Chapter 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : Zulfa_Fauziyyah

"Aqua eructo!"

"Carpe retactum!"

"Depulso!"

Kei memutar bola matanya bosan. Sejak tadi Minerva terus menerus mencoba satu per satu mantra dari buku sihir di genggamannya. Dia tidak peduli dengan lingkungan sekitar.

Langit perlahan-lahan sudah meninggalkan cahaya terangnya, digantikan oleh kegelapan yang sebentar lagi dapat dipastikan akan mengikuti mereka. Kei mengedarkan pandangannya ke sekeliling, di mana pohon beringin besar tumbuh di sekitar tempat itu.

"Evanesco!"

Cukup! Kei benar-benar dibuat jengah sekarang. Pemuda itu sudah cukup bersabar dengan sifat Minerva yang tiba-tiba mengalami perubahan setelah membaca buku sihirnya.

"Bisakah kau hentikan itu!" desis Kei.

Minerva terdiam. Di sebelahnya Enfil tampak menggeram marah. Netra keperakannya berkilat dengan kuku yang kini meruncing tajam.

"Tapi aku sedang berlatih sihir," cicit Minerva.

"Tapi bukan berarti kau bisa menggunakan kekuatanmu sembarangan. Bagaimana kalau para elf menemukan kita gara-gara tindakan bodohmu itu?"

Menutup bukunya, Minerva kini berdiri di hadapan Kei sambil menatapnya takut. "Aku bisa melawan mereka dengan sihir yang baru kupelajari."

"Apa kau bilang?" tanya Kei marah.

Burung-burung yang tadi hinggap di antara ranting pohon beringin di sekitar mereka tampak beterbangan, menghindar dari kegaduhan yang pemuda itu ciptakan.

"Aku hanya ingin melindungi kita dari serangan elf itu! Asal kau tau, sihirmu itu bisa terdeteksi oleh mereka. Dan karna hanya kita penyihir yang tersisa, maka sudah pasti mereka akan bergerak lebih cepat lagi," jelas Kei.

Minerva tampak berpikir lama. Menghela napas pasrah, Minerva mengemasi barang-barangnya kemudian menggendongnya hati-hati.

"Baiklah, aku minta maaf. Ayo! Kita lanjutkan perjalanan," ajaknya sembari berjalan pelan diikuti Enfil dan Kei yang masih diliputi amarah.

***

Sekitar dua jam mereka telah berjalan melewati hutan, dan kini mereka telah mencapai perbatasan, di mana lembah dengan lumpur hisap kerap menelan siapapun yang mencoba melintasinya.

Glacious! Beruntung Minerva sudah tahu mantra untuk membuat lumpur di depan mereka beku. Jika tidak, bisa dipastikan mereka akan kalah sebelum perang benar-benar dimulai.

Langit di atas mereka semakin kelam. Tanpa bulan. Tanpa bintang. Suara desau angin terdengar nyaring, beradu dengan dedaunan kering yang berlarian mengikutinya.

Jarum jam semakin bergerak cepat, menyambut malam yang semakin larut. Keheningan terasa mencekam. Dengan disinari sihir cahaya Minerva, mereka terus berjalan beriringan.

Kresek....

Minerva melompat ke depan, sementara Kei sudah memasang kuda-kuda, siap menghadapi musuh. Setelah itu tidak ada pergerakan lagi. Hutan kembali sunyi.

Saling berpandangan, Kei dan Minerva bergerak hati-hati ke arah datangnya suara tadi.

Kini mereka berdiri di antara ratusan pohon pinus berusia ratusan tahun. Berbeda dengan jalan setapak sebelumnya yang hanya dikelilingi pohon serbian spruce berukuran sedang.

"Tidak ada apa-apa," tutur Kei pelan. Matanya masih awas, meneliti satu per satu sudut hutan dengan sebilah gladius di tangannya.

Minerva berjalan mundur, hendak kembali ke jalan tadi ketika kakinya tiba-tiba tergelincir sebuah ranting berukuran cukup besar. Pantatnya menyentuh tanah dan dedaunan kering hingga menimbulkan suara bedebam yang tidak terlalu keras.

Enfil berlari kecil ke arahnya. Tapi bukan Minerva yang ia hampiri, melainkan ranting yang tadi diinjaknya.

Menyeret ranting itu dari balik dedaunan, sesosok mahkluk tampak tak sadarkan diri dengan beberapa luka di wajah dan lengannya. Minerva dan Kei berjalan menghampirinya. Dan seketika itu Minerva memekik kaget tatkala seseorang itu tidak asing lagi baginya.

Minerva berjongkok. Diangkatnya kepala seseorang itu dan ia letakkan di pangkuannya.

"Ken ...," panggilnya sembari menepuk-nepuk pipi Kenneth.

"Kau mengenalnya?" tanya Kei.

"Ya, dia temanku."

"Teman?"

Minerva tampak tergugu. Benar, apa yang baru saja ia pikirkan, seorang teman. Apa memang seperti itu hubungan mereka dulu?

Minerva tersenyum kecut kemudian melanjutkan, "Maksudku, aku mengenalnya."

"Apa dia seorang manusia? Kau tau sejujurnya aku tidak yakin."

"Apa maksudmu?" tanya Minerva penuh kebingungan.

Kei mengedikkan bahunya. "Kau pikir saja, bagaimana bisa manusia melewati portal dunia kita? Tidak bisa, portal hanya bisa ditembus oleh orang-orang tertentu."

"Lalu apa kau berpikir Kenneth adalah seorang elf, begitu? Dia manusia, dan aku juga tidak melihat ada tanda-tanda elf di tubuhnya?"

"Aku tau, tapi kita harus selalu berhati-hati kan? Bagaimana kalau dia bukan temanmu? Bagaimana kalau ini hanya samaran untuk memancing kita? Atau bagaimana—"

"Ta-tapi, dia temanku, aku yakin itu," sanggah Minerva sembari menggosok lengan Kenneth yang dipenuhi tanah.

Tiba-tiba Enfil menggonggong kecil, menghentikan perdebatan di antara keduanya.

"Sudahlah, lebih baik kita mencari tempat aman sekarang. Aku tidak mau para elf itu menemukan kita hanya karena satu kaumnya hilang entah ke mana," kata Kei kemudian berjalan lebih dulu.

Minerva melirik Enfil dengan pandangan memohon.

"Aku percaya Kenneth, Enfil," ujarnya lirih.

***

"Aku dalam perjalanan ke rumah sore itu," ucap Kenneth memulai cerita. Tangannya mendekap erat selimut lusuh yang Minerva temukan di sebuah bangunan tua yang kini mereka gunakan sebagai tempat berlindung.

"Aku mendengar suara berisik dari balik rumah Quentin, kupikir dia sedang mengadakan pesta, makanya aku berjalan ke sana. Tapi saat sampai di sana, bukan Quentin yang kutemukan ... tapi sekelompok makhluk aneh bertelinga panjang yang tengah mengelilingi seekor babi berukuran besar."

Pemuda itu menghembuskan napas berat. Manik hitamnya menatap kobaran api kecil yang mereka gunakan sebagai penghangat tubuh.

"Aku ketakutan, kuputuskan untuk kembali ke jalan, tapi mereka lebih dulu melihatku. Dua dari beberapa mahkluk itu berjalan cepat dan menangkap tubuhku. Aku berontak, tapi mereka jauh lebih kuat berkali-kali lipat. Mereka menaburkan bubuk ke wajahku, dan setelah aku tidak sadarkan diri.

Aku tidak ingat apapun sampai aku sadar mereka membawaku ke tempat mereka. Tanganku diikat, aku ada di sebuah ruangan dengan kuali besar berisi air mendidih dan juga beberapa sayuran di sekitarnya. Mereka ingin memakanku, makanya aku berusaha kabur. Tapi mereka tau, aku lari dari sana. Kupikir aku akan mati mengingat hutan itu dikelilingi pohon besar yang menyeramkan."

Pemuda itu–Kenneth–tampak menerawang. Di depannya Minerva mengamati dengan perasaan was-was. Sementara agak jauh dari tempat mereka duduk, Kei ikut menyimak meski setengah hati.

"Mereka mengukutiku. Aku menyebrangi sungai sampai akhirnya jatuh dari tebing. Setelah itu aku tau kau menemukanku, Silavanus!"

Bibir Minerva tertarik ke atas membentuk senyum simpul. "Dan kau selamat sekarang," tambahnya.

Kei memutar bola matanya bosan. Ia seperti tengah menyaksikan adegan menjijikkan yang dulu sering ia lihat ketika desanya masih baik-baik saja. Itu berarti sudah belasan tahun yang lalu.

"Kau tau, aku sangat berterimakasih karna kau membawaku bersama kalian, kalau tidak, aku tidak tau lagi seperti apa nasibku sekarang."

"Bisakah kalian tidak membuat adegan menjijikkan di sini? Kita butuh istirahat dan butuh ketenangan sebelum besok kembali melanjutkan perjalanan," ujar Kei menginterupsi. Tangannya terlipat di depan dada.

"Tapi Kenneth sedang sakit, kita harus menunggu di sini sampai keadaannya membaik."

"Dan apa kau berniat agar para elf itu menemukan kita? Siapa yang kemarin memaksa agar cepat melanjutkan perjalanan dan menemukan benda pusaka selanjutnya?" bebernya.

Minerva tersindir. Ia memang yang menginginkan semuanya berjalan cepat, namun melihat Kenneth terdampar di dunia yang tidak seharusnya, Minerva tidak mungkin membiarkannya begitu saja.
Kenneth tidak boleh mati.

"Sudahlah, jangan risaukan aku. Besok keadaanku pasti akan membaik. Kita bisa lanjutkan perjalanan," lerai Kenneth.

"Apa kau bilang? Kita?" Kei mendengus sebal. "Memangnya siapa yang mengajakmu besok? Lebih baik kau pulang saja ke dunia manusia."

"Kumohon izinkan dia ikut, Kei," pinta Minerva yang dibalas pelototan Kei.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro