3. Air dan Udara Itu Sama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Awan gelap mengitari langit Osaka, angin mendesir menggerakan tumbuhan yang sudah berguguran. Musim dingin sudah dimulai, aku hanya diam melamun memandang jendela kamar yang terbuka. Aku tidak tahu tepatnya waktu, yang pasti perlahan salju turun dan awan begitu kelabu. 

Seluruh tubuhku terasa lengket dan sakit menjalar hingga lubuk hati. Ikatan tanganku sudah terlepas, meninggalkan banyak bekas luka. Tidak ada sehelai kain menutupi tubuhku dari hawa dingin. Kakiku penuh dengan memar yang seolah akan pudar karena cengkraman tangan. Rambut panjangku yang terlepas banyak tersebar di tempat tidur kami. Aku sungguh tidak mau mengulangi kejadian semalam. 

Saat aku coba mendudukkan tubuhku yang rasanya bisa berpendar kapan saja, pintu kamarku terketuk. Segera aku menarik selimut dan menutupi tubuhku. Tak sudi rasanya kalau-kalau dia melihat tubuhku lagi. 

"Nyonya? Apa sudah bangun?" Nafasku terhambur lega, ternyata bukan. 

Ingin sekali kumenanggapi pertanyaan itu, sial tenggorokan ini rasanya seperti tersayat saat aku berusaha bicara. 

Sesaat pintu sorong itu dibuka. Seorang pelayan datang dengan ember dan kain. Tuhan, mataku sudah berkaca-kaca, aku sangat malu sekarang. 

"Astaga, apa Anda baik-baik saja? Biarkan saya membersihkan tubuh Anda, Nyonya."

Sementara dia menghampiri dan duduk di sampingku, aku terus menunduk. Tidak ada sedikit pun kekutanku untuk menunjukkan wajah sembab ini. Aku benar-benar seperti pelacur sekarang. 

Perih merayapi tubuhku saat dia mengelap badanku. Cakaran, gigitan, dan tamparan semalam terasa lebih menyakitkan. Seluruh tubuhku gemetaran, rasa perih ini sungguh menyesakkan sampai tidak sadar aku mulai menangis. 





Aku berkaca, "Sial," bengkak di mataku masih terlihat. Malam ini dengan tanpa rasa dosa dan salah, pria itu mengundangku untuk makan malam dengan rekannya di rumah kami. 

Sore tadi diberi aku olehnya sebuah kimono sutra dengan motif teratai merah muda sebagai permintaan maafnya atas kejadian semalam. Sudah aku maafkan dan aku lupakan, tapi kain ini tidak akan aku pakai. Sebagai tanda perlawanan padanya yang menyuruhku untuk mengenakan kain merah muda itu, akan aku pakai dress modern yang ramai dipakai oleh orang Eropa. 

Aku memandangi diri di cermin besar sudut kamar, memuji diri di dalam hati. Akan semarah apa Satoru nanti? 

Setelah selesai waktunya berhias, aku keluar menuju perjamuan tamu terhormat dari suami terhormatku. Senang sekali aku merasakan tatapan tajam dan dingin dari tamu dan suamiku. Nampak jelas kerut di dahi dan matanya yang tajam melirikku, senyumnya pun memuaskan suasana hatiku. 

"Maaf, apa saya membuat Anda menunggu?" tanyaku sembari mengambil duduk di samping Satoru. 

"Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, Anda nampak begitu cantik dengan baju itu," pujinya. Aku tersenyum, kemudian melirik suamiku yang ternyata sedang memperhatikan. Mungkin ini sangat mengganggunya. 

Dipandangi kami bergantian, seolah dia tengah menilai dengan mata indahnya itu. Kemudian tangannya mengusap pahaku dan mencengkramnya sedikit. Rasa canggungku muncul, dan kakikku tibia-tiba gemetaran.

"Dia memang cantik dengan apapun yang dia kenakan," tambah suamiku. Yang aku dengar seperti ejekkan. 

Obrolan berlangsung selama kami menyantap hidangan. Aku hanyan tersenyum menanggapi dan mendengarkan obrolan mereka, karena terakhir kali aku membicarakan soal perang, Satoru benar-benar naik pitam. Yang aku simpulkan adalah, adanya perbedaan pandangan antara suamiku dan pria berambut panjang yang dia sebut rekan kerjanya. 

Malam berlalu cepat, seorang pria dengan mobil hitam berpenggerak diesel datang menjemput tuan tamu. Aku sedikit berprasangka padanya, dalam perbincangan tadi, setiap kali suamiku melihat ke arah lain, dia melihatku dan memberi senyuman. Jujur jantungku berpacu sedikit lebih cepat saat mata dan senyum lembutnya menatapku. Tapi aku punya suami. Atau, aku mungkin agak mabuk karena konsentrasi alkohol yang pria itu bawa cukup tinggi. 

Sunyi menimpa beberapa waktu. Suara air mancur bahkan terdengar lebih tenang dari biasanya. Suara pepohonana mendesis di luar pagar beton. Aku merasakan Satoru merubah duduknya. 

"Bagus, kamu mengenakan pakaian yang tepat. Suguru pasti akan semakin mempertanyakan ideologiku untuk bangsa ini." Aku memperhatikan Satoru yang terdengar sedikit kesal. Mata birunya seolah menyala menatapku, begitupun dengan rambutnya yang seolah begitu ringan terombang-ambing oleh angin. 

"Dia bilang aku cantik pakai ini. Dia menyukainya," ucapku tenang. 

Lagi, Satoru seolah jengkel. Dia mengatupkan giginya dan memandang ke atas sejenak.

"Apa kamu tidak merasakan pandangan kotor itu? Apa kamu tidak tahu dengan apa yang dia pikirkan?" 

Aku menggeleng. Mataku benar-benar mulai mengantuk. 

Kemudian, wajah Satoru menunjukkan mimik yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Helaan nafas panjang itu menandakan pertanda baik. Aku menurunkan kewaspadaanku padanya kali ini. 

Di sisir ke belakang rambutnya yang mulai panjang. Diperbaiki posisi duduknya menjadi lebih santai. Apa ini alkohol? Dia terlihat lebih tampan dari biasanya, jantungku terpacu cepat lagi setelah kepergian orang bernama Suguru. 

"Dengar," ucapnya serius. Aku mengamati logatnya. 

"Aku benar-benar merasa bersalah semalam. Aku benar-benar tidak bisa tidur memikirkanmu sampai sekarang." Suaranya perlahan merendah. Hatiku juga jadi semakin lemah. 

Satoru sedikit menunduk kemudian menggenggam tanganku lembut. Aku tidak dapat menolaknya, beberapa menit lalu aku seperti sadar kalau memang aku yang salah saat kejadian itu dimulai. 

"Kamu tahu, aku tidak bermaksud melakukan itu padamu. Hanya saja emosiku benar-benar tidak terkontrol setiap kali pulang berperang. Suara, tekanan, dan getaran di sana sungguh mempengaruhi suasana hatiku. Maafkan aku." Aku langsung diterpa rasa bingung. 

Kejadian semalam, dan rasa sakit yang aku rasakan seolah mengikutiku. Tapi, rasa bersalah karena keegoisan dan sifat aroganku sore itu juga seolah menyerangku. Mungkin ini sebuah resiko menikahi orang dengan perkerjaan berat sepertinya. 

"Aku juga minta maaf karena tidak mengerti keadaanmu dan menyambutmu dengan perkataan yang menyudutkan." Sudah terucap, Aku memejamkan mata beberapa detik, apa yang aku lakukan ini sudah benar? 

Satoru tersenyum hingga menampakan baris giginya yang rapih. Jantungku terpacu cepat lagi. Kemudian dia mendekat lagi, menyelipkan anak rambutku yang menutupi telinga. 

"Kamu benar-benar cantik malam ini." 

Apa ini karena alkohol? Rasa takutku masih ada, dan gemetar di tubuhku masih terasa. Tapi aku tidak bisa menjauh darinya. 

Disentuh bibirku oleh jemari kasar Satoru. Atau mungkin bibirku yang masih belum sembuh. Ciuman yang jauh berbeda dengan ciuman kemarin malam terasa sekarang. Pria itu merapihkan rambut panjangku yang tergerai ke belekang. Tidak dapat aku tolak semua sentuhan lembutnya yang mendorong nafsuku. Apakah ini rasa yang selama ini aku bayangkan saat melihat teman-temanku menikah?  Apa ini hubungan yang mereka bicaran dengan malu-malu padaku? Inikah rasa yang membingungkan itu? 

Atau hanya alkohon yang mempengaruhiku? 





Salju turun begitu banyak di bukit kami tinggal, sejak membuka mata, aku benar-benar tidak bisa jauh dari kayu yang terbakar. Sebentar lagi tahun berganti baru. Kenaikan harga tidak bisa dihindari, beruntung rakyat mendapat sedikit subsidi di tengah musim yang sulit dan serangan dari Amerika yang tidak terelakan yang membawa suamiku lagi ke medan perang. 

5 minggu telah berlalu sejak kejadian itu, hubunganku dan Satoru kian berkembang. Aku tidak pernah tahu, kalau pria sepertinya bisa mengucapkan hal-hal manis. Aku baru tahu ternyata ada telegram yang tidak aku terima dari kimono sutra yang diberikannya padaku sebagai permintaan maaf. 

Hari semakin malam, pekerja di rumah ini hanya tinggal satu yang bertahan sejak dahulu. Aku sering sekali kesulitan mempertahankan yang baru, karena beberapa minggu saja mereka bekerja, kejadian-kejadian buruk menimpa keluarga mereka. Seperti siang tadi, pekerja yang cukup lama bertahan di sini mengundurkan diri. Gempa membunuh ayahnya, dan serangan udara Amerika mencelakakan kakak laki-lakinya. Aku sungguh terluka mendengar tangisannya saat dia menjelaskan padaku, tak dapat kubantu lebih hanya pesangon dan beberapa barang yang dapat dia bawa pergi. 

"Apa di Osaka memang sedingin ini?" tanyaku pada pekerja yang kurasa umurnya tidak jauh dari Satoru, mungkin pertengahan 30. 

"Iya, terlebih kita tinggal di dataran tinggi. Mungkin itu membuat kaget tubuh Anda," jelasnya lembut padaku. 

Aku cukup bersyukur dia pekerja yang baik dan penurut. Nasibnya seperti yang lain, tapi dia lebih pilu. Seluruh keluarganya meninggal tertimpa puing-puing gempa besar bertahun lalu. 

Jam saku emas yang diberikan oleh Satoru kepadaku sebelum kepergiannya beberapa hari lalu menunjukkan pukul 12 malam. Aku tidak bisa tidur juga. Entah apa yang terjadi, hatiku seolah gundah gulana, dan pikiranku kacau entah ke mana. Apakah ini gangguan emosianal wanita sebelum datang bulan? 

"Riko, apa ada balasan surat dari suamiku hari ini?" 

"Saya belum tahu nyonya. Pengantar pos tidak menjangkau wilayah rumah ini, kita harus turun ke kota seperti biasanya." 





Siang ini kami pergi ke kota. Sejak 2 hari yang lalu perutku tidak karuan rasanya, pekerja di rumahku menyarankan untuk pergi ke dokter setelah selesai dari kantor pos. Dia mengkhawatirkan keadaanku dan berpikir bahwa aku hamil. 

Ramai warga berlalu-lalang, aku memperhatikan perbedaan warga di sini. Begitu kentara sekali mana warga Korea dan Jepang. Dan begitu terasa perlakuan dan perilaku yang diterimanya walaupun banyak warga Jepang yang sama menderitanya dengan mereka sejak perang. Anak-anak yatim-piatu bertambah, mayat cukup banyak bertebaran di stasiun dan jalan-jalan sepi. Sedikit kasus pembuhan, banyak dari mereka justru mati karena kelaparan. 

Tiba aku di kantor pos. Seminggu sudah berlalu, tapi Satoru belum juga mengirimkan uang dan balasan surat untukku. Kekhawatiranku bertambah, apakah perselisihan dua negara ini semakin memanas. 

Setelahnya aku datangi seorang dokter yang tidak jauh dari situ. Banyak wanita hamil juga di sini, berbagai kondisi. Tersayat hatiku melihat kesengsaraan yang ditimbulkan dari peperangan. 

Ada satu wanita yang terus memandangiku, perutnya besar, nasib tangan kanannya diperban. Aku dengar banyak bom yang dipasangi oleh tentara Amerika di dalam tanah, sampai-sampai ada mitigasi yang dilakukan sebulan lalu. 

"Apa kau hamil?" tanyanya kemudian padaku. 

Aku tersenyum, "Aku belum tahu." 

"Umurku mungkin tidak jauh beda darimu, tapi ini kehamilanku yang ke-4. Aku menikah sejak umur 14 tahun, anak laki-lakiku yang pertama sudah berusia 10 tahun." Nada suaranya kian lama bergetar. Matanya kemudian mulai berkaca-kaca. 

"Hah ... Tuhan, aku tidak bisa melupakan anakku tersayang, dia dibawa oleh tentara Jepang beberapa bulan lalu. Mereka mencurigai anakku, mereka membawanya, mereka tidak mengembalikannya padaku." 

Setelah keluhannya yang terdengar begitu sesak, dia menggenggam tanganku kuat. Matanya penuh keputus asaan dan tubuhnya gemetaran memandangiku.

Sesaat mata itu berubah, menajam seolah mengancam. Wajahnya mendekat, aku dengan jelas melihat butiran keringan padahal cuaca sedang dingin. 

"Nona. Aku tahu kau, aku tahu siapa suamimu. Aku tahu kau siapa!" Didekap tanganku ke dadanya, dan dipukul-pukulkan kemudian. "Aku mohon padamu, bisakah katakan pada suamimu, untuk memulangkan anakku? Dia hanya anak kecil, dia tidak tahu apa-apa, anak itu masih polos. Dia tidak bersalah. Tolong pulangkan anakku!" Tangisnya pecah, melemas tubuhnya ke lantai. orang-orang memperhatikan kami, lalu beberapa tentara yang sedang berkeliling menghampiri kami dan menenangkannya di ruangan terpisah. 

Tiba-tiba saja, tatapan dan kebisingan di ruang tunggu ini tidak dapat aku dengar. Hatiku terpacu begitu cepat, nafasku tersenggal. Semua orang memperhatikanku, mereka mengintimidasiku saat ini. Aku tidak tahan lagi. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro