(03) kenangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semuanya terlihat seperti biasa. Kantor dan pekerjaannya. Mira bekerja di bagian management bersama teman satu angkatan saat sekolah. Mereka adalah sahabat terbaik Mira sejak dulu sampai saat ini.

"Mir, gimana laporan yang diminta pak Yudi? Sudah jadi?" Mira menoleh pada Dimas. Pria itu adalah kakak kelasnya dulu. Bahkan Mira bisa bekerja di sini karena bantuan alumni sekolahnya itu.

"Sebentar lagi, aku cuma tinggal ngecek ulang. Takutnya ada typo," sahut Mira.

"Baguslah, nanti istirahat ngumpul lagi, ya. Kaya biasa,"  ajak Dimas dengan senyum tipis. Tapi Mira masih bisa melihat harapan di sana. Teringat perkataan temannya tentang Dimas yang menyukai Mira. Hmm, mana mungkin? Toh sampai sekarang pria itu belum menyatakan perasaannya.

"Iya, aku akan ikut." Mendengar persetujuan itu Dimas melebarkan senyum dan berlalu kembali ke bilik tempat kerjanya. Dimas adalah ketua divisi management dan Mira adalah anggota divisinya.

Setelah selesai mengerjakan laporan Mira akhirnya bisa bernapas lega. Dia menyerahkan laporan itu ke ruangan Dimas, tapi Dimas sedang dipanggil bos mereka. Jadinya Mira hanya menaruhnya di meja. Saat hendak berbalik Mira di kejutkan dengan perempuan bertubuh tinggi.

"Cecil? Kamu ngagetin aja." Mira memprotes tanpa keseriusan. Kenyataannya dia senang melihat sahabatnya itu bisa satu kantor dengannya meskipun berbeda divisi.

"Kamu yang ngelamun kali, eh iya yok ke kantin. Udah bereskan?" tanya Cecil.

"Sudah," sahut Mira. Mereka berjalan beriringan ke kantin, di sana sudah ada dua orang menunggu. Tara dan Dion.

"Eh kalian. Sudah pesan?" tanya Cecil seraya duduk diantara mereka. Mira mengikuti tanpa suara.

"Sudah dong, kamu pesan langsung aja, Cil." Tara membalas.

"Oke, Mir kamu mau nitip gak? Biar sekalian gitu." Mira berpikir sejenak.

"Aku nitip bakso aja deh, Cil. Sama teh manis dingin, ya."

"Siap bos." Cecil terkekeh dan pergi menuju kasir. Dia ikut mengantri untuk mendapatkan pesanannya. Jam istirahat begini kantin memang selalu penuh dan ramai.

"Maaf aku telat." Mira dan yang lainnya menoleh pada sumber suara. Ternya Dimas yang datang, pria itu duduk di salah satu kursi bersebelahan dengan Mira.

"Gak papa, Dim. Kamu langsung pesan aja, aku sama Tara udah makan duluan." Kali ini Dion yang membalas ucapan Dimas.

"Eum curang. Ya udahlah, aku pesan dulu. Kamu mau pesan apa Mir?" Tiba-tiba Dimas menoleh pada Mira membuat gadis itu gelagapan.

"Eh? Aku sudah pesan sama Cecil."

"Yah, okelah. Aku ke kasir dulu." Setelah Dimas pergi Cecil datang membawa satu nampan berisi dua mangkuk bakso dan dua minuman berbeda warna.

Pada awalnya semua makan seperti biasa. Sampai tiba-tiba Cecil memulai obrolan.

"Eh, kalian tahu gak? Bos kita bakalan pensiun dan diganti sama yang baru. Ya masih anak bos juga sih orangnya." Tara menoleh cepat.

"Oh tahu, di divisi ku sudah ribut membicarakan calon bos baru. Gila, katanya masih muda dan tampan."

Terdengar Dion mendesis tak suka karena Tara memuji pria lain. "Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud apa-apa." Dion akhirnya luluh dan kembali seperti biasa. Cecil dan Mira terkekeh melihat tingkah Dion yang pencemburu.

"Eh tapi, banyak yang bilang bos itu sombong. Ya wajar aja sih, dia kan anak orang tajir." Tara kembali melanjutkan topiknya.

"Oh ya? Padahal bapaknya biasa aja kayanya. Mungkin karena anaknya masih muda juga, makanya sedikit banyak tingkah."  Cecil kembali menyahut. Mira sama sekali tidak tahu hal ini. Tapi mendengar pendapat temannya, dia jadi merasa sedikit membenci sikap bosnya juga.

"Dia udah dua bulan gantiin papanya." Kali ini Dimas yang menyambung obrolan.

"Serius?" tanya Cecil. Sepertinya gadis itu amat penasaran dengan bos baru mereka.

"Ya serius lah, aku baru saja ketemu sama orangnya. Tapi emang bener sih, dia dingin banget mukanya." Lagi, Mira semakin tak suka.

"Astaga! Aku jadi ingat cerita-cerita di novel tentang bos yang dingin. Pasti si bos tampan itu akan terlihat sexy dengan ekspresi dinginnya." Cecil berkata seraya menatap ke atas. Gadis itu tengah membayangkan visual si bos rupanya.

"Dasar korban novel. Itu kan fiksi, Cil. Di dunia nyata mana bagusnya sih cowok dingin begitu." Kali ini Mira menyahut. Dia memang tidak begitu menyukai pria-pria yang dingin. Apa asiknya berjalan bersama es balok? Mira lebih suka yang humoris dan menyenangkan.

"Ish, kamu beda selera. Diam saja. Bagiku cowok dingin is the best." Mira hanya geleng-geleng kepala sebagai tanggapan. Dia sama sekali tak sadar di sampingnya Dimas tengah serius memperhatikan segala ekspresi di wajah Mira.

"Dimas kamu kok gitu banget liat Mira?" Tiba-tiba Dion nyeletuk jahil. Sontak saja Dimas terburu alihkan pandangan.

"Apa sih? Enggak kok." Dimas menyangkal.

Mira jadi merasa canggung sekarang, apalagi Cecil terus menyenggol kakinya di bawah meja. Gadis itu sedang menggodanya. Sepertinya Cecil sangat berhasrat menjodohkan dia dan Dimas. Padahal Mira tidak menyukai Dimas sama sekali, itulah kenapa dia bersyukur karena Dimas tidak melakukan pergerakan apapun padanya sampai sekarang. Kalo itu terjadi, Mira tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menolak pria itu.

Obrolan berakhir dan mereka kembali bekerja di bagian masing-masing. Hari-hari berlalu, Mira menjalani pekerjaannya dengan tekun. Sampai suatu ketika dia mendapatkan kabar mengejutkan dari Dimas.

"Mir, kamu bisa bantu aku?" tanya Dimas.

"Lho, bantu apa, Dim? Kalo bisa aku pasti bantu." Mira berdiri menyambut Dimas yang terlihat kebingungan.

"Bos akan pergi menemui klien di luar kota. Tapi sekertaris pribadinya sedang ambil cuti karena kandungannya agak bermasalah. Sebenarnya bos minta bantuan ku, tapi aku tidak bisa karena orang tuaku akan datang besok. Kumohon, bantu aku, Mir." Dimas sudah menunjukkan wajah melasnya. Mira jadi tidak tega kalau begini.

"Iya, tapi bantu apa?" tanya Mira. Penjelasan Dimas sebelumnya tak ada yang menjelaskan hal apa yang harus dibantu. Atau Mira yang gagal paham?

"Bantu gantikan aku, temani bos menemui klien besok. Kamu bisa, 'kan?" tanyanya lagi.

"Tapi, Dim...."

"Mira, please." Karena tak tega. Mira akhirnya mengangguk, sampai setelahnya Mira menyesal karena harus menyiapkan segalanya. Tak mungkin dia tampil apa adany ketika menemani bos menemui klien. Bisa rusak citra perusahaan kalau begitu.

"Makasih, aku akan segera kirimkan berkas yang harus kamu pelajari. Sekali lagi makasih, Mir." Mira mengangguk.

Esoknya Mira sungguh kalut sendiri. Dia sudah beberapa kali membaca berkasnya tapi jantungnya tidak bisa tenang sejak semalam. Sekarang dia sedang menunggu jemputan dari kantor. Menurut informasi dari Dimas akan ada yang menjemputnya nanti.

Tak lama kemudian ada pesan masuk dari Dimas yang mengatakan jemputan sudah di depan rumahnya. Karena itu, Mira bergegas cepat keluar dan melihat mobil terparkir apik. Dimas tidak bohong soal jemputan itu, dengan ragu dia mendekat dan bertanya.

"Mas, dari kantor?" tanya Mira.

"Iya, kamu Mira?" tanya si pengemudi.

Mira mengangguk hingga setelahnya masuk ke mobil. Mood nya benar-benar buruk sekali. Pasalnya dia masih belum sepenuhnya siap, tapi mau bagaimana lagi? Waktunya mepet sekali.

Tak lama kemudian mobil bergerak membelah jalanan.

"Ya ampun, bagaimana ini? Aku masih ragu." Tanpa sadar Mira berceloteh sendiri. Pengemudi di sampingnya menoleh penasaran.

"Kenapa ragu?" tanyanya. Mira tersenyum malu. Ia pikir sopirnya tidak akan kepo.

"Anu— biasalah. Bos meminta bantuan dadakan sekali. Jelas aku belum siap, huh, mentang-mentang kaya raya dia seenaknya begitu. Ya meskipun aku belum bertemu dengannya, tapi saat melihat temanku Dimas begitu kelabakan aku jadi percaya jika bos pasti pria yang arogan, sombong dan otoriter. Sialnya aku yang menjadi korban sekarang."

Sopir itu mengangguk-angguk paham.

"Anda pasti bisa, Nona."

"Terima kasih, aku juga berharap begitu. Kau baik sekali, siapa namamu?" tanya Mira penasaran.

"Namaku Wisnu Aryatama."

"Wah, namamu bagus." Mira jadi ingat cerita mitologi Hindu.

"Terima kasih."

Dua jam kemudian akhirnya mereka sampai. Mobil berhenti di depan bangunan mewah.

"Tunggu dulu! Aku melupakan sesuatu. Dimana bos berada? Apa dia tidak ikut semobil dengan kita?" tanya Mira.

"Dia akan menyusul nanti," sahut si pengemudi.

Mereka akhirnya turun dan memasuki gedung tersebut. Mira sebenarnya merasa heran melihat penampilan sopir kantor yang rapi dengan kemeja dan jas hitam, celananya bahkan terlihat mahal. Apa ada sopir seberkelas itu tampilannya? Ah tapi tidak ada yang tidak mungkin sih untuk kantor tempatnya bekerja. Kantornya sudah memiliki cabang dimana-mana jadi tidak heran sopirnya berkelas.

Tiba di ruang pertemuan, sopir itu ikut masuk.
"Kamu juga disuruh masuk?" tanya Mira polos.

"Tentu saja, cepatlah kita sudah ditunggu." Akhirnya Mira tak banyak bertanya lagi, kakinya melangkah memasuki ruangan privat itu. Dilihatnya dua orang berbeda gender sedang menunggu.

"Maaf, apa aku terlambat?" tanya Wisnu pada kedua orang itu.

"Ah Tuan Wisnu, tentu tidak. Aku hanya datang terlalu dini. Silakan duduk," sahut pria seusia Wisnu. Mira terkejut dengan tubuh yang menegang seolah darahnya tak lagi mengalir ke seluruh tubuh. Apa-apaan ini?

Jadi Wisnu itu....

"Mira, kemari. Jangan berdiri di sana." Tersentak kecil ketika Wisnu menegurnya untuk mengambil tempat duduk. Mira duduk dengan tatapan tak percaya terus mengarah pada Wisnu.

Astaga! Jadi benar Wisnu adalah bos nya? Bumi tolong telan Mira sekarang juga. Malu sekali rasanya dia sudah menjelek-jelekkan bosnya pada orangnya langsung. Dia pasti akan dipecat setelah ini.

***

Mira tersenyum sendiri mengenang pertemuan pertamanya dengan Wisnu. Dia jadi merubah segala persepsinya setelah bertemu langsung dengan bosnya. Betapa bodohnya Mira karena mempercayai gosip.
Dia baru saja bangun dan tak menemukan Wisnu di sampingnya. Pria itu menulis notes yang memberitahu jika pria itu sudah berangkat. Itulah kenapa Mira masih bermalas-malasan di ranjang seraya mengingat kenangan lama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro