Chapter 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : the_pen_of_happiness

Deru langkah cepat, yang terseimbangkan dengan hembusan napas yang tak teratur, menemani mereka disetiap jejakan tanah. Mereka masih terus berlari, menimbulkan suara gesekan antara dedaunan, meninggalkan keringat yang berjatuhan. Kei berlari lebih cepat, menatap lurus ke depan, tersadar akan sesuatu.

"Silvanus, di depan ada pohon besar!" seru Kei yang menunjuk dengan cepat.

Kei segera membelokkan jalur tempuh mereka.

Minerva mengikuti langkah kakinya, membututi Kei dengan napas yang hampir putus. Tidak bisa menggunakan sihir, dia terlalu panik hanya untuk sekedar bermain imajinasi. Dia juga tidak mungkin membuka buku sihirnya, ketika dirinya saja sudah tidak bisa berpikir terbuka.

Kei menghentikan langkah, merunduk memegang lututnya yang lentur. Napasnya tersendat-sendat, rambutnya yang kacau semakin terlihat kacau sekarang. Terlihat dengan jelas dia tidak sanggup lagi, sepertinya dia akan ambruk seketika.

"Kei, aku sudah tidak sanggup lagi," keluh Minerva yang baru bisa menyusulnya. Dia melakukan hal sama seperti pemuda di sebelahnya.

"Aku juga." Kei menatap sekitar, berusaha menjernihkan kepala dengan menyapu segala kepanikan yang bersarang.

Mencari sesuatu yang mampu membuat mereka bersembunyi, seperti gua ataupun hal lainnya. Namun, rasanya nihil. Bagaikan membuat kue yang lezat dengan batu, itu sebuah kemustahilan yang besar. Terlebih mereka semakin menjauh dari desa penyihir yang hanya tinggal kenangan. Membuat mereka semakin membedah hutan dan terjebak di antara seluruh isinya.

"Auuuu ... wuk ... wuk (kita harus lari)!" seru Enfil yang menatap mereka kelelahan. Dia menarik-narik baju Minerva dengan mulutnya yang menggigit.

Dia masih mampu berlari dengan kaki pendeknya tersebut. Kita semua tidak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa Enfil adalah seekor serigala, bagi serigala sudah hal yang lumrah untuk belari seperti ini.

"Enfil, aku tidak sanggup," desis Minerva melemah. Tangannya melepaskan gigitan Enfil dari bajunya.

"Silvanus, kita harus memanjat pohon!" seru Kei menengahi obrolan Minerva dengan Enfil.

Minerva menoleh, menatap Kei yang telah separuh jalan menggapai dahan pohon yang keras. Tangannya memeluk dahan dengan kuat, memastikan dia tidak akan tergelincir dengan mudah. Dalam hitungan detik, Kei telah sampai menuju dahan terkuat. Minerva masih menatapnya yang telah terduduk pasrah di atas sana. Dia menoleh ke arah Enfil yang berdiri di sampingnya.

"Hey bodoh, kenapa kamu masih diam? Apa kamu tidak bisa memanjat?" Kei berteriak ke arah Minerva yang masih di bawah.

"Aku bisa, tetapi tidak untuk Enfil!" Minerva menunjuk Enfil yang hanya melihat mereka berdua. Enfil bisa saja pergi ke atas sana dengan mengeluarkan sayapnya, tetapi apakah tidak aneh untuk anjing sepertinya yang sedang menyamar?

"Bodoh, elf semakin dekat, jangan buang waktu," ketus Kei tak percaya bahwa dalam keadaan seperti ini dia masih memikirkan anjingnya. "Biarkan saja anjingmu di bawah, kau lebih memilih kau yang mati apa anjingmu?"

"Tidak keduanya." Minerva memalingkan wajah dan menatap Enfil yang hanya bisa duduk menggerakan ekor.

"Naiklah, kita gunakan sihir untuk mengangkatnya." Kei pasrah berdebat dengannya, setidaknya keturunan penyihir yang terakhir ini harus selamat sampai tujuan.

Seketika Minerva langsung setuju, dia memegang pohon dan mulai memanjat. Tangannya dengan kuat mencengkram bagian-bagian pohon, hingga dia bisa sampai dengan selamat. Dia menoleh menatap Kei, menagih ucapan yang baru saja dilontarkan oleh pemuda itu.

"Locomotor!" seru Kei sekejap. Seketika Enfil berada di atas pohon dengan dahan satunya. Enfil seperti ditarik oleh benda kuat, tersedot dan terhempas keatas dahan. Anjing siberian husky itu tidak bisa bergerak, dahan pohon terlalu kecil untuk seukuran Enfil yang sedang, Enfil seperti tersiksa menerima nasib pahitnya.

"Kei, dia tidak bisa bergerak!" protes Minerva. Kei mengerutkan dahi lelah mengerti kemauan Minerva.

"Tidak peduli, aku hanya berjanji untuk mengangkatnya ke atas pohon, bukan untuk membuatnya nyaman."

Minerva mendengus mendengar ucapan pemuda itu. Seperti keajaiban apabila dia bisa mengerti perasaan Minerva sesungguhnya. Minerva menoleh ke arah Enfil, dan mulai memikirkan sesuatu. Mulai memainkan imajinasinya yang berjalan akibat pikirannya yang tenang.

Pikirkan dahan yang besar, dengan daun di sekitarnya, batin Minerva.

Dahan yang ditempati Enfil semakin membesar seiring waktu, hingga ia bisa bergerak dan memposisikan tubuh berbulunya yang sedang. Minerva tersenyum melihatnya, melihat Enfil yang telah nyaman dengan posisinya.

"Lihatlah Enfil, bahagia bukan dia? Untung dia—"

"Diam, para elf mendekat," bisik Kei.Tangannya menutup mulut Minerva rapat, mendekap tubuh Minerva yang bersandar pada batang. Semakin lama semakin dekat, hingga tidak terasa ruang di sela-sela mereka telah tidak ada lagi. Mereka telah menyatu sekarang.

Beberapa elf mendekati pohon tempat mereka berada. Mereka berkeliling sebentar mengitari sekitar pohon, tetapi mereka tidak kunjung pergi. Mereka semua masih terdiam di sana, merasakan sebuah kekuatan sihir berada di sekitar mereka, tetapi mereka tidak melihat tanda-tanda adanya para penyihir.

"Mereka menghilang," ucap salah satu elf berambut pirang. Rambutnya paling pendek di antara para elf lainnya, sepertinya dia adalah elf yang masih muda. "Kita jalan kesana!"

Melalui perintahnya semua elf pergi ke arah yang ditunjuk. Minerva bernapas lega, seperti hal yang mengganjal di paru-paru hilang seketika.

***

Beberapa jam berlalu, gemerisik dedaunan semakin melemah seiring hembusan angin yang semakin lunglai. Raja siang telah bangun dari tidur panjang, bersiap memulai hari dengan sapaan sinar. Warna jingga di ufuk timur menandakan hari baru telah datang dan bersiap untuk dinikmati. Namun, Minerva masih terlelap, kepalanya bersandar di batang pohon. Dirinya mengikat badannya dengan tanaman rambat yang ditumbuhkan olehnya, mencegahnya jatuh dan mencium tanah.

Kei terjaga, menatap sekeliling dan tak lupa menatap Minerva yang berada di hadapannya. Rambut panjangnya tertiup angin, menutupi wajah mulus yang sedang terpulas. Uluran tangan Kei mengarah pada wajah Minerva, menyingkirkan beberapa helaian rambut yang menutup wajahnya. Rambut-rambut itu diselipkannya di belakang telinga Minerva, hingga tidak menganggu lagi.

Dasar laki-laki aneh, buat apa dia menumbuhkan rambut panjang seperti ini dan merawatnya? Seperti wanita saja, desisnya.

Pemuda itu tidak segera memalingkan pandangan dari Minerva, dia masih mengamati setiap inci wajah Minerva yang membiusnya. Menatap wajah Minerva bagaikan candu untuknya. Bibir Minerva terbuka sedikit, memperlihatkan dua gigi depannya yang tidak terlihat sempurna. Gigi putih terawat, Kei yakin Minerva adalah lelaki jadi-jadian yang merawat badan bagaikan wanita.

"Auu ... auu ...," lolongan dari Enfil bagaikan obat terapi dari candu. Kei menghadap ke arahnya, mulutnya terbuka dan menjulurkan lidahnya yang berair. Dia seperti butuh sesuatu.

"Ada apa?" tanyanya pada Enfil yang masih menatapnya dari pohon sebrang. Matanya membulat seperti memohon sesuatu, jika mau Enfil bisa berbicara, tetapi akan terasa janggal untuk seekor anjing. "Kamu mau turun? Aiishh aku bukan majikan bodohmu yang mengerti omongan seekor anjing," keluhnya.

Kei segera meloncat dari dahan tempatnya terduduk, walaupun cukup tinggi tetapi ia mampu mendarat dengan sempurna. Dirinya menoleh ke arah Enfil, siberian husky itu seperti ingin melompat juga, Kei akhirnya tahu apa yang diinginkan peliharaan Minerva.

"Locomotor!" Seperti sebelumnya, seketika Enfil berada di bawah. Kakinya kembali berpijak sempurna. Dia mengeluskan kepala kepada Kei sebagai bentuk terimakasih.

"Sudah jangan dekat-dekat, aku tidak suka bulu anjing," pintanya. Kei segera menjauh dan menuju tas miliknya dan Minerva.

Kei membuka tasnya, memeriksa satu-satu perbekalannya. Ada beberapa makanan kering di sana, tetapi minuman yang di bawanya telah habis. Kei memalingkan wajah ke arah Enfil, Enfil terlihat berlari-lari sambil mengejar ekornya. Terbesitlah sesuatu di pikirannya.

"Enfil!" panggilnya.

Enfil segera berlari mendekati Kei. Dia memiringkan kepalanya tanda pertanyaan kepada Kei. Kei mengambilkan dia sebuah wadah dengan tangkai, agar Enfil bisa membawanya dengan menggigit.

"Bawakan air untukku dan si bodoh, tolong." Kei menambahkan kata 'tolong' diakhir kalimat perintahnya. Enfil segera berpaling dan berlari mencari sumber air.

***

Minerva membuka mata, hari sudah mulai cerah. Burung-burung mulai berkicau, tetapi kicauan mereka berbeda dari burung-burung di Morvina. Kicauan mereka seperti nyanyian sirent yang memikat siapapun itu.

Minerva menyadari sesuatu, pemuda di hadapannya menghilang dari pandangan. Dia juga menoleh ke arah dahan di sebrang, Enfilpun tak luput menghilang. Minerva melepaskan ikatan pada badannya, dengan pisau saku yang selalu ada di kantongnya.

"Enfil! Kei! dimana kalian?" dendangnya sebelum menuruni pohon. Dia masih terduduk seraya melepaskan beberapa ikatan yang masih mengikat.

"Aku di bawah, bodoh!" terang Kei dengan tangan yang melambai.

Minerva menengok ke arahnya, sungguh syukur pemuda itu tidak berkhianat dan meninggalkannya seorang diri.

Setelah melepaskan ikatannya, Minerv asegera menuruni pohon. Matanya berkeliling mencari sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak terlihat sampai sekarang. Dia menghilang entah kemana.

"Kei, dimana En—"

"Dia kuperintahkan mengambil air," sela Kei sebelum Minerva menyelesaikan ucapannya.

Minerva melihat api kecil yang berkobar, setelah itu terdapat wadah kecil di atasnya dengan air dan beberapa jamur. Terlihat sudah Kei sedang memasak untuk keperluan perutnya.

"Kenapa kamu membuat api? Bagaimana nanti kalau para elf mengetahui dan menemukan kita?"

Kei menatap Minerva tak peduli, dia terus melanjutkan kegiatannya tadi. Setelah beberapa menit dia mengangkatnya dan menghidangkannya diatas satu piring.

"Makanlah, tetapi sisakanlah untuk Enfil," pesannya.

Kei duduk di sampingnya dan memakan satu keping jamur yang masih panas tersebut.

"Kamu membawa jamur?" tanya Minerva

"Tidak."

"Lalu ini jamur apa?"

"Liar." Kei kembali menjawab dengan singkat.

"Ini tidak beracun? Dan tolong jawab dengan sedikit lebih panjang."

"Tidak, ini bukan Morvina."

Minerva pasrah berbicara dengannya. Dia mengambil jamur itu dan memotong-motong menggunakan tangan. Beberapa potongan itu dimasukannya kedalam mulut.

"Kei aku mau bertanya, kenapa kamu seperti tidak suka dengan aku? Aku salah apa? Aku bahkan tidak mengenalmu," tanya Minerva tiba-tiba.

Kei menoleh kearahnya, ia menaruh jamur yang telah dipegangnya. Menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya dalam satu hembusan.

"Aku tidak benci padamu, tetapi—" Kei memotong ucapannya.

Minervapun bertanya, "Tetapi apa?"

"Aku iri padamu. Saat kau hendak lahir, bahkan kamu baru dikandung 5 bulan para warga termasuk keluargaku menantimu. Bahkan mereka rela mati demi seorang Minerva."

Minerva terdiam, dia berpikir bahwa semua orang sungguh menantinya. Memerlukan dia, dan menyayanginya. Mereka sangat percaya bahwa seorang Minerva adalah penyihir yang kuat, penyihir yang bisa diandalkan nantinya. Semua penyihir menggantungkan diri kepada Minerva.

"Namun, ternyata penyihir yang merupakan kebanggaan setiap penyihir, payah. Bahkan dia lebih lesu dari pada aku yang hanya penduduk penyihir," cibir Kei, "dia penyihir banci yang berlagak seperti perempuan."

Minerva mendengus, dikala dia bercerita, ada aja peluang untuknya menghina. Terlebih lagi dia tetap mengira Minerva adalah laki-laki.

"Banci? Aku itu—"

"Wuk ... wuk ... wuk...," gonggongan Enfil memotong pembicaraan.

Enfil membawa seember air penuh di gigitannya. Dia berlari dan mendekati Minerva, menaruh embernya tepat di antara Kei dan Minerva.

"Terimakasih." Kei mengambil air itu dan menaruhnya di setiap kantung penyimpanan air. Enfil memakan jamur pemberian Minerva. Semua terdiam untuk sementara.

***

"Ayo jalan!" ajak Kei.

Minerva segera beranjak dan menggendong tasnya. Mereka mulai berjalan setelah melakukan istirahat yang cukup lama, berdiam sangat lama dapat menyebabkan para elf dapat mencium keadaan mereka dengan mudah.

Kei berjalan di belakang, yang telah didahului oleh Minerva dan Enfil. Perjalan ini seperti biasanya, tanpa perbincanganantara Kei dan Minerva. Kei terlalu sibuk memperhatikan Minerva dari belakang, memperhatikan Minerva yang bersenda gurau dengan Enfil. Sesekali Minerva tersenyum, dan wajahnya terlihat manis kala itu.

Dia kalau tersenyum manis, batin Kei.

Seketika Kei segera menggeleng, menghempaskan segala apa yang dipikirkan. Kei menganggap dirinya gila, menyukai seseorang yang bereproduksi sama dengannya. Dia segera memukul kepalanya dengan tangannya sendiri, jangan sampai dia dicap 'gay' hanya karena seorang Minerva.

Sesaat kemudian Minerva diam, diikuti Enfil dan Kei. Enfil melolong panjang, memberikan telepati kepada Minerva bahwa ada sesuatu yang gawat. Akar-akar pohon menembus dari bawah, keluar dari tempat persembunyiannya. Kei terdiam, menatap sekitar hal yang terjadi. Dia langsung mendekat kearah Minerva dan Enfil.

"Penjaga! Lari!" teriak Kei.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro