12. Siasat Lania Dan Pertaruhan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 12 Siasat Lania Dan Pertaruhan

“Itu bukan urusanmu, Joshua,” sergah Reagan kesal. Kesal pada sang adik dan lebih banyak pada dirinya sendiri. Apa yang dikatakan Joshua adalah kebenaran, yang menamparnya dengan keras.

“Ya, memang. Aku hanya merasa kasihan pada istrimu.” Joshua mengeluarkan kedua tangannya dari dalam saku. Menegakkan tubuh tepat di depan Reagan. “Kau masih saja tertipu dengannya,” ujung matanya melirik ke arah Lania.

“Apa maksudmu, Joshua?” Lania tahu sindiran itu ditujukan untukmu. Wanita itu mendekati Reagan dan Joshua. “Kaupikir semua ini hanya sandiwara? Kau pikir aku pura-pura pingsan dan menghubungi Reagan untuk minta tolong?”

Joshua tersenyum. “Aku tidak mengatakan apa pun tentang sandiwaramu, Lania. Dan lagi, anak itu anakku, kan? Untuk apa kau menghubungi Reagan?”

Mata Lania mengerjap gugup. “A-aku tak tahu. Bukan aku yang menghubunginya. Pelayan yang menemukanku yang melakukannya.”

“Kau yakin?”

“Kaupikir aku berbohong?” Lania semakin dibuat emosi.

“Kenapa kau bertanya padaku. Tanyakan saja pada dirimu sendiri.”

“Cukup kalian berdua!” Reagan melerai pertengkaran Lania dan Joshua. 

Lania dan Joshua menatap Reagan, yang mendesah gusar lalu berbalik dan masuk ke dalam rumah.

“Kau benar-benar menyebalkan, Joshua,” kesal Lania.

“Ya, memang.” Joshua sengaja menampilkan senyum menyebalkan yang membuat Lania semakin muak. “Dan pelayan yang menghubungi Reagan? Rupanya pelayan tahu password ponselmu, ya?”

Wajah Lania seketika membeku. Mengerjap dengan cepat dan membuang muka dengan salah tingkah.

*** 

“Siapa pria itu?” cecar Reagan begitu menemukan Rachel yang duduk di kursi rias. Mulai melepaskan semua perhiasan yang menempel di tubuhnya. Mulai dari anting, kalung, dan … “Aku bertanya padamu, Rachel?”

Rachel menyentakkan tangan Reagan. Berdiri dari duduknya sehingga posisi keduanya saling berhadap-hadapan. “Kenapa itu harus menjadi urusanmu, Reagan? Kau mengatakan tak akan mempermasalahkan siapa pun pria yang ada di hatiku, kan?”

“Aku harus memastikan anak yang akan kau kandung adalah milikku.”

“Hanya karena Lania mengkhianatimu dengan cara buruk seperti itu, bukan berarti aku akan melakukan hal semacam itu padamu, Reagan. Aku tahu batasanku. Sebagai istrimu.” Rachel melepaskan gelang di tangannya dan meletakkannya di meja, lalu berjalan melewati Reagan dan masuk ke dalam kamar mandi. Melepaskan gaunnya dan hendak masuk ke dalam bilik shower. Tapi sial, ia lupa mengunci pintu kamar mandi sehingga Reagan bisa menerobos masuk begitu saja.

“A-aku …”

Reagan sempat terpaku melihat tubuh Rachel yang telanjang tepat di depan matanya. Sesuatu di bawah perutnya menggeliat oleh hasrat yang tiba-tiba terpancing oleh undangan sang istri. tangan Reagan melepaskan jasnya, menarik dasi dan melemparnya ke keranjang. Kemudian menghampiri Rachel sambil melepaskan kancing kemejanya. 

“Apa yang kau …” Rachel tak sempat menyelesaikan keterkejutannya. Tubuhnya didorong ke belakang hingga punggungnya menyentuh dinding kamar mandi. Lalu menangkap bibirnya dalam lumatan yang panjang sebelum Rachel bisa menolak.

Rachel berusaha memberontak. Tetapi bisikan Reagan membuatnya tak berkutik.

“Hanya karena cintamu telah kembali, kau masih ingat kalau aku suamimu, kan?”

Tubuh Rachel berhenti meronta.

“Aku bisa menginginkan tubuhmu kapan pun. Untuk mempercepat program kehamilan kita,” bisik Reagan lagi. Cumbuannya pun bergerak turun, lebih ke bawah dan Rachel tak lagi menolak hasratnya yang sudah mulai membakarnya.

*** 

“Apa kau memiliki kegiatan hari ini?” Reagan melihat tas yang disiapkan Rachel di meja rias. Berhenti di belakang Rachel dengan kerah kemeja yang terbuka dan dasi yang diulurkan ke arah sang istri.

Rachel menatap dasi tersebut, tahu apa yang diinginkan oleh Reagan. Sebelumnya pria itu tak pernah membuatnya melakukan hal-hal semacam ini. Menuntutnya melakukan tugas-tugas sebagai seorang istri. Dan tak hanya melayani pria itu di atas ranjang.

Rachel berdiri, mengambil dasi di tangan Reagan dan melingkarkan kain panjang tersebut di leher sang suami tanpa menjawab pertanyaan tersebut.

“Siang ini, aku ingin makan siang denganmu.”

Gerakan tangan Rachel terhenti, pandangannya bergerak menatap kedua mata Reagan. 

“Kenapa? Apakah aku tidak boleh makan bersama istriku sendiri?”

“Kenapa begitu tiba-tiba, Reagan? Apakah karena …”

“Aku tak peduli tentang hubunganmu dengan pria manapun.  Tapi sebagai seorang istri, aku adalah prioritas utamamu, kan?”

Rachel tahu Reagan sengaja menekankan hal tersebut.  “Aku akan pergi ke kantormu siang nanti,” ucapnya kemudian.

“Tidak perlu. Aku yang akan menjemputmu.” Reagan diam sejenak. Menilai reaksi Rachel dengan mata memicing tajam. “Aku akan menghubungimu.”

Rachel tak mengatakan apa pun selain memberikan satu anggukan samar.

*** 

Saat turun ke lantai satu dan bergabung di meja makan, Lania dan Joshua sudah duduk di kursi makan. Rachel mengabaikan kebekuan yang seketika menguasai tubuh Reagan akan keberadaan Lania. Ia pun berjalan mendahului pria itu dan duduk di kursinya. 

“Sebagai ucapan terima kasihku untuk Reagan, pagi ini aku sengaja bangun lebih pagi untuk menyiapkan semua makanan ini.” Lania menyambut keduanya dengan  senyum yang terlalu lebar.  Mendekatkan cangkir kopi yang masih mengepulkan asap ke dekat Reagan. “Aku juga membuatkan kopi untukmu, Reagan.”

Wajah Reagan membeku. Menatap sejenak cangkir kopi tersebut dan berkata, “Kau tak perlu melakukannya, Lania.  Apa yang kulakukan tadi malam adalah hal yang harus kulakukan pada siapa pun yang berada di situasi yang sama.”

Joshua mendengus mengejek. 

Ujung bibir Reagan mengeras, mengabaikan ejekan Joshua. Kembali menatap lurus ke arah Lania. “Kuakui aku masih terbawa emosiku karenamu, Lania.” Reagan memberi jeda sejenak. “Aku berjanji ini akan menjadi kesalahan terakhir yang kulakukan pada istriku.”

Senyum cerah di wajah Lania seketika membeku, digantikan kekecewaan yang besar.  

Reagan menarik tangan Rachel dan membawa sang istri berdiri. “Kita akan makan di luar.”

“T-tunggu, Reagan?” Panggilan Lania sama sekali tak mampu menghentikan langkah Reagan dan Rachel yang berjalan keluar dari ruang makan.

Suara tawa yang ditahan oleh Joshua membuat kekecewaan Lania berubah menjadi kedongkolan yang teramat. “Kau puas?”

Joshua mengambil cangkir kopi milik Reagan, menyesapnya sembari mengeluarkan erang kenikmatan yang dibuat-buat untuk mengejek Lania. “Hmm, aku tak tahu ternyata kopi buatanmu seenak ini, Lania.”

Lania merebut cangkir kopi di tangan Joshua dan melemparnya ke lantai. 

“Kau pikir secangkir kopi ini akan berhasil membuatmu kembali ke pelukan Reagan?” Joshua berdiri. Masih dengan senyum mengejeknya yang begitu kental. “Kau ingin bertaruh? Jika kau berhasil memisahkan Reagan dan istrinya, aku akan melepaskanmu dan anak dalam kandunganmu.”

Lania terdiam. Tampak memikirkan tawaran Joshua. 

“Seperti pertaruhan terakhir kita,” seringai jahat dan kilat licik di kata Joshua saling berpadu di wajah pria itu. 



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro