13. Apa Kau Akan Menungguku?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 13 Apa Kau Akan Menungguku?

Rachel sama sekali tak berbicara di dalam mobil, menuju entah ke mana Reagan membawanya untuk makan pagi. Dan semua sikap tersebut malah menunjukkan pada dirinya betapa Lania masih sangat mempegaruhi pria itu. Yang bukan urusannya, lagi Rachel mengingatkan dirinya sendiri. Untuk tidak peduli pada apa pun urusan tentang Reagan dan Lania.

Mobil berhenti di halaman salah satu restoran, yang menyediakan sarapan pagi di pinggir jalan. Di daerah yang cukup Rachel kenal. Kepala Rachel berputar ke samping, menatap ke seberang jalan. Deretan café milik Davian berada.

Meski tadi malam bukan pertama kalinya ia berkunjung ke café Davian, ia tak cukup mengenal daerah di sekitar café.  Karena satu-satunya tempat yang ia ketahui di daerah ini hanyalah café Davian.

“Kita makan di sini. Turunlah.” 

Rachel tersentak kaget ketika tiba-tiba wajah Reagan muncul di sampingnya dan membukakan pintu untuknya. Bahkan mengulurkan tangan ke arahnya.

Rachel hanya menatap uluran tangan tersebut dan turun dengan tanpa bantuan pria itu. Menepis semua pikiran tentang Davian. Berada di sekitar Reagan dengan pikiran dan hatinya yang masih dipenuhi oleh Davian, membuatnya merasa tak nyaman.

Reagan menyampirkan lengannya di pinggang Rachel, membawa wanita itu memasuki restoran dan langsung diarahkan ke salah satu meja dengan view terbaik. Seperti yang diinginkan oleh Reagan.

“Sejak tadi kau hanya diam saja?” Reagan memulai perbincangan. Sikap diam Rachel. “Kau masih marah?”

“Tentang?”

“Tadi malam.” Reagan terdiam sejenak. “Seharusnya aku tidak meninggalkanmu begitu saja. eperti yang dikatakan oleh Joshua.”

Rachel terdiam. Jika Reagan tidak meninggalkannya, ia tak mungkin pulang sendirian dan bertemu dengan Andara. Dan kesalah pahaman antara dirinya dan Davian akan terus berjalan hingga saat ini.

Kepala Rachel menggeleng. “Tidak. Joshua saja yang menyikapi berlebihan. Aku tak perlu mempermasalahkannya.”

Entah kenapa Reagan merasa kecewa dengan jawaban tersebut. Tetapi ia tak mengatakan apa pun. Menatap Rachel yang kembali menandaskan isi piring. Seolah tak ada apa pun yang terjadi. Ia menekan ujung bibirnya. Benaknya masih mengingat ketika Rachel dan mencoba mengingat wajah pria yang mengantar wanita itu pulang ke rumah tadi malam.

Apakah pria itu yang bernama Davian Anderson?

Kekasih Rachel sebelum mereka menikah?

Hubungan keduanya memburuk, entah permasalahan apa. Karena perjodohan mereka? Reagan tak yakin tetapi mungkin memang ya. Lalu, apakah sekarang hubungan Rachel dan pria itu sudah mulai membaik?

Ya, membaik atau tidak. Sepertinya itu tidak perlu menjadi urusannya selama Rachel tahu batasan dalam pernikahan mereka.  Memastikan calon anak dalam kandungan Rachel hanya miliknya.

“Jadi ke mana tujuanmu setelah ini?” tanya Reagan begitu keduanya keluar dari restoran.

“Aku akan naik taksi saja.” Rachel menepiskan tangan Reagan dari pinggangnya. Berusaha bergerak senormal mungkin agar tidak menyinggung atau membuat Reagan curiga. “Kau bisa langsung ke kantor.”

“Aku akan mengantarmu.”

Rachel menggeleng pelan. Menunjuk ke arah sebaliknya yang harus Reagan lalui menuju gedung perkantoran pria itu. “Tidak perlu. Aku ke arah sana,” jawabnya tak sepenuhnya berbohong. Apartemen Andara memang barada di sebelah sana. Begitu pun dengan café Davian.

Mara Reagan sedikit memicing. Menatap arah yang ditunjuk oleh Rachel sejenak dan memutuskan untuk membiarkan wanita itu.  “Oke. Aku akan  menjemputmu nanti siang.”

Rachel mengangguk singkat. Hanya agar Reagan pergi lebih cepat. Pria itu masuk ke dalam mobil dan ia menunggu taksi di pinggir jalan. Yang ia dapatkan tak lama setelah mobil Reagan melaju pergi.

Rachel terhenyak di dalam mobil.  Wajahnya terdongak, dengan mata terpejam dan helaan napas yang panjang. Kenapa ia merasa harus bersembunyi seperti ini di belakang Reagan? Sementara pria itu terang-terangan masih terpengaruh oleh Lania.

Bukankah pernikahan mereka hanya perjanjian hitam di atas putih?

Telapak tangan Rachel bergerak menyentuh perutnya yang masih rata. Hingga ia memberikan penerus untuk Reagan.

*** 

“Kau di sini?” Kedua alis Davian berkerut terheran dengan keberadaan Rachel di halaman cafénya begitu ia turun dari dalam mobil. 

Rachel melengkungkan senyum dan anggukan. “A-aku … aku ingin bicara denganmu.”

Davian tak langsung mengangguk. Ya, tadi malam. Keduanya memang lebih banyak diam. Davian tahu ada banyak hal yang ingin dikatakan oleh Rachel, tetapi  entah kenapa keduanya lebih banyak diam. Seolah tak membutuhkan kata-kata untuk saling mengungkapkan perasaan rindu yang saling keduanya pendam.

“Masuklah.” Davian mengarahkan Rachel ke dalam café.  Mendekati meja yang berada paling dekat dengan dinding kaca café. “Tunggu sebentar, aku harus mengurus sesuatu di belakang.”

Rachel mengangguk. Berjalan ke area dapur dan kembali tak lama kemudian. Dengan secangkir teh hangat dan beberapa potong madeleine yang diletakkan Davian di depan Rachel. 

Wajah wanita itu tertunduk, menatap kue kecil cantik yang mirip cangkang keras tersebut dan aroma mint yang menguar dari dalam cangkir. Bibirnya membentuk senyum, Davian bahkan tak pernah melupakan tentang dirinya. Menu yang selalu ia pilih ketika keduanya makan pagi, siang atau malam bersama-sama.

“Kau menyediakan menu ini di cafemu?” tanya Rachel. Yang meskipun perutnya sudah kenyang setelah makan dengan Reagan. Bagaimana mungkin ia menolak perhatian Davian seperti ini.

Davian menggeleng. “Tapi mungkin aku akan memikirkannya.”

Kedua alis Rachel saling bertaut.

“Ehm, sebenarnya aku menyuruh karyawanku untuk memesannya di restoran langgananmu setiap pagi.” Davian berhenti sejenak, kedua pasang mereka saling pandanga. “Untukku.”

Rachel terhenyak dengan jawaban tersebut.

“Maaf. Seharusnya aku …”

Rachel mengulurkan tangan, meraih salah satu tangan Davian yang menggenggamnya. “Tidak perlu,” ucapnya sembari menggelengkan kepala dan memberikan seulas senyum lembut.

Hening sejenak. Davian hanya mengamati Rachel yang mulai melahap potongan kue tersebut dengan lahap, bahkan wanita itu membagi dengan dirinya. Dan tak hanya berbagi kue, keduanya juga saling tersenyum, dengan kedua tangan yang saling bertaut. Hingga potongan kue tersebut habis, Davian mengulurkan tangannya yang lain untuk membersihkan remahan kue di ujung bibir Rachel.

Rachel membeku, dengan senyum yang lebih lebar. “Aku masih selalu berantakan, ya?” tanyanya malu-malu. Dan bertanya-tanya kenapa ia melalukan kecerobohan semacam ini hanya ketika bersama Davian.

Davian membalas dengan senyum yang lebih lebar.  Ia menatap wajah Rachel lekat-lekat, masih tak cukup puas melampiaskan kerinduannya terhadap wanita cantik ini.  Namun, tiba-tiba matanya mengerjap tersadar.  Menyadari hal-hal yang tak seharusnya keduanya masih lakukan bersama. 

Pandangan Davian membeku, tangannya bergerak turun. “Maaf. Aku melewati batasanku,” ucapnya lirih.

Rachel terdiam. Tetapi ketika Davian berusaha melepaskan pegangan tangannya, Rachel kembali meraih tangan pria itu. “Tidak. Pernikahanku dan Reagan, semua hanyalah perjodohan yang harus kulakukan untuk menyelamatkan perusahaan papaku.”

Davian tentu saja tahu akan hal itu. Tetapi … 

“Dan ada satu hal yang perlu kau tahu. Aku dan Reagan memiliki kesepakatan hitam di atas putih. Bahwa saatnya tiba, kami akan bercerai,” tambah Rachel. Tak mungkin mengatakan dengan detail tentang kesepakatan tersebut.  Tak yakin apakah Davian masih akan menunggunya atau tidak jika mengetahui syarat yang harus ia lakukan sebelum bercerai dengan Reagan.  “Apa kau akan menungguku?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro