Chapter III - Requirement Gathering

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alert: 1 Reminder
Subject: Requirement Elaboration Digital Claim Submission meeting
Room: Sumatra Meeting Room
9.30 AM
Due in: 15 minutes
[Dismiss] [Snooze]

Ambar meraih notebook di atas meja dan menutup laptop setelah melihat notifikasi kalendarnya.

"Lex, yuk!" ajak Ambar ke teman yang duduk di depannya. Alex adalah lead dari developer yang akan terlibat dalam development aplikasi ini.

Alex masih berkutat dengan laptopnya. "Masih elab kan? Ntar aja lah gue ikutnya kalo udah jelas. Paling user-nya masih ribut sendiri ntar."

"Ya paling nggak lo ada gambaran kasar lah, ini aplikasi bakal kayak gimana."

"Ya, ya, gue nyusul ntar. Lagi ngecekin bug dulu. Nanggung."

Ambar mengangguk setuju dan langsung berjalan ke ruang meeting. Alex, walaupun sudah jadi lead developer, tapi perilakunya masih sama dengan kebanyakan developer. Nggak terlalu mau terlibat dengan bisnis. Di situ lah tugas Ambar. Penyambung lidah user ke teknis. Padahal kalau Alex mau meluangkan waktunya untuk memahami apa yang terjadi di bisnis, dia juga lebih mudah menjelaskan dan membagi task-task itu ke timnya.

Sampai di ruangan, baru ada Gani saja. Sudah rapi duduk di kursi paling ujung, dekat layar putih yang sudah diturunkan. Proyektor juga suda menyala. Gani sibuk mengetik dengan laptopnya.

"Pagi! Silakan, silakan..." sapanya ketika ia merasakan kehadiran Ambar di ambang pintu. Selain karena suara langkah Ambar, juga karena wangi parfum beraroma musk berpadu dengan wangi bunga freesia, mawar, dan buah pir yang langsung mengharumkan ruangan meeting. Ambar lalu memilih kursi di seberang Gani. Tak lama Alex sebagai perwakilan dari developer datang. Menyusul Anggun sebagai PMO, Rianty dan Wawan dari pihak user.

Gani menampilkan timeline yang sudah pernah ia sampaikan di meeting dengan direksi sebelumnya. Ambar masih nggak ngerti, darimana dia dapat angka itu? Proyek sebelumnya punya channel individual? Soalnya baik Gani ataupun Pak Julius, nggak ada yang minta Ambar untuk bikin effort assessment. Setelah meeting waktu itu, Ambar check-recheck lagi proyek digital claim submission milik individual. Emang sih, prosesnya sekitar tiga bulanan. Tapi punya individu tuh nggak ada workflow-nya. Walaupun tetap ada sinkronisasi ke backend DB2.

"Jadi, tujuan aplikasi ini dibuat karena Group Insurance ini punya rasio klaim lebih banyak daripada individual," jelas Gani dengan tone suaranya yang dalam dan tegas, artikulasi yang jelas, dan tidak terdengar ada logat daerah. Ya jelas rasio klaimnya besar, nasabahnya satu kantor bisa ratusan sampai ribuan. "Kita akan bagi dua aplikasi, untuk user individunya group insurance dan untuk HR"

Dua aplikasi dalam tiga bulan? Ambar membatin dan melirik Alex. Alex cuma menghela napas. Tiga bulan itu bukan development-nya aja lho, tapi sampai betul-betul selesai. Go live. Total development paling cuma satu bulanan, termasuk SIT.

Gani menampilkan slide show flow mekanisme proses klaim dari dua tempat yang saat ini sudah berjalan. Ia menjelaskan, setiap individu yang melakukan permohonan klaim, mereka bisa melakukan di dua tempat. Yaitu di rumah sakit yang terintegrasi dengan health provider, yang mana saat ini Azure berafiliasi dengan Airelight, dan klaim manual yang biasanya dilakukan dengan kertas yang disediakan di rumah sakit, yang nantinya diisi oleh dokter dan petugas, kemudian diserahkan kepada department human resource masing-masing.

"Harapannya dengan digital claim submission ini, individu dari group insurance bisa dapat update proses klaimnya dan sisa limit tahunannya. Makanya kita perlu masukin workflow system kita yang biasa dipakai underwriting di sini," jelas Gani lagi.

"Itu satu aplikasi tapi fungsionalnya diatur dari user access management atau beda-beda aplikasi?" tanya Ambar.

"Bagusnya sih diatur dari user access. Jadi kita cuma punya satu endpoint. Bisa kan ya, Lex, kalau begitu?" Gani beralih ke Alex.

"Bisa, itu no issue sih."

"Dokumen verifikasinya soft copy? Siapa yang bisa validasi?" cecar Ambar lagi.

"User harus upload foto atau scan dokumennya, tapi aslinya tetap dikirim dan dianalisa sama analis."

Bah! Proses digital "banci". Tetap aja harus manual. Memang sih, untuk dokumen-dokumen klaim semua dokumen harus asli untuk mencegah fraud. Di channel individual pun juga begitu. Ini cuma soal user experience aja. Tiga bulan repot-repot cuma soal user experience.

"Ini tiga bulan estimasi dari mana ya? Dari proyek digital claim yang sebelumnya kah?" tanya Ambar lagi dan Gani tahu proyek mana yang dimaksud oleh Ambar.

"Ini estimasi kasar berdasarkan proyek sebelumnya. Tapi belakangan Pak Sudaryo baru request untuk embedded workflow system-nya. Jadi timeline yang kemarin dijelaskan ke head-head masih bisa berubah sesuai dengan estimasi effort dari IT. Nah, makanya saya perlu point of view Mbak Ambar dan Mas Alex sekarang untuk effort assessment." Ambar sedikit menghela napas. Gani tahu persis kekhawatirannya.

Gani ternyata belum selesai bicara, "Walaupun, kalau bisa jangan kejauhan juga. Kalau tambah developer bisa membantu, mungkin bisa diajukan. Nanti kita cari contract outsource kalau di internal kurang."

Ambar dalam hati langsung nge-judge Gani ini tipe-tipe PM yang bisa seenaknya ngomong tambah resource kalau-kalau timeline nggak sesuai ekspektasi manajemen. Padahal nambah resource belum tentu jadi solusi. Karena brief orang baru untuk hal-hal yang akan dikerjakan aja butuh waktu. Bisa aja nanti bug rate-nya jadi tinggi.

Gani lalu menampilkan lagi flow bisnis proses pengajuan klaim yang direncanakan akan dipindah ke dalam aplikasi web. Bagaimana proses yang biasanya user individu melakukannya secara manual dengan mengirimkan form dari rumah sakit ke HR kantor dan menunggu dua sampai empat minggu untuk tahu apakah klaim sudah diproses atau belum. Lalu HR dapat melakukan verifikasi dokumen di halamannya, sebelum masuk ke dalam workbasket admin dan claim analyst.

"Halaman webnya dibuat responsif, supaya customer masih bisa nyaman via mobile," jelas Gani.

Alex angkat bicara, "Standar desainnya udah ada? Soalnya desain untuk responsive harus disesuaikan juga komposisi ukuran layout dan button untuk link supaya tetap bagus. User experiencenya juga jadi lebih terjaga."

Gani berpikir sejenak. Pikirnya, standar desain itu bisa reuse dari web portal milik Azure lainnya. Lagipula sebelumnya digital claim ini sudah dibuat. "Ikutin punya channel individual aja nggak bisa?"

"Um... bisa aja sih."

"Ya udah, ikutin yang existing dulu nggak pa-pa. Lagian nanti portal masuknya akan sama juga. Dibedakan di level user access."

Another 'red flag' dari Ambar untuk Gani. "Ikutin yang existing." Ikutin yang udah ada itu gimana maksudnya? Sampai mana?

"Sementara itu saya perlu bantuan Mbak Rianty dan Mas Wawan untuk daftar field-field yang diperlukan untuk input dan ekspektasi respon yang akan ditampilkan ke user nantinya," ujar Gani lagi. Rianty dan Wawan mengangguk setuju.

Sementara Anggun mengambil alih layar presentasi, Gani lanjut memimpin meeting untuk mendapatkan daftar field-field isian form yang diperlukan, Alex nampak sedang berkhayal akan tampilan form yang disebutkan oleh Rianty dan Wawan dalam tampilan desktop dan tampilan mobile, sedangkan Ambar mulai berkhayal akan flow process secara besar. Bagaimana alur data yang diinput tadi masuk ke basket user HR, lalu masuk ke basket user milik claim analyst, hingga nantinya masuk ke core system sampai dengan data warehouse. Ia mencorat-coret jurnalnya kemudian melingkari bagian-bagian yang harus ia tanya lebih detail ke Alex nanti. Terutama ketika titik-titik itu bersinggungan dengan data-data dari database yang jenis bahasanya berbeda. Dari situ aja, Ambar tak yakin tiga bulan cukup. Developmentnya mungkin bisa terkejar dalam satu sampai satu setengah bulan, tapi tidak akan cukup sampai ke tahap regresi total, bahkan mungkin IT Security akan minta penetration dan performance test, mengingat aplikasi ini langsung bersentuhan dengan end-user dan menggunakan IP public yang kemungkinan besar akan digunakan dengan skala user yang lebih besar.

Meeting ditutup dengan permintaan Gani pada Ambar dan Alex untuk menentukan bobot pengerjaan dan estimasi timeline proyek itu.

****

Ambar kembali ke mejanya dengan Alex sambil berbicara soal jumlah resource yang saat ini dimiliki Alex. Sampai di tempatnya, kedua "anak asuh" Ambar sedang berdebat.

"Tapi aku tuh udah klik yang ini lho, jadi nggak bisa maju."

Rumi mendekat ke kursi Sifa. Dia melihat apa yang salah dengan isian Sifa. Membiarkan spotify laptopnya memutar lagu I Feel It Coming milik The Weeknd yang dikeluarkan ke pengeras suara bluetooth. Mumpung nggak ada Ambar pastinya.

"Ya jelas lah lo salah, kalendarnya MM-DD-YYYY, Sipaaa... lo isi DD-MM-YYYY!" Sengaja pakai P buat ngeledek.

"Lho? Ya 'ndak jelas errornya."

Rumi menghela napas karena satu sisi dia mengakui kalau pesan error-nya memang nggak jelas. Cuma tertulis, "Please input the correct date."

"Ya udah, minta tambahin hover abu-abu gitu aja sama Arin di field tanggalnya," ide Rumi.

"Ini lagu apaan sih?" tanya Ambar yang kupingnya mulai jenuh mendengar satu bait lirik yang diulang-ulang sepanjang chorus.

"Biasa, Mbak, lagu si Rumi yang jorok-jorok," jawab Sifa.

"Idiiih emang lo ngerti, Pa, arti lagu ini?"

"Ngerti lah, aku kan googling dulu kalo mau ikutan nyanyiin lagu-lagu kamu. Banyakan jorok soalnya, sama kayak isi otakmu itu."

Ambar tertawa kecil mendengar penghakiman Sifa terhadap Rumi. Sifa kayaknya trauma ketidaktahuan dan kepolosannya pernah dicengin Rumi sewaktu dia ikut nyanyi bait awal lagu Freak-nya Doja Cat, terus malah direspon oleh Rumi, "Ih Sipa pengen jadi kinky ya?" Saat itulah dia baru sadar lagunya tentang apa! Langsung seketika dia merasa geli!

"Berantem mulu, ntar kawin loh!" Sita, adminnya departemen project management. Teman bergaul Rumi. Sama gaulnya sama Rumi. Jumat malam mana mungkin langsung pulang ke rumah. "Rum, makan yuk!" Udah jam dua belas kurang sih memang.

"Makan di mana ya enaknya?" Tanya Rumi, macam duitnya banyak. Palingan cuma pindah kantin supir gedung satu ke gedung lain.

"PP ajaaa..." Pacific Place maksud Sita. Lebih jelasnya lagi kantin supir yang di basement itu. Bukan restoran di mall.

"Ya, boleh. Gue mau liat sepatu di Goods Dept." Makan boleh di kantin supir, sepatu carinya tetap di Goods Dept.

"Yes, asik! Rumi belanja! Kartu kreditnya udah kosong!" Rumi, si anak yang hidup dari kartu kredit. Gajinya cuma buat bayarin tagihan kartu kredit. Bisa-bisanya akhir bulan nggak punya duit untuk ongkos transport terus ngaku sakit biar nggak keluar ongkos untuk ke kantor!

"Sipa, lo mau ikut nggak?" tanya Rumi yang sukanya mengganti F-nya nama Sifa sembarangan.

"Ikuuut! Sebentar, satu email!" Kalau ada Sita, Sifa pasti mau ikut. Si anak Jember yang nggak mau ketinggalan pergaulan Jakarta.

Gani dan temannya berjalan menuju pantry. Untuk ke pantry, jelas harus melewati area meja IT Business Analysts. Gani menghampiri Ambar dan temannya itu menghampiri teman Ambar yang Business Analyst juga, Stefan.

"Mbak Ambar, kalau mejanya Mas Alex di mana ya?" tanya Gani. Walaupun gaya bicaranya tegas dan terkesan songong, tapi masih berusaha sopan manggil pakai "Mbak" dan "Mas". Padahal kalau Ambar lihat-lihat, kayaknya umur Gani lebih tua dari dia. Nggak tahu deh kalau udah akrab, masih gini nggak. Rumi juga awalnya manggil Ambar pakai "Mbak". Tapi sekarang kadang sebut nama aja. Padahal dia jauh lebih muda dari Ambar!

Kayaknya nih orang sekalian muter-muter untuk cek meja kolega-koleganya buat huru-hara nanti kalau proyek udah jalan. Menurut cerita Yoga, Gani ini tipe orang yang nggak bisa dijelasin lewat tulisan. Pasti disamperin terus sama dia, ditelepon. Biar cepat katanya.

"Di sana," Ambar menunjuk salah satu area developer dan bangku yang posisinya paling ujung. Memang Alex lagi nggak ada di situ. Timnya pun nggak. Mungkin mereka di ruang meeting. Pantas Gani nanya ke Ambar. Ambar lalu melirik ke Sita. Dia diam dan sibuk membetulkan rambut.

"Ooh... oke..."

"Bawa bekal, Mas Gani?" tanya Sita.

"Iya nih. Mari, duluan, Mbak, Sita..." balas Gani sebelum berlalu ke pantry. Menyusul temannya ke pantry juga.

"Cie... dieeemmm..." ledek Rumi ke Sita. Ambar langsung menangkap sinyal, hemm... ada apa nih sama Sita?

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro