35

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

35

Saat istirahat tadi, Kenanga sudah menelepon Mami bahwa dia akan bermain bersama Nathan dan teman-temannya yang lain. Mungkin karena ada Nathan sehingga Mami bisa sedikit lega meski masih kesal kepada Ardi, Kurdi, Vasco, dan Dwi yang bersikap tak punya malu. Sejujurnya, Kenanga masih trauma dengan kejadian malam itu. Akan tetapi, Dwi dan tiga cowok lainnya yang bersikap seolah hal itu tak pernah terjadi, membuat Kenanga jadi bisa menjalani setiap detiknya di sekitar mereka tanpa risau. Pembahasan malam itu hanya akan membuat Kenanga tak nyaman.

Setelah kemenangan telak SMA Kastara melawan SMA Garsan, Kenanga dan yang lain menuju warung burjo untuk merayakannya. Warung itu dipenuhi oleh siswa-siswa SMA Kastara. Karena penuh, sebagian lagi menuju warung burjo lain yang jaraknya tak begitu jauh.

Rupanya, pemilik warung burjo ini adalah milik orang tua Ardi.

"Gue salut sama lo." Nathan menepuk bahu Kenanga, membuat cewek itu menunduk karena tersipu malu.

Ardi melepaskan sendoknya, lalu mengangkat kedua jempol. "Bos kita memang selalu jago. Dewa perang!"

"Nggak main dukun lagi?" tanya Nathan dengan nada sarkas.

Ardi terkekeh. "Nyokap gue bilang dukun itu dukun beranak. Kami dibohongin. Ikhlasin aja, lah, duitnya. Yang penting kenyataannya, Sadewa tetaplah Sadewa. Bos kita yang asli."

Kenanga menunduk dalam sembari mengunyah pelan bakwan goreng yang baru saja dia masukkan ke dalam mulut.

Ardi berdeham. "TU, WA, GA!" Lalu terdengar teriakan serentak dari Ardi, Vasco, Dwi, dan Kurdi. "MAAFKAN KAMI YANG MULIA!" Mereka menunduk dalam sampai wajah mereka hampir saja mengenai masing-masing makanan mereka.

"Jangan gitu!" cicit Kenanga. "Gue maafin, kok!"

"Yah, intinya sekarang semuanya aman." Lagi-lagi Nathan menepuk bahu Kenanga saat menoleh ke samping sembari menatap cewek itu. "Paling nggak, butuh berminggu-minggu bagi mereka mikir buat nyerbu lagi karena udah kalah telak. Lo hebat." Nathan mendekat, tiba-tiba berbisik di antara kericuhan siswa-siswa yang bercerita membanggakan tawuran tadi. "Walau jiwa beda, tapi tubuh tetap tubuh Sadewa yang kuat. Gue salut sama lo yang berusaha untuk ngelawan." Cowok itu menjauh, menepuk puncak kepala Kenanga. "Keren."

Jangan tanya seberapa merah wajah Sadewa sekarang. Untunglah, semua orang sedang sibuk sehingga tak melihat Kenanga yang sedang blushing.

***

Kenanga sampai lupa fakta yang terlihat malam itu bahwa Nathan sedang berteleponan dengan seorang cewek yang kata Kurdi adalah cewek yang Nathan sukai, merupakan sahabat Nathan sejak kecil sekaligus tetangga cowok itu.

Kalau tidak salah, nama cewek itu Mia.

Kenanga tak bisa lupa bagaimana senyum yang tercipta di bibir Nathan ketika menerima telepon dari Mia.

Dalam perjalanan pulang di mana hanya dirinya dan Nathan karena teman-teman Nathan lainnya masih menongkrong di warung burjo, Kenanga mencoba untuk membuka pembahasan yang membuatnya penasaran. Kenanga berusaha denial. Senyum Nathan malam itu mungkin saja hanya sekadar senyum ramah sebagaimana Nathan tersenyum pada Kenanga. Perkataan Kurdi mengenai Nathan yang menyukai Mia itu mungkin saja hanya asal-asalan.

"Nath." Kenanga mendekatkan wajahnya di bagian belakang helm Nathan ketika motor berhenti saat lampu merah untuk pengendara sedang menyala. "Malam itu lo teleponan sama temen lo, yang katanya namanya Mia, ya?"

"Oh?" Nathan tertawa kecil. "Pasti anak-anak yang ngasih tahu namanya?"

Kenanga mengangguk.

"Iya, namanya Mia." Jeda untuk beberapa saat. "Temen-temen gue pada langsung ngeh kalau suka sama dia."

Kenanga memundurkan kepalanya perlahan dan menunduk dalam-dalam.

"Tapi gue takut ungkapin perasaan gue. Takut persahabatan kami jadi rusak kalau dia nggak punya perasaan ke gue." Lampu hijau menyala. Nathan melajukan kembali motornya. "Gimana menurut lo sebagai cewek?"

Kenanga masih bisa mendengar pertanyaan Nathan yang menyelekit. Cowok itu melajukan motornya tidak sekencang sebelumnya. Mungkin, serius ingin mendengar sudut pandang Kenanga yang merupakan seorang cewek.

"Gimana apanya?" Kenanga menoleh ke samping kanan. Matanya jadi berair. Di menggigit bibir pelan. "Gue nggak paham cinta-cintaan. Nggak pernah ngerasain."

"Ah!" Nathan terdiam sebentar. "Lo kan lupa ingatan. Mungkin lo pernah jatuh cinta, tapi lupa."

Kenanga tidak bisa membalas perkataan Nathan. Suasana hati cewek itu memburuk. Kenanga mengurungkan niatnya untuk mencari Nathan ketika kembali ke raganya nanti.

Untuk apa menemui cowok yang hatinya sudah dimiliki oleh cewek lain? Kenanga tak ingin mencari penyakit hati.

***

BRAK.

BRAK.

BRAK. BRAK.

"Buset...," bisik Caraka, menjauh sedikit dari kaki kursi yang melayang hampir mengenai lengan kirinya. Kaki kursi itu terpisah dari bagian kursi lainnya setelah Kensho merusaknya dengan sekuat tenaga.

Kensho merusak fasilitas sekolah, tetapi siapa yang berani menegur?

Sejak tadi sahabatnya itu masih tak bisa menerima kekalahan. Tak ada yang boleh pulang sampai Kensho tenang. Mereka kembali ke sekolah dan berkumpul, memikirkan rencana selanjutnya untuk mengalahkan SMA Kastara, tetapi tak ada rencana apa pun yang mereka temukan karena Kensho sibuk melampiaskan emosi.

"Sialan! Dia punya jurus baru. Jurus yang sulit banget gue terapin." Kensho berkacak pinggang dengan napas pendek-pendek. "Kali ini gue kewalahan dua kali lipat dari biasanya."

"Gue lihat! Gue nonton!" seru seseorang di antara mereka. Wajahnya sedikit hancur. Sebelah pipinya bengkak sampai bagian mata. Satu matanya sampai tak bisa terbuka karena kelopak mata yang membengkak. "Gue namain jurus Sadewa kali ini sebagai jurus beruang mengamuk!"

"Benar," balas Kensho. "Jurus beruang mengamuk. Kulit kepala gue rasanya habis dikulitin beruang."

Ngomong-ngomong, bagian tengah kepala Kensho jadi pitak karena jambakan Sadewa. Tubuh Kensho juga memar-memar. Jika dulunya Sadewa hanya memukul di bagian wajah atau menendang di perut sehingga meninggalkan memar di bagian itu saja, kali ini Sadewa meninggalkan jejak di hampir seluruh tubuh Kensho.

Kata Kensho di awal mengamuknya, adiknya hampir kena tendang oleh Sadewa. Hampir saja Kensho tak bisa punya anak.

Kensho menaikkan tangannya ke dinding, menyandarkan kepalan tangannya di sana, sementara tangannya yang lain masih berkacak pinggang. "Selanjutnya, gue nggak akan kalah."

Caraka geleng-geleng kepala. Kensho selalu mengatakan kalimat itu setiap kalah dari Sadewa. Ujung-ujungnya, tetap kalah juga.

***

Wistara keluar dari ruang kerjanya setelah mendengar suara sang istri yang sepertinya sedang berbincang dengan Sadewa di dalam kamar. Ada suara tangis Sadewa yang terdengar samar-samar. Laki-laki itu berhenti di ambang pintu kamar Sadewa yang terbuka. Dia menyandarkan lengannya di kusen pintu, memandang anak tunggalnya yang telungkup menyembunyikan wajah di atas bantal. Sementara Mami duduk di tepi tempat tidur, menatap Sadewa dengan khawatir.

"Anakmu loh, Pi!" seru Mami.

Wistara menatap Sadewa. Bahu anak laki-lakinya itu terlihat bergetar. Selain saat Sadewa masih bayi, Wistara tak pernah melihat anaknya itu menangis lagi. Setelah Sadewa kecelakaan, sudah dua kali Sadewa menangis. Tangisan pertama yang tak Wistara lihat karena sedang tidak di rumah, tetapi Mami mengatakan bahwa Sadewa menangis histeris karena kelakuan teman-temannya. Kemudian sekarang, Wistara melihat secara langsung tangisan anaknya itu.

Sejak kecelakaan, Wistara memperhatikan dengan baik, anak laki-lakinya yang tumbuh begitu maskulin berubah menjadi lebih feminim seperti ini. Semua karena kecelakaan itu.... Wistara merasa begitu bersalah. Andai saja malam itu dia tidak menyuruh Sadewa pulang, pasti Sadewa masih sama seperti biasanya.

"Katanya lagi patah hati." Mami mengusap-usap rambut tebal Sadewa. "Cewek mana yang berani buat anak Mami jadi kayak gini, sih? Berani-beraninya cewek itu, huh!"

"Nggak apa-apa, Mi." Sadewa terisak-isak. Suaranya teredam oleh bantal. "Sadewa cuma pengin nangis aja."

Lihat...? Wistara hanya bisa pasrah melihat anaknya yang berubah seratus delapan puluh derajat. Memangnya, sebelum kecelakaan dulu, Sadewa pernah bicara dengan nada seperti perempuan? Sadewa terlihat seperti remaja perempuan yang sedang patah hati. "Hah...."

"Papi kenapa kelihatannya lagi mikirin hal berat?" tanya Mami.

Wistara, Papi dari Sadewa, melangkah menuju tempat tidur Sadewa. Dia duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping istrinya. Mereka duduk miring hingga saling berhadapan. Wistara menepuk pelan pundak anak laki-lakinya itu.

"Walaupun dokter bilang kepala kamu sudah baik-baik saja, kita tetap harus rutin cek kesehatan kamu." Wistara meneguk ludah. Ingin sekali dia mengatakan kepada Sadewa untuk tidak bersikap kemayu. Sebagai seorang ayah, Wistara merasa terluka melihat anak laki-lakinya menjadi begini. Sadewa masih dalam proses penyembuhan sehingga Wistara menahan diri untuk tidak bersikap keras pada anaknya itu.

Suatu saat ingatan Sadewa pasti akan kembali.

"Pi, apa mungkin saatnya kita jalan-jalan ke suatu tempat? Terakhir kali jalan-jalan bareng Sadewa itu waktu Sadewa masih kelas 1 SMP loh!" seru Mami.

Wistara mengangguk pelan. Ditatapnya Sadewa yang masih telungkup. Kali ini wajah anaknya itu tak tenggelam di dalam bantal. Sadewa melihat ke samping sementara tangannya mencubit satu sisi ujung bantal yang dia gunakan.

"Sadewa?" panggil Wistara. "Apa kamu pengin ke suatu tempat bareng Papi dan Mami?"

Sadewa perlahan bangun, lalu dia duduk dengan anggun. Anak laki-lakinya sekarang itu matanya terlihat sembab. "Ke mana aja... boleh?"

Wistara mengangguk. Mungkin, dengan begini Sadewa perlahan-lahan bisa mengingat masa kecilnya. Anaknya itu saat masih kecil senang sekali liburan dengan kedua orang tuanya. Semenjak puber, Sadewa menjadi lebih sering bermain dengan teman-temannya.

"Eum, kalau gitu." Sadewa terlihat ragu saat menatap Wistara dan Mami. "Aku pengin liburan ke pantai, pengin ngerasain wahana di ancol, pengin ke kebun binatang. Satu per satu, boleh?"

Wistara mengangguk. Setiap gerakan kecil yang Sadewa buat membuat Wistara merasa gagal menjadi ayah.

"Yey!" Sadewa bertepuk tangan. Mami memeluk Sadewa, masih saja menganggap Sadewa seperti anak-anak.

Jika dulunya Sadewa akan marah karena diperlukan seperti itu, maka sekarang Sadewa memeluk maminya dengan penuh kasih sayang. Senyumnya terlihat tulus.

Wistara menepuk lengan Sadewa yang masih memeluk erat maminya. Cepat kembali, Anakku.

***

"Keenan setan!" seru Sadewa, berlari sambil melompat agar bisa tiba tujuan dengan cepat hanya untuk terhindar dari Keenan yang begitu over protektif pada Kenanga semenjak Sadewa bergaul dengan geng Interstellar. Sadewa tak boleh ketemu Abim dan kawan-kawan. Bahkan Keenan akan muncul duluan di depan kelas Sadewa sebelum bel istirahat berbunyi sehingga Sadewa sulit sekali kabur dari cowok itu.

Memang wajar jika Keenan terlalu berlebihan dalam menjaga Kenanga. Jika Sadewa punya adik perempuan, maka Sadewa akan melakukan hal yang lebih parah seperti menonjok cowok mencurigakan yang berani mendekati adiknya.

Saat bel pulang, Sadewa beruntung karena Keenan tak muncul duluan. Mungkin kakak Kenanga itu disibukkan oleh sesuatu. Sadewa mengerem mendadak ketika dekat dengan belokan koridor, membuatnya mengerem sepanjang dua meter. Cowok itu lalu berbelok ke koridor lain dan dia beruntung karena sosok yang dia cari muncul duluan.

Sadewa ingin mencari suasana baru. Dia bosan di kamar sempit dan ingin berkunjung ke rumah Abim, mungkin saja ada play station di sana. Keenan tak punya barang itu. Kelihatannya Abim orang kaya. Jadi, rumah Abim yang paling tepat dia kunjungi.

"Senior!" seru Sadewa, mengerem sepatunya lagi dan hampir bertubrukan dengan Abim yang beberapa saat lalu berhenti dari langkahnya. Sadewa menarik pergelangan tangan cowok itu, menariknya paksa. "Bawa gue ke rumah lo sekarang!"

Abim membelalak di tengah larinya yang pelan-pelan. "A—apa?"

Sadewa menoleh. "Lo nggak lagi ada acara, kan?"

Abim terdiam sebentar, lalu menggeleng kencang.

"Bawa gue ke rumah lo, dong, Senior!" Sadewa kembali fokus pada jalan hingga tiba di parkiran di mana motor Abim berada.

Sadewa tak sabar melompat ke atas motor itu. "Cepetan! Cepetan! Gue mau kabur dari Keenan."

Abim mengerutkan alis. Dari raut wajahnya terlihat tidak suka akan sesuatu. "Keenan ngapain lo?"

"Cepetan naik, sialan!"

Abim tersentak dan segera naik dengan buru-buru ke atas motornya. Sadewa menurunkan footstep, lalu mengangkat tubuh ringan Kenanga ke atas motor Abim. Tubuh cewek ini benar-benar ringan. Sadewa terkadang berpikir akan terbawa angin sepoi-sepoi.

Abim memakai helm full face-nya dan menaikan standar motor. Dia berdeham sambil menarik tangan Sadewa yang langsung ditangkis kasar oleh Sadewa.

"Enak aja megang-megang," omel Sadewa, kesal.

"Peluk gue."

"Anjing."

Abim tersenyum di balik helm. Dia memutar motor, lalu melajukan motornya meninggalkan SMA Garsan.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro