Chapter 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : the_pen_of_happiness

"Penjaga! Lari!" teriak Kei.

Kei menarik tangan Minerva segera. Minerva tertarik dan berlari, beserta Enfil yang berada di belakangnya. Kaki-kaki mereka beradu, dengan mulut dan hidung yang menyeimbangkan pernapasan. Rambut mereka terbang di sapu angin, diikuti baju mereka yang melambai. Enfil berlari sangat cepat, mendahului mereka di depan. Sedangkan disusul Minerva dan Kei yang masih saling mengait dan berlari.

"Herbivicus!" seru Minerva sambil berlari.

Sihir tanaman yang dapat mempercepat pertumbuhan tanaman bekerja. Beberapa pohon terlihat menumbuhkan ranting dan dahannya untuk menutupi jalan yang baru saja di lalui mereka. Namun, sekali tepisan berhasil dihancurkan. Para penjaga yang adalah juga spesies tanaman dapat menyeimbangkan sihir Minerva. Sihirnya tidak menyebabkan kemajuan.

"Wuk ... wuk ... wuuukk ... (bayangkan sesuatu kecuali tanaman)." Enfil kembali mengonggong telepati.

Minerva dengan pikiran yang terhuyung-huyung berusaha menenangkan pikiran, tetapi semua sia-sia. Pikirannya terfokus akan satu hal, berlari dan kabur dari para penjaga. Otak tidak tersusun, semua acak, tidak membentuk pola. Rasanya dokumen yang tersusun rapi terbang berantakan, hingga kita susah menyusunnya kembali.

"Ini penjaga, bukan monster biasa yang begitu banyak seperti buatan elf!" teriak Kei.

Mereka terengah engah, akar semakin menjalar. Membungkam semua jalan dari segala sudut. Membuat mereka terkepung, di antara akar pepohonan yang hendak mengikat. Mereka terjebak.

"Aku tidak bisa melihat otaknya," desis Minerva membisikan kepada Kei yang baru saja mengeluarkan pisau dari sakunya.

"Ini penjaga, Silvanus. Mereka bukan yang kau lihat saat itu, yang kau lihat hanya hewan kelas teri." Mata Kei semakin tajam, berusaha mencari celah agar keluar dari semua ini.

Akar pohon semakin menjadi, membuat ruang untuk mereka semakin tipis. Pisau Kei sudah tidak mempan lagi, memotong akar demi akar yang menjulur. Seperti peribahasa gugur satu tumbuh seribu, akar itu akan semakin menjalar apabila sesenti dari akar itu dipotong. Hingga tiba-tiba salah satu akar pohon menghempaskan Minerva ke tanah. Memisahkan mereka bertiga dari persatuan.

Minerva mengaduh, memegang kepalanya yang telah tersungkur terlebih dahulu pada tanah. Dia mengeryit pelan menahan perih di telapak tangannya yang tergores tanah, melihat itu Enfil dibuat geram. Bulunya mulai berdiri, dia sudah mengeluarkan taring-taring kecilnya yang semakin membesar. Entah sihir apa yang digunakan Enfil, tetapi Kei tidak sadar akan perubahan Enfil yang mulai terlihat tidak normal.

Akar pohon terkuat mulai menjalarkan akar baru, membuat pertahanan kuat agar semakin renyah bila menghantam. Dalam satu kedipan mata akar itu hendak menepis Minerva. Mematikan penyihir terakhir untuk selamanya. Enfil hendak menerkam, tetapi sebelum itu terjadi, peristiwa terjadi. Cahaya bagai petir tsunami menghantam, menciptakan bara api yang membakar seluruh akar hingga hangus.

Semua tidak tersisa, bagai menyapu debu dengan sapu, semua hilang.
Dimakan api-api cahaya petir yang menghancurkan. Semua itu adalah sihir, sihir gabungan antara semua penyihir. Sihir yang keluar dari tubuh Minerva, walaupun dia tidak memikirkan apa-apa. Para leluhur penyihir seperti tidak ingin, penyihir kebanggaan jaman ini hangus hanya karena akar pohon.

"Su ... sudah se ... se ... selesai?" ujar Minerva terbata-bata. Dahinya berkeringat, napasnya berlarian, dia masih menatap kosong ke arah Kei yang tersenyum.

Kei mengelus rambutnya, menyingkirkan  helaian rambut yang menutupi mulut Minerva. Kei masih tersenyum dan berkata, "Sudah, penjaga masih terletak jauh di dekat kuil."

"Itu apa? Penjaga bukan? Tetapi kenapa tidak terlihat batang hidungnya?" Layangan pertanyaan demi pertanyaan beterbangan. Menandakan keingintahuan yang besar dari Minerva.

"Aku sudah bilang berapa kali? Kali ini penjaga bukan monster kelas teri yang 3x lebih lemah dari penjaga, bodoh." Seperti biasa Kei kembali mengucapkan panggilan andalannya. Minerva hanya mangut-mangut serta mulai berjalan meninggalkan tempat.

"Kita harus mengganti jalur, bodoh." Kei berucap dengan muka datar, dirinya mengeluarkan kompas perak yang telah sedikit berkarat akibat usia yang semakin lapuk.

"Buat apa?"

"Kau mau seperti tadi? Kau saja yang lawan, aku tidak bodoh sepertimu." Kei meninggalkan Minerva di belakang bersama Enfil. Minerva hanya diam saja dan kembali mengangguk tanda mengerti.

***

"Sudah sore, kita istirahat saja," pinta Kei.

Tangannya menurunkan tas ransel dipundaknya. Menaruhnya di tanah dan mengubahnya menjadi sandaran. Matanya memejam, setelah menemukan posisi yang dianggap menyesuaikan. Minerva melupakan Kei, dia membuka tasnya dan melihat isi. Tidak terlihat apapun, mereka kekurangan pasokan makanan. Seperti biasa salah satu dari merek harus rela, mencari makanan yang sekiranya mampu dimakan saat ini.

"Makanan habis." Minerva memberitahu kepada Kei yang matanya sedang terpejam. Kei tidak benar-benar tidur saat itu, hingga ia masih mampu mendengar suara Minerva yang rendah.

"Lalu? Kau sudah makan, bodoh," ketus Kei. Dia seperti tidak ingin tahu saat ini, Kei masih melakukan aktivitas yang sama tak bergeming.

"Nanti saat malam, bagaimana?" tanya Minerva yang masih tidak terima Kei tidak peduli akan hal ini.

"Yasudah pikirkan saja nanti malam. Diamlah bodoh! Aku ingin tidur sejenak." Dialog dari Kei adalah dialog penutup saat ini. Kei segera membungkam mulutnya rapat-rapat. Minerva hanya bisa melihat pemuda itu, serta mendekat ke arah Enfil yang sedang selonjor dengan lidah yang menjulur keluar.

"Enfil, aku lelah," desis Minerva seraya mengelus badan Enfil yang berbulu lebat. Enfil berguling-guling menikmati elusan demi elusan dari Minerva.

"Wuk ... wuk (aku mau cerita)," seru Enfil setelah tangan Minerva menyudahi elusannya. Minerva mengangkat dagu memberikan isyarat  'apa?' menggunakan bahasa tubuh.

"Aku merasa bangsa penyihir belum punah." Kali ini Enfil berbicara di dalam hatinya tanpa mengeluarkan gonggongan sama sekali. "Beberapa dari mereka masih ada, tetapi bersembunyi menunggu kamu."

Minerva mengeryit mendengarkan ucapan Enfil. Enfil melanjutkan perkataannya, "Aku merasa saat cahaya itu keluar dari tubuhmu. Itu cahaya dari para arwah penyihir yang meninggal demi kamu. Warnanya bercampur dengan indah, tetapi warna  biru dan coklat tidak tampak sama sekali. Serta warna-warna itu tidak kuat, seperti tidak semua bangsa penyihir menyumbangkan kekuatan."

"Maksud kamu tidak semua penyihir mati? Terutama penyihir yang memiliki cahaya biru dan coklat?" tanya Minerva kembali dalam hati.

"Penyihir biru adalah penyihir air, coklat adalah tanah. Mereka sepertinya yang gugur hanya satu atau dua orang saja. Rata-rata dari mereka tidak tinggal di perkampungan, tapi di hutan untuk menjaga kedamaian. Mereka semua masih hidup." Enfil menerangkan dengan jelas. Minerva mengerti.

"Kalau begitu kita harus mencari mereka!" seru Minerva dibenaknya.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro