu pas pertama kali belajar?"

Lukas mengangguk. "Takut itu wajar, Satya. Aku bertemu beberapa surfer ketika berniat untuk berhenti belajar dan mereka bercerita kepadaku betapa surfing mengubah cara pandang mereka tentang hidup. It makes them see things differently. I started to do small research, read a lot about surfing, watched many videos about surfing and I realized that I'd fallen in love with it. Sekarang, aku nggak bisa hidup tanpa melakukannya. I love it too much."

"More than your girlfriend?"

Lukas memandangku. "Ocean never betrays you, while someone could break your heart and disappoint you."

"A very wise answer."

Lukas hanya tersenyum. "Just telling you the truth."

Kami saling bertukar senyum.

"I think I'm gonna try to sleep now. Good night, Lukas."

"Night, Satya. I will stay awake a little bit longer."

Aku memiringkan tubuh hingga membelakangi Lukas. Sisi wajahnya yang diterangi nyala api unggun, tidak akan bisa membuatku tertidur. Yang ada, emosi yang selama ini tersimpan rapat, bisa menghancurkan malam yang seharusnya menjadi malam yang akan selalu aku ingat.

Setelah kepergian Lukas nanti, aku hanya berharap perasaanku terhadapnya akan perlahan menghilang. Namun, siapa aku, sampai berhak untuk mengharap sesuatu yang bahkan tidak bisa dilawan itu, pergi?

***

Medianya adalah salah satu lagu yang dinyanyiin Satya buat Lukas, The Man Who Can't Be Moved.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro