Chapter 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : AlvinaZefanya

Beberapa saat setelah pemuda itu masuk ke rumah, samar-samar terdengar suara dentuman benda jatuh yang berasal dari dalam. Minerva semakin mengerutkan keningnya.

Brak!

Kei menendang pintu dengan kaki agar terbuka lebih lebar lagi. Kedua tangannya menenteng sebuah tas ransel yang ukurannya sedikit lebih besar dari punya Minerva, dan memanggulkan tas itu ke punggungnya.

"Aku ikut denganmu," ucap Kei dengan serius.

"Kau akan ikut denganku? Yang benar saja!" kata Minerva terkejut. Dirinya enggan untuk membayangkan jika di perjalanan nanti Kei terus-menerus membentaknya dan menyorot tatapan berbahaya melalui netra tajamnya. "Aku bisa sendiri. Lagi pula aku–"

Ucapan Minerva terhenti karena Kei mendadak melayangkan pukulan ringan ke keningnya. Minerva ingin menjerit, tetapi sekuat tenaga menahannya karena Kei menatapnya lekat-lekat dengan muka memerahnya.

"Bisakah kau diam, dasar bodoh? Aku tidak suka kata penolakan yang selalu keluar dari mulut sialmu. Sekali lagi kau menolak atau menyela, aku tidak akan segan memukulmu."

"B-baiklah," ucap Minerva gemetar ketakutan. Ia tidak berani membantah karena takut oleh aura dingin mencekam yang dikeluarkan pemuda itu.

Kei melepaskan tangannya dari kening Minerva lalu berbalik. "Sekarang kita pergi ke mana?"

"Erhh ... sebentar." Minerva menutup matanya dan mencoba untuk mengingat-ingat mimpinya semalam. Minerva dapat mengingat jelas ketika mimpinya itu membawa dirinya menjelajah ke sebuah bukit batu nan tinggi yang terletak di tengah-tengah hutan lebat. Puncak bukit batu diselimuti kabut tebal berkesan mencekam, dan berdirilah sebuah kuil batu berlumut yang terlihat kuno. Kuil itu cukup terbuka sehingga terlihat aula dalamnya yang berlumut. Di sana terdapat sebuah benda mirip meja yang tersusun oleh batu. Terukir banyak simbol pentagram di dinding meja.

"Sudah tahu mau ke mana?" tanya Kei tidak sabaran. Pemuda itu mengentak-entakkan kaki sambil berkedut bosan.

Minerva membuka matanya dan mengerjap-ngerjapkannya dengan cepat. Mimpinya tadi malam hanya sampai pada titik itu saja. Petunjuknya masih terlalu minim.

"Kei ... apa kamu tahu bukit batu yang di atasnya terdapat kuil kuno? Semalam aku memimpikan tempat itu. Mungkin di situlah tempat pusakanya berada," tanya Minerva bersemangat.

"Kau bilang kuil kuno di atas bukit batu? Asal kau tahu, itu adalah kuil keramat! Kuil itu merupakan satu-satunya peninggalan para penyihir yang tidak pernah tersentuh oleh serangan elf. Kuil itu di selimuti sihir kuno yang sangat kuat. Siapa pun orang yang mencoba melangkahkan kaki ke kuil itu tidak akan selamat. Pergi ke sana sama dengan bunuh diri, dasar bodoh!" bentak Kei yang mulai kesal.

"Tapi mimpi itu menyuruh kita untuk pergi ke kuil. Tidak mungkin kalau berakhir dengan bunuh diri. Pasti ada jalan keluarnya!" kata Minerva dengan suara yang meninggi.

"Oh baiklah! Mari kita pergi ke kuil itu. Tapi kalau sampai saja aku mati karena mengikuti petunjuk bodohmu, aku akan mengutuk seumur hidupmu agar sengsara!" tukas Kei tajam. Dia langsung melangkah ke arah utara menuju hutan lebat tidak jauh dari rumah. Mau tidak mau, Minerva mengikuti punggung pemuda itu ke dalam hutan. Enfil berlari-lari kecil tidak jauh darinya.

Semakin jauh mereka berjalan, semakin rapat pula pepohonan yang tumbuh. Sinar matahari siang menembus di antara lebatnya daun pohon. Minerva mendongakkan kepalanya menatap sekeliling hutan. Dirinya membatin kalau hutan disini lebih asri dan lebih banyak akar pohon yang berlalu lalang dibandingkan dengan hutan tempat berkemahnya kemarin. Minerva menghirup udara dan menghembuskan dengan perlahan. Dapat dirasakan kalau udara di hutan ini lebih dingin.

"Argh!" Minerva berseru kaget karena dirinya tersandung oleh akar pohon yang melintang di depannya. Ia terjatuh dan tanpa sengaja menubruk punggung Kei hingga pemuda itu ikut terjatuh.

"Apa yang kau lakukan dasar bodoh? Bisakah kau tidak selalu membuatku kesal!" kata Kei mulai lelah. Dia memungut tasnya dan mengalungkannya ke punggungnya.

"Maaf ... tadi aku tersandung. Aku tidak bermaksud untuk menimpamu ... sungguh," ungkap Minerva dengan perasaan yang bercampur aduk. Dirinya bangkit berdiri dengan muka yang berekspresi takut. Mimpi buruk jika dirinya sampai diceramahi Kei berjam-jam tanpa henti.

"Huh ... pasang matamu saat berjalan. Fokus! Bisa saja kau menginjak ular atau hewan buas lainnya di hutan. Kau tidak ingin mati mengenaskan karena hal sepele, 'kan?"

Minerva menganggukkan kepala. Mengapa kau bisa sebodoh itu, Silvanus Minerva? Dirinya mengulaskan senyum kecut.

Minerva dan Kei melanjutkan perjalanan tanpa suara sedikit pun. Mereka berdua terhanyut dalam pikirannya masing-masing. Sekian lama gelisah oleh pikirannya sendiri, akhirnya Minerva memutuskan untuk mengutarakannya kepada Kei.

"Kei ... ada sesuatu yang harus ku katakan," Minerva membuka pembicaraan.

Pemuda itu tetap berjalan dan menanggapi perkataan Minerva dengan sebuah dengusan.

"Erhh ... masih jauh, kah, kuil kuno itu? Aku sudah lelah berjalan," kata Minerva dengan rasa pegal yang mulai menjalar di seluruh tubuhnya.

Kei berhenti berjalan dan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit siang menuju sore hari. "Tidak terlalu jauh ... dua hari lagi kita akan sampai."

"Dua hari? Dapat dipastikan semua tulangku remuk ketika sampai di kuil," kata Minerva lemas. Ia mendudukkan lelah di permukaan tanah, "biarkan aku istirahat."

Kei mendengus lalu melemparkan tasnya ke tanah. "Baiklah. Kita istirahat 20 menit lalu kembali melanjutkan perjalanan. Ingat, kita masih belum lolos dari kejaran para elf. Terlalu membuang waktu akan sangat berbahaya bagi kita," jelas Kei sambil mendudukkan diri dekat Minerva. Dia membuka tasnya dan meraih kantong kulit berisi air. Kei meneguknya dan menikmati minuman itu.

"Apa yang kamu minum?" tanya Minerva ingin tahu.

Kei menggoyang-goyangkan kantung kulit itu lalu berkata, "Ale. Mau coba?"

Minerva menganggukkan kepala. Ia menerima kantung kulit yang disodorkan Kei dan langsung meneguk cairan berwarna kuning kecokelatan itu dalam satu tegukan. Rasa yang begitu pahit langsung merangsang permukaan lidah. Minerva tersedak oleh minuman itu.

"Pelan-pelan dasar bodoh. Kau bisa mabuk." Pemuda itu terkekeh geli melihat tingkah Minerva.

Minerva menyeka mulutnya dengan siku baju, kemudian menyerahkan kembali kantung itu kepada Kei. "Aku tidak akan minum minuman itu lagi seumur hidupku. Rasanya begitu pahit dan tidak enak. Seperti minuman basi!"

"Rasanya memang pahit, tapi tidak basi," kata Kei yang masih terkekeh.

"Berhenti menertawakanku, sialan! Bisakah kau membahas tentang kuil kuno itu?" pinta Minerva dengan muka memerah. Ini sangat memalukan, pikirnya.

Kei meneguk kembali minuman itu. "Seperti yang kukatakan tadi ... kuil keramat itu diselimuti sihir kuno yang sangat berbahaya. Tidak hanya itu, untuk dapat masuk ke area kuil, kita harus melawan para penjaga kuil. Mereka—"

"Penjaganya manusia, penyihir, atau elf?" sela Minerva untuk kesekian kalinya.

"Singkatnya ... kita akan melawan monster. Mereka bisa terbuat oleh kerikil berbatuan dan pohon besar." Kei mengerut muram. "Dan bagian terburuknya adalah ... jumlah mereka sangat banyak. Beberapa dari mereka ada yang bisa mengendalikan sihir. Itu adalah bencana besar mengingat kita hanya berdua."

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro