(02) Rumah Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mira meletakkan baju terakhir yang ingin dia bawa ke dalam koper mini. Matanya redup menatap kamar yang penuh kenangan selama dua puluh lima tahun ia di sana. Rasanya baru kemarin dia masih berguling-guling di atas kasur dan menikmati banyak aktivitas di sana, ah terlalu banyak kenangan. Mira harus meninggalkan semua itu sekarang, rumahnya bukan di sini lagi, dan mungkin tak akan pernah kembali. Tidak ada yang tahu kemana takdir akan membawa.

Saat hendak berdiri pintu terbuka menunjukkan Wisnu yang tersenyum menatapnya. "Sudah selesai?" tanyanya.

"Iya, lagipula aku tak membawa semuanya. Aku hanya membawa baju yang akan aku kenakan saja, semuanya masih utuh di kamar ini." Terdengar sendu, bahkan Mira diam-diam mengusap air matanya. Entah kenapa dia menjadi mellow begini.

"Sudahlah, kita bisa membuat kenangan baru nanti. Ayo kita pergi," ajak Wisnu seraya mendekat dan mengajaknya keluar kamar.

Namun, baru lima langkah keluar dari pintu, Mira menghentikan langkahnya membuat Wisnu menoleh menaikkan sebelah alisnya.

"Mas, apa gak sebaiknya kita tunggu papa dan mama pulang? Aku gak enak kalau harus pergi tanpa bertemu dengan mereka dulu." Mira mengutarakan pendapatnya, berharap Wisnu mau mengerti.

Tapi sayangnya Wisnu terlihat mengerutkan keningnya tak suka. "Kamu mau di sini? Kalau gitu silahkan, biar aku saja yang pergi." Wisnu melepaskan tangannya dan hendak pergi sebelum Mira bergerak cepat menyusul dan meraih tangannya.

"Maksud kamu apa, Mas? Aku mau ikut sama kamu, tapi kita tunggu papa dan mama dulu," ucap Mira yang merasa Wisnu salah paham dengan maksudnya.

"Maksudnya aku tidak butuh istri yang gak nurut. Sekarang kamu tinggal pilih, mau di sini atau ikut aku?" Wisnu kembali menghadap Mira menunggu jawaban.

"Jangan main-main, Mas...."

"Aku gak main-main, kamu pikir aku ini pengangguran? Masih banyak yang harus ku urus, Mir. Tolong jangan membuang waktuku dengan bersikap keras kepala," tandas Wisnu yang wajahnya sudah kaku menahan amarah.

Mira terkejut melihat Wisnu yang begitu keras padanya, tapi dia memang keras kepala. Baginya sikap Wisnu masih wajar melihat dia seorang yang sibuk dan mungkin sedang dalam masalah. Mau tak mau Mira mengesampingkan egonya dan menuruti kemauan Wisnu. Saat mencapai pintu, dia berpapasan dengan Aldo yang baru saja pulang sekolah. Padahal ini masih jam sepuluh.

"Lho, kamu udah pulang, Dek?" tanya Mira menatap adiknya curiga. Mana tahu adiknya membolos.

"Gurunya rapat," sahut Aldo singkat. Matanya menatap sang kakak yang sudah rapi dan membawa koper kecil di tangannya. Lantas matanya kembali menatap manik hitam kakaknya mencoba bertanya melalui tatapan.

Mira yang peka pun menjawab rasa penasarannya. "Oh, kakak mau pergi sekarang, Dek. Salamin sama papa dan mama. Maaf gak sempet pamitan langsung." Aldo terkejut jika saja tak segera mengendalikan dirinya.

"Oh, oke." Hanya itu jawaban Aldo. Mira dibuat gemas hingga ia mengacak rambut adiknya. "Apa, sih?" sewot Aldo tak terima rambut kerennya berantakan. Padahal lama sekali merapikannya.

"Kamu kok cuek banget, sih, sama kakak. Padahal kakak bukan mau pergi liburan, entah kapan kakak bisa kumpul lagi sama kalian." Terdengar nada sedih yang berusaha Mira tutupi dengan ketegaran.

"Sayang, sudahlah. Kasihan Aldo kalo kamu tahan di depan pintu terus." Wisnu akhirnya angkat bicara menunjukkan eksistensinya.

"Tapi aku ingin memeluknya dulu, sini anak nakal. Kakak pasti akan merindukanmu." Tanpa menunggu respon adiknya Mira segera merengkuh tubuh bongsor itu ke pelukan. Menghirup dalam-dalam aroma maskulin adiknya yang baru saja menginjak kelas tiga SMA. Beruntung Aldo membiarkan dan membalas pelukan kakaknya, mengusap lembut rambut panjang sampai sang kakak melepas pelukan. Sesuatu yang langka, karena Aldo tak suka disentuh sembarangan.

"Jaga ayah dan ibu, ya. Kakak gak tahu harus titip mereka ke siapa lagi kalo bukan sama kamu. Sekolah yang bener, jangan kecewakan kakak, jangan kebanyakan main. Kakak pergi ya." Meskipun ditahan, tetap saja air mata itu jatuh. Wisnu akhirnya turun tangan untuk menarik Mira ke mobilnya. Aldo yang walaupun terlihat lempeng tetap saja merasakan kesedihan dengan kepergian kakaknya yang entah kapan bisa kembali berkunjung, tangannya melambai hingga mobil yang ditumpangi Mira menghilang dari pandangan. Aldo berbalik dan menghapus air mata yang entah sejak kapan menetes.

"Berbahagialah, atau aku tidak akan pernah mengampuni siapapun yang membuatmu menangis," tegasnya. Aldo membuka pintu di depannya sebelum menutupnya rapat-rapat.

***

Setelah dua jam perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah rumah mewah, seorang satpam membukakan gerbang hingga mobil Wisnu bisa masuk dan berhenti di depan teras rumah yang dibuat lebih tinggi dari tanah.

Mira seketika melupakan rasa sedihnya saat melihat bangunan rumah yang sangat megah dan mewah. Tak pernah mengira Wisnu sekaya itu, dia bahkan menyiapkan rumah ini untuknya. Mira tersadar saat pintu sampingnya terbuka, dia tersenyum malu melihat Wisnu berdiri menunggu di luar sana. Dengan pelan ia turun dan berjalan ke teras.

Seorang pelayan terlihat menyambut begitu Mira memasuki rumah bersama dengan Wisnu, sementara itu barang-barangnya dibawakan oleh sopir ke dalam rumah.

"Bawa ke kamar langsung, Pak Kardi." Sopir itu mengangguk dan langsung melaksanakan perintah Tuannya.

"Mira, ini Bu Meri. Dia adalah pelayan yang akan mengurus rumah ini dan menyiapkan semua keperluan kita."

"Selamat datang, Nyonya Mira, saya Meri yang akan menyiapkan segala keperluan Anda dan Tuan Wisnu." Pelayan itu membungkuk sopan. Mira jadi merasa tak enak karena wanita itu jauh lebih tua darinya.

"Ah, terima kasih, Bu Meri." Setelah itu Wisnu mengajaknya ke kamar utama yang akan menjadi kamar mereka di rumah ini, letaknya di lantai dua dan ukurannya sangat besar. Mira sampai kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikan rasa takjubnya.

"Kamu sepertinya menyukai rumah ini," ucap Wisnu menyentak Mira dari lamunannya.

"Tentu, Mas. Tapi aku merasa ini terlalu berlebihan untuk kita tinggali hanya berdua saja." Mira mendekat dan ikut duduk di samping Wisnu yang sudah lebih dulu duduk di tepian ranjang.

"Tidak, ini pantas untuk wanita sepertimu." Mira merasa pipinya memanas tiba-tiba mendengar ungkapan itu.

"Mas," rengek Mira yang tak bisa menahan kedua pipinya untuk memerah.

"Lho, kamu kok masih malu aja, ini belum apa-apa, Sayang. Masih banyak yang bisa aku berikan untukmu." Wisnu membawa tangannya merangkul bahu sang istri.

"Tak apa kan aku istirahat lebih awal? Jika kamu ingin melihat-lihat rumahnya lihat saja, ajak Meri jika kamu takut sendirian." Wisnu mengusap kepala Mira sebentar sebelum merebahkan tubuh kekarnya di atas busa empuk berbalut kain putih yang lembut.

Mira hanya mengiyakan saja, dia juga penasaran dengan isi rumah ini. Kakinya dengan semangat menyusuri lorong lantai dua dan menemukan ada empat kamar lainnya yang kosong, di sana juga ada balkon yang menghadap halaman depan, tepatnya air mancur di tengah taman. Mira rasa ini akan jadi tempat favoritnya untuk bersantai. Kembali melanjutkan ke lantai satu, dia menemukan dapur, ruang makan, ruang tamu, ruang keluarga, dan semuanya benar-benar sudah di tata rapi lengkap dengan perabotan mahal. Kakinya berjalan lagi ke belakang rumah, matanya melebar begitu menemukan kolam renang di sana, ini benar-benar luar biasa mewah. Mira tak pernah mengira ia akan memiliki kolam renang di rumah setelah menikah dengan Wisnu. Mungkin kapan-kapan, ia bisa berenang di sana untuk mengasah kemampuan berenangnya.

Setelah cukup puas melihat-lihat, Mira kembali ke dalam, hidungnya tiba-tiba mengendus bau aroma makanan, secara otomatis Mira memutar arah menuju dapur dan dilihatnya Meri sedang memasak. Ia dengan semangat mendekatinya.

"Bisakah aku membantu?" tanyanya.

Meri menoleh agak terkejut karena Mira tak menimbulkan suara saat mendekat.

"Ah, Anda mengejutkan saya, Nyonya."

"Eh, maaf, aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin membantu menyiapkan makan malam dan tolong jangan panggil aku Nyonya. Aku merasa sangat tua, padahal baru dua lima." Amira sedikit mengerucutkan bibirnya memperlihatkan rasa keberatan atas panggilan itu.

Meri tersenyum, mencoba memahami. "Tapi bagaimana jika Tuan marah, Nona?" Meri sempat kebingungan harus memanggil majikannya apa, jadi Nona adalah alternatifnya.

"Duh, panggil Mira saja. Tuan sedang tidur, lagipula aku hanya memasak, bukan mau jadi kuli bangunan." Mira tertawa dengan argumennya sendiri dan hal itu menular pada Meri.

"Nak Mira bisa saja," ucap Meri. Mira sebenarnya masih merasa kagok dengan imbuhan 'Nak' dari Meri, tapi setidaknya itu lebih baik daripada Nyonya atau Nona.

Akhirnya mereka berdua menyiapkan makan malam bersama. Meri senang karena Tuannya mendapatkan istri yang tak ragu mengerjakan pekerjaan rumah meskipun suaminya mampu membayar mahal pelayan sepertinya.

***

A/n: aku mau nekat, nih wkwkwk. Semoga gak bosan sama alurnya yang ku perkirakan akan lambat.

Terima kasih sudah mampir, doakan agar author selalu semangat untuk melanjutkan cerita ini dan lainnya.

Cerita ini terbuka untuk siapa saja yang mau memberikan kritik membangun dan saran. Jangan ragu mengetik di kolom komentar, karena saran dari kalian sangat diharapkan oleh author.

Love you❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro