4. Nasib Tinggal di Bumi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

3rd Person POV

Hari-hari silih berganti, keadaan semakin lama berubah juga. Gojo Satoru telah lama meninggalkan rumah untuk memenuhi tugasnya terhadap bangsa. Kehamilan sang istri kini hampir menginjak dua bulan lamanya. 

"Nyonya," menggema suara seorang pelayan di koridor dalam. Seorang yang dipanggil itu keluar dari salah satu ruangan. "Nyonya, tuan Suguru datang berkunjung. Tidak ada tuan Satoru di sini. Saya sudah menjamunya di koridor luar." 

Wanita itu tersenyum. Keadaan perutnya sedang tidak seindah itu untuk menjamu seorang tamu. Tapi apa yang bisa dia lakukan, pembantunya telah membuat keputusan terlebih dahulu. 

Dijalani lantai kayu itu olehnya perlahan. Pria tegap duduk bersila dihadapan sebuah meja kecil berisi teh terlihat memberi senyuman. 

"Bagaimana kabar Anda, Nyonya?" tanya pria itu ramah. 

"Kabar saya selalu baik. Bagaimana dengan Anda sendiri, tuan Suguru?" dibalas lagi dengan keramahan oleh sang nyonya rumah. 

Pria itu menegak, tersenyum sumringah, "Seperti yang Anda lihat sekarang." 

Senyuman kilas terlayangkan, sang nyonya rumah tidak terlalu perduli. Dituangkan teh yang sudah terseduh itu ke dalam cangkir masing-masing olehnya. 

"Maaf atas kedatangan saya yang tiba-tiba ini," ucap Suguru. Disesap sedikit teh yang telah dituangkan untuknya pula. "Beberapa minggu yang lalu, saya dan suami Anda melakukan perjalanan ke Hindia Belanda, tetapi saya kembali ke Jepang lebih dahulu untuk beberapa urusan. Beliau berpesan kepada saya untuk menyampaikan sebuah peti kecil ini untuk Anda."

Dengan perlahan Suguru memberikan kotak yang dia maksud pada Nyonya rumah. Menyampaikan amanat persis sesuai seperti yang rekannya pesankan. 

Perlahan dibuka kotak kecil itu di depan mata keduanya oleh sang Nyonya. Senyum sumringah merekah di wajah, tertampak sebuah hiasan bunga emas yang berkilauan dengan batu yang menghiasi. Tak lupa pula selembar surat di dalamnya. 

"Tuan Suguru, apakah Anda juga akan kembali ke Hindia Belanda menemui suami saya?" pertanyaan itu dilontar sedikit antusias. 

"Iya. Dalam beberapa hari saya akan melakukan pelayaran menuju Hindia Belanda. Dan saya akan kembali lagi ke sini dalam beberapa bulan bersama suami Anda," jelasnya. 

"Apakah Anda bisa sampaikan kepada suami saya tentang kehamilan saya?" 




Fajar pagi menyingsing, salju-salju yang berjatuhan semalam mulai mencair, suhu diperbukitan pun mulai menghangat. 

"Riko, aku tidak dapat membantumu mengurus rumah ini. Kalau ada kenalanmu yang ingin bekerja di sini, ajak saja. Agar kau tidak kelelahan," Wanita berusia 30an tahun yang tengah merapikan alat makan berhenti saat mendengar perkataan itu. Sulit pikirnya, dia sendiri tidak memiliki banyak teman, terlebih yang sedang tidak berkeja. 

"Aku tidak apa-apa, Nyonya. Tidak ada pekerjaan berat yang aku lakukan di sini, hanya bersih-bersih dan menemani Anda saja." 

Sang Nyonya terdiam sebentar, "Kalau tunjangan yang biasa diantarkan dari kediaman Kaisar, apa sudah datang? Ini sudah lewat dua hari, dan semakin sulit mencari bahan makanan saat musim dingin," katanya, lalu duduk ia di tengah pintu. 

"Saya akan turun ke kota setelah ini, untuk menanyakan perihal tunjangan di pangkalan."

"Apa aku bisa ikut?" 

"Dengan senang hati, Nyonya." 

Senyum merekah tercetak di wajah sang Nyonya, bergegas dia berdiri, "Kalau beigtu aku akan siapkan mobilnya dulu!"

Toyoda AA berwarna hitam mengkilap bergetar mengantarkan gelombang suara dari mesin yang sedang menyala. Dibawa perlahan mesin dengan 6 silinder itu keluar, lalu sang pembantu menyusul masuk setelah pagar rumah sudah ditutup.

Jalan perkebunan yang dipenuhi oleh sisa guguran pohon sakura yang mungkin akan segera terganti selepas musim dingin berlalu sudah terlewati. Tersambung jalan tersebut menuju jalanan yang sudah teraspal lebar. 

Mobil-mobil pribadi masih jarang yang berlalu lalang, orang-orang masih memilih untuk berjalan kaki dan memanfaatkan fasilitas yang tersedia. Alasan utama memang harga. 

"Riko, bisa kau turun dan tanyakan pada mereka? Aku mual mendengar bisingnya tempat itu."

"Baik, Nyonya." 

Dijalankan perintah dari majikannya, turun wanita itu dari kursi penumpang. Melangkah dengan cepat menuju pos jaga depan, memulai perkenalan kecil, dan diizinkan dia masuk ke dalam. 

Rasa gelisah tiba-tiba mucul tanpa sebab saat pembantunya menghilang dari pandangan, sang Nyonya mengetukkan jarinya di kemudi dan mengulum sedikit bibir meronanya. Pikirannya tiba-tiba saja diserang banyak kekhawatiran. Matanya terus saja memandangi tempat pembantunya berjalan. Lagi, sudah beberapa hari dia diserang oleh perasaan tidak karuan ini. Rasa gelisah yang datang tidak tentu, yang bahkan mengganggu waktu tidurnya. 

Kuluman bibir dan hentakan kemudia berhenti dilakukan olehnya. Terlihat sang pembantu berjalan mendatangi. Tangannya kosong, hal-hal yang diharapkan sepertinya tidak didapat, nampak juga dari wajah sang pembantu.

Pintu mobil terbuka, duduk wanita itu di samping majikannya. "Maaf Nyonya, tunjangan bulan ini belum sampai. Katnya pasokan sedang diutamakan untuk para tentara." 

"Baiklah kalau begitu. Mungkin kita harus mendatangi toko perhiasan." 

Berpikir cepat kepalanya, beruntung hal ini sudah diantisipasi oleh sang Nyonya sejak di rumah. Untuk itu pula dia mengenakan kalung mutiara dan beberapa perhiasan yang terpasang di badannya. Hal ini dia pelajari dari sang Ibu, yang selalu menyimpan uang rahasia. Katanya untuk berjaga-jaga, karena nasib esok tidak ada yang tahu bagaimana. 

Musim paceklik seperti ini memang sengsara dan ancaman bagi siapa saja. Bank sejak pagi hingga sore ramai orang menarik uang, toko perhiasan juga banyak orang berlalu lalang menjual perhiasan mereka untuk dapat uang dengan mudah. Kejadian ini cukup menunjukkan kondisi yang sedang terjadi. 

"Maaf Nyonya. Ini terlalu mahal untuk toko kami. Anda bisa mendatangi tempat lain yang lebih besar." 

Ini sudah menjadi tempat ke-3 yang menolaknya. Wanita hamil ini setengah putus asa. Dipikirkan lagi jalan lain. 

"Kalau sisanya kau bayar dengan perhiasaan lagi bagaimana? Aku benar-benar lelah hari ini." 

"Hmm, saya bingung--"

"Tolong, Pak. Saya sedang hamil, dan suami saya belum mengirimkan uang." 

"Baiklah." 

Merogoh tangan pria itu ke dalam kasir. Membuat catatan, kemudian mengambil sebuah cincin dengan berat 3 gram. 

"Ini 400 dan cincin emas 17 karat untuk Anda." 

Meragu wanita itu. "Ini terlalu sedikit, Pak." 

"Saya tidak ada lagi uang. Sejak pagi banyak orang menukarkan barang mereka. Kalau kau tidak mau pulang saja." 

Nada tinggi orang itu menyakiti hatinya. Menukik alis sang Nyonya menatap pria itu. Diambil kasar uang dan perhiasan hasilnya dengan kalung mutiara berpengait emas murni. 

"Ini tidak sebanding. Akan aku tagih lagi kau nanti!"

Kalau bukan karna rasa mual dan lapar yang menghampirinya, entah berapa lama lagi ia bernegosiasi soal harga perhiasaan tersebut. 

Diajak sang pembantu olehnya menuju rumah makan baru dengan branding murah kala itu. Banyak warga mengantri kelas menengah mengantri. muda-mudi yang kasmaran pun tak jarangn berpartisipasi. 

"Riko. Apa kau pernah hamil?" Pertanyaan itu keluar dengan pertimbangan cukup lama saat mereka sedang menunggu makanan diantarkan ke meja. 

Riko cukup terheran dengan pertanyaan tersebut. Umurnya memang cukup jauh lebih tua dari sang Nyonya, wajar bila wanita itu menanyakan hal tersebut. "Saya belum pernah, Nyonya. Hanya saja saya pernah bekerja untuk wanita hamil beberapa tahun lalu," jawabnya santun. 

Wajah sang Nyonya mnampilkan kegelisahan lagi. "Begini, tadi pagi aku melihat darah saat mandi. Apakah itu wajar? Atau apakah sebenarnya aku tidak hamil?" 

"Itu cukup wajar. Apakah perut Anda terasa sakit Nyonya?" 

"Terkadang saat malam rasanya seperti melilit. Aku takut, Riko." 

"Akan saya panggilkan dokter saat pulang nanti."Wanita itu tersenyum mendengar kecakapan pelayannya dalam mengurus dirinya. Kekhawatiran yang lalu pun kian memudar, besar rasa syukur dia rasakan untuk banyak hal.

"Permisi."

Seorang pelayan datang mengantarkan dua mangkuk mie panas di atas nampan. Menyusul dengan itu, getaran kecil terasa dari dalam tanah. Orang-orang mulai berdiri dan memperhatikan sekitar mereka dengan wajah panik. 

"Aahh!"

Tak dapat dipertahankan keseimbangan itu oleh pelayan, mie panas yang hendak dia taruh di meja itu tertumpah di paha sang pelayan, membuatnya menjerit kesakitan. 

"Riko!" Berdiri sang nyonya mengkhawatirkan pembantunya. 

Hendak ia tolong Riko itu, sayangnya guncangan kian membesar. Orang-orang yang semula hanya waspada mulai berteriak dan berhamburan saat peyangga atap mulai beretakan. 

Meja dan kursi mulai beralih posisi mengikuti teriakan dan hamburan warga yang berusaha keluar dari bangunan tersebut. 

Sang nyonya diterpa rasa panik yang besar, ditarik tangan Riko yang kesusahan berjalan menuju pintu keluar. Keduanya berusaha untuk tidak tertinggal dari rombongan orang, dan berharap tidak tertimpa reruntuhan. 

Sial suhu panas tersebut membakar kulit paha Riko. wanita itu kesusahan mengikuti langkah majikannya. Walau begitu mereka berhasil keluar ke jalanan. 

"Nyonya, apa Anda tidak apa-apa?" tanya Riko khawatir. 

"Aku tidak apa-apa. Cepat!"

Di tengah jalan yang ramai orang itu mereka terus berjalan, terbawa arus langkah dan terhalang pandangan oleh asap dari beberapa tempat yang terbakar dan debu-debu bangunan yang runtuh.

Gemuruh tidak hentinya terdengar, orang-orang semakin histeris berteriak taku dan memanggil-manggil orang yang mereka cari. Sementara itu sang Nyonya dan pembantunya tidak terlepas berpegangan melawan gelombang manusia yang berhamburan. 

Dentuman besar terdengar, langkahnya terhenti saat dirasa Riko menahan tangannya. Wanita itu berbalik cepat dan mendapati apa yang menimpa tubuh pembantunya. 

"RIKO!!!" Tangisnya mulai pecah, tubuh sang pembantu tertimpa sebuah tembok. Dengan panik wanita itu menyingkirkan puing-puing yang berhamburan menutupi punggung pembantunya.

 "Riko! Riko! Riko! Jawab aku!" Tangisnya histeris memanggili sang pembantu.

"Nyonya, saya tidak apa-apa. Cepatlah pergi ke tampat yang lapang, biarkan saya di sini.

Tidak didengar saran tersebut oleh sang Nyonya, dia terus histeris meraung-raung menyebut nama pembantunya dan membantunya berdiri. 

Gempa bumi kemudian berhenti, tapi teriakan dan langkah kaki orang-orang masih terus berhambur. Dikaitkan tangan Riko ke bahunya, membantu tubuh wanita itu yang banyak luka dan darahnya yang tercampur debu reruntuhan untuk berjalan. 

"Aku tidak akan meninggalkanmu. Berlindunglah bersamaku." 

Terus dituntun tubuh pembantunya yang kian tidak berdaya itu menghampiri mobilnya yang sudah banyak penyok oleh puing-puing dan lecet yang disebabkan oleh kereta warga. 

"Riko, bertahanlah," ucapnya menyemangati. Diletakkan tubuh itu di kursi penumpang. Dilepas syal kucel yang melingkari lehernya, dan mengikatkannya di tubuh sang pembantu. 

Pandangan yang semula ditunjukkan untuk majikannya perlahan meremang, erangan sakit yang terus ia tahan sepanjang jalan akhirnya dikeluarkan tanpa sadar. Nafas Riko semakin meninggi. Wanita itu mengalami kerusakan parah pada tulang dadanya, yang menyebabkan paru-parunya kehilangan banyak fungsi. 

"Kumohon bertahanlah." 

Isak tangis yang semula terhenti dimulai lagi, sang Nyonya mengusapi wajah pembantunya, ia tahu apa yang akan terjadi. Hal yang hampir sama menimpa Ibunya beberapa tahun yang lalu. 




Tatapan wanita itu kosong ke depan. Mobil yang ia kendarai melewati perlahan jalanan gelap menuju rumahnya yang terletah di bukit. Dalam hatinya mengutuk sang suami yang menolak meletakkannya di rumah utama. 

Gempa besar yang terjadi sore tadi menjungkir-balikkan hidupnya yang mulai membaik lagi. Kejadian yang membuatnya trauma terulang kembali. Apa yang Bumi ingin lakukan dengan memberi gempa besar yang selalu menimpanya. 

Sampai dia di depan gerbang, dirogoh kantung baju dari wanita yang sudah tidak bernyawa lagi di sampingnya untuk mengambil kunci. Isakan dan cegukan tangis itu terus terdengar, bahkan bibirnya bergetar saat menyentuh tubuh wanita di sampingnya. 

Diusap terus menerus air mata yang menghalangi pandangannya saat membuka pagar, wanita itu kemudian membawa masuk mobilnya ke halaman. 

Pikirannya tidak dapat lagi berpikir jernih. Perhiasaan yang raib entah ke mana, dan uang yang juga tercuri bersama gempa benar-benar melengkapi kehancuran wanita itu. Digali tanah di pinggir pohon sakura belakang sebelah kanan dengan cangkul kecil yang biasa dipakai pembantunya untuk bercocok tanam. 

Diseret perlahan tubuh pembantunya ke tanah yang sudah ia gali selama 3 jam lamanya. Tenaga wanita itu hampir habis, penuh usaha dan keringat dia menguburkan pembantunya sendirian. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro